"Mas! Bangun, Sayang. Udah siang. Kamu hebat banget. Aku makin cinta sama kamu," puji Maya. Seumur-umur, Indah tidak pernah memuji kehebatanku seperti ini.
"Hem… udah jam berapa ini?" tanyaku. Hari ini sengaja bangun siang karena kami tidak berniat untuk pergi ke kantor. Maklum, pengantin baru.
"Jam sepuluh, Sayang. Perut aku krutuk-krutuk. Kayaknya lapar. Hehheeh," tawa Maya sambil memegangi perutnya.
"Mau mandi dulu apa sarapan dulu?" tanyaku.
"Mandi dulu lah, Mas. Keramas dulu. Oh iya, memang ada makanan?" tanyanya.
"Jangan khawatir kalau soal itu. Indah pasti sudah menyiapkan seperti biasanya. Dia pasti memaklumi kita sebagai pengantin baru," ujarku. Maya hanya tersenyum kemudian gegas masuk ke kamar mandi.
"Mas!" panggilnya.
"Apa?"
"Mandi bareng?" tanyanya. Aku hanya tersenyum kemudian menyusulnya.
****
"Mas, nggak ada makanan. Kata kamu Mbak Indah sudah pasti menyiapkan semuanya," ucap Maya terlihat kecewa sesampainya kami di meja makan.
Aku menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya secara kasar. Indah ini sama sekali tidak ada pengertiannya.
"Itu Mbak Indah," ucap Maya saat Indah terlihat berjalan ke arah dapur membawa piring kotor. Mungkin bekas makannya karena ia pun langsung mengambil air putih di dalam kulkas dan meneguknya.
"Ma, kamu nggak masak?" tanyaku menghampirinya.
"Maaf, Mas. Aku kira kamu mau makan masakan istri barumu," jawab Indah lembut. Sepertinya dia sudah bisa menerima pernikahan kami.
"Kamu lapar, May? Maaf ya, nggak aku masakin. Takutnya nggak doyan masakan aku lagi," ucap Indah sembari menghenyak di bangku meja makan. Tepat duduk di samping Maya. Melihat mereka seperti itu, terasa ada kedamaian tersendiri. Betapa bahagia dan beruntungnya aku sebagai laki-laki.
"Lapar sih, Mbak. Hehehehe. Tapi kalau tidak ada makanan ya tidak apa-apa," balas Maya lembut. Adem sekali melihatnya seperti ini. Terima kasih Tuhan.
"Sudah tidak masalah. Kita bisa memesan go food," ujarku seraya ikut bergabung bersama mereka.
"Mbak Indah, tidak masalah kalau kamarnya kami pakai? Kasur di kamar Mbak Indah itu sangat nyaman," ucap Maya.
"Oh, tidak masalah. Pakai saja," ucap Indah.
"Barang-barang Mbak Indah bagaimana?" tanya Maya.
"Oh, terserah mau dikemanakan. Dibuang juga tidak masalah."
"Dibuang? Tapi kan banyak yang bermerek," protes Maya.
"Ya terserah kamu sih mau diapain. Aku sudah tidak membutuhkan itu semua. Aku sudah membeli yang baru. Pagi tadi semua sudah dikirim saat kalian masih tidur," jawab Indah. Aku terbelalak. "Semua?" timpalku. Indah hanya mengangguk.
"Hum, nanti kalau ada yang aku suka, biar aku pakai ya, Mbak?" ucap Maya.
"Silahkan," jawab Indah singkat.
Aneh!
Sikap Indah kali ini terlihat lebih manis dan seperti tidak ada masalah. Cepat sekali dia berubah. Apa mungkin dirinya sudah sadar akan pentingnya seorang anak?
Hari ini kami berbincang hangat hingga makanan yang kami pesan melalui go food tiba. Indah pun menemani kami makan hingga makanan habis tak tersisa.
"Mas, aku mau ngomong," ucap Indah membuka suara. Aku deg-degan takut Indah mau ngomong minta pisah. Aku tidak mau. Sama saja bohong kalau begitu. Aku menikahi Maya tapi kehilangan Indah. Aku tidak mau seperti itu. Aku ingin keduanya.
"Mau ngomong apa, Ma?" tanyaku masih dengan panggilan yang sama.
"Aku ingin bekerja," ujarnya.
"Kenapa? Bukankah uang yang aku kasih itu cukup untuk kamu tanpa kamu harus bekerja?" tanyaku.
"Aku hanya ingin mencari kesibukan saja, Mas. Jika aku terus menghabiskan waktu di rumah, aku bisa stres. Aku tidak bisa, Mas. Tolong mengerti aku," lirihnya.
"Oke. Kamu bisa kerja di perusahaan, Papa. Terserah mau dibagian apa," ujarku.
"Nggak, Mas. Aku mau kerja di tempat temanku," tolaknya. Aku tidak langsung menyetujui permintaannya. Sebenarnya aku lebih suka Indah di rumah saja.
"Nanti akan aku pikirkan," singkatku. Tidak ada jawaban dari Indah. Wanita itu langsung berpamitan untuk segera pergi ke kamarnya. Terlihat dari raut wajahnya nampak sangat kecewa.
****
"Mas, mulai besok kamu harus bagi tugas untuk kami. Aku kan harus bekerja. Membantumu di kantor. Jadi menjadi inem biar tugas Mbak Indah ya? Mbak Indah sudah biasa kan dengan pekerjaan rumah? Kalau aku nggak terbiasa, Mas," ucap Maya.
Sejenak aku mencerna ucapan Maya. Betul juga. Baiknya aku tidak mengijinkan Indah untuk bekerja di luar rumah ataupun menjadi wanita karir. Aku takut banyak pasang mata yang menatap kecantikannya. Meskipun dia tidak bisa memberiku seorang anak, tapi dia memiliki bentuk fisik yang nyaris sempurna. Dia sangat ayu dan memiliki senyum sangat manis.
"Kamu panggil Indah sekarang. Mas tunggu kalian di ruang keluarga," titahku. Dengan cepat Maya menuruti perintahku.
****
"Indah, Maya, Mas mengumpulkan kalian karena ingin membagi tugas juga jadwal bersama kalian."
"Indah, karena Maya membantuku bekerja di kantor, maka tugasmu adalah merapikan rumah, masak dan sebagainya. Lagipula kamu sudah terbiasa dengan pekerjaan itu selama ini. Sementara Maya, dia sudah terbiasa dengan tumpukan berkas," ujarku. Maya tersenyum sementara Indah membulatkan mata. Sebelum ada protes, aku pun melanjutkan ucapanku.
"Dan untuk masalah tidur, jika malam ini Mas tidur dengan Maya, maka besok malam aku tidur dengan Indah. Seterusnya akan seperti itu. Bagaimana?" tanyaku menunggu persetujuan dari kedua istriku.
"Aku setuju, Mas," jawab Maya sigap. Sementara Indah hanya diam saja. Aku pun hanya mampu menggelengkan kepala melihat sikap Indah yang kembali seperti patung itu.
"Aku tidak setuju, Mas! Aku bisa bekerja juga seperti Maya. Maaf aku bukan babu. Mas bisa cari pembantu bukan? Mas kan memiliki uang cukup banyak. Apa Mas tidak bisa menggaji pembantu? Rumah ini cukup besar. Sungguh menguras tenaga jika aku yang harus membersihkannya."
"Untuk apa Mas menggaji pembantu kalau kamu bisa melakukannya?" sanggahku. Pokoknya Indah tidak boleh bekerja. Bagaimanapun caranya.
"Maya juga bisa melakukannya!" ketusnya membuat bola mata Maya mendelik sempurna.
"Kalau seperti itu, kalian tidak boleh ada yang bekerja."
"Jika itu memang keputusanmu, aku memilih mundur sebagai istrimu! Kalau boleh jujur, Mas… rasaku sudah mati sejak kamu mengakui hubunganmu dengan perempuan ini!" tunjuknya pada Maya.
"Aku tidak bisa lagi berpura-pura. Awalnya aku ingin bermain-main sejenak dengan kalian. Tapi sepertinya aku tidak akan tahan, Mas. Maaf aku bukan wanita yang kuat atau mampu berbagi suami. Aku hanya wanita biasa yang memiliki iman tidak cukup kuat, Mas. Ucapan kalian saat itu juga masih menyisakan luka sangat mendalam di hati ini!" tekannya.
"Aku tidak mau membohongi perasaanku lagi, Mas. Kamu sudah cukup menyakitiku. Aku telah memintamu untuk membatalkan pernikahan kamu dengan Maya, tapi kamu tetap bersikeras! Kamu memikirkan jika batal menikahi Maya, maka Maya akan terluka! Tapi kamu tidak memikirkan perasaanku! Apakah aku akan terluka atau tidak!"
"Di hari pernikahanmu, bahkan kamu tega memintaku untuk menghadiri pernikahanmu, Mas. Mengenakan pakaian yang dibelikan oleh calon istri keduamu! Dimana hati nuranimu, Mas? Saat rapuhku, bahkan aku merasa kamu seperti sudah tidak peduli padaku lagi! Bahkan dengan gamblang, kalian tega menunjukkan kemesraan di depan mataku! Kalian bilang padaku tidak berselingkuh, tapi aku tidak tahu kebenarannya. Kalian terlihat sangat dekat. Dan beberapa bulan belakangan ini, kamu juga cuek denganku, Mas! Kamu sadar akan hal itu? Aku sempat curiga, apakah kamu memiliki WIL? Tapi aku coba berpikiran positif. Tidak mungkin suamiku seperti itu. Faktanya, kamu tiba-tiba membawa Maya dan mengaku ingin menikahinya karena saling mencintai. Sakit hati aku, Mas!" cerocosnya tanpa henti. Membuat aku muak dan rasanya ingin melupakan semua isi hatiku seperti dirinya.
"Baru kali ini ada wanita mandul banyak omong tak tahu diri," cibir Maya sembari menyunggingkan sebelah bibirnya.
"Silahkan kalau memang kamu ingin bercerai dariku! Bisa kupastikan kamu akan menyesal seumur hidup. Tahu kenapa? Tidak akan ada laki-laki yang mau menjadi suamimu! Apalagi tahu kamu mandul! Membayangkan saja mereka sudah pasti ketakutan! Hanya aku yang mau terima kamu apa adanya, Indah Rahmawati! Keturunan keluarga miskin yang tak tahu diri! Jika kau memang ingin bercerai dariku, maka kau tak berhak atas hartaku sedikitpun! Bahkan orang tuamu juga harus pergi dari rumah yang sekarang ditinggali karena itu rumah yang aku beli dari uangku! Ingat kamu tidak punya apa-apa!" ucapku.
"Dasar wanita tak pandai bersyukur! Masih untung aku mau menjadi suamimu! Pergilah dari rumahku Sekarang. Dan segera kamu suruh orang tuamu itu pergi dari rumahku. Hari ini juga aku menceraikanmu! Saya Danang Suseno, menjatuhkan talak tiga padamu Indah Rahmawati! Saya ceraikan kamu!"
Gelegar!
Terdengar suara petir bersahutan. Sepertinya hari akan segera turun hujan.
"Sekarang kamu pergi dan jangan berani membawa apapun dari rumah ini! Lepas juga semua perhiasan yang kau kenakan!" Dengan cepat, Indah pun mulai melepas satu persatu perhiasan yang melingkar manis di tubuhnya. "Ponsel, ATM, dan sebagainya kamu tinggal! Kamu tidak berhak sedikitpun atas hartaku!" tegasku lagi.
"Tidak perlu diingatkan berkali-kali, Danang. Saya tidak silau akan semua kekayaan milikmu. Cukup untukku orang sepertimu menjadi pembelajaran untukku, dan menjadi cambuk untuk kesuksesanku!"
"Tidak usah banyak bicara! Pergi sekarang! Ingat, jangan pernah mengemis akan cintaku. Karena aku tidak sudi kembali lagi denganmu. Jangan pernah menyesali keputusanmu!"
Cuih!"
Ku buang ludah di depan wajahnya. Kemudian segera menyeret dan mendorongnya keluar! Betul saja ternyata di luar hujan lebat.
"Aw!" pekiknya saat dia terpental dan jidatnya mengenai tiang teras. Terlihat jidatnya langsung memar membiru.
"Cepat pergi dan jangan pernah meminta untuk kembali!" usirku kemudian kembali mengajak Maya masuk dan langsung menutup pintu…...