Chapter 42

1261 Words
"Baiklah. Mari ku antar. Tapi sebaiknya kau mengganti pakaianmu terlebih dahulu." "Tidak perlu. Aku akan pulang bersama Ibu dan Ayahku." Grace melangkah menuju pintu Edward terkekeh membuat Grace menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Edward. "Kenapa?" "Ayah dan Ibumu sudah pergi sejak semalam. Jadi biarkan aku yang mengantarmu pulang." "Apa!" Grace membulatkan matanya. Ia menggerutu dalam hatinya. Mengapa Ayah dan Ibunya tega meninggalkan dia sendirian di hotel. Bahkan setelah pingsan, Ayahnya tidak muncul untuk menjenguk Grace. Benar-benar Ayah yang sangat baik. "Iya benar. Tapi sebaiknya kau sarapan dulu disini."  "Tidak. Aku akan langsung pulang. Dan, kau tidak perlu mengantarku." "Memangnya kau akan pulang naik apa?" tanya Edward.  "Tentu saja naik taksi." jawab Grace acuh. "Benarkah. Memangnya kau memiliki uang untuk membayarnya?" tanya Edward. "Jangan menghinaku. Tentu saja aku punya." ujar Grace , Ia mulai mencari dompetnya disekitar nakas namun tidak menemukan apapun. "Kau yakin?" tanya Edward.  "Dimana dompet dan ponselku?" tanya Grace.  "Ibumu sudah membawanya pulang kemarin saat kau pingsan."  "Jangan mengarang. Pasti kau yang menyembunyikannya. Kembalikan!" Grace menadahkan tangannya. "Aku tidak mengarang. Ibumu yang membawanya semalam." ujar Edward jujur. "Aghhh!" Grace mengerang frustasi. "Sekarang lebih baik, kau mandi. Sarapan bersamaku. Baru setelah itu aku akan mengantarmu pulang." ucap Edward. Grace berdecak kesal. Ibunya benar-benar jahat. Meninggalkan Grace disini tanpa uang ataupun ponsel. Kini tidak ada yang bisa lakukan. Tanpa uang , dia tidak akan bisa pulang sendiri. Tanpa ponsel, dia tidak bisa menghubungi siapapun untuk dimintai bantuan. "Langsung antarkan aku pulang saja." ucap Grace. "Mandi dan sarapan dahulu. Aku tidak mau kau pingsan lagi." "Aku tidak akan pingsan!" ucap Grace . "Bagaimana jika nanti kau pingsan. Dan aku melakukan sesuatu padamu saat kau tidak sadar." ucap Edward. "Kau, ighhh" ucap Grace gemas.  Ia terpaksa menuruti ucapan Edward, lagi. Edward terlihat membuka laci nakas dan tampak mengeluarkan sesuatu. "Pakai ini." ujar Edward tiba-tiba menyerahkan satu set pakaian kepada Grace. Baju dan celana, lengkap dengan pakaian dalam. Grace menatap dengan mata membulat kearah penutup d**a berwarna merah yang terang-terangan berada paling atas. Ia merasa sedikit canggung. "Ini milik siapa?" tanya Grace dengan matanya yang masih membulat. "Aku baru membelinya. Ini untukmu."  Grace menggelengkan kepalanya.  "Aku tahu kau merasa tidak nyaman memakai gaun itu. Gaun itu juga terbuka. Kau tidak ingin aku menatapmu terus-terusan dengan tatapan lapar, kan?"  Grace terlihat ingin mengatakan sesuatu, ia membuka mulutnya namun Edward langsung kembali berucap  "Sudah cepat mandi, dan pakai ini. Kau ingin segera pulang kan." ucap Edward.  Grace membenarkan ucapan Edward dalam hati. Ia langsung mengambil pakaian yang diberikan Edward meskipun ia merasa sangat canggung.  ---- Grace segera melepas seatbeltnya ketika mobil yang dikendarai Edward telah tiba di mansion keluarga Dominic.  "Kau tidak ingin memberikan sesuatu sebagai ucapan terima kasih?" tanya Edward dengan menaikkan satu alisnya. "Sesuatu?"  Edward menganggukkan kepalanya kemudian berucap. "Seperti mencium pipi atau bibirku misalnya." ujar Edward. Grace tersenyum manis.  "Kau benar. Aku akan memberikan sesuatu"  Grace mulai mendekat pada Edward. Edward tidak menyangka Grace akan melakukan itu. Namun ia merasa senang. Edward mulai memejamkan matanya ketika bibir Grace mendekat. Plakkk ...  Edward merasakan sakit dibagian pipi kirinya. Spontan ia mengelus pipinya dan membuka mata. Grace menamparnya. "Itu yang kusebut sesuatu sebagai bentuk ucapan terima kasih. Terima kasih, Edward." ujar Grace dengan senyum manisnya yang membuat Edward merasa kesal namun juga merasa senang. "Ohya. Pakaian ini, akan kukembalikan besok." "Tidak usah. Kau saja yang mengambilnya." "Ya sudah." Grace segera keluar dari mobil Edward. Dan masuk ke mansionnya tanpa menoleh. Edward tersenyum menatap hilangnya Grace setelah pintu tertutup. "Wanita arogan. Tapi aku menyukaimu." ucapnya. ---- "Kau sudah pulang, Grace. Apa kau baik-baik saja. Edward ya yang mengantarmu?" tanya Angelina yang kebetulan sedang berada di ruang tamu. "Ayah dimana, Bu?" tanya Grace.  "Ia sudah berangkat sejak tadi." "Kemana?" tanya Grace panik. "Ada urusan di Los Angeles."  Grace berdecak frustasi. Baru saja ia ingin menuntut pada ayahnya mengenai perjodohan antara dirinya dengan Edward. "Dimana ponselku, Bu? Edward bilang Ibu yang membawanya pulang kemarin." tanya Grace. "Ponselmu ada di kamar. Ayo kita sarapan du-" Grace segera berlari menuju kamarnya. "Aku sudah sarapan bersama Edward tadi." teriak Grace karena ia semakin menjauh.  Angelina tersenyum.  "Tunggu. Baju siapa yang Grace gunakan tadi." pikirnya. ---- Grace mengambil ponselnya yang berada di atas nakas. Beruntung baterai ponselnya penuh. Sepertinya Ibunya menchargenya kemarin. Ia segera menelpon Ayahnya. Grace harus segera menyelesaikan ini sebelum terlambat. "Halo, Ayah." "Ada apa, Grace?" "Siapa sebenarnya yang akan menikah denganku, Yah?" tanya Grace. Ia hanya ingin memastikan bahwa ia salah dengar kemarin.  "Edward. Kau akan menikah dengan Edward. Kenapa?" Grace mematung sejenak. Itu artinya yang dikatakan Ludwig adalah benar. "Ayah serius?" "Tentu saja. Bukankah mr.Ludwig sudah mengumumkannya kemarin. Sebelum kau pingsan."  Grace menggigit bibir bawahnya.  "Tapi aku tidak mau menikah dengannya. Dia itu pria yang b-" "Dia pria yang baik, Grace. Ayah yakin dia pria yang tepat untukmu." "Aku tidak mencintainya, Ayah. Aku men-" "Kau bisa belajar mencintainya setelah menikah nanti. Kalian akan menikah dalam tiga hari."  "Tapi Ayah-" "Ayah tidak ingin mendengar kata tapi ataupun kata tidak. Tidak ada penolakan! Jika kau menolak perjodohan ini, Ayah akan mengasingkanmu di pulau yang jauh dari peradaban!"  Grace membulatkan matanya.  Ayahnya mulai menampakkan sisi kejamnya. "Ayah aku-" "Ibumu sudah memanggil wedding organizer. Kau bisa segera menentukan tempat,dekorasi, undangan dan lainnya. Atau jika kau kurang suka, kau juga bisa mengganti WO." "Apa?" "Sudah, Grace. Ayah sibuk. Dan ya, kau tidak boleh menolak dengan alasan apapun. Dan mulai hari ini hingga tiga hari ke depan kau dilarang bekerja. Anak buah Ayah akan mengawasimu disana." "Ayah, ini terlalu berlebihan.." Keluh Grace. "Sampai jumpa di hari pernikahanmu. Jadilah calon pengantin yang baik." Tut tut tut Sambungan telepon diputus.  "Mengapa semua orang di dunia ini sangat kejam" keluh Grace. Ia menghela napas. ----- "Saya, Edward Jacob, menerima Engkau, Grace Dominica menjadi satu-satunya istri dalam pernikahan yang sah, untuk dimiliki dan dipertahankan. Sejak hari ini dan seterusnya, dalam suka maupun duka, semasa kelimpahan maupun kekurangan, diwaktu sakit dan diwaktu sehat. Untuk dikasihi dan diperhatikan serta dihargai." Edward tersenyum sumringah setelah mengucapkan janji suci pernikahannya. Ia menatap Grace yang kini berada dihadapannya dengan lekat. Wanita arogannya hari ini terlihat sangat cantik dengan gaun pernikahannya. "Saudari Grace Dominica, sekarang ucapkan janji nikah saudari dengan sungguh-sungguh. Dengan kebebasan dan tanpa paksaan." Ujar pendeta. Grace merasakan gemuruh dalam dadanya.  'Maafkan aku Tuhan. Jika aku melakukan ini dengan terpaksa.' batin Grace. Grace terlihat menelan ludahnya. Ia lantas mendongakkan kepala dan menatap Edward yang tersenyum. "Saya, Grace Dominica, menerima Engkau, Edward Jacob menjadi satu-satunya suami dalam pernikahan yang sah, untuk dimiliki dan dipertahankan. Sejak hari ini dan seterusnya, dalam suka maupun duka, semasa kelimpahan maupun kekurangan, diwaktu sakit dan diwaktu sehat. Untuk dikasihi dan diperhatikan serta dihargai." Jantung Grace berdetak dengan cepat saat ia menatap Edward. Grace segera mengalihkan pandangan. Ia menatap dasi kupu-kupu Edward yang berada dihadapannya. Pikirannya kalut. Grace baru saja mengucapkan janji suci pernikahan di atas altar. Ini bukan yang ia harapkan , berdiri diatas altar bersama Edward. Yang Grace inginkan, pria dihadapannya ini adalah Leo bukan Edward. Grace tidak memperhatikan apa saja yang diucapkan pendeta. Namun ia membulatkan matanya ketika mendengar pendeta menyuruh Edward untuk menciumnya. Grace segera menatap Edward. Pria itu menyeringai. Seringaian yang menyeramkan bagi Grace. Wajah Edward semakin mendekat. Grace dapat merasakan hembusan napas Edward. Perlahan, Edward mengikis jaraknya dengan Grace. Edward memagut Bibir Grace dengan lembut.  Suara riuh tepuk tangan terdengar. Grace merasa sedikit malu, wajahnya merona. Ia menatap Edward yang memejamkan mata terlihat sangat menikmati. Cukup lama Edward mencium Grace, namun Grace hanya diam terpaku. Merasa sadar akan keadaan, Grace segera mendorong d**a Edward dengan pelan. Dan berhasil, Edward mengakhiri ciumannya. Setelah itu, Edward tersenyum dan menatap Grace dengan tatapan yang sulit diartikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD