DUA BELAS

1241 Words
CLARISSA   “Clar, kalo malem ini kita ke rumah Ibuku, gak apa-apa?” Tanya Marco setelah mendapat telefon dari adiknya. Yaa sepertinya Zetira itu adiknya. “Aku turun sini aja, pulang aja. Gak enak kalo ikut kamu ke rumah orang tua kamu.” Jawabku. “Udah gak apa-apa kok, seriusan!” Katanya “Duh Mar, aku gak enak lah ke rumah Ibu kamu. Aku bukan siapa-siapa gitu!” Kataku. “You'll gonna be someone dear!” sahutnya, asal sekali. “Gak usah ngaco gitu deh!” “Aku serius! Sebenarnya itu alesan aku ngajak kamu keluar pas tadi siang. Aku pengen obrolin soal kita!” “Please! Bahas itu nanti aja. Ibu kamu lagi sakit, mending kamu liat dulu. Kamu dokter kan?” “Yaaa! Dokter bedah jantung!” “Tapi kamu pasti tau kali pertolongan pertama buat pasien sakit apapun?” “Iyaaa!” Serunya terdengar sebal, mungkin karena aku yang mengalihkan topik pembicaraan. Aku  jadi diam saja, sepertinya ia langsung mengarahkan mobilnya ini ke arah rumah Ibunya. “Gak apa-apakan, kalo kita ke rumah ibuku?” Tanyanya. Aku hanya mengangguk. Enggan berdebat lagi. Aku hanya perlu menyiapkan mental sekarang. Bertemu dengan orang baru kadang sangat sulit bagiku, mengingat selalu ada perpisahan di balik semua pertemuan. Kami tiba di depan rumah putih yang lumayan besar, Marco menekan klakson 2 kali lalu terlihat seorang pemuda membukakan pagar tersebut lalu Marco memasukan mobilnya. “Ayo turun, gak usah takut.” Kata Marco. Aku hanya mengangguk lalu melepas seatbelt dan turun dari mobil. Marco berjalan ke arahku, meraih tanganku lalu menggandengku ke dalam rumah milik orang tuanya ini. “Dek!” Seru Marco saat kami memasuki rumah itu. “Kak!! Tuh Ibu demamnya makin tinggi!” Kata seorang wanita dari dalam yang sudah pasti Zetira. Zetira sangat cantik menurutku, rambutnya berwarna cokelat seperti Marco.  Wajahnya agak westren juga. Aku penasaran sepertinya salah satu orang tuanya memiliki darah barat. “Eh ini siapa Kak?” Tanya Zetira kaget begitu melihatku. “Clarissa dek, kenalin Clar. Adekku, Zetira.” Ujar Marco. Aku tersenyum sambil mengulurkan lenganku. “Clarissa” kataku. Zetira membalas senyumku, menjabat tanganku dan menyebutkan namanya. “Aku ke dalem dulu liat ibu, kamu mau ikut gak?” Tanya Marco padaku. “Aku tunggu sini aja.” Marco mengangguk, namun Zetira menggeleng. “Kamu ikut aja sama kakak ke dalem, ibu pasti seneng liat kamu.” Kata Zetira. “Duh gak usah, gak enak ganggu ibu kalian. Aku gak apa-apa di sini aja nunggu.” “Kamu tuh banyak gak enaknya, udah ikut aja!” Kata Marco yang langsung menggengam tanganku dan membawaku ke ruangan lain, kamar ibunya. Di dalam ruangan itu terdapat seorang wanita paruh baya yang terbaring lemah, umurnya mungkin sekitar 60 tahun. Wajahnya jelas sekali bukan orang Indonesia asli. “Bu, ini Marco! Ibu gimana?” Kata Marco sambil berlutut di samping ranjang ibunya. Aku hanya terpatung di ambang pintu. Ibunya membuka matanya, melirik ke arah Marco. “Demam doang, kayaknya masuk angin gara-gara kelamaan berenang.” Kata Ibunya. Suaranya tidak tertengar lemas. Ada kekuatan dalam suaranya. “Ah Ibu, aku kan udah ingetin. Renang seminggu sekali aja, gak boleh lebih dari sejam!” Sahut Marco. “Yes, Son! Ibu gak akan lupa lagi.” Kata Ibunya. Lalu mata Ibunya melirik ke arahku, agak kaget melihatku. Aku berusaha tersenyum semanis mungkin. “Itu siapa, Mar?” Tanya Ibunya, dagunya mengarah kepadaku. “Clar, sini kenalan sama Ibuku!” Seru Marco. Perlahan aku masuk ke kamar itu, lalu berlutut seperti yang dilakukan Marco. “Duduk sini aja, cantik!” Kata Ibunya Marco, menarikku untuk duduk di pinggir kasur. Aku pun menurutinya. “Siapa namanya?” Tanya Ibunya Marco. “Clarissa, Tante.” Kataku pelan. “Pacarnya Marco yaa?” Tanyanya. “Iyaa Bu!” Jawab Marco. Aku hanya terbelalak kaget. Sial. Kenapa dia bilang aku pacarnya?? “Kalo pacarnya Marco, manggilnya Ibu aja. Jangan tante!” Katanya. Aku hanya mengangguk. “Ibu mau dibawa ke rumah sakit gak?” Tanya Marco sambil merapikan posisi bantal dan selimut, lalu berdiri di pinggir ranjang, khas dokter banget. “Gak usah, Ibu istirahat di rumah aja. Besok pagi juga mendingan!” Seru Ibunya Marco. “Aku sama Clarissa di luar gak apa-apa ya? Ibu mau ditemenin Zet atau mau aku gendong keluar kita nongkrong ber-4?” Tanya Marco, gilak, ibunya lagi sakit masih aja nanya jahil begitu. “Ibu sini aja deh. Ngantuk. Udah gak apa-apa kalian keluar aja!” “Ditinggal ya, Tante!” Ujarku saat Marco menggandeng tanganku dan membawaku keluar. “Ibu, sayang. Jangan Tante!” Serunya. Aku hanya mengangguk lagi dan tersenyum. Di ruang keluarga, Zetira sudah nenyediakan 2 cangkir cokelat hangat dan beberapa biskuit. “Ayo sini dimakan dulu!” Ajak Zetira. Kami bertiga duduk di sofa, sambil mengobrol santai. Sebenarnya mereka berdua yang mengobrol. Aku hanya menjadi pendengar. “Manda sama Isal mana dek?” Tanya Marco. Siapa pula itu Manda sama Isal. “Isal kan besok kerja jadi dia jaga rumah sekalian jagain Manda.” Jawab Zetira. “Suami kamu tuh yaa, sibuk terus!” Seru Marco. Zetira membalasnya dengan cengiran sebelum menjawab. “Kaya kamu gak sibuk aja sih Kak? Lagian, Isal sibuk biar aku cepet kaya!” jawab Zetira santai yang disahuti Marco dengans sebuah tawa lepas.   Sudah hampir pukul 11 malam, Marco mengajakku pulang. Setelah pamit dengan Zetira dan menitipkan salam untuk Ibunya, aku dan Marco pun berjalan keluar dan masuk ke mobilnya. “Aku seneng kamu akhirnya bisa kenal keluargaku.” Kata Marco saat kita sudah di jalan. “Kok kamu bilang aku pacar kamu sih? Gak baik tahu bohong!” Seruku. Membuat Marco tiba-tiba menghentikan mobilnya, sepertinya kita masih berada di dalam komplek perumahan ibunya, dan Marco parkir tepat di depan sebuah taman. “Aku rasa kita udah cukup tua Clar, gak perlu lagi acara tembak-tembakan. Cukup dengan komitmen.” Aku diam. Aku bingung merespon apa. “Kamu tahu tentang aku, kamu tahu masalalu aku. Aku juga udah tahu kok cerita kamu dari Kinan. Dan aku juga tahu kalo kamu suka sama aku meskipun aku gak tahu rasa suka itu sebesar apa.” Shit. Dari mana dia tau kalo aku suka sama dia? Cuma Ariel yang pernah kuberitahu. Tidak mungkin Ariel bocor. Ia tidak kenal Marco. “Beberapa bulan ini, banyak hal yang bikin kita deket, Aga terutama. Selebihnya karena emang usaha aku buat deket sama kamu. Kamu baik sama aku, baik sama Aga. Tapi kamu berubah dan jadi dingin sama aku semenjak after party-nya Kinan.” “Please. Gak usah di lanjut!!” “Harus Clar, kita harus bahas masalah ini sampai selesai. Selesai after party, kamu tahu apa yang kita lakuin. Apa yang aku lakuin lebih tepatnya. Dan kamu tahu apa yang udah aku ambil dari kamu. Aku udah ngambil sesuatu yang berharga dari kamu, yang mungkin kamu jaga dan aku gak bisa balikin itu.” “Please! Stop!” Kataku. Aku sudah menangis selama 3 hari karena hal itu. Aku tak ingin menangis lagi. “Kenapa?” Tanya Marco. “Aku gak mau bahas itu, Mar!” “Tapi harus Clar. Biar semuanya jelas.” Suara Marco sekarang terdengar sedikit menuntut. “Oke tapi skip bagian yang after party itu!” Pintaku. “Yaudah, sekarang aku cuma mau tanggung jawab sama kamu, Clar. Bukan sekedar tanggung jawab aja. Tapi karena aku juga suka dan sayang sama kamu. Aku suka sama kamu dari hari pertama kita ketemu, aku gak tahu sejak kapan aku sayang sama kamu, yang jelas aku nyaman sama kamu! Sekarang yang aku butuhin dari kamu adalah penerimaan.” Kata Marco. “Penerimaan?” Tanyaku. “Yaaa, penerimaan karena status aku yang sudah duda dan punya anak satu. Penerimaan karena aku bakalan terus ngeganggu hari-hari kamu.” “Aku gak tahu harus bilang apa, just let it flow, maybe?” Jawabku. “Just a die fish who follow the flow. Kita harus buat rencana. Aku sayang Clar sama kamu.” “So?” Kataku. “Aku pengen kita ada di dalam sebuah hubungan yang mengarah ke pernikahan.” Kata Marco. “Kecepetan kayaknya kalo bahas soal pernikahan. Kita baru kenal gak lebih dari 4 bulan. Mungkin kamu tau cerita aku dari Kinan tapi kamu gak akan pernah paham sama apa yang aku rasain. Aku masih butuh proses, pemulihan hati karena di tinggal Alec.” Jelasku, jujur. “Take your time. But I'll always be there. On your side to support you. May I?” “Oke. Tapi aku juga gak tahu tentang kamu. Mungkin secara initinya aku tahu. Tapi aku gak kenal siapa kamu sebelumnya. Sifat kamu sebenarnya atau apapun.” “Mungkin kencan selanjutnya kita bakal bahas tentang diri kita masing-masing. Gimana?” Kata Marco. Aku mengangguk. Lalu ia menghidupkan mesin mobilnya kembali dan mengantarku pulang.   ** TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD