Chapter 40

1063 Words
Grace menatap gaun yang tergeletak di atas kasur dengan nanar. Ia baru bisa terdiam setelah menangis terisak tanpa henti selepas kembalinya ia dari bertemu dengan Leo.  Tadi, beberapa jam yang lalu. Grace rela menjatuhkan harga dirinya. Ia hanya ingin menyatakan perasaannya dan menikah dengan Leo. Ia sama sekali tidak tahu jika ternyata Leo telah memiliki kekasih selama mereka berpisah. Yang Grace tahu, Leo pergi saat Grace baru memasuki masa SMA. Leo pergi untuk mengejar mimpinya menjadi chef. Dan saat itu Leo tidak memberitahukan kemana ia pergi. Ia hanya menitipkan pesan pada Grace untuk semangat belajar menggapai cita-citanya dan juga menjaga perasaannya. Grace telah melakukannya. Grace sudah mendapatkan mimpinya menjadi CEO wanita yang sukses dan terkenal. Bahkan menjaga perasaan ya untuk Leo selama sepuluh tahun. Menanti Leo, dan beberapa jam yang lalu memohon pada Leo seperti orang bodoh. Ia mengusap kasar pipinya yang basah karena air mata. Berkali-kali ia melakukan hal itu namun tetap saja pipinya akan terbasahi kembali oleh air mata yang menetes. Suara ketukan pintu membuat Grace menoleh. "Grace, cepatlah bersiap. Kita akan pergi ke Ecob's hotel." teriak Ibu Grace, Angelina. Grace menatap jam dinding, sudah pukul 18.39 rupanya. Grace tersenyum sinis. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Mungkin sebentar lagi ia akan tahu siapa yang akan ia nikahi. Ia akan menikah empat hari lagi. Sesuai janji ayahnya. Dan tak ada yang akan bisa Grace perbuat selain menuruti keinginan ayahnya itu. Lagipula, memangnya apalagi yang akan ia perjuangkan? Perasaannya? Grace bahkan tidak tahu apakah ia masih memiliki perasaan atau tidak. Perasaannya telah hancur bersama kandasnya penantian selama sepuluh tahun yang berakhir sia-sia.  Lucu, Grace serasa ingin menertawai dirinya sendiri. Ia menolak puluhan pria hanya untuk menanti pria idaman yang diharapkan menjadi suaminya kelak, Leo. Ia sudah tidak memiliki tujuan hidup lagi sekarang. Baginya memilih suami, sama dengan memilih masa depan. Suami yang baik akan membuatmu merasa bahagia, tetapi suami yang buruk akan membuat hari-harimu menderita. Dan lalu bagaimana Grace akan merasa bahagia disaat ia tidak bisa memilih suaminya sendiri? "Grace, ayolah sayang. Buka pintunya. Apa kau baik-baik saja?" terdengar teriakan lagi dari luar. "Aku akan bersiap, Bu." teriak Grace. Ia mulai bangkit, meraih gaun yang sudah tersedia saat ia tiba di kamarnya. Grace melangkah menuju kamar mandi. Menangis selama itu rupanya cukup melelahkan, dan Grace merasakan energinya terkuras hanya karena menangis.                           ----- Grace merias dirinya dengan malas. Ia sama sekali tidak berminat untuk menghadiri acara ini. Jika saja ini bukan karena undangan dari Mr.Ludwig mungkin ia tidak akan datang. Grace hanya mengoleskan make up tipis. Hanya untuk menutupi bagian bawah matanya yang terlihat bengkak sehabis menangis. Setelah di rasa cukup, Grace mengambil handbag dan memasukkan ponselnya. Ia melangkah keluar. "Kenapa kau tidak membuka pintunya? Kau membuat Ibu cemas, Grace."  "Aku tadi ketiduran" ucap Grace. Ia mendengar dengan jelas. Bagaimana Ibunya mengetuk pintu dengan keras hanya agar Grace membukanya. "Ya sudah, ayo sekarang kita berangkat. Ayahmu sudah menunggu di mobil sejak tadi." Grace mengangguk dengan lemas. Ia dan Ibunya segera menuju mobil. Disana Federico terlihat tengah menanti dengan sabar.  "Maaf membuatmu menunggu lama." ujar Angelina. "Tak apa. Perempuan memang perlu banyak waktu untuk berias." ujar Federico.                                ---- "Aku tidak percaya aku akan segera menikah." ujar Edward. "Bukankah kau sangat ingin menikah dengan Grace?" "Benar. Tapi, aku.." "Aku?" Alex mengangkat satu alisnya. "Aku hanya tidak menyangka ini akan terjadi." "Sudahlah, Ed. Kau seharusnya senang bisa menikah dengan Grace. Tapi omong-omong, kalian akan menikah dalam empat hari. Apa itu tidak terkesan terlalu dadakan? Seolah kalian menikah karena kecelakaan." Edward terkekeh. "Kami memang menikah karena kecelakaan. Karena dijodohkan." "Tapi publik akan beranggapan lain." "Untuk apa mesti memikirkan opini mereka. Lagipula. Semakin cepat akan semakin baik. Aku menjadi tidak sabar" ucap Edward. "Kau memang selalu tidak bisa bersabar dalam hal apapun, Ed."                               ---- Grace memperhatikan keadaan sekitar. Cukup ramai disini. Banyak rekan bisnisnya. Dan Grace bernapas lega karena dia tidak perlu berpura-pura ramah untuk menyapa mereka, karena ayahnya lah yang telah melakukan itu. Sedangkan kini Grace hanya mematung berdiri bersama Ibunya. "Ibu ingin menyapa beberapa teman Ibu. Kau bisa berkeliling, ataupun bertemu Edward. Ibu tinggal dulu." Angelina melangkah menuju kumpulan para istri sosialita. Sedangkan Grace yang baru saja mendengar nama Edward hanya memutar bola matanya.  Ia lantas menepikan dirinya. Mencari kursi untuk ia duduki. Beruntung Grace menemukan tempat yang agak luput dari perhatian banyak orang. Ia duduk dikursi yang agak terpojok. Grace menghela napas setelah ia duduk. Ia benar-benar tidak bersemangat. Menatap sekumpulan wanita yang tengah sibuk memamerkan kekayaan mereka. Para pria yang tampak serius membicarakan urusan bisnis dan kerja sama. Para pelayan yang berlalu lalang menghidangkan makanan dan minuman. Grace hanya menatap mereka. Namun pikirannya terus terpusat pada kejadian tadi siang. Kejadian yang membuat hatinya nyeri. "Kau nampak kesepian. Biar aku temani."  Grace menoleh. Dia merasa ingin muntah ketika mendapati Edward duduk di hadapannya dengan senyum seringaiannya yang bagi Grace justru terlihat menjijikan.  Grace langsung mengalihkan pandangannya. Ia kembali memperhatikan para wanita sosialita yang terlihat heboh membicarakan sesuatu. Kini Grace menumpukan wajah ditangan kanannya.  "Kau terlihat sangat cantik malam ini. Eum tidak, maksudku kau memang selalu cantik seperti biasa." ucap Edward. Grace masih fokus dengan tatapannya. "Kenapa kau diam saja?" tanya Edward.  Grace tetap tidak menggubris ucapan Edward.  Edward menggenggam tangan kiri Grace. Grace yang merasa terkejut langsung menarik tangannya. "Ada apa denganmu. Kau tidak cerewet seperti biasanya." ujar Edward.  Grace benar-benar merasa muak. Ia hanya menatap tajam sebagai jawaban. Edward menatap Grace lekat. 'Jangan-jangan ia sudah tahu.' batin Edward. "Apa kau baik-baik saja. Kau terlihat pucat." ucap Edward yang baru menyadari raut wajah Grace yang terlihat pucat.  Grace mendelik ketika melihat Leo  berada di sebelah Ludwig dan Federico. Grace melihat Leo tersenyum dan berjabat tangan dengan ayahnya.  "Apa yang sedang kau lihat?" tanya Edward. Ia membalikkan tubuhnya dan menatap kearah pandangan Grace.  "Ada apa? Kenapa kau menatap mereka seperti itu?"  Edward bertanya lagi. Namun Grace lagi lagi hanya terdiam. Edward menjadi gemas sendiri. Ia geram melihat Grace yang sedari tadi mengacuhkannya. "Baiklah kalau kau tidak mau bicara denganku. Mungkin kau sedang sariawan." ucap Edward.  Ia kini mengeluarkan ponselnya. Grace mendongakkan kepalanya. Ia berusaha menahan air mata yang hendak menetes. Melihat Leo membuatnya kembali merasakan sakit. Melihat betapa pria itu terlihat bahagia setelah apa yang terjadi tadi siang. Leo terlihat bahagia tanpa beban, membuat Grace sadar betapa tidak pentingnya dirinya bagi Leo saat ini. Sepertinya ucapan Leo benar, bahwa ia sudah tidak mencintai Grace lagi. Grace berdiri dari duduknya.  "Kamu mau kemana?" tanya Edward.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD