Chapter 8

1187 Words
Grace telah berada diruang tamu dimana Federico, Ludwig, Angelina,dan Stefani sedang berbincang-bincang. "Kepalaku sakit. Aku ingin pulang sekarang" Grace langsung pergi keluar setelah menyelesaikan ucapannya. Wajahnya memerah karena menahan amarah dan menahan air mata yang ingin jatuh. Edward hampir saja memasuki area ruang tamu jika saja Alex tidak menariknya.  "Lepas. Aku ingin mengejarnya." ucap Edward saat Alex justru menariknya menjauhi ruang tamu.  "Jangan mengejarnya." usul Alex. "Apa maksudmu!" kini Edward menatapnya tajam. "Orang tuanya masih ada disini. Dan dengan mengejar Grace akan membuat kau terlihat buruk. Kau akan disangka telah menyakiti Grace." ucap Alex membuat Edward terdiam dan berpikir. "Sekarang pakailah jas mu. Setelah itu baru kau menemui mereka. Dan katakan jika Grace terlihat tidak baik-baik saja. Ingat tahan emosi mu dihadapan keluarga Grace" Alex mengingatkan dan berusaha menenangkan Edward agar tidak gegabah karena emosi. Ia tahu betul saat ini Edward tengah emosi karena mendapat penolakan dari Grace. Edward memakai jasnya dan berusaha menahan emosi. Ia ingin terlihat biasa saja. Namun saat tiba diruang tamu ternyata Ludwig dan Angelina telah berdiri dari sofa dan terlihat berpamitan. "Oh, Edward. Grace mengatakan ia sakit kepala. Jadi kami terpaksa harus pulang sekarang." ucap Federico. "Itu benar mr.Federico. Tadi aku berniat memberitahumu. Tapi ada telepon masuk. Dan Grace sepertinya sudah tidak tahan. Jadi ia langsung berlari kemari." ucap Edward. Ia tidak tahu alasan apalagi yang harus diucapkan. Hanya itu yang terlintas dipikirannya. ----- Grace masuk kedalam mobil dan terdiam. Dia merasa kecewa. Kecewa pada Edward yang telah lancang menciumnya. Dan lancang mengambil ciuman pertamanya. Ia ingin menangis. Namun sebisa mungkin ia menahannya. Ia tidak ingin saat orangtua nya tiba, ia menangis. Dan itu akan menimbulkan banyak pertanyaan.  ----- "Pagi, Grace" sapa Devani yang baru tiba. Meskipun Devani adalah sekretaris. Dan Grace adalah CEO. Namun kebiasaan Devani yang sering berangkat lebih siang dibanding Grace. Cukup dimaklumi oleh Grace. Sehingga Devani akan bersikap santai saja saat ia tiba, Grace sudah duduk diatas kursi kebesarannya. Mendengar tidak ada balasan, Devani menoleh. "Grace.." ucap Devani. Grace tampak sibuk dengan berkasnya. "Grace. Apa kau masih marah karena kemarin?" tanya Devani mendekati Grace. "Tidak. Segeralah bekerja Dev. Ada banyak pekerjaan" ucap Grace tanpa menoleh ke Devani. Devani hanya menghela napas. Ia tahu betul, jika Grace dingin seperti ini. Moodnya sedang tidak baik, atau juga mungkin karena Grace masih marah padanya. Namun tetap saja itu tidak akan bertahan lama. Karena dalam beberapa jam kedepan, Grace akan kembali lagi bersikap biasa. Keduanya sibuk bekerja dalam diam. Mereka hanya berbicara secara formal. Tidak terasa waktu makan siang tiba. ---- Mood Grace sudah lebih baik saat ini. Ia berniat menceritakan segala keluh kesahnya pada Devani saat makan siang. "Selamat siang." ucap Edward yang tiba-tiba muncul. Membuat mood Grace yang baru saja membaik, kembali menjadi buruk. "Selamat siang mr.Edward . Ada yang bisa saya bantu?" ucap Devani ramah, hanya sebatas formalitas. "Aku perlu bicara denganmu Grace" Edward mengabaikan Devani. "Silahkan mr.Edward" Grace mempersilahkan Edward duduk dikursi klien, dihadapannya. Grace mencoba bersikap profesional. Karena saat ini ia berada dikantor. "Baik kalau begitu saya permisi" ucap Devani . Ia tidak ingin menganggu. Grace menggerutu dalam hati. Ia ingin Devani tetap disini. Untuk menjadi penengah, jika nanti Grace tiba-tiba kehilangan kendali. ---- "Aku ingin meminta maaf" ucap Edward. Grace sudah menebak. Pria itu pasti akan mengemis maaf padanya, merayunya, menggodanya, lalu saat Grace menyukainya. Edward akan mencampakkannya dan menghancurkannya. Grace terdiam. Ia menanti Edward melanjutkan kata-katanya. Untuk menghilangkan kecanggungan, Grace pura-pura terlihat sibuk dengan membaca berkas. "Mengenai semalam. Aku minta maaf . Tetapi aku ingin kau tahu. Bahwa aku tidak pernah menyesal melakukannya" ucap Edward tersenyum. Grace langsung menatap Edward. "Kau tidak akan pernah menyesal. Karena kau adalah playboy, mr.Edward." ucap Grace. "Kau bergonta-ganti pasangan seperti berganti pakaian! Dan itu menjijikkan. Kau mengencani wanita yang berbeda setiap malam. Dan jika kau pikir aku wanita yang sama seperti yang pernah kau tiduri. Kau salah besar!" Grace benar-benar emosi. Ingin sekali ia menampar wajah Edward dengan sepatunya. Wajah Edward tidak memperlihatkan rasa bersalah. Tetapi justru terus tersenyum. Membuat Grace semakin geram. "Aku berbeda dengan mereka yang bisa kau bayar dengan uangmu, dan seenaknya kau tiduri. Aku bukan perempuan seperti itu!" "Dan aku menyukaimu karena itu." ucap Edward dengan seringaiannya. Membuat Grace kesulitan menelan ludah. "Itu alasan aku menginginkanmu. Menginginkanmu menjadi kekasihku" ucap Edward. "Sudah kukatakan. Aku sudah mempunyai pasangan. Dan dia jauh lebih baik darimu!" Grace membereskan berkasnya. Kemudian bangkit berdiri, berniat meninggalkan Edward. Ia sudah tidak tahan. Jika untuk urusan diluar pekerjaan, ia sangat tidak pandai berdebat. Apalagi jika ia berbohong. "Maaf, mr.Edward. Jam makan siang akan segera berakhir. Dan saya sangat sibuk" ucap Grace kemudian ia melangkah melewati Edward berniat meninggalkan Edward untuk makan siang. Sebelum ia lepas kendali, dan menjadikan Edward menu makan siangnya. "Kau berbohong. Kau tidak mempunyai kekasih" ucap Edward membuat langkah Grace terhenti. "Kau sangat kaku ketika berciuman denganku. Dan sepertinya aku yang pertama. Jika kau memiliki kekasih, aku yakin kekasihmu itu sudah mendapatkan lebih dari sekedar ciuman." ujar Edward melangkah mendekati Grace. Grace berbalik. Plakk Grace benar-benar sudah tak tahan. Kini Edward justru menghinanya. "Kau!" Grace menunjuk Edward. Edward masih mengelus pipinya yang tertampar cukup keras kali ini. Tamparan kedua yang ia dapatkan dari Grace. Membuatnya juga merasa marah. Selama ini memang belum pernah pipinya tertampar oleh siapapun. Namun kini, ia sudah ditampar dua kali oleh orang yang sama. Yaitu Grace. "Kau menamparku?" Edward menyeringai sembari mengelus pipinya "Tapi, aku menyukai saat kau menyentuh pipiku. Meski dengan cara menamparnya." ucap Edward tetap menampilkan seringaiannya. Grace menghembuskan napas kasar. Ia berusaha menahan emosinya. Rupanya sebuah tamparan justru membuat Edward semakin besar kepala. "Aku menyukaimu, Grace. Kenapa sangat sulit untuk kau menerimaku? Bahkan sampai berbohong dan mengaku punya kekasih" ucap Edward menatap Grace. "Kita baru bertemu beberapa kali. Dan kau sebut itu suka? Kau juga bukan tipeku." ucap Grace berusaha menahan emosinya. Baginya ucapan itu, semoga bisa mengusir Edward dari sini sekarang juga. Grace lantas berbalik dan berniat meninggalkan Edward. Namun Edward menarik tangannya. "Kalau begitu, katakan padaku. Seperti apa tipemu?" Edward membenci penolakan. Grace tersenyum mengejek. "Bukankah kau bilang, bahwa kau tahu semuanya tentang ku " Grace merasa menang kali ini. "Aku ingin kau yang mengatakannya secara langsung" Edward menatap Grace dengan emosi yang tertahan. Namun perlahan Edward memajukan wajahnya, mengikis jarak antara dirinya dan Grace. Membuat Grace gugup dan jantungnya berdetak kencang. "Kau harusnya berjuang! Tanpa harus melakukan apa yang aku dikte kan. Dan seharusnya kau membuktikan. Bahwa kau memang menyukaiku!" entah bisikan darimana Grace mengucapkan hal itu. Seolah memberi harapan pada Edward. Namun Grace adalah wanita normal, yang akan tertarik pada Edward yang tampan dan kaya. Tetapi tetap saja, sikap Edward yang membuat Grace ragu. Karena selama ini, Edward dikenal sering mempermainkan wanita. Edward semakin memajukan wajahnya. Hingga saat bibir mereka nyaris bersentuhan, Grace memalingkan wajahnya. Sehingga Edward mengecup pipi Grace. "Baik. Akan aku buktikan , jika aku serius dengan perkataanku." ucap Edward, lalu ia meninggalkan Grace yang masih terpaku. Detak jantungnya sangat cepat dan tak karuan. Ia lalu menyentuh pipi yang baru saja dikecup oleh Edward beberapa menit yang lalu. "Dia benar-benar jerk!" Grace lantas meninggalkan ruangannya. Mendapati Devani yang ternyata menunggunya diluar.  "Ayo makan siang" ajak Grace. Devani tersenyum, akhirnya Grace bersikap seperti biasa. Gracenya telah kembali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD