Buktiin kalau Lo Cowok..!!

1407 Words
Liam’s POV Suasana kantin terlihat ramai. Kantin Bu Titin memang selalu jadi favorit murid di SMA Cakrawala. Selain rasa makanannya yang enak, harganya juga pas untuk kantong siswa di mana kuota adalah segalanya jadi uang jajan mereka kadang ngepas dan seadanya. SMA Cakrawala bukan sekolah elit yang biaya spp-nya mencapai delapan digit. Tapi bukan sembarang SMA yang bisa diremehkan. Prestasinya cukup bagus, terutama di bidang olahraga seperti sepakbola dan basket. Dan segala penjuru tahu, untuk bisa dibilang keren dan gaul, kamu harus bisa menembus salah satu dari dua tim itu. Dan aku memilih masuk ke tim sepakbola. Nggak gampang juga untuk masuk ke tim itu. Modal tampang keren bin unyu ala oppa Korea yang ada padaku nggak jadi jaminan untukku mendapat golden ticket. Sama kayak yang lain, aku harus melewati serangkaian proses seleksi. Alhamdulillah aku behasil masuk. Di kelas sepuluh aku masih jadi pemain cadangan. Di kelas sebelas ini aku berhasil masuk jadi pemain inti sebagai striker merangkap winger, tergantung kebutuhan. Mataku dikejutkan dengan langkah seseorang yang tampak kontras diantara teman-temannya. Nama genknya “girl squad” katanya sih biar samaan ama genk emak-emak sosialita Nia Ramadani cs karena salah satu membernya ngefans berat ama Nia Ramadani dan berharap bernasib sama kayak Nia Ramadani yang dinikahi pria kaya dan hidup enak. Tapi yang aneh diantara empat cewek itu ada satu yang nggak pantes masuk di dalam genk cewek. Namanya Amber Athalia. Semua orang tahu dia cewek tapi tomboy-nya kebangetan. Nggak mau pakai rok, rambut pendek spike ala cowok, penampilan maskulin, d**a datar, pokoknya nggak ada cewek-ceweknya lah. Aneh aja dia bisa masuk ke genk tenar macam girl squad yang didominasi oleh cewek-cewek cantik, feminim, seksi, dengan body goalsnya yang aduhai dan tentu saja tidak berdada datar. Mereka duduk di sebelah meja kami. Freya, Angela dan Sasha menyapaku dengan senyum ramah. Sedang cewek tomboy itu menatapku dengan bola mata yang seperti mau keluar. Kami memang nggak pernah akur dan selalu bertengkar. Dia sasaran empuk untuk dibully. Menatap si tomboy bikin mataku sakit saja. Kuperhatikan tiga cewek cantik di sebelahnya. Cewek pertama. Nama : Freya Hobi : dandan, makan tapi nggak gemuk-gemuk Wajah : cantik, punya lesung pipi, imut-imut, kalau dimiripin ama artis kayaknya mendekati Bae Suzy Status : calon istri pertama. Cewek kedua. Nama : Angela Hobi : membaca, beli baju dan download lagu-lagunya Raisa Wajah : cantik, kulit bersih putih bebas dari jerawat, bibir merona menggoda iman, kalau dimiripin artis, mendekati Chelsea Islan. Status : calon istri kedua Cewek ketiga. Nama : Sasha Hobi : masak, ngoleksi pernik-pernik Hello kitty Wajah : manis, cantik, mata bulat dan alis tebal seperti ulat bulu, kalau dimiripin artis, kurang paham sih mirip siapa. Status : pacarnya Zulkifli, nggak bisa diganggu gugat. Tapi aku tetap tergoda untuk menatap cewek jadi-jadian itu. Kadang aku pikir dia cowok nyamar jadi cewek biar bisa deket sama anggota girl squad. Nama : Ami Hobi : olahraga kayaknya, dia jago olahraga, mungkin juga nyanyi karena aku pernah denger dia nyanyi-nyanyi, suaranya lumayan sih Wajah : membingungkan, absurd, nggak jelas, nggak bisa diidentifikasi, kadang imut kadang sangar, kadang ganteng kadang...eh nggak ada cantik-cantiknya dink, ya begitulah sulit dideskripsikan. Tiba-tiba datang seorang kakak kelas, salah satu badboy paling berpengaruh di SMA Cakrawala bernama Elang Samudera. Kadang aku iseng menambahkan nama Pasifik di belakang kata Samudera, Elang Samudera Pasifik, keren kan? Hahaha. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Wajahnya tampak cadas ala anak metal dengan kulit eksotis idaman para bule. “Mana yang namanya Ami? Tadi gue samperin ke kelas, katanya lagi di kantin.” “Itu tuh si Ami,” jawab Satria salah satu teman genkku sambil menunjuk ke arah Amber. “Elo yang namanya Ami. Sini lo.” Gertak Elang kasar. Ami berjalan mendekat pada Elang. Aku bisa melihat ada sedikit rasa takut tergambar di wajahnya. Elang mencengkeram kerah Ami, membuatku dan tiga teman genkku terkesiap. Aku lihat anggota girl squad lainnya tak kalah terperanjat. “Lo berani banget ya nyakitin Melody, adek gue. Dia suka banget ama lo. Kenapa lo nolak dia? Adek gue kurang apa? Cantik, imut, pinter pula.” Aku sedikit kaget, Melody yang baru saja akan kunobatkan sebagai calon istri ketiga ternyata menyukai Ami, yang artinya dia penyuka sesama jenis? “Maaf kak, gue straight, gue nggak bisa balas cintanya Melody.” Ami bicara agak terbata-bata. Aneh mendengarnya bilang bahwa dia straight? Sebuah kamuflase kayaknya. Aku yakin dia lesbian. “Straight? Kalau lo emang straight kenapa nolak adek gue? Lo homo ya?” Elang bicara frontal. Aku sudah menduga, Elang mengira Ami laki-laki. Sudah banyak orang tertipu dengan tampilan luarnya. “Ami itu perempuan kak.” Ucap Angela dengan wajah agak pucat. Mungkin dia juga ketakutan melihat Elang. Seketika Elang melepaskan cengkramannya. “Apa? Dia cewek?” Elang melongo. Ditatapnya Ami dari ujung kepala sampai kaki seakan tengah mencari sisi kewanitaan Ami ada di bagian mana? “Lo beneran cewek? Kok pakai celana? Berarti adek gue belok ya. Maaf deh kalo gitu.” Elang tampak shock juga, entah shock karena tahu Ami adalah perempuan atau shock karena tahu adiknya penyuka sesama perempuan. Elang meninggalkan kantin dengan wajah tertunduk. Ami kembali ke tempatnya. Freya langsung memberinya segelas jus. Angela mengusap keringat yang mengucur dari dahi Amber dengan tissue. Sasha mengusap rambut Ami. Enak bener jadi Amber. Jangan-jangan bener ya kalo Ami itu cowok yang nyamar jadi cewek. “Eh tomboy, makanya lo jadi cewek yang feminim dikit. Pakai rok kek. Di SMA ini cuma lo murid cewek yang pakai celana.” Aku bicara ketus ke arahnya. Ami balas menatapku tajam. Aku bisa merasakan ada kebencian di sorot matanya setiap kali ia melihatku. “Woi cowok yang mukanya kayak cewek, gue mau pakai celana, mau pakai rok, apa urusannya ama lo? Kepala sekolah aja ngizinin, kok lo repot? Rempong amat kayak cewek.” Aku tersenyum sinis, “Lo pasti iri ama muka gue ya, kenapa muka gue lebih unyu dibanding lo. Gue ini ganteng ya, cowok sejati. Lo tuh cewek jadi-jadian. Jangan-jangan lo nyamar jadi cewek biar bisa deket ama cewek-cewek cantik di girl squad.” “Lo ini selalu aja nuduh gue cewek jadi-jadian. Ngaca donk. Kayak situ macho aja. Kerempongan lo dalam ngurusin urusan orang itu melebihi cewek. Wajah lo juga kayak cewek. Badan lo juga cenderung kurus. Nggak ada yang bikin lo tampak macho kayak laki-laki sewajarnya. Jangan-jangan lo cowok jadi-jadian.” Aku berdiri mendekatinya. Rangga, temanku sempat mencoba menahanku dengan menarik tanganku untuk kembali duduk, tapi aku sudah terlanjur kesal ama cewek jadi-jadian ini. “Lo bilang apa hah? Lo ngraguin gue?” intonasi suaraku meninggi. Ami berdiri dan mendekat juga ke arahku. “Ya, gue ngraguin lo. Karena lo ini emang lebih pantes dibilang perempuan dibanding laki-laki.” Dia menatapku tajam. Dia sebenarnya cukup tinggi untuk ukuran perempuan, ya sekitar 167 cm, tapi aku lebih tinggi darinya. Aku 180 cm. Jadi berhadapan seperti ini tetap membuat kepalaku menunduk saat menatapnya. Dia terlihat sangat maskulin. Wajar jika banyak yang tertipu. “Gue ini laki-laki.” Pekikku. “Buktiin kalau lo cowok..!” ucapnya masih dengan tatapan tajam yang seakan siap untuk mengulitiku habis-habisan. “Lo mau gue buktiin?” Tantangku. “Buktiin apa?” Tanyanya sewot. “Tadi lo ngomong sendiri, minta gue buat buktiin kalau gue cowok sejati.” “Ada-ada aja lo. Lo mau ngebuktiin gimana?” Dia tertawa kecil. “Buseett... Liam, gimana cara lo buktiin kalo lo laki-laki tulen? Azril teman genkku, ikut bertanya. Aku juga sebenarnya bingung cara membuktikannya. Kecuali kalau aku nekat, aku bisa n***d di depannya. Oh tidaakkk.... Aku cuma ingin menggertaknya. “Dateng aja ke kamar ganti sepakbola. Gue bakal buktiin.” Aku mengedipkan mata ke arahnya. Dia tampak gugup. “Maksud lo apa ngundang gue ke kamar ganti? Lo mau m***m ya? Dasar otak kotor.” Aku menyeringai, “kalau lo emang pingin gue buktiin ya datang aja. Gue jua mau lo nunjukin bukti kalau lo itu perempuan. Gue berani kok dan nggak takut. Gue yakin lo pasti nggak berani.” Ami terpaku. “Bener kan lo nggak berani? Payah.” Aku tersenyum mengejek. “Gue berani.” Ujarnya. Aku kaget juga mendengar reaksinya. Aku pikir dia bakalan mundur. Sekarang aku malah jadi bingung. “Haduh.. apa yang akan kalian lakukan? gimana cara buktiinnya? Pikiran gue kok jadi...haha..” Satria tertawa. “Ami yang benar aja? Jangan mau dikadalin ama L. Dia mah cari kesempatan.” Ujar Sasha. Kami berdua masih saling menatap dengan penuh kebencian. “Gue tunggu lo sehabis latihan bola.” Sahutku dengan senyuman picik. Dia menatapku datar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD