Aku kembali ke rumah dengan perasaan yang sangat murka, kuparkirkan mobil dengan kasar di garasi sambil menutup pintunya dengan pukulan yang sangat keras.
"Ma, mama dari mana aja?" tanya putriku Imelda.
Agak bimbang untuk menjawab pertanyaannya, melihat penampilanku yang kusut dan berantakan seperti ini, masih mengenakan seragam setelah menghadiri acara resmi kami ibu-ibu Persit, aku kemudian menyusul suamiku yang kabarnya melangsungkan pernikahan.
"Ma, mama kenapa sih, kok gak jawab, mama kenapa kusut begini? mata mama sembab kenapa?"
"Gak apa Sayang, gak apa apa?" jawabku pada anakku yang saat ini kelas satu SMA.
"Sepatu Mama juga kotor penuh lumpur, Mama dari sawah?
Aku kemudian menghela nafas berat sambil menjatuhkan diri di sofa dan mengajaknya duduk bersamaku.
"Duduklah ... mana adikmu?"
"Siska, lagi di kamarnya, mungkin belajar," jawabnya.
"Oh ya, Papa mana, udah mau malam kenapa belum pulang?"
"Sibuk."
Hanya itu yang bisa aku katakan kepada Imelda. Aku agak bimbang memberitahu anakku jika ayahnya sudah menikahi w***********g yang kerap kami nafkahi itu.
"Mama udah makan belum?"
"Belum."
Bagaimana aku bisa berselera makan sementara telah terjadi sebuah peristiwa yang begitu menyakitkan hati. Andai tidak demi anak-anak mungkin aku tidak punya semangat lagi untuk melanjutkan hidup ini.
"Kalau gitu, ayo makan Ma, si Bibi sudah memasak sayur lodeh dan ikan bakar, ayo makan," ajaknya.
"Gak usah, kalian aja, mama lelah," jawabku sambil beranjak ke kamar.
Kubuka pintu kamar dengan perlahan, sesaat aku berdiri sambil tercenung memindai ruangan yang pernah menjadi begitu hangat dengan cinta dan aroma kerinduan.
Ranjang kami yang besar, dengan sebuah pigura foto pernikahan kami di atas dindingnya, kaca rias yang penuh dengan peralatan make up di mana dia selalu menggoda ketika aku berdandan, dia akan sengaja menggoyangkan tanganku yang sedang memakai lipstik sehingga belepotan, dan aku akan memarahinya sedang dia tertawa terbahak-bahak.
Atau lemari enam pintu dengan kaca besar itu, dimana aku selalu berdiri ketika mencoba pakaian, dan dia selalu memelukku dari belakang sambil membisikkan kata-kata romantis bahwa dia mencintaiku.
Saat itu aku percaya padanya, aku merasa pernikahan kami sempurna dan tidak akan pernah goyah.
Aku begitu yakin bahwa kami jodoh dan cinta sejati, kami adalah perpaduan dua insan yang saling menyayangi dan mendukung.
Pria perlente yang kucintai itu, selalu membuatku kagum dengan jiwa sosial yang dia miliki, di mana itu memang sudah tertanam dalam jiwanya yang merupakan anggota TNI.
Aku tidak pernah menyangka bahwa kebaikan dan ketulusan yang akan menjadi bencana di kemudian hari nanti. Kartika memanfaatkan kebaikan suamiku untuk menjeratnya. Mungkin dia telah menggodanya menggunakan kecantikan dan rayuannya, dan beginilah akhirnya, suamiku menikahinya.
"w***********g itu pasti bangga bisa bersuamikan seorang Dandim, Kepala Komando Distrik militer, dimana dia pun ingin mengincar jabatan sebagai ibu tentara yang akan dihormati dan disambut di mana-mana."
Aku yakin ambisinya sangat kuat untuk meningkatkan taraf hidup dirinya dan kedua anak gembel yang ditelantarkan ayahnya sendiri.
Tidak tahu malu!
Hati ini masih geram, dan emosi ini menggelegak, rasanya ingin kupecahkan semua barang atau membakar rumah ini sebagai pelampiasan sakit hati, atau kutembak saja kepala mereka, namun itu mustahil.
Pandanganku kemudian teralih pada sebuah pigura dengan foto Letnan Kolonel Suryadi mengenakan pakaian dinas upacara lengkap dengan tanda pangkat dua bunga yang tersandang di bahunya, mengenakan topi yang memancarkan aura ketegasan sekaligus ketampanan pria yang sudah membersamaiku hampir 17 tahun itu.
Aku menghela nafas sambil menerawang dan menggumam, "Pantas saja Kartika akan nekat mengejarnya," gumamku.
Entah mengapa bayangan buruk tiba-tiba muncul di depan mataku, malam ini adalah malam pertama Kartika dan Mas Yadi sebagai suami istri, adegan mesra kedua manusia itu tiba-tiba membayang di pelupuk mata, bagaimana Mas yadi akan menghampirinya, menyentuh tangannya lalu menggendongnya menuju peraduan dan memadu kasih di sana.
Prang!
Sebuah botol parfum kuambil dari kaca rias dan kulempar ke pigura photonya, bingkai itu jatuh dan pecah berkeping-keping.
"Tega kamu, Mas. Kamu pria s**l yang tidak ingat akan jasa istri."
Kecewa dengan semua pengabdian dan segala usahaku untuk mendukungnya menjalani karir militer. Aku ingat pernah menjual perhiasan satu-satunya peninggalan Bapak demi mendanai dia menjalani pendidikan untuk kenaikan pangkat, atau bagaimana besar pengorbananku mendampinginya yang kadang di tugaskan di daerah terpencil yang jauh dari segala akses.
Semuanya seakan sia-sia dan tidak ada nilai di matanya setalah ia memutuskan untukencoreng pernikahan ini dengan hubungan gelap dan pernikahan siri. Padahal dia sendiri tahu bahwa anggota TNI dilarang untuk berpoligami sesuai dengan surat edaran (SE) bernomor SE/71/VII/2015 yang mengatur soal poligami PNS dan anggota TNI.
Sebenarnya peraturan tersebut mengatur perihal mereka yang ingin melangsungkan pernikahan kedua namun harus memenuhi syarat yaitu apabila sang istri mengalami kondisi tertentu, yakni cacat dan tidak bisa memiliki keturunan, sang PNS mampu menafkahi lahir batin kedua dan memiliki penghasilan besar, serta harus ada izin tertulis dari istri pertama. Tanpa itu maka pernikahan kedua dilarang dan jika dilanggar maka sanksinya adalah pemecatan.
Seingatku aku tak cacat, seingatku juga aku tidak pernah menandatangani surat izin yang meridhoi dia menikah lagi, lantas kenapa?
Bagaimana bisa Mas Yadi begitu nekat melakukan semua itu? Apakah pengaruh besar Kartika yang membuat suamiku yang mempunyai prinsip dan keteguhan yang kuat goyah begitu saja. Ataukah ... Benar slogan yang menyebutkan bahwa semua laki-laki di dunia ini sama? Entah itu anak raja atau gembel sekalipun, jika dihadapkan dengan perkara kemolekan wanita mereka pasti akan tergoda, benarkah?
"Sebuah ketukan di pintu membuyarkan apa yang sedang kulakukan."
"Nyonya, ada Bapak pulang," ujar si Bibi dengan raut cemas.
"Biarkan saja," jawabku.
"Masalahnya ...." kalimat itu menggantung di udara sedang asisten rumah tanggaku itu menelan ludah dengan tatapan yang sulit kumengerti.
"Ada apa Bi?" Aku mengernyit heran.
"Masalahnya Bapak bersama seorang wanita," jawabnya lirih sambil memundurkan badan.
"Apa? Berani sekali dia!"
"Anak-anak di mana?" tanyaku setengah khawatir, entah apa yang akan terjadi jika kedua anakku melihat ayahnya membawa istri baru pulang ke rumah ini.
"Di kamar," bisiknya.
"Sudah tidur?"
"Belum."
"Ya Allah," ujarku dengan hati yang tiba-tiba seolah disiramkan air panas, emosi yang tdinya akan mereda kini mendidih dan rasanya naik ke ubun-ubun dan membuat telingaku rasanya berasap.
Belum lagi aku menelan makanan atau mandi dan mengganti pakaian, dia sudah menimpakan masalah baru di bahuku, pria jahat!
"Biar aku tangani, tapi mohon kondisikan agar anak-anak jangan turun dulu, mereka mau ujian semester dan aku tak mengganggu fokus belajar mereka saat ini," bisikku pada si Bibi.
"Baik, nyonya, saya akan usahakan."
Tanpa menyisir rambut atau meneguk segelas air aku segera turun, setengah berlari menghampiri mereka yang sudah berdiri tepat di ambang pintu rumah kami.
Suamiku berdiri dengan tatapan penuh harap kepadaku sedang si w***********g itu memegang lengan kiri suamiku dan berdiri di belakangnya, ada raut takut-takut tapi licik dia menatapku dengan seringai jahatnya. Kulirik waktu telah menunjukkan pukul 10 malam, di mana komplek sudah sepi, karena penghuninya sudah beristirahat.
"Setaaan!"