Bab 5. MB

2145 Words
Sudah satu bulan Malik bekerja sebagai bodyguard Luna. Selama itu pula, ia berusaha untuk bekerja dengan baik. Menjaga Luna dan mengantar kemanapun gadis itu pergi. Seperti saat ini, Malik tengah menunggu Luna di depan kelasnya. Itu semua juga atas permintaan Luna. Luna tak ingin sampai Malik kembali di kerumuni oleh para mahasiswi centil yang ingin mendekati bodyguardnya itu. Anggaplah Luna itu protektif terhadap Malik. Tapi, Luna hanya tak suka, ada yang dekat-dekat sama bodyguard tampannya itu. Malik berdiri di dekat jendela, hingga memudahkan Luna untuk memantaunya. Sepertinya kali ini, bukan Malik yang menjaga Luna, tapi Luna ingin menjaga Malik dari cewek-cewek kampus itu yang terkenal centil. Luna bahkan tak memperdulikan apa yang dosen terangkan di ruangan itu. Kedua matanya terus mengarah ke arah jendela. Dimana Malik saat ini tengah berdiri tegak. Malik memiliki postur yang tinggi. Tubuh kekar berotot. Menandakan Malik rutin berolah raga. Tapi, Luna juga tak kalah tinggi. Tinggi badan Luna mungkin sebatas dagu Malik. Itulah kenapa Luna bisa menjadi seorang model dengan tawaran harga paling tinggi dengan sekali pemotretan. Luna mengernyitkan dahinya, saat melihat Malik tengah berbicara dengan seseorang di telepon. Siapa yang menghubunginya jam segini? Luna merasa penasaran. Ia tak bisa tinggal diam saja. Ia pun beranjak dari duduknya, lalu melangkah ke depan. Bu Salika, selaku dosen Luna, menatap Luna yang kini tengah berdiri di depannya. “Ada apa, Luna?” “Saya mau izin ke toilet, Bu.” “Baiklah.” Tanpa pikir panjang lagi, Luna melangkah keluar dari ruang kelas itu. Malik terkejut saat melihat Luna yang kini tengah berdiri di depannya, “Non, sudah selesai?” “Kamu ikut aku sekarang!” ketus Luna lalu melangkah pergi lebih dulu. Malik mengikuti Luna dari belakang. Entah kemana Luna akan membawa dirinya pergi. Malik membulatkan kedua matanya, saat tempat yang Luna tuju adalah toilet wanita. “Non Luna, saya tunggu disini saja ya,” ucapnya sambil membungkukkan sedikit tubuhnya. Luna hanya diam. Ia lalu melangkah masuk ke dalam toilet. Ia berdiri di depan cermin wastafel, lalu mencuci tangannya. Setelah itu, ia mengeringkannya dengan mesin pengering yang ada di dekat wastafel itu. Luna melangkah keluar dari toilet, “sekarang kamu antar aku ke suatu tempat.” Malik menganggukkan kepalanya, “silahkan, Non,” ucapnya sambil membungkukkan tubuhnya. Luna melangkah lebih dulu. Malik mengikutinya dari belakang, dengan jarak yang cukup dekat. Malik membukakan pintu mobil untuk Luna, seperti biasanya, Luna lebih memilih untuk duduk di depan bersama dengan Malik. Tapi, kali ini Luna sengaja tak memasang sabuk pengamannya. Ia ingin melihat, apa Malik akan memasangkan sabuk pengaman untuknya atau tidak. Malik menatap sabuk pengaman yang belum dipasang di tubuh Luna, “maaf, Non. Tolong sabuk pengamannya dipakai lebih dulu. Saya ingin memastikan keamanan anda.” Luna melipat kedua tangannya di depan dadanya, “kalau aku gak mau memasangnya, apa kamu akan memasang sabuk pengaman ini di tubuh aku?” tanyanya sambil menatap wajah bodyguardnya itu. “Saya akan tetap melakukannya, Non. Karena saya tidak ingin sampai anda kenapa-napa nantinya. Tugas saya adalah menjaga anda tetap aman.” “Kalau begitu pasangkan sabuk pengaman ini.” Malik menelan ludah, ‘astaga! Aku menjawab seperti itu, karena aku pikir Non Luna hanya bercanda. Ternyata dia serius. Sekarang apa yang harus aku lakukan? Gak mungkin ‘kan aku lancang memasangkan sabuk pengaman di tubuhnya,’ gumamnya dalam hati. “Kenapa kamu malah diam? Bukannya kamu tadi bilang mau memasangkan sabuk pengaman di tubuh aku?” “Maaf, Non. Saya tidak bermaksud untuk membantah perintah Non Luna. Tapi saya tidak ingin bersikap lancang kepada Non Luna,” ucap Malik sambil menundukkan wajahnya. “Aku yang memintamu untuk memasangkan sabuk pengaman ini. Jadi lakukan sekarang. Kalau kamu tetap gak mau melakukannya, aku akan adukan kepada Papa, kalau kamu sudah mulai berani melawan perintahku!” ancam Luna sambil menyungingkan senyumannya. Malik menghela nafas panjang, ia lalu menganggukkan kepalanya, “baik, Non. Saya akan melakukan apa yang Non Luna perintahkan kepada saya.” Luna tersenyum, “bagus. Memang seharusnya seperti itu. Lakukan sekarang, setelah itu aku ingin makan, aku lapar,” ucapnya lalu kembali memainkan ponsel yang ada di tangannya. Malik menganggukkan kepalanya. Ia lalu mencondongkan tubuhnya mendekat ke arah Luna. Ia lalu menarik sabuk pengaman yang ada di sebelah Luna. Luna yang merasakan nafas hangat Malik mulai menerpa pori-pori kulit wajahnya, seketika langsung mengangkat wajahnya. Kini jarak wajahnya dengan wajah Malik sangatlah dekat. Bahkan tinggal sejengkal bibir mereka saling bertemu satu sama lain. Luna menelan ludah. Meskipun ini bukan pertama kalinya dirinya berdekatan dengan seorang pria. Tapi entah mengapa, saat sedekat ini dengan seorang Arzan Ravindra Malik, mampu membuat tubuhnya mati beku. Bahkan jantungnya kini mulai berpacu lebih cepat dari biasanya. Bukan hanya Luna... Malik pun masih tetap memaku wajah cantik yang saat ini jaraknya begitu dekat dengan wajahnya. Malik tak akan pernah menampik, kalau seorang Isabella Lunara memiliki wajah yang sangat cantik. Hidung yang mancung, bibir yang tipis, dan bulu mata yang sangat lentik. Wanita yang sangat sempurna di mata seorang Malik. Luna berdehem, “Malik,” panggilnya. “I—iya, Non.” Malik bahkan tak mengubah posisinya. “Sampai kapan kita akan berada di posisi seperti ini?” Malik langsung mengubah posisinya, “maafkan saya, Non. Saya tak bermaksud untuk...” “Pasangkan sabuk pengamannya sekarang. Aku gak mau mendengar apapun alasan kamu,” potong Luna sambil menatap keluar jendela. Malik menganggukkan kepalanya, lalu memasang sabuk pengaman itu. “Maaf, Non. Non Luna mau makan dimana?” tanyanya setelah selesai memasang sabuk pengaman itu. “Terserah kamu saja.” Luna menjawab tanpa menatap wajah Malik. Tatapannya masih tertuju ke arah luar jendela. Sialan! Kenapa jantung aku pakai berdebar kayak gini! Aku gak mungkin terpesona dengan ketampanan Malik ‘kan? Malik tengah memanggil pelayan restoran itu. Seorang pelayan kini tengah melangkah menuju meja yang Luna tempati saat ini. “Non Luna mau pesan apa?” tanya Malik sambil melihat buku menu yang ada di tangannya. Saat ini Malik berdiri tepat di samping kursi yang Luna duduki. “Terserah kamu aja.” Luna masih fokus dengan benda pipih yang ada di tangannya. “Kalau begitu saya pesan Spaghetti Bolognaise satu, sama orange jus satu,” ucap Malik lalu kembali menyerahkan buku menu itu kepada pelayan itu. “Baik, silahkan tunggu sebentar,” ucap Pelayan itu setelah menulis pesanan Malik. “Tunggu!” Luna menghentikan langkah pelayan itu, “semuanya pesan dua porsi,” lanjutnya. Pelayan itu menganggukkan kepalanya. “Tapi Non, saya...” “Duduk! Aku gak mau makan sendiri. Lagian kamu belum makan, gak mungkin juga aku membiarkan kamu kelaparan. Kalau sampai terjadi apa-apa sama kamu, siapa yang akan mengawalku lagi.” Luna tetap berbicara tanpa menatap Malik. Entah mengapa setelah kejadian di mobil tadi, ia jadi salah tingkah saat menatap wajah tampan itu. “Terima kasih, Non. Kalau begitu saya akan duduk disana,” ucap Malik sambil menunjuk meja yang ada di sebelah meja Luna. Luna mengernyitkan dahinya, sekarang mau tak mau dirinya harus menatap wajah tampan itu. “Why? You don’t want to eat at the table with me?” “Bukan seperti itu, Non. Saya hanya...” “Kalau begitu duduk! Jangan membuatku untuk mengulang kata-kataku lagi!” Malik menganggukkan kepalanya, “baik, Non.” Malik menarik salah satu kursi yang ada di depan Luna, lalu mendudukkan tubuhnya disana. Banyak orang yang ingin makan satu meja denganku. Tapi dia... malah gak ingin makan satu meja denganku? Apa pesona seorang Luna sama sekali tak membuatnya tertarik sedikitpun? Entah kenapa setiap penolakan Malik, membuat Luna semakin tertantang untuk meluluhkan hati seorang Malik yang begitu dingin dan keras. Lihat saja nanti, aku akan pastikan kamu bertekuk lutut dihadapan aku. Seorang pelayan membawa nampan berisi pesanan Malik, lalu meletakkannya di atas meja. “Silahkan menikmati hidangan di restoran kami, Nona, Tuan.” “Hem... kamu sudah boleh pergi sekarang.” Malik yang mengatakan itu. “Silahkan menikmati makanannya Non Luna.” “Hem...” Luna lalu mulai memakan spaghetti itu. Sesekali Luna melirik ke arah Malik yang saat ini juga tengah menikmati makanannya. ‘sebenarnya aku penasaran sama dia. Apa yang ada pada dirinya, yang sanggup membuat semua wanita begitu memujanya,’ gumamnya dalam hati. Malik menghentikan gerak tangannya, lalu menatap ke arah Luna yang saat ini kebetulan tengah menatapnya. Luna yang kepergok tengah menatap Malik, terlihat begitu panik. Kenapa aku sekarang seperti seorang maling yang tengah ketahuan sedang mencuri ya? mencuri pandang padanya. “Kenapa Non Luna sejak tadi menatap saya? Apa ada yang aneh dengan wajah saya?” tanya Malik sambil meraba wajahnya sendiri. Luna berdehem, guna menetralkan kegugupannya, “sebenarnya aku penasaran sama kamu. Saat aku membaca data diri kamu, disitu status kamu tertulis single. Apa benar kamu sampai sekarang belum menikah? Padahal usia kamu saat ini sudah dua puluh delapan tahun.” “Kenapa Non Luna tiba-tiba menanyakan itu? apa status saya sangat penting buat Non Luna?” Luna melipat kedua tangannya di depan dadanya, “hem... sangat penting. Aku hanya gak mau, saat kamu jalan sama aku, tiba-tiba ada seorang wanita yang menyerangku hanya gara-gara cemburu melihat kamu jalan sama aku.” “Kalau soal itu, Non Luna tidak perlu cemas. Tidak akan ada wanita yang berani menyerang Non Luna di depan saya. Saya adalah bodyguard Non Luna, tugas saya adalah memastikan keamanan Non Luna.” “Awas saja kalau itu sampai terjadi, aku gak akan segan-segan langsung memecatmu!” ancam Luna lalu kembali melanjutkan makannya. Malik menganggukkan kepalanya, ‘semoga rahasiaku tak akan terbongkar saat ini. Aku bukannya ingin menyembunyikan soal statusku yang sebenarnya. Tapi, bagiku, pernikahan itu tak pernah terjadi,’ gumamnya dalam hati. Luna saat ini merasa sangat haus. Minuman yang ada di dalam kamarnya telah habis. Ia terpaksa harus keluar dari kamarnya untuk mengambil minuman. Saat Luna tengah melangkah menuju dapur, ia mendengar seseorang yang tengah berbicara dengan seseorang di telpon. Bukannya itu Malik? Malam-malam begini dia sedang menelpon siapa? Luna yang merasa penasaran, melangkah dengan cara mengendap-endap menuju tempat Malik saat ini. Luna bersembunyi dibalik tembok. Jaraknya sangat dekat dengan tempat Malik berdiri saat ini. Ia berusaha untuk menguping apa yang Malik bicarakan di telpon. “Jenar, sudah aku katakan! jangan menghubungi aku lagi! sekarang aku sedang bekerja.” “Tapi, Mas. Sudah sebulan Mas gak pulang ke rumah. Apa Mas sama sekali gak bisa mengambil cuti meski hanya satu hari?” “Kamu tau ‘kan aku bekerja sebagai apa. Gak ada cuti untuk seorang bodyguard. Apalagi selama 24 jam, aku harus siap untuk mengantar Non Luna kemanapun dia pergi. Jangan seperti anak kecil. Kamu sudah dewasa, dan bisa mengurus diri kamu sendiri.” “Tapi aku kangen sama kamu, Mas. Mas gak lupa ‘kan kalau masih punya seorang istri disini?” Malik menghela nafas kasar, “harus berapa kali aku mengingatkan kamu! aku sama sekali gak menginginkan semua itu! semua itu keinginan kedua orang tuaku, bukan keinginan aku. Selain itu, selama ini aku hanya menganggap kamu sebagai seorang adik, karena kedua orang tuaku memang sudah mengangkat kamu sebagai anak mereka.” Luna mengernyitkan dahinya, ‘sebenarnya apa yang terjadi? Siapa itu Jenar? Kenapa Malik bilang kalau dia hanya menganggapnya sebagai seorang adik? Apa Jenar itu anak angkat kedua orang tuanya?’ tanyanya dalam hati. Luna lalu menutup mulutnya dengan telapak tangan kanannya, ‘jangan bilang Jenar ini suka sama Malik, tapi Malik menolaknya? Astaga!’ gumamnya dalam hati. Saking shocknya setelah mengetahui kenyataan tentang Malik, membuat Luna menjatuhkan gelas yang ada di tangannya, hingga terdengar suara gelas pecah. Malik menengok ke arah sumber suara. Ia lalu mematikan sambungan telepon itu, melangkah menuju sumber suara. Kedua mata Malik membulat dengan sempurna, “Non Luna? sedang apa Non Luna malam-malam disini?” tanyanya terkejut. Malik lalu melihat pecahan gelas yang ada di bawah kaki Luna, sontak Malik langsung menarik tangan Luna, menjauhkannya dari serpihan pecahan gelas itu. “Hati-hati, Non. Nanti kaki Non Luna bisa terkena pecahan gelas.” Luna hanya diam. Kedua matanya masih betah menatap wajah Malik yang terlihat begitu mencemaskannya. Entah ada dorongan dari mana, kaki Luna justru melangkah maju menuju pecahan gelas itu. “Ah!” pekik Luna sambil menatap kakinya yang tidak sengaja menginjak pecahan gelas itu. Malik yang begitu panik, langsung membopong tubuh Luna dan membawanya menuju sofa, lalu mendudukkannya di sofa itu. “Kenapa Non Luna tidak hati-hati? Kan saya sudah bilang, nanti kaki Non Luna bisa terkena pecahan gelas, dan sekarang itu terjadikan?” Malik menyobek kaosnya, untuk membalut luka di kaki Luna. Luna hanya diam. Ia bahkan tak peduli dengan rasa sakit yang saat ini tengah dirasakannya. Malik beranjak berdiri, “saya akan membantu Non Luna ke kamar, setelah itu saya akan mengobati luka di kaki Non Luna.” Luna hanya mampu menganggukkan kepalanya. Ia bahkan mengulurkan kedua tangannya, agar Malik kembali membopongnya. Tanpa pikir panjang, Malik langsung membopong tubuh Luna dan membawanya menuju kamar Luna yang berada di lantai atas. Untung keadaan rumah itu sedang sepi, semua orang sudah terlelap dalam mimpi indah mereka. Hingga tak ada satupun yang melihat, apa yang Malik lakukan pada Luna saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD