Manaqib

7603 Words
Sayidil Al Walid Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf Guru Thoriqah Alawiyyin di Tanah Betawi Abad 20 Habib Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul Qadir bin Ali bin Umar bin Segaf bin Muhammad bin Umar bin Thoha bin Umar bin Thoha bin Umar ash-Shofi bin Abdurrahman bin Muhammad bin Ali bin Sayyidina Syekh Al-Imam Al-Qutb Abdurrahman As-segaf bin Syekh Muhammad Maula Ad-Dawilayh bin Syekh Ali Shohibud Dark bin Sayyidina Al-Imam Alwi Al-Ghuyur bin Sayyidina Al-Imam Al-Faqih Al-Muqaddam muhammad bin Sayyidina Ali bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib Marbat bin Sayyidina Al-Imam Kholi Qosam bin Sayyidina Alwi bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib As-Shouma’ah bin Sayyidina Al-Imam Alwi Shohib Saml bin Sayyidina Al-Imam Ubaidillah Shohibul Aradh bin Sayyidina Al-Imam Muhajir Ahmad bin Sayyidina Al-Imam Isa Ar-Rumi bin Sayyidina Al- Imam Muhammad An-Naqib bin Sayyidina Al-Imam Ali Al-Uraydhi bin Sayyidina Al-Imam Ja’far As-Shodiq bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Sayyidina Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Al-Imam As-Syahid Syababul Jannah Sayyidina Al-Husein Rodiyallahu ‘Anhum Ajma’in. Sayidil Walid adalah pribadi yang ulet dan ikhlas. Terlahir di Cimanggu, Bogor, 98 tahun silam, ia adalah putra Habib Ahmad bin Abdul Qadir Assegaf. Ayahandanya sudah wafat ketika ia masih kecil. Tapi, kondisi itu tidak menjadi halangan baginya untuk giat belajar. Pernah mengenyam pendidikan di Jamiat Al-Khair, Jakarta, masa kecilnya sangat memprihatinkan, sebagaimana diceritakan anaknya, Habib Ali bin Abdurrahman Assegaff berkusah. “Walid itu orang yang tidak mampu. Bahkan beliau pernah berkata, ‘Barangkali dari seluruh anak yatim, yang termiskin adalah saya. Waktu Lebaran, anak-anak mengenakan sandal atau sepatu, tapi saya tidak punya sandal apalagi sepatu’. Tidurnya pun di bangku sekolah. Tapi, kesulitan seperti itu tidak menyurutkannya untuk giat belajar.” Ketika masih belajar di Jamiat Al-Khair, prestasinya sangat cemerlang. Ia selalu menempati peringkat pertama. Nilainya bagus, akhlaqnya menjadi teladan teman-temannya. Untuk menuntut ilmu kepada seorang ulama, ia tak segan-segan melakukannya dengan bersusah payah menempuh perjalanan puluhan kilometer. “Walid itu kalau berburu ilmu sangat keras. Beliau sanggup berjalan berkilo-kilometer untuk belajar ke Habib Empang,” tutur Habib Ali. Habib Empang adalah nama beken bagi (almarhum) Habib Abdullah bin Muchsin Alatas, seorang ulama sepuh yang sangat masyhur di kawasan Empang, Bogor. Selain Habib Empang, guru-guru Habib Abdurrahman yang lain adalah Habib Alwi bin Thahir Alhadad (mufti Johor, Malaysia), Habib Alwi bin Muhammad bin Thahir Alhadad, Habib Ali bin Husein Alatas (Bungur, Jakarta), Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi (Kwitang, Jakarta), K.H. Mahmud (ulama besar Betawi), dan Prof. Abdullah bin Nuh (Bogor). Semasa menuntut ilmu, Habib Abdurrahman sangat tekun dan rajin, meski tak terlalu cerdas. Itulah sebabnya, ia mampu menyerap ilmu yang diajarkan guru-gurunya. Ketekunannya yang luar biasa mengantarnya menguasai semua bidang ilmu agama. Kemampuan berbahasa yang bagus pun mengantarnya menjadi penulis dan orator yang andal. Ia tidak hanya sangat menguasai bahasa Arab, tapi juga bahasa Sunda dan Jawa halus. Habib Abdurrahman tidak sekadar disayang oleh para gurunya, tapi lebih dari itu, ia pun murid kebanggaan. Dialah satu-satunya murid yang sangat menguasai tata bahasa Arab, ilmu alat yang memang seharusnya digunakan untuk memahami kitab-kitab klasik yang lazim disebut “kitab kuning”. Para gurunya menganjurkan murid-murid yang lain mengacu pada pemahaman Habib Abdurrahman yang sangat tepat berdasarkan pemahaman dari segi tata bahasa. Setelah menginjak usia dewasa, Habib Abdurrahman dipercaya sebagai guru di madrasahnya. Di sinilah bakat dan keinginannya untuk mengajar semakin menyala. Ia menghabiskan waktunya untuk mengajar. Dan hebatnya, Habib Abdurrahman ternyata tidak hanya piawai dalam ilmu-ilmu agama, tapi bahkan juga pernah mengajar atau lebih tepatnya melatih bidang-bidang yang lain, seperti melatih kelompok musik (dari seruling sampai terompet), drum band, bahkan juga baris-berbaris. Belakangan, berbekal pengalaman yang cukup panjang, ia pun mendirikan madrasah sendiri, Madrasah Tsaqafah Islamiyyah, yang hingga sekarang masih eksis di Bukit Duri, Jakarta. Sebagai madrasah khusus, sampai kini Tsaqafah Islamiyyah tidak pernah merujuk kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah, mereka menerapkan kurikulum sendiri. Di sini, siswa yang cerdas dan cepat menguasai ilmu bisa loncat kelas. Dunia pendidikan memang tak mungkin dipisahkan dari Habib Abdurrahman, yang hampir seluruh masa hidupnya ia baktikan untuk pendidikan. Ia memang seorang guru sejati. Selain pengalamannya banyak, dan kreativitasnya dalam pendidikan juga luar biasa, pergaulannya pun luas. Terutama dengan para ulama dan kaum pendidik di Jakarta. Dalam keluarganya sendiri, Habib Abdurrahman dinilai oleh putra-putrinya sebagai sosok ayah yang konsisten dan disiplin dalam mendidik anak. Ia selalu menekankan kepada putra-putrinya untuk menguasai bebagai disiplin ilmu, dan menuntut ilmu kepada banyak guru. Sebab, ilmu yang dimilikinya tidak dapat diwariskan. “Beliau konsisten dan tegas dalam mendidik anak. Beliau juga menekankan bahwa dirinya tidak mau meningalkan harta sebagai warisan untuk anak-anaknya. Beliau hanya mendorong anak-anaknya agar mencintai ilmu dan mencintai dunia pendidikan. Beliau ingin kami konsisten mengajar, karenanya beliau melarang kami melibatkan diri dengan urusan politik maupun masalah keduniaan, seperti dagang, membuka biro haji, dan sebaginya. Jadi, sekalipun tidak besar, ya… sedikit banyak putra-putrinya bisa mengajar,” kata Habib Umar merendah. Habib Umar sendiri sudah belajar berceramah sejak usia sekolah dasar. Kitab Karangan Sebagai ulama sepuh yang sangat alim, beliau sangat disegani dan berpengaruh. Juga layak diteladani. Bukan hanya kegigihannya dalam mengajar, tapi juga produktivitasnya dalam mengarang kitab. Kitab-kitab buah karyanya tidak sebatas satu macam ilmu agama, melainkan juga mencakup berbagai macam ilmu. Mulai dari tauhid, tafsir, akhlaq, fiqih, hingga sastra. Bukan hanya dalam bahasa Arab, tapi juga dalam bahasa Melayu dan Sunda yang ditulis dengan huruf Arab – dikenal sebagai ahli sastra Arab. Kitab karyanya, antara lain; Hilyatul Janan fi Hadyil Quran, Syafinatus Said, Misbahuz Zaman, Bun-yatul Umahat, Buah Delima dan Bunga Melati. Sayang, puluhan karya itu hanya dicetak dalam jumlah terbatas, dan memang hanya digunakan untuk kepentingan para santri dan siswa Madrasah Tsaqafah Islamiyyah. Keindahan Syair Habib Abdurrahman Assegaf Jakarta-Habib Abdurrahman cukup dikenal terutama karena ia memiliki suara yang sangat merdu. Dengan suara yang merdunya, Habib Abdurrahman berhasil memikat kalangan muda sehingga mereka menyukai qashidah dengan syair-syair yang sebagian besar bersumber dari kitab Simthud Durar. Habib Abdurrahman juga membacakan syair-syair karyanya yang sangat digemari oleh kaum muda. Syair-syair yang diciptakan sebagian besar berisi tentang ajakan memperbaiki akhlak sebagai seorang muslim juga berisi tentang ajakan cinta kepada Nabi dan para sahabatnya serta meneladani baginda Rasulullah SAW. Yang menjadi fokus tulisan ini adalah Nilai-nilai pendidikan akhlak apa saja yang ada dalam syair karya Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf? Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan akhlak apa saja yang ada dalam syair karya Habib Abdurrahman.Penelitian syair Habib Abdurahman bin Ahmad Assegaf ini pernah dijadikan Skripsi oleh Khaidar Faza, Fakultas Adab , UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2016. Pada skripsi Khaidar Faza berusaha mengungkapkan nilai-nilai ketauhidan pada syai’r tawasul ini, karena banyak orang-orang yang menyalahi pemahaman yang sebenarnya tentang tawasul. Problematika penelitian ini adalah bagaimana penulis bisa menerangkan maksud-maksud penyusun syai’r ini, dan penulis berusaha mengungkapkan makna-makna yang tersembunyi di dalam syai’r tawasul ini.Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis mengumpulkan data melalui metode pustaka, yaitu dengan mengumpulkan data dari buku, baik cetak maupun elektronik. Dalam menganalisis, penulis menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan ilmu hermenetika.Dari hasil pembahasan ini diperoleh temuan sebagai berikut:dalam syair tawasul ini nampak ciri-ciri khusus syai’r ketauhidan, dan di dalam syair tersebut, penyusun syair (Habib Abdurahman bin Ahmad Assegaf-red) menggunakan perantara-perantara yang mulia di sisi Allah SWT, semata mata untuk sampai dan mendapatkan keridoan Allah yang maha mulia dan maha agung. Dan nampak jelas di dalam syai’r tawasul ini sesungguhnya ada satu bahar dari pada bahar-bahar ‘arud yang digunakan oleh Al-habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf di dalam penyusunan syai’r tawassul.(Khaidar Faza, Fak Adab UIN Syarif Hidayatullah;2016). Syair illahil wajh Malaikah dikarang Sayidil Walid saat beliau kecelakaan pada tahun 1960 sehingga selama 5 tahun lamanya beliau tidak bisa beraktivitas. Berikut tawasul sayidil walid; Ilahi Bijahil Anbiya (Tawassul Habib ‘Abdurrahman bin Ahmad Assegaf) توسل الحبيب عبدالرحمن بن أحمد السقاف نفعنا الله به وبعلومه فی الدارين ، آمين Tawassul Al-Habib ‘Abdurrahman bin Ahmad Assegaf, Pendiri Madrasah Tsaqafah Islamiyah, Bukit Duri – Jakarta Selatan إلهی بجاه الأنبيا والملائگه ، وبالأولياء جد لنا بالإجابة Ilâhî bijâhil anbiyâ wal malâ-ikah wa bil awliyâ-i jud lanâ bil ijâbati إلهی توسلنا بقرآنك الگريم ، تنور بصيرتی وسمعی ومقلتی Ilâhî tawassalnâ bi qur-ânikal Karîm tunawwir bashîrotî wa sam’î wa muqlatî وتلهمنی رشدی وترزقنی علم اليقين توفقنی لحسن العبادة Wa tulhimunî rusydî wa tarzuqunî ‘ilmal yaqîni tuwaffiqnî lihusnil ‘ibâdati بأسمائك الحسنی تجود بتوبة ، نصوح تغفرلی ذنوبی وزلتی Bi asmâ-ikal husnâ tajûdu bitawbatin nashûhin taghfirulî dzunûbî wa zallatî وتنظرنی فی کل حال ولمحة ، تنجى بها من هول يوم القيامة Wa tandhurunî fî kulli hâlin wa lamhatin tunajjî bihâ min hawli yaumil qiyâmati Selain syair tawasul, sastra syair Habib Abdurrahman Ahmad Assegaf menunjukkan Kemampuan berbahasa mengantarnya menjadi penulis dan orator yang handal. Beliau tidak hanya sangat menguasai bahasa Arab, tapi juga bahasa Sunda dan Jawa halus. Habib Abdurrahman tidak sekadar disayang oleh para gurunya, tapi lebih dari itu, beliau pun murid kebanggaan. Beliaulah satu-satunya murid yang sangat menguasai tata bahasa Arab, ilmu alat yang memang seharusnya digunakan untuk memahami kitab-kitab klasik yang lazim disebut “kitab kuning”. Para gurunya menganjurkan murid-murid yang lain mengacu pada pemahaman Habib Abdurrahman yang sangat tepat berdasarkan pemahaman dari segi tata bahasa. Salah satu syairnya yang terkenal yakni: Ya Allah Ya Allahu Ya Rohman - Moga kami sekalian Menjumpai masa depan - Hari Raya Bulan Romdhon # Beserta taufik hidayah - Sejahtera sehat ‘afiyah Dihujani dengan rahmah - Mohon diberi bantuan # Bertambah yakin dan ilmu - Yang manfaat tiap waktu Tak tergoda tak tertipu - Oleh hawa nafsu syaithon # Menjunjung perintah Robbi - Thoat bakti pada Nabi Ulama kami hormati - Wafat tenang dalam iman # Ya Allah lindungi bentengi - Kami pun sanak famili Dari perbuatan k**i - Macam-macam kejahatan # Perlindungan kasih sayang – Penjaga syaithon pembimbang Dosa kami tak terbilang - Mohon diberi ampunan # Selain kamu Ya Allah - Maha Pengasih Pemurah Maafkan orang bersalah - Sapakah beri ampunan # Walaupun dosa bergunung - Sebusah laut menggulung Namun rahmat Maha Agung - Meliputi ahlil iman # Dengan rahmat-Mu Ya Robbi - Dan syafa’at Kanjeng Nabi Bebaskan masukkan kami - Syurga taman keni’matan # Amin Ya Allahu Ya Rohman - Amin Ya Allahu Ya Rohman Amin Ya Allahu Ya Rohman - Amin Ya Waasi’al Gufron Dikutip dari Kitab BUNGA MELATI Karangan : Al-Allamah Al-Arif Billah Al-Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf Syair Habib Abdurrahman juga mengandung nilai-nilai penddikan akhlak madzmumah dalam syair karya Habib Abdurrahman yang terdapat dalam syair Untaian Bunga Melati berisikan tentang nilai pendidikan akhlaq. Cuplikan dari "Untaian Syair Bunga Melati". Puji dan syukur Lillahi Akbar Atas nikmatnya kecil dan besar Sholawat akmal beserta salam Di atas Nabi Pelita Alam Dan atas keluarganya Nabi Fathimah, Hasan, Husein dan Ali Dan turunannya Hasan dan Husein Hingga kiamat beserta Qur`an Sebelum sesuatu terjadi Allah jadikan cahyanya Nabi Allah jadikan dari cahaya-Nya Nur Nabi Muhammad kekasih-Nya Dan segenap para Nabi Dijadikan dari cahaya Nabi Demikian pun Arsy dan Kursi Loh, Qalam, Syurga, Bidadari Dan langit, bumi, bulan dan bintang Dan matahari yang sangat terang Dan lain-lain makhluknya Rabbi Asal mula dari cahaya Nabi Jika tak kerna wujudnya Nabi Tak ada Syurga dan Bidadari Tak ada Arsy, Loh dan Qalam Tak ada Kursi tak ada alam Tak ada dunia, langit dan bumi Tak ada bulan, bintang dan matahari Tak ada malam, tak ada siang Tak ada gelap, tak ada terang Tak ada manusia dan hewan Tak ada emas, perak, intan, berlian, Seluruh itu Allah siapkan Kerna Nabi akan dizahirkan Dizahirkan Nabi kerna rahmat Bagi seluruh alam dan umat Keindahan sastra dan ketepatan penempatan kata tampak apik terkemas dalam syair Misbahuz Zaman: Dilaut banyak udang dan teri Dan lain lain kalau difikir Wahai sodara laki dan istri Sekarang zaman Telah berakhir Pergi pelesir Dihari besar Masuk dikampung Nyebrang jembatan Diakhir zaman Banyak tersebar Fitnah agama dan kejahatan Menggantung baju diatas paku Dikantung baju adalah qolam Banyak pakaian dan tingkah laku Keluar dari ajaran islam Mengambil gunting memotong pita Dibikin baju tangannya panjang Diakhir zaman banyak wanita Pakai pakaian tapi telanjang Pergi berlayar bawa dagangan Menaik kapal ke pulau sunda Anak anak pun diakhir zaman Banyak membantah ayah dan bunda Membaca buku didalam kamar Diatas ada kopi secangkir Diakhir zaman menjadi samar Manakah islam manakah kafir Pergi pelesir sampai cianjur Kembali pulang dengan selamat Di akhir zaman jarang yang jujur Tetapi banyak orang khianat Beramai ramai pergi kondangan Kembali pulang membawa berkat Banyak lah orang diakhir zaman Sukar diajak jalan ibadat Didalam mangkuk merendam beras Beras ditumbuk bersama kencur Diakhir zaman kalau tak awas Badan celaka imanpun hancur Menjual pita membawa contoh Terasa dahaga minum air teh D ahir zaman pandai pidato Tapi tak pandai beramal sholeh Membikin pintu kayunya jati Tingginya sedang sambungan rapat Guru akhirot dan ihlas hati Diakhir zaman sukar didapat Ditengah malam pergi ke sumur Pintu lemari rapat terkunci Orang yang alim sholeh dan jujur Ikhlas nasehat banyak yang benci. Akhir kata, keindahan sastra Habib Abdurrahman Ahmad Assegaf terpatri dalam syair dan qasidah yang dihafal oleh para murid, jamaah sebagai pengantar taklim, menambah gairah untuk semangat menuntut ilmu dan semakin mencintai Allah SWT dan mahabatur Rasululloh SAW. Peneguh Tarekat Alawiyyin di Bumi Betawi Kemunculan Tharīqah di dalam dunia Islam, tidak bisa dilepaskan dari kemunculan terminologi-terminologi tasawuf dan kaum sufi itu sendiri. Jika memakai tipologi fikih, maka Tharīqah adalah mazhab-mazhab dari ajaran tasawuf yang merupakan pengejawantahan dari salah satu rukun agama yaitu Ihsan. Dalam sejarah perkembangan Islam, tasawuf dan tarekat mengalami pasang surut. Sebagai bagian dari pelaksanaan syariat, sebenarnya tasawuf sudah ada sejak zaman Rasulullah saw, dilanjutkan pada masa sahabat, kemudian berkembang sebagai suatu disiplin ilmu sejak abad ke-2 H, lewat tokoh-tokoh seperti Hasan al-Bashri, Sofyan al-Tsauri, Junaedi al-Baghdadi, Abu Yazid al-Busthami dan sebagainya. Meski dalam perjaalannya tasawuf juga tak lepas dari kritikan para ulama ahli fikih, hadis dan sebagainya. Menurut Alwi Shihab, setidaknya periodisasi pertumbuhan dan perkembangan tasawuf terbagi ke dalam beberapa tahap:Pertama, tahap Zuhud (Abad ke 1-2 H), kedua, tahap kodifikasi ilmu tasawuf dimana istilah tarekat yang kala itu merupakan semacam lembaga pendidikan yang memberikan pengajaran teori dan praktik sufistik mulai diperkenalkan (Abad ke 3-4 H), ketiga, tahap tasawuf falsafi (Abad ke 6 H), dan keempat tahap moderasi tasawuf akhlaki yang pondasinya dimulai dari al-Ghazali yang dengan rumusan konsep tasawuf moderatnya menjadikan tasawuf dianggap selaras dengan syariat. Pada tahap inilah kemudian melahirkan tipologi tasawuf menjadi tasawuf Sunni dan tasawuf falsafi; Tasawuf Sunni merupakan kepanjangan aliran tasawuf yang dikembangkan oleh para sufi pada abad ke-3 dan ke-4 H yang disusul al-Ghazali dan para pengikutnya dari guru-guru tarekat dan berwawasan moral praktis dan berlandaskan al-Qur’an dan Sunnah. Adapaun tasawuf falsafi lebih kepada menggabungkan tasawuf dengan berbagi aliran mistik dari dari lingkugnan di luar Islam, seperti Hinduisme, kependetaan Kristen ataupun teosofi dan neo-Platonisme. Tarekat atau tharīqah sendiri yang merupakan mazhab-mazhab dalam tasawuf adalah sebuah metode yang dikembangkan oleh para ulama dalam menempuh jalan spiritualitas menuju Allah Swt. Kata tarekat dan tharīqahberasal dari Bahasa Arab al-Tharīq yang berarti jalan yang ditempuh dengan jalan kaki. Dari pengertian ini kemudian kata tersebut digunakan dalam konotasi makna cara seseorang melakukan suatu pekerjaan, baik teruji maupun tercela. Sebagai sebuah metode spiritualitas, biasanya tarekat memiliki amalam zikir dan wirid yang dilazimkan serta hubungan khusus antara guru dan murid (Shuhbah) yang kesemuanya merupakan proses perjalanan untuk melalui tahap-tahap mencapai tujuan. Setiap tarekat memiliki karakter wirid dan zikirnya masing-masing yang dianggap dapat membantu seorang salik dalam mengasah daya ruhaninya. Dalam tarekat mu’tabarah (tarekat yang terverifikasi), biasanya wirid dan zikir ini memiliki jalur transmisi periwayatan yang terus bersambung kepada tokoh-tokoh sentral di generasi sebelumnya yang terus bersambung kepada pendiri sebuah taraket. Proses kegiatan tarekat biasanya dimulai dengan pengambilan baiat atau sumpah dari seorang murid dihadapan guru setelah sebelumnya melakukan tobat, puasa atau ritual-ritual lain yang diperintahkan sang guru (mursyid) tersebut. Ritual baiat seperti ini hampir ditemukan di dalam semua institusi tarekat yang mu’tabar kecuali Tharīqah ‘Alawiyyah yang tidak mengharuskan adanya mursyid dan juga baiat. Akibat lebih berorientasi kepada tujuan-tujuan spiritual, tarekat juga seringkali menjadi kambing hitam dari kemunduran dialektika sosial di kalangan umat Islam. Para pengamal sufi, seringkali lebih asik bercengkrama dengan amalan-amalan seperti sujud, zikir, hidup di kesunyian dan jauh dari hingar bingar matrealistik sehingga tidak jarang malah meniadakan dialektika serta peran sosial disekitarnya. Tentu kita pahami bahwa adanya distorsi dalam pelaksanaan tarekat ini bukanlah hakikat dari ajaran tarekat, sebab ajaran tarekat merupakan ajaran spiritualitas yang menempatkan moralitas, etika, sopan santun pada posisi yang utama, sehingga sangat tidak masuk akal jika seseorang yang mengaku sebagai pengamal tarekat malah meniadakan peran sosialnya di tengah-tengah masyarakat sebab substansi dari moralitas terletak pada keberhadirannya di ruang sosial. Seorang muslim wajib menempuh jalan spiritualitas, namun bukan berarti dia harus masuk ke dalam sebuah institusi tarekat. Tarekat hanyalah sebuah metode dalam bertasawuf, itu berarti bahwa seseorang bisa saja sudah dikatakan mengamalkan tasawuf walaupun tanpa mengamalkan tarekat tertentu. Dari hal inilah kemudian para sarjana ada yang membedakan antara istilah tharīqah dan tarekat; Tharīqah merupakan metode spiritualitas, . tarekat lebih kepada pelembagaan secara rigid dari metode itu sendiri. Dalam penelitian ini, secara operasional, penulis merasa perlu membedakan antara istilah tarekat dan tharīqah saat menjelaskan ‘Alawiyyah. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan penegasan karakter antara Tharīqah ‘Alawiyyah yang berbeda dengan tarekat kebanyakan. Beberapa karakter yang menonjol dari tharīqah ini adalah: Pertama, tharīqah ini tidak mengharuskan talqin atau baiat bagi murid baru, sehingga siapa pun dapat langsung mengamalkan tarekat ini tanpa harus berguru kepada mursyid. Kedua, selain berintikan keharusan menghiasi diri dengan akhlak mulia, tarekat ini menekankan amalan yang tergolong cukup ringan, yakni berupa himpunan wirid dan dzikir yang dikenal dengan wirdu al-Latfhīf dan ratib al-Haddad. Ada yang berpendapat bahwa sementara tarekat lain biasanya cendrung melibatkan riyādhah-riyādhah (latihan-latihan) fisik dan kezuhudan yang ketat, Tharīqah ‘Alawiyyah hanya menekankan segi-segi amaliah dan akhlak. Ketiga, posisinya yang unik berhadapan dengan kontroversi tasawuf falsafi, yakni menjaga jarak dan tidak mau berurusan dengannya seraya menjaga sikap simpati terhadapnya. Kebanyakan para Habaib ini , termasuk Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf menempuh jalan Thariqah Alawiyyah. Thariqah As-Sadah Al-Ba’Alawi) adalah suatu tarekat sufi Islam Sunni yang terkenal, yang didirikan oleh Imam Muhammad bin Ali Ba’alawi, bergelar Al-Faqih Al-Muqaddam (lahir di Tarim, Yaman, 574 H/k. 1178 M, dan wafat 653 H/k. 1256 M). Tarekat ini kemudian semakin berkembang dengan pesat di tangan Imam Abdullah bin Alawi Al-Haddad. Penyebarannya yang terbesar adalah di Yaman, selain itu juga tersebar di Indonesia, Malaysia, Singapura, Kenya, Tanzania, India, Pakistan, Hijaz, dan Uni Emirat Arab yang merupakan pula wilayah diaspora bangsa Arab Hadramaut. Thariqah ini sendiri diasas oleh Al Faqih Al Muqaddam Muhammad bin Ali Ba’alawi (574 H/1178M-653H/1255 M Tarim-Yaman). Ada dua jalur keilmuan dan thariqah yang diambilnya. Pertama ia mengambilnya dari jejak leluhurnya yakni lewat ayah, kakek dan terus bersambung sampai Rasulullah SAW. Jalur yang kedua ia mengambil dari ulama sufi, yakni Syaikh Abu Madyan Syu’aib dimana sanad mata rantai keilmuannya juga akhirnya sambung sinambung sampai Rasulullah SAW. Di Kemudian hari, keluarga Ba’alawi ini sebagian ada masuk ke wilayah Nusantara seiring gelombang penyebaran Islam ke bumi Nusantara. Apalagi saat itu, Nusantara menjadi objek kunjungan dagang, melalui Bandar Malaka. Habib Ahmad Assegaf merupakan guru Habib Abdul Qadir bin Abdullah Bilfagih, Darul Hadist Malang, tokoh Alawiyin Jawa Timur yang juga guru dari Prof Alwi Shihab. Habib Abdurrahman memang tidak mengambil sanad Alawiyah langsung dari Habib Ahmad Assegaf (ayahnya) karena sang ayah sudah wafat, ketika Habib Abdurahman Assegaf masih kecil. Namun Habib Abdureahman mengambil sanad thariqah dan ilmu Alawiyin dari guru-gurunya yang merupakan pemuka Thoriqoh Alawiyah seperti Habib Muhsin bin Abdullah al Atthas (Kramat Empang, Bogor), Habib Alwi bin Thahir Alhadad (mufti Johor, Malaysia), Habib Alwi bin Muhammad bin Thahir Alhadad, Habib Ali bin Husein Alatas (Bungur, Jakarta), Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi (Kwitang, Jakarta), K.H. Mahmud (ulama besar Betawi), dan Prof. Abdullah bin Nuh (Bogor). Para sejarawan barat meyakini, Islam bercorak sufistik itulah yang membuat penduduk nusantara yang semula beragama Hindu dan Buddha menjadi sangat tertarik. Tradisi dua agama asal India yang kaya dengan dimensi metafisik dan spiritualitas itu dianggap lebih dekat dan lebih mudah beradaptasi dengan tradisi thariqah yang dibawa para wali. Sayangnya dokumen sejarah islam sebelum abad 17 cukup sulit dilacak. Meski begitu, beberapa catatan tradisional di keraton-keraton sedikit banyak bercerita tentang aktivitas thariqah di kalangan keluarga istana raja-raja muslim. Mursyid adalah sebutan untuk seorang guru pembimbing thariqah yang telah memperoleh izin dan ijazah dari guru mursyid di atasnya, yang terus bersambung sanadnya sampai kepada Rasulullah SAW sebagai Shahibuth Thariqah, untuk men-talqin-kan dzikir atau wirid thariqah kepada orang-orang yang datang meminta bimbingannya (murid). Dalam thariqah Tijaniyyah, sebutan untuk mursyid adalah muqaddam. Mursyid mempunyai kedudukan yang penting dalam ilmu thariqah. Karena ia tidak saja pembimbing yang mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan lahiriah sehari-hari agar tidak menyimpang dari ajaran Islam dan terjerumus dalam kemaksiatan, tetapi ia juga merupakan pemimpin kerohanian bagi para muridnya agar bisa wushul (terhubung) dengan Allah SWT. Karena ia merupakan washilah (perantara) antara si murid dengan Allah Swt. Demikian keyakinan yang terdapat dikalangan ahli thariqah. Oleh karena itu, jabatan ini tidak boleh dipangku oleh sembarang orang, sekalipun pengetahuannya tentang ilmu thariqah cukup lengkap. Tetapi yang terpenting ia harus memiliki kebersihan rohani dan kehidupan batin yang tulus dan suci. Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdy, salah seorang tokoh Thariqah Naqsyabandiyah yang bermazhab Syafi’i, menyatakan, yang dinamakan Syaikh/Mursyid adalah orang yang sudah mencapai maqom Rijalul Kamal, seorang yang sudah sempurna suluk/lakunya dalam syari’at dan hakikat menurut Al Qur’an, sunnah dan ijma’. Hal yang demikian itu baru terjadi sesudah sempurna pengajarannya dari seorang mursyid yang mempunyai maqam (kedudukan) yang lebih tinggi darinya, yang terus bersambung sampai kepada Rasulullah Muhammad SAW, yang bersumber dari Allah SWT dengan melakukan ikatan-ikatan janji dan wasiat (bai’at) dan memperoleh izin maupun ijazah untuk menyampaikan ajaran suluk dzikir itu kepada orang lain. Seorang mursyid yang mu’tabar, diakui keabsahanya, itu tidak boleh diangkat dari seorang yang bodoh, yang hanya ingin menduduki jabatan itu karena nafsu. Mursyid merupakan penghubung antara para muridnya dengan Allah SWT, juga merupakan pintu yang harus dilalui oleh setiap muridnya untuk menuju kepada Allah SWT. Seorang syaikh/mursyid yang tidak mempunyai mursyid yang benar di atasnya, menurut Al-Kurdy, maka mursyidnya adalah syetan. Seseorang tidak boleh melakukan irsyad (bimbingan) dzikir kepada orang lain kecuali setelah memperoleh pengajaran yang sempurna dan mendapat izin atau ijazah dari guru mursyid di atasnya yang berhak dan mempunyai silsilah yang benar sampai kepada Rasulullah SAW. Sementara Syaikh Abdul Qadir Jailani, sebagaimana dikutip oleh Syaikh Ja’far bin Abdul Karim Al-Barzanji, menetapkan syarat menjadi mursyid lebih luas lagi: memiliki keilmuan standar para ulama, kearifan para ahli hikmah, dan wawasan serta nalar politik seperti para politisi.Jaringan Santri. Pra syarat yang cukup berat ini menunjukkan bahwa selain membimbing dalam urusan agama, seorang mursyid juga menjadi penasehat bagi murid-muridnya dalam hampir seluruh aspek kehidupannya: politik, ekonomi, budaya, sosial dan pendidikan. Di luar urusan pendidikan dan kapasitas personal, kalangan thariqah juga meyakini, bahwa terpilihnya seorang sufi menjadi guru mursyid adalah anugerah sekaligus ujian hidup yang luar biasa. Karena itu pemilihan seseorang mursyid bukan sekedar hasil pemikiran dan ijtihad dari gurunya, melainkan hasil petunjuk dari Allah Ta’ala dan Rasulullah, sebagai pemilik dan guru sejati ilmu thariqah. Karena pengangkatannya bersumber dari petunjuk atau isyarah yang diberikan Allah, kemursyidan seseorang sufi biasanya diketahui secara spiritual oleh mursyid-mursyid mu’tabar lain di thariqahnya. Selain penjagaan otentisitas sanad kemursyidan melalui jalur spiritual, upaya penjagaan lahiriah juga diupayakan para guru mursyid dengan selalu menghadirkan empat orang saksi dalam prosesi pengangkatan seorang murid menjadi mursyid, dan belakangan dengan surat keterangan tertulis. Ini semua dalam rangka menghindari fitnah-fitnah atau pengakuan palsu mengenai kemursyidan seseorang, yang berpotensi merugikan umat Islam yang ingin mempelajari dan mengikuti thariqah shufiyyah. Karena prosesnya yang diyakini murni bersumber dari petunjuk Allah SWT dan Rasulullah SAW itu pula proses regenerasi kemursyidan tidak berjalan dengan mudah dan terus mengalir secara otomatis. Jika ada seorang ulama yang menjadi mursyid, tidak otomatis bisa diharapkan anaknya akan menggantikannya sebagai mursyid kelak sepeninggal sang ayah. Juga tidak dengan mudah diharapkan, jika ada seorang mursyid yang memiliki banyak murid maka akan dengan mudah mengangangkat banyak pengganti. Karena itu tak jarang, seorang mursyid yang sangat terkenal sampai wafatnya tidak mengangkat mursyid baru atau mursyid penggantinya, sehingga garis kemursyidannya pun terputus. Selain Mursyid atau Muqaddam, yang berhak mengajarkan thariqah, menerima bai’at dan mengangkat mursyid baru, dalam tradisi thariqah –termasuk Syadziliyyah—di Indonesia juga dikenal sebutan Khalifah dan Badal Mursyid. Khalifah adalah seorang sufi yang mendapat ijazah untuk mengajarkan thariqah dan menerima pembai’atan, kepada umat Islam, tetapi tidak berhak mengangkat mursyid baru. Sedangkan Badal adalah seorang sufi, murid senior dari seorang mursyid, yang membantu proses pengajaran thariqah dan menerima pemba’aiatan atas nama dan dengan ijin mursyid. Jadi badal tidak berhak membuka pembai’atan dan pengajaran sendiri, secara mandiri. Ketika seorang guru mursyid wafat dan tidak mengangkat pengganti, maka demi keberlangsungan suluknya, para murid diharuskan melanjutkan pelajaran, bai’at dan suluknya kepada guru mursyid lain. Di kalangan Habaib selain dipercaya memperoleh sanad kelimuan dan thariqah melalui jalur nasab (keturunan), atau marga. Mereka juga berburu sanad (mata rantai keilmuan) ke ulama dan habaib yang lebih senior dan berbobot baik di dalam negeri maupun luar negeri. Pentingnya mata rantai keilmuan (sanad ilm’) sebagai mana ajaran tarekat As-Sadah Al-Ba’Alawi bila ditinjau berdasarkan mazhab fikihnya adalah bermazhab As-Syafi’iyah. Sedangkan bila ditinjau dari mazhab akidahnya, maka bermazhab As-Sunni Al-Asy’ariyyah. Pengajaran keilmuan berdasarkan aturan tarekat (manhaj) As-Sadah Al-Ba’alawi ialah mengajarkan berbagai ilmu-ilmu keislaman, yang kini telah berkembang sepanjang sejarahnya dan menjadi bebagai cabang ilmu keislaman. Berbagai ma’had dan rubath tarekat ini, setelah tahun-tahun menjalankan pengajarannya secara terus-menerus sampai dengan hari ini, telah membuat cara-cara yang sistematis dalam memberikan pengajaran ilmu-ilmu tersebut, yang selain itu juga mengajarkan mengenai pentingnya pendidikan melalui suri tauladan (tarbiyyah fi tazkiyah). Tarekat Alawiyyah adalah suatu tarekat yang ditempuh oleh para salafus sholeh. Dalam tarekat ini, mereka mengajarkan Al-Kitab Al-Qur’an dan As-Sunnah kepada masyarakat, dan sekaligus memberikan suri tauladan dalam pengamalan ilmu dengan keluhuran akhlak dan kesungguhan hati dalam menjalankan syariah Rasullullah SAW. Mereka menerangkan dengan terinci, bahwa tarekat As-Saadah Bani Alawy ini diwariskan secara turun temurun oleh leluhur (salaf) mereka : dari kakek kepada kepada ayah, kemudian kepada anak-anak dan cucu-cucunya. Demikian seterusnya mereka menyampaikan tarekat ini kepada anak cucu mereka sampai saat ini. Oleh karenanya, tarekat ini dikenal sebagai tarekat yang langgeng sebab penyampaiannya dilakukan secara ikhlas dan dari hati ke hati. Dari situlah dapat diketahui, bahwasanya tarekat ini berjalan di atas rel Al-Kitab dan As-Sunnah yang diridhoi Allah dan Rasul-Nya. Jelasnya, Tarekat Alawiyyah ini menitik-beratkan pada keseimbangan antara ibadah mahdhah, yaitu muamalah dengan Khaliq, dengan ibadah ghoiru mahdhah, yakni muamalah dengan sesama manusia yang dikuatkan dengan adanya majlis-majlis ta’lim yang mengajarkan ilmu dan adab serta majlis-majlis dzikir dan adab. Dengan kata lain, tarekat ini mencakup hubungan vertikal (hubungan makhluk dengan Khaliqnya) dan hubungan horizontal (antara sesama manusia). Selain itu, tarekat ini mengajarkan kepada kita untuk bermujahadah (bersungguh-sungguh) dalam menuntut ilmu guna menegakkan agama Allah (Al-Islam) di muka bumi. Sebagaimana diceritakan, bahwa sebagian dari As-Saadah Bani Alawy pergi ke tempat-tempat yang jauh untuk belajar ilmu dan akhlak dari para ulama, sehingga tidak sedikit dari mereka yang menjadi ulama besar dan panutan umat di zamannya. Banyak pula dari mereka yang mengorbankan jiwa dan raga untuk berdakwah di jalan Allah, mengajarkan ilmu syariat dan bidang ilmu agama lainnya dengan penuh kesabaran, baik di kota maupun di pelosok pedesaan. Berkat berpedoman pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, disertai kesungguhan dan keluhuran akhlak dari para pendiri dan penerusnya, tarekat ini mampu mengatasi tantangan zaman dan tetap eksis sampai saat ini. Habib Abdurrahman bin Abdullah bin Ahmad Bilfaqih Ba’alawi pernah ditanya, “Apa dan bagaimana tarekat Saadah Aal Abi ‘Alawi (keluarga Bani Alawy) itu?. Apakah cukup didefinisikan dengan ittibâ’ (mengikuti) Quran dan sunah?. Apakah terdapat pertentangan di antara mereka?. Apakah tarekat mereka bertentangan dengan tarekat-tarekat yang lain?.” Dia pun menyampaikan jawabannya sebagai berikut : “Ketahuilah, sesungguhnya tarekat Saadah Aal Abi ‘Alawi merupakan salah satu tarekat kaum sufi yang asasnya adalah ittibâ’ (mengikuti) Quran dan sunah, pokoknya adalah sidqul iftiqôr (benar-benar merasa butuh kepada Allah) dan syuhûdul minnah (menyaksikan bahwa semuanya merupakan karunia Allah). Tarekat ini mengikuti ittiba’ manshûsh dengan cara khusus dan menyempurnakan semua dasar (ushûl) untuk mempercepat wushûl. Melihat hal ini, maka tarekat Saadah Aal Abi ‘Alawi lebih dari sekedar mengikuti Quran dan Sunah secara umum dengan mempelajari hukum-hukum dhohir. Pokok bahasan ilmu ini sifatnya umum dan universal, sebab tujuannya adalah untuk menyusun aturan yang mengikat orang-orang bodoh dan kaum awam lainnya. Tidak diragukan bahwa kedudukan manusia dalam beragama berbeda-beda. Oleh karena itu diperlukan ilmu khusus untuk orang khusus, yakni ilmu yang menjadi pusat perhatian kaum khowwash, ilmu yang membahas hakikat takwa dan perwujudan ikhlas. Demikian itulah jalan lurus (shirôthol mustaqim) yang lebih tipis dari sehelai rambut. Ilmu itu tidak cukup disampaikan secara umum, bahkan setiap bagian darinya perlu didefinisikan secara khusus. Demikian itulah ilmu tasawuf, ilmu yang oleh kaum sufi digunakan untuk berjalan menuju Allah Ta’ala. Dhohir jalan kaum sufi adalah ilmu dan amal, sedangkan batinnya adalah kesungguhan (sidq) dalam bertawajjuh kepada Allah Ta’ala dengan mengamalkan segala sesuatu yang diridhoi-Nya dengan cara yang diridhoi-Nya. Jalan ini menghimpun semua akhlak luhur dan mulia, mencegah dari semua sifat hina dan tercela. Puncaknya memperoleh kedekatan dengan Allah dan fath. Jalan ini (mengajarkan seseorang) untuk bersifat (dengan sifat-sifat mulia) dan beramal saleh, serta mewujudkan tahqiq, asrôr, maqômât dan ahwâl. Jalan ini diterima oleh orang-orang yang saleh dari kaum sholihin dengan pengamalan, dzauq dan perbuatan, sesuai fath, kemurahan dan karunia yang diberikan Allah SWT. Membahas serta menganalisa Tharīqah ‘Alawiyyah ini khususnya menentukan masyarakat Betawi sebagai wilayah kajian tesis ini adalah karena masyarakat muslim Betawi memiliki kesejarahan yang identik dengan komunitas ‘Alawiyyīn. Hal itu dapat dibuktikan dengan begitu besarnya pengaruh pemikiran Abdullah al-Haddad dalam banyak kehidupan masyarakat Islam Jakarta baik dari sisi akidah, dakwah dan tasawuf dengan Tharīqah ‘Alawiyyah -nya. Hal ini terlihat dari adanya amalan-amalan yang dipraktikkan oleh kalangan yang berafiliasi kepada para Habāib, baik secara individu, maupun berjamaah. Pun pengaruh Tharīqah ‘Alawiyyah ini terlihat dari majelis-majelis taklim yang saat ini berkembang di Betawi yang kesemuanya merupakan kepanjangan dari majelis taklim pertama di Betawi yaitu Majelis Taklim Habib Ali al-Habsyi Kwitang yang merupakan tokoh ulama Tharīqah ‘Alawiyyah di Betawi.35 Dari majelis taklim inilah kemudian lahir para ulamaulama yang terkenal di Jakarta seperti KH. Abdullah Syafei (Pendiri Perguruan Islam Asy-Syafiiyyah), KH. Tohir Rohili (Pendiri Perguruan Islam AthThahiriyah), KH. Fatullah Harun, Muallim Syafei Hadzami, Muallim Rasyid, dll. Setelah terjadinya gelombang pelajar Indonesia yang melanjutkan belajar agama di Tarim, Yaman seperti di Darul Mushtofa dibawah asuhan Habib Umar bin Hafidz dan Rubat dibawah asuhan Habib Salim Syatiri pada kisaran awal tahun 90-an, menjadikan proses identifikasi Tharīqah ‘Alawiyyah kembali menguat. Hadirnya majelis-majelis taklim di Betawi dan sekitarnya yang diasuh oleh para Habāib yang notabene merupakan pengamal Tharīqah ‘Alawiyyah yang juga merupakan lulusan dari Yaman, lebih menguatkan proses transmisi jaringan keulamaan Tharīqah ‘Alawiyyah di Betawi dan Indonesia, walaupun sejak jauh hari sebelum adanya gelombang pelajar yang massif ke Hadramaut tersebut, majelis-majelis Habāib yang juga mengamalkan Tharīqah ‘Alawiyyah sudah banyak bermunculan, seperti Majlis Taklim Habib Abdurrahman Assegaf Bukit Duri, Majlis Taklim Kwitang, dll. Salah satu yang terbesar pengikutnya pada saat ini adalah Majelis Rasulullah yang didirikan oleh Habib Munzir al-Musawa yang merupakan murid langsung dari Habib Umar bin Hafidz Tarim. Majalah Tempo bahkan pernah menyebut fenomena munculnya para da’i dari kalangan ‘Alawiyyīn ini seperti mengulang fenomena yang serupa pada tahun 1970-an dimana Habib Ali al-Habsyi Kwitang dan Habib Abdurrahman Alaydrus, dua tokoh ‘Alawiyyīn masa itu menjadi ulama panutan yang kebanjiran jamaah. Tharīqah ‘Alawiyyah ini berkembang di Betawi melalui para guru-guru, baik sayid atau non sayid yang memiliki transmisi keilmuan kepada para tokoh-tokoh utama Tharīqah ‘Alawiyyah pada generasi-generasi di atas mereka. Adanya relasi antara guru-guru (baik dari kalangan Habāib maupun kiyai) yang mengajarkan doktrin Tharīqah ‘Alawiyyah di Betawi pada kisaran abad 19-20 M dengan tokoh-tokoh ‘Alawiyyīn Hadramaut khusunya Syekh Abdullah bin Alwi al-Haddad sebagai tokoh sufi Abad 17 melalui sentral-sentral keilmuan yang saat itu berada di Makkah juga merupakan keniscayaan. Ini juga menguatkan hasil penelitian Azyumardi Azra terhadap jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara abad 17 dan 18 M yang dapat disimpulkan sebagai berikut: a) Karakteristik dari wacana ilmiah dalam jaringan ulama menurut penelitian Azyumardi Azra terhadap jaringan ulama Timur Tengah dan Nusantara abad 17 dan 18 M teridentifikasi melalui telaah hadis dan ajaran tarekat. Ajaran tarekat yang menekankan kesetiaan dan kepatuhan kepada guru memberikan kekuatan tambahan kepada pembentukan jaringan ulama khususnya di Betawi. b) Ulama-ulama Nusantara pada kisaran abad ke 18 M seperti Abdul Rauf Singkil dalam autobiografinya yang dicatat oleh Azyumardi Azra menuliskan dalam perjalanan beliau menuntut ilmu ke Haramain terlebih dahulu singgah di wilayah teluk Persia di Zabid dan bait al-Faqīh Yaman untuk melanjutkan perjalana ke Makkah dan Madinah. c) Peran ulama Melayu Nusantara dalam jaringan adalah sebagai transmitter utama tradisi keagamaaan dari pusat-pusat keilmuan Islam di Timur Tengah ke Nusantara d) Dampak lebih jauh dari jaringan ulama terhadap perjalanan Islam di Nusantara adalah adanya semangat perubahan dalam berbagai masyarakat muslim di Nusantara terutama abad 17 dan 18 M. Sejarawan juga mengidentifikasi bahwa para ulama Hadramaut dalam jaringan ulama dunia disebut sebagai “Linking Group” (kelompok penghubung) khususnya di Asia Tenggara dan Nusantara. Keberhasilan mereka tidak lepas dari sisi geografis Hadramaut sebagai kawasan yang strategis sebagai tempat transit sebelum mencapai Haramain dan tempat menetapnya para ulama yang bertaraf Internasional. Beberapa tokoh perintis gerakan pembaruan Islam di Nusantara pada abad ke- 17 M seperti Syekh Abdul Rauf al-Sinkli dan Syekh Yusuf al-Makassari, seperti dalam penelitian Azra, sebelum menuju Haramaian, rata-rata transit terlebih dahulu di Hadramaut dan belajar dengan ulama-ulama yang ada disana. Pun, Abdullah bin Alwi al-Haddad sebagai tokoh sentral dan pembaharu Tharīqah ‘Alawiyyah memiliki murid-murid yang berdatangan dari segenap pelosok. Banyak pula dari luar daerah Hadramaut yang telah mendengar tentang kealiman beliau. Dan ketika tahun 1080 H/ 1748 M saat ia berangkat menuju Haramain untuk menunaikan ibadah haji, banyak diantara tokoh-tokoh ulama dan wali disana yang meminta ijazah darinya sebagai pengakuan atas kedudukannya yang tinggi. Jaringan Keilmuan Dalam melihat bagaimana terbentuknya jaringan guru Tharīqah ‘Alawiyyah ini , penulis akan menggunakan teori Jaringan Ulama yang telah diprakarsai Azyumardi Azra dalam disertasinya mengenai Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII-nya dimana akan ditelusuri jaringan keilmuan para guru Tharīqah ‘Alawiyyah di Betawi ini dan keterbentukan relasi ulama Tharīqah ‘Alawiyyah dengan ulama tarekat di Haramain-Hadramut yang menjadi spirit ketahan budaya Islam Tradisional di Betawi menghadapi gerusan gerakan Islam modern. Dalam membaca peta jaringan keilmuan ini, penulis juga mencoba menggunakan teori genealogi ala Michel Foucault yang merelasikan pengetahuan dengan kekuasaan. Foucault menyebutkan bahwa sejarah selalu merupakan genealogi dan sebuah intervensi. Dengan demikian kerangka pengetahuan,merupakan genealogi dan sebuah intervensi. Dengan demikian kerangka pengetahuan dan model pemahamannya pun selalu berubah. Kunci pemikiran Foucault mengenai sejarah adalah apa yang dia sebut sebagai ‘episteme’ (sistem wacana). Foucault melihat bagaimana ilmu-ilmu berkembang dalam sejarah secara sistemik dalam dalam sebuah periode, kemudian berubah secara menyeluruh dalam tahapan periode yang lain, dan bahkan kadang-kadang secara cepat dengan beberapa variabel seperti bahasa, karakter episteme, dan bagaimana kita melihat kenyataan itu sendiri. Sederhananya, jika teori jaringan Azra meniscayakan transmisi keilmuan secara langsung (halaqah) dalam sebuah periode, maka Foucault lebih melihat kepada kesamaan gagasan para tokoh dalam sebuah periode tertentu, walaupun tanpa sebuah proses transmisi saling bertemu antara satu dengan lainnya. Meskipun dalam melihat kesamaan gagasan secara detail diperlukan pelacakan terhadap sumber-sumber karya para tokoh, namun secara umum dapat dibaca kecendrungan paradigma yang berkembang pada rentang periode tersebut. Pengetahuan dan model pemahamannya pun selalu berubah. Melalui perguruan Islam Tsaqofah Islamiyyah, Bukit Duri Jakarta Selatan, Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf mengembangkan pola pendidikan Islam bercorak salaf dan teguh memegang sandaran thariqah alawiyin sebagai pedoman sumber ilmu sekaligus jalan thariqah (tasawuf). Dalam Tharīqah ‘Alawiyyah banyak macam bacaan yang dijadikan wirid. Bahkan setiap Syekh hampir mempunyai bacaan wirid dan ratib, seperti Wirdu al-Sakran, Ratib al-Athas, Ratib Alaydrus selain Wirdu al-Lathief dan Ratib al-Haddad yang telah disebutkan. Syekh al-Haddad sendiri punya empat bacaan wirid, yaitu: 1. Miftāh al-Sa’ādah wa al-Falāh fi Adzkār al-Masā wa al-Shabāh ,berupa doa-doa yang dinisbatkan kepada para tokoh tarekat. Ini termasuk wiridnya yang terbesar dan terluas. 2. Al-Nubzah al-Shugrah fi Adzkār al-Shabāh wa al-Masa. Wirid ini sangat tipis. 3. Hizb al-Fath wa al-Nashr. Hizb ini dibaca setelah subuh setiap hari, atau hanya pada hari Jum’at dan Senin. Hizb ini dieknal dengan Wirdu alLathīf. 4. Ratib yang dikenal dengan Ratib al-Haddad atau Ratib al-Isya yang dibaca setelah Isya. Amaliyah thariqah Alawiyyah ini masih terpatri kuat di jamaah dan murid Tsaqoffah Islamiyyah,Bukit Duri. Melalui jalur hubungan murid dan guru, Madrarasah Tsaqofah Islsmiyyah menjadi tempat bertemunya kutub alur pendidikan Alawiyin yang mempertemukan banyak tokoh tidak hanya Jakarta Selatan, namun hampir seantero DKI Jakarta, bahkan beberapa daerah terdekat Jakata seperti Bekasi, Karawang, Sukabumi, Depok dan Bogor. Kiprah dakwah yang luas dan banyak menjadi rujukan habaib dan ulama yang ada di bumi Betawi, membuat Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf layak mendapat julukan Paku Bumi Jakarta. Posisinya menhadi penyangga dakwah ustadz, habib, ulama, ajengan yang ada di Jakarta. Kepergian (wafat) Habib Abdurrahman seperti runtuhnya bangunan penyangga. Kini kiprah dakwah habib kharismatik Bukit Duri selepas kepergian putra tertu al walid habib Ali bin Abdurrahmsn Assegaf, maka estafeta dakwah sudah terpikul rata oleh putra putri dan cucu beliau yang rata-rata terjun juga menjadi pen dakwah dan mubsligh melalui majlis taklim dan pesantren yang mereka asuh. Semuanya Ulama Habib Abdurrahman mempunyai putra dan putri 22 orang, namun yang ada hingga saat ini sembilan orang; lima putra dan tiga putri. Hebatnya, kesembilan anak tersebut adalah ulama yang disegani dan berpengaruh di masyarakat. Mereka adalah Habib Muhammad, memimpin pesantrennya di kawasan Ceger; Habib Ali, memimpin Majelis Taklim Al-Affaf di wilayah Tebet; Habib Alwi, memimpin Majelis Taklim Zaadul Muslim di Bukitduri; Habib Umar, memimpin Pesantren dan Majelis Taklim Al-Kifahi Ats-Tsaqafi di Bukitduri; dan Habib Abu Bakar, memimpin Pesantren Al-Busyo di Citayam. Jumlah jamaah mereka ribuan orang. Sementara tiga putrinya pun mempunyai jamaah tersendiri. Sang Walid berpulang Senin siang, 26 Maret 2007, bertepatan dengan 7 Rabi`ul-Awwal 1428 H, langit Jakarta berwarna kelabu. Pukul 12.45 WIB, kaum muslimin Jakarta terguncang oleh berita wafatnya Al-Allamah Al-Arif Billah Al-Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf dalam usia sekitar 100 tahun. Baru sekitar seminggu sebelum kepulangan sang walid, Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf, pihak keluarga Habib Ali mendapat telepon dari Hadramaut, dimana ada seorang ulama yang tinggal di Tarim, Hadhramaut, yakni Habib Abdullah bin Muhammad bin Alwi bin Abdullah Syihabuddin dalam sebuah majelis yang di hadiri banyak orang, ia berkata, “Saya bermimpi Rasulullah SAW, wajahnya seperti wajah Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf. Tolong kasih tahu anak-anaknya Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf, saya sangat senang dan kasih tahu kabar gembira ini pada orang-orang yang ke Indonesia.” Mendengar kabar dari Hadhramaut, pihak keluarga Habib Abdurrahman Assegaf seperti mendapat tanda akan kepergian dari sang walid. Seluruh keluarga pun dalam waktu singkat, berusaha untuk dikumpulkan semua. Dan apa yang telah dikhawatirkan jauh-jauh hari itu, akhirnya tiba. Senin siang, 26 Maret 2007, bertepatan dengan 7 Rabi`ul-Awwal 1428 H, langit Jakarta berwarna kelabu. Pukul 12.45 WIB, kaum muslimin Jakarta terguncang oleh berita wafatnya Al-Allamah Al-Arif Billah Al-Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf dalam usia sekitar 100 tahun. Hari itu, berita wafatnya ulama terkemuka yang sangat dicintai warga Jakarta tersebut mendominasi pembicaraan melalui telepon dan SMS. Dalam waktu yang hampir bersamaan, masjid-masjid pun mengumumkan wafatnya sang walid, seraya membacakan surah Al-Fatihah. Kaum muslimin Jakarta benar-benar berduka dan kehilangan, ditinggal pergi sesepuh dan panutannya. Jenazah ulama besar yang ilmu, akhlaq, dan istiqamahnya sangat dikagumi itu, disemayamkan di ruang depan rumahnya, tepat di sisi sekretariat Yayasan Madrasah Tsaqofah Islamiyyah yang terletak di Jl Perkutut no 273, Bukit Duri Puteran, Tebet, Jakarta Selatan. Kalimat tahlil dan pembacaan Al-Qur’an bergema sepanjang hari Senin sampai jelang pemakamannya pada hari Selasa. Puluhan kali shalat jenazah dilakukan dengan ribuan pentakziah di gelar. Sebuah tenda besar tak mampu menampung jama’ah yang terus berdatangan bergelombang bak air bah, mereka rela duduk dengan beralaskan tikar atau karton bekas di sepanjang jalan menuju kediaman almarhum. Sejak awal, pihak keluarga telah memperkirakan para penakziah akan terus berdatangan hingga malam hari, bahkan esok harinya. Karena itu diputuskan, pemakaman akan dilakukan ba’da dzuhur di Pemakaman kampung Lalongok, Kramat Empang, Bogor, tiada lain untuk memberi kesempatan kepada semua pelayat yang ingin melepas kepergian sang walid yang terakhir kalinya. Karena sangat banyaknya pelayat, mencapai puluhan ribu orang yang datang sejak berita kabar sang walid wafat, pihak keluarga hanya mempersilahkan per lima habaib dan jamaah untuk menatap wajah sang walid. Praktis, prosesi ini membuat antrean panjang dan berdesak-desakan di sekitar halaman rumah dari hari Senin siang sampai Selasa siang. Bisa dibilang, semua habib dan ulama terkemuka se-Jabodetabek hadir untuk bertakziah, bahkan murid-murid sang walid dari berbagai penjuru Indonesia juga hadir. Tidak hanya itu, tamu dari luar negeri juga ikut bertakziah, seperti dari Malaysia, Singapura, Brunei, Maroko, Mesir, Yaman, Saudi dan lain-lain. Para pejabat dan mantan negara juga tampak bertakziah di kediaman almarhum, seperti pada Selasa pagi, Drs. H. Surya Darma Ali (menteri usaha koperasi dan menengah), H. Fauzi Bowo (wagub DKI Jakarta), H. Hamzah Haz (mantan Wapres RI) dan lain-lain. Selasa (27/3) Tepat pukul 10.00, jenazah dimandikan dan selepas itu pihak keluarga melakukan pelepasan terakhir di sisi tengah rumah almarhum secara tertutup. Baru pada pukul 11.45, jenazah sang walid dibawa ke luar untuk dishalatkan. Acara dibuka dengan sambutan dari pihak keluarga almarhum, yang diwakili oleh Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf. Dengan nada sendu, pengasuh Majelis Taklim Al-‘Afaf itu mengungkapkan terima kasih atas pelaksanaan pemakaman almarhum. Selanjutnya, Habib Ali mengungkapkan keutamaan-keutamaan almarhum. “Beliau rindu kepada Rasulullah SAW. Beliau ungkapkan rasa rindu itu dalam bentuk syariat-syariat beliau,” katanya. Puluhan ribu pelayat yang berdiri berdesak-desakan itu mulai sesenggukan karena terharu. Apalagi ketika Habib Ali, yang berbicara atas nama keluarga sang walid, tampil dengan nada suara yang sesekali bergetar menahan haru. Habib terkemuka di Jakarta itu kemudian menceritakan tentang tanda-tanda akan kepergian almarhum. Habib Ali lalu melanjutkan tentang rasa kehilangan yang mendalam atas kepergian sang walid. “Pada hari ini kita tidak datang pada hari-hari yang lalu, datang pada beliau untuk tidak berbicara. Kita memelihara anak yatim, tapi kali ini kita menjadi anak-anak yatim,” kata Habib Ali. Sebagian hadirin semakin histeris, bahkan ada yang sampai terduduk menangis “Kepergian sang walid sudah diramal jauh-jauh hari, ”Umimu dulu yang bakal berpulang kepada Allah SWT, setelah itu baru saya,” kata walid. Dan benarlah, Ibunda Hj Barkah (istri sang walid) telah berpulang sekitar tujuh bulan yang lalu, tepatnya pada 26 Juli 2006. Selain itu, lanjut Habib Ali, al walid juga pernah berkata pada keluarga, ’Saya pulang pada hari Senin, kasih tahu saudara-saudaramu’.” Tepat pukul duabelas siang, jenazah mulai dishalatkan dengan imam Habib Abdul Qadir bin Muhammad Al-Hadad (Al-Hawi, Condet). Kebetulan saat pada hari itu juga, mertua dari Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf, yakni Syarifah Syarifah Rugayah binti Habib Muhammad bin Ali Al-Attas juga wafat dan ikut dishalatkan dengan bertindak sebagai imam shalat yakni Habib Syekh bin Abdurrahman Alattas. Selepas doa oleh Habib Hamid bin Abdullah Al-Kaff, iringan-iringan jenazah bergerak keluar dari kediaman dan sempat berhenti di masjid Jami Al-Makmur, Bukit Duri, Tebet untuk kemudian jenazah kemudian dishalatkan kembali dengan imam Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf dan sekaligus shalat Dzuhur berjamaah. Sekitar pukul 13.00 iring-iringan yang jumlahnya mencapai ratusan ribu pelayat membawa jenazah mulai bergerak menuju ke Bogor melalui Pancoran dan lewat tol menuju Empang. Puluhan ribu kendaraan roda dua dan roda empat tampak mengiringi mobil ambulan yang membawa jenazah, tampak menyemut hingga 10 kilometer memadati jalan raya. Hari itu pelayat tidak bingung untuk naik kendaraan menuju ke Bogor, semua pulang pergi berbaur menjadi satu menuju ke Bogor melepas kepergian almarhum. Sekitar pukul 15.30 jenazah kembali disemayamkan di Masjid An-Nur, Kramat Empang, Bogor. Lepas itu baru jenazah diberangkatkan ke makam kampung Lolongok yang terletak sekitar satu kilo di sebelah utara komplek makam Kramat Empang. Mewakili sahibul bait, Habib Hamid bin Abdullah Assegaf memberikan taushiah, ”Sungguh kita bersama-sama telah kehilangan seorang ulama besar. Sungguh telah padam, lampu yang sangat besar di kota Jakarta,” katanya. Beruntung, lanjutnya, bagi murid-muridnya yang telah menimba ilmu pada almarhum. Ingatlah selalu pesan almarhum, saya sering mendengar pada acara Haul, ’Kalau saya sudah meninggal dunia, perbanyaklah mengirimkan fatihah untuk saya.’ Maka marilah dalam pembacaan fatihah-fatihah yang biasa kita baca, kirimkanlah untuk almarhum. Pembacaan Talqin dan doa dipimpin oleh Habib Bagir bin Hud Al Attas, Kebon Nanas, Jakarta Timur. Sekitar pukul 17.00, prosesi pemakaman sang walid yang diikuti oleh sekitar seratus ribu muhibbin itu berakhir sudah. Sebenarnya masih banyak jamaah yang tertahan di luar komplek makam, karena kendaraannya tak bisa masuk dan mereka rela menunggu jauh di luar komplek makam. Jakarta kembali kehilangan seorang ulama besar.(***) Aji SetiawanPenulis: Aji Setiawan, mantan wartawan Majalah alKisah Jakarta dan Mantan Ketua PWI Reformasi Korda Jojkakarta... Account Simpedes BRI no : 372001029009535 adress: Cipawon 6/1, Bukateja Purbalingga-Jawa Tengah 53382 CP HP: 081229667400 Daftar Pustaka: 1. Al Kisah No.16/tahun II/2-15 Agustus 2004 2.Al Kisah No. 19 / Tahun IV / 11 – 24 September 2006 3. Al Kisah No.8 / Tahun V / 9 – 22 April 2007. 4. Aziz, Abdul. 2002. Islam dan Masyarakat Betawi. Jakarta: Logos. 5. Blackburn, Susan. 2011. Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Jakarta: Masup Jakarta. 6. Derani, Saidun. 2013. Ulama Betawi Perspektif Sejarah. Jurnal Al Turas Vol. XIX No. 2: 217- 239 7. Fadli HS, Ahmad. 2011. Ulama Betawi: Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20. Jakarta: Manhalun Nasyi-in Press. 8. Kiki, Rakhmad Zailani, dkk. 2011. Genealogi Intelektual Ulama Betawi: Melacak Jaringan Ulama Betawi dari awal Abad ke-19 sampai Abad ke-21. Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta. 9. Mirshod, Ahmad, dkk. Tanpa Tahun. Biografi Guru Marzuqi bin Mirshod Serta Pemikirannya dalam Bidang Tauhid, Fiqih, dan Tasawuf. Forum Silaturahmi Keluarga Guru Marzuqi bin Mirshod. Tidak Diterbitkan. 10. Saidi, Ridwan. 2004. Profil Orang Betawi: Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadatnya. Jakarta: PT. Gunara Kata. 11. Setiati, Eni, dkk. 2009. Ensiklopedia Jakarta : Jakarta Tempo Doeloe, Kini, & Esok. Jakarta : Lentera Abadi 12.Aji Setiawan 11 Januari 2021. Kaum Alawiyin berdampingan dengan ulama lokal Betawi, www.jaringansantri.com 13. Maha Guru Ulama Betawi · Aji Setiawan. www.digstraksi.com 14. Aji Setiawan, Kaum Alawiyin berdampingan dengan ulama lokal Betawi,28 Agu 2016 — Kompasiana 15. Aji Setiawan - Jejaring ulama Betawi-Bekasi.14 Jun 2015 —SantriNews 16. Aji Setiawan. Makam Keramat Di Betawi-24 Jun 2019 -Nusantara.com 17. Aji Setiawan. Thariqah Alawiyah. 14 Januari 2021. Jaringan Santri. https://link.dana.id/minta/2qahjo3ewni

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD