Bab 9. MB

2125 Words
Jenar melangkah menuju ruang tamu, dengan membawa nampan berisi dua gelas minuman dingin. Ia melihat bagaimana caranya Malik berbicara dengan Luna. Selama aku tinggal dengan Mas Malik dan keluarganya, Mas Malik sekalipun gak pernah bersikap sebaik itu padaku. Sebenarnya apa kesalahanku, sampai Mas Malik begitu membenciku? Malik melihat Jenar yang tengah berjalan ke arahnya. Ia lalu mengambil alih nampan yang dibawa Jenar. “Ini, Non, minumannya. Non Luna pasti haus.” Malik lalu meletakkan dua gelas minuman itu ke atas meja. Ia lalu memberikan nampan itu kepada Jenar. Luna menatap Jenar, “duduklah. Aku ingin bicara sama kamu. Kamu gak usah merasa sungkan sama aku, lagian kamu lebih tua dari aku,” ucapnya dengan senyuman di wajahnya. Jenar menganggukkan kepalanya. Ia lalu mendudukkan tubuhnya di sofa yang berada di depan Luna. Luna menatap Malik, “kamu gak mau duduk? Yakin, kamu betah berdiri seperti itu? lagian ini ‘kan rumah kamu dan aku hanya tamu di rumah ini.” “Saya akan tetap berdiri, Non. Tidak apa-apa.” “Tapi, aku ingin kamu duduk. Entar dikiranya aku majikan yang kejam lagi.” Luna lalu menarik tangan Malik, meminta Malik untuk duduk di sampingnya. Malik tak punya pilihan lain, selain menuruti perintah sang majikan yang membayarnya selamanya. Jenar menatap Malik, ‘saat bersamaku, kamu begitu keras, bahkan sekalipun tak pernah mendengar apa yang aku katakan. Tapi sekarang... kamu bahkan tak bisa berkutik di depan gadis ini,’ gumamnya dalam hati. “Aku boleh meminumnya ‘kan?” tanya Luna sebelum mengambil gelas yang berisi minuman dingin itu. “Silahkan, Non,” ucap Malik lalu mengambilkan minuman itu dan diberikan kepada Luna. Luna tersenyum, “terima kasih ya, kamu memang bodyguard terbaik aku,” ucapnya lalu mengambil minuman itu dari tangan Malik. Luna meneguk minuman dingin itu. Minuman yang berhasil menghilangkan dahaganya. Ia lalu kembali meletakkan gelas minuman itu ke atas meja. “O ‘ya, aku dengar dari Malik, kalau kamu itu adalah adik angkatnya Malik. Apa itu benar?” tanyanya sambil menatap ke arah Jenar. Jenar menatap Malik. Malik menajamkan tatapannya. Awas saja kalau dia sampai bilang yang sebenarnya! Malik mengepalkan kedua tangannya. Jenar menganggukkan kepalanya, hingga membuat Malik menghela nafas lega. “Kedua orang tua Mas Malik, mengangkat saya sebagai anak, saat saya berusia sepuluh tahun. Saat itu, kedua orang tua saya meninggal karena kecelakaan, dan saya hidup sebatang kara. Kebetulan, kedua orang tua Mas Malik, adalah sahabat kedua orang tua saya. Mungkin karena itu, kedua orang tua Mas Malik akhirnya mengangkat saya sebagai anak angkat mereka,” ucapnya dengan menepiskan senyumannya. Luna hanya mengangguk, “kalau Malik kerja sama aku, kamu di rumah sama siapa?” “Sendiri.” “Kamu berani di rumah sendirian?” tanya Luna sambil mengernyitkan dahinya. “Disini ada keluarga Paman Thomas juga, Non. Jadi, Jenar tak sendirian,” ucap Malik. “O... iya ya. Aku kenapa bisa lupa. Terus, dimana rumah Paman Thomas? Aku ingin mengunjungi keluarganya,” ucap Jenar sambil menatap Malik yang saat ini duduk di sampingnya. “Rumah Paman Thomas agak jauh dari sini sih, Non. Tapi, kalau Non memang ingin pergi kesana, mendingan sekarang aja. Sekalian kita berangkat ke Jakarta.” Malik tak ingin Luna berlama-lama berada di rumahnya. Bisa-bisa majikannya itu mengorek informasi kehidupannya dari Jenar. Yang semakin membuat Malik takut, adalah saat Jenar tak lagi bisa menutup mulutnya dan menjaga rahasia mereka berdua. Apalagi selama tinggal di desa itu, yang mengetahui tentang statusnya dengan Jenar hanya Thomas dan keluarganya. Warga yang lain, hanya tau, kalau hubungan Jenar dan Malik adalah adik kakak. “Lik, apa aku boleh menginap di rumah kamu? kamu tau ‘kan kalau kaki aku sakit. Jadi, aku ingin menginap sehari aja di rumah kamu. Boleh ya? lagian, aku suntuk di rumah, kalau gak kerja,” pinta Luna sambil menatap Malik dengan senyuman di wajahnya. Melihat betapa akrab dan manjanya Luna kepada Malik, membuat hati Jenar terasa sakit. Tapi, ia juga tak bisa berbuat apa-apa. Selama dua tahun menikah dengan Malik, ia sama sekali tak bisa meluluhkan hati pria itu. Jangankan meluluhkan hatinya, mendapatkan sedikit perhatiannya saja belum pernah sama sekali. Selama ini sikap yang diterimanya dari Malik adalah sikap dingin dan kasar. Tapi, ia tak mempedulikan semua itu, karena pria itu sangat berarti untuknya. Pria yang berhasil mencuri hatinya sejak pertama kali bertemu. Pria yang menjadi cinta monyetnya di waktu kecil, bahkan sampai sekarang—usianya sudah 25 tahun. “Tidak, Non. Tuan Johannes tidak akan mengizinkan Non Luna untuk menginap di rumah saya,” tolak Malik. Luna tak mau menerima penolakan apapun dari Malik. Ia lalu mencari-cari tas selempangnya. “Dimana tas aku?” “Mungkin tertinggal di dalam mobil, Non. Biar saya ambilkan.” Luna menarik tangan Malik, saat pria itu ingin beranjak berdiri. “Gak usah. Mana ponsel kamu?” pintanya sambil menengadahkan tangan kirinya, karena tangan kanannya ia pakai untuk memegang tangan Malik. “Buat apa, Non?” “Aku ingin menghubungi Papa. Aku ingin bilang sama Papa, kalau aku ingin menginap di rumah kamu.” Kedua mata Malik membulat dengan sempurna, “tidak usah, Non. Nanti Tuan Johannes akan memarahi saya, karena sudah membawa Non Luna ke rumah saya.” “Gak akan. Kamu tenang aja, aku yang akan menanggung semuanya. Sekarang mana ponsel kamu?” Luna masih betah menengadahkan tangan kirinya. “Tapi, Non...” Luna melepaskan tangannya yang memegang tangan Malik. Ia lalu menatap Jenar. “O ‘ya, Kak. Em... apa aku boleh memanggil kamu, Kakak?” Jenar menatap Malik. Luna mengernyitkan dahinya, ‘kenapa saat aku tanya, Jenar selalu menatap Malik? Aku juga merasa, Jenar seperti ketakutan gitu. Apa jangan-jangan Malik sering memarahi Jenar selama ini?’ tanyanya dalam hati. Luna menatap Malik, “aku gak peduli. Pokoknya malam ini aku akan menginap di rumah kamu. Besok pagi, kita baru berangkat ke Jakarta,” ucapnya sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya. “Tapi Non Luna tidak membawa baju ganti.” “Aku bisa pakai baju kamu. Boleh ‘kan?” Luna tidak mau memakai pakaian Jenar. Ia lebih memilih untuk memakai baju Malik. “Tapi, Non ... bagaimana Non bisa memakai pakaian saya? Pakaian saya besar-besar.” “Pelit banget sih, kamu!” kesal Luna sambil mengerucutkan bibirnya. “Non bisa memakai pakaian saya,” tawar Jenar dengan menepiskan senyumannya. Luna menggelengkan kepalanya, “gak. Terima kasih untuk tawarannya,” ucapnya sambil menepiskan senyumannya. Luna menatap tajam ke arah Malik, “aku akan aduin ke Papa sikap kamu ini!” ancamnya. Malik menghela nafas, “maafkan saya, Non. Baiklah, jika Non memaksa. Malam ini, Non Luna boleh menginap di rumah saya. Non Luna bisa tidur di kamar saya.” “Lalu kamu tidur dimana?” “Saya bisa tidur di sofa.” Luna menatap sofa yang didudukinya. Sofa itu terlalu sempit untuk Malik tidur. Ia tak tega membiarkan Malik tidur di sofa. “Memangnya di rumah ini ada berapa kamar?” “Dua, Non. Kamar saya dan kamar Jenar.” Luna menatap Jenar, ‘aku gak mungkin tidur sama Jenar. Aku juga gak mungkin tidur sama Malik?’ gumamnya dalam hati. “Kalau aku butuh bantuan kamu, bagaimana? Gimana kalau kamu tidur di kamar kamu sama aku?” Kedua mata Malik dan Jenar membulat dengan sempurna. “Em... maksud aku, kamu tidur di bawah dan aku di atas. Kamu ‘kan tau, aku belum boleh banyak bergerak. Kalau aku mau ke kamar mandi, atau aku merasa haus nanti, gimana? Gak mungkin juga ‘kan aku teriak manggil kamu malam-malam?” Malik dan Jenar saling menatap satu sama lain. Sebenarnya apa sih hubungan mereka berdua? Kenapa aku merasa, Luna bukan hanya menganggap Mas Malik sebagai bodyguardnya. Apa Mas Malik merangkap sebagai asisten pribadinya? Selama menikah denganku, sekalipun Mas Malik belum pernah tidur sekamar denganku. Tapi, sekarang, dengan sangat mudah, gadis ini meminta Mas Malik untuk tidur sekamar dengannya? “Lagian ini ‘kan bukan pertama kalinya kamu tidur sekamar sama aku.” Kedua mata Jenar membulat dengan sempurna, ‘apa! mereka pernah tidur sekamar!’ serunya dalam hati. Jenar lalu menatap Malik. Malik tau, kalau saat ini Jenar tengah menatapnya. “Maaf, Non. Saya tidak bisa tidur sekamar dengan Non Luna lagi. Tapi, saya akan berjaga di depan pintu kamar Non Luna. Kalau Non Luna membutuhkan bantuan saya, saya akan segera datang.” Luna menghela nafas, lalu menganggukkan kepalanya, “kalau begitu, sekarang bawa aku ke kamar kamu. Aku ingin istirahat,” ucapnya sambil mengulurkan kedua tangannya. Jenar terkejut, saat melihat Malik langsung membopong tubuh Luna. Luna bahkan merangkul erat leher Malik. Jenar merasakan sesak di dadanya, ‘apa seperti ini rasanya sakit cinta bertepuk sebelah tangan? Tapi, kenapa rasanya sesakit ini? kenapa? apa salah, kalau aku jatuh cinta sama kamu, Mas? apa salah aku sama kamu? sampai kamu membenciku seperti ini?’ tanyanya dalam hati. Luna menatap sekeliling kamar Malik. Di dalam kamar itu, sama sekali tak ada foto ataupun pernak pernik lainnya. Di dalam kamar itu, hanya ada lemari, meja, dan sofa panjang. Sofa itu lebih besar dari sofa yang ada di ruang tamu. “Malik,” panggilnya. “Iya, Non,” sahut Malik yang berdiri di samping Luna. “Itu ada sofa panjang. Kamu bisa tidur disana.” “Maaf, Non. Saya lebih baik tidur diluar. Saya tidak bisa tidur dalam kamar yang sama dengan Non Luna. Itu juga tidak baik buat Non Luna. Apalagi Non Luna adalah publik figur. Kalau sampai ada orang yang tau, nanti akan timbul fitnah.” “Memangnya kita ngapain di kamar? Gak ngapa-ngapain ‘kan? Selain itu, di rumah ini hanya ada kamu, aku, dan Jenar. Jadi, gak akan ada orang lain yang tau.” Malik sudah tau sifat Luna. Keras kepala, manja, dan tidak mau mengalah. Apapun yang diinginkannya harus terpenuhi. Seperti sekarang ini, Malik selalu kebingungan saat menjawab perkataan Luna. “Maaf, Non. Saya akan tidur di luar. Tepat di depan pintu kamar ini.” Luna menghela nafas, “terserah kamu lah. O ‘ya, apa kamu sama sekali gak punya foto? Kenapa di kamar ini sama sekali gak ada foto kamu?” “Saya tidak suka di foto, Non,” bohong Malik. Malik mempunyai banyak foto dengan kedua orang tuanya. Tapi, setelah pindah ke rumah itu, semua foto itu ia simpan di dalam gudang. Ia tak ingin melihat wajah kedua orang tuanya yang sudah membuatnya terjebak dalam hubungan pernikahan yang sama sekali tak diinginkannya. “Foto keluarga misalnya?” “Semua tertinggal di rumah lama saya, Non.” “Kenapa gak kamu ambil?” Kalau aku jawab, pasti akan ada pertanyaan lain lagi. “Non, sekarang istirahat dulu. Saya akan buatkan makan malam buat Non Luna.” Luna mengernyitkan dahinya, “kamu bisa masak?” tanyanya tidak percaya. Malik menganggukkan kepalanya, “Non Luna mau dimasakin apa?” “Terserah kamu aja, asal jangan yang berlemak.” Malik menganggukkan kepalanya, “baik, Non. Saya keluar dulu.” “Malik! Tunggu!” seru Luna. Malik menghentikan langkahnya, membalikkan tubuhnya menghadap Luna. “Ya, Non. Apa Non Luna butuh sesuatu?” “Hem... aku mau mandi. Tapi, di dalam kamar ini gak ada kamar mandi. Apa kamu bisa bantu aku? aku gak bisa jalan sendiri.” Malik melangkah mendekat, “tapi, Non. Kamar mandi di rumah ini, gak sebagus kamar mandi yang ada di rumah Non Luna. Saya takutnya, Non Luna nanti...” “Tapi aku juga gak mungkin ‘kan gak mandi? Nanti badan aku bau,” ucap Luna sambil mengangkat tangan kanannya dan mencium bau tubuhnya. Badan Non Luna gak bau kok. Wangi malahan. Malik merutuki suara hatinya. “Tapi, Non. Disini juga gak ada air hangat. Kalau Non Luna ingin mandi air hangat, harus saya rebuskan dulu airnya.” Astaga! Tau gini tadi aku gak ngotot untuk menginap di rumah ini. Sekarang malah aku susah sendiri. Masa iya aku gak mandi? Nanti badan aku bau dong. Nanti kalau Malik jadi infil sama aku gimana dong, karena badan aku bau? Malik melangkah menuju lemari pakaiannya. Ia lalu mengambil kaos oblong berwarna putih. Itu adalah kaos kesukaannya, karena itu kaos yang diberikan mamanya sebelum mamanya mengalami kecelakaan. Malik baru dua kali memakai kaos itu, karena ia tak ingin sampai kaos pemberian mamanya itu rusak. “Non, tidak usah mandi. Non cukup ganti baju aja.” “Nanti kalau badan aku bau gimana?” Luna mengerucutkan bibirnya. “Tidak akan, Non. Badan Non Luna tidak bau. Wangi malahan.” Malik sontak langsung menutup mulutnya. Ia tak menyangka akan mengatakan itu di depan Luna. Luna tersenyum mendapatkan pujian itu dari Malik. Jangan bilang, setiap Malik menggendongku, dia selalu mencium bau tubuhku. Dasar, m***m! “Maafkan kelancangan mulut saya, Non,” pinta Malik sambil membungkukkan tubuhnya. “Apa bau badan aku wangi?” justru Luna ingin memastikannya sekali lagi. Siapa tau, tadi Malik hanya salah berucap. Bisa malu dong, karena sudah gede kepala duluan. Malik menganggukkan kepalanya, “badan Non Luna memang wangi.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD