Chapter 4

955 Words
"Baby, kenapa kamu tidak membangunkanku," ucap Bryan dengan manisnya. Pria itu memelukku dari belakang saat aku sedang menyantap sarapanku, mengganggu dengan tak sadar dirinya. Kubalikkan badanku hingga berhadapan dengannya. "Lepaskan!" Menolaknya dengan kasar tanpa keraguan. Ia merengut tidak suka dengan penolakanku, menarik kursi di sisi kananku dan mengambil beberapa potong roti yang telah disiapkan pria tua pengurus rumahku. "Kamu dingin sekali, Dean. Bagaimana kalau kita pergi kencan dan memperbaiki mood-mu yang buruk." Bryan tersenyum penuh harap mengajakku, lupa diri kalau dia hanyalah pria satu malam, dari sekian banyaknya orang yang kutemui. Sungguh menyebalkan! "Tidak ada kencan, Bryan. Kupikir kau salah paham! Kita tidak punya hubungan apa pun, sebaiknya cepat selesaikan sarapanmu dan pergi dari sini" "Kau mengusirku? Setelah apa yang kira lakukan tadi malam!?" pekiknya tidak percaya. Ya ampun ... suaranya begitu keras, apa ia sungguh laki-laki? "Ya aku mengusirmu dengan sopan." Kubalas ucapannya dengan dingin dan datar, memasang wajah tak peduli. Pria itu menghela napas dan menatapku penuh damba. Ia bahkan membelai lembut pipiku, membuatku menutup mata menikmati sentuhannya. Ya, aku menyukai saat ada pria yang bersikap lembut padaku, tapi hanya sampai batas itu. Tidak sampai menginginkan sebuah hubungan di antara kami. "Huh. Kupikir kita bisa coba membangun suatu hubungan, kau tahu? Aku menyukaimu." Bryan menyatakan rasa sukanya. Seakan satu malam cukup untuk membuatnya jatuh cinta. Namun itu tidak cukup untuk menggerakkan hatiku. "Aku cukup menyukaimu Bryan, tapi hanya itu. Tidak lebih! Aku tidak menjalin hubungan apa pun dengan siapa pun, tidak ada istilah teman kencan dalam hidupku!" Bryan terlihat kecewa dengan keputusanku, tapi dengan segera ia sembunyikan kekecewaannya dan tersenyum tipis menatap wajahku. "Baiklah, mungkin beberapa kencan singkat lain kali? Kau bisa menghubungiku saat kamu merasa ingin Dean." Ia menawarkan sebuah undangan panas, yang kusambut dengan senyuman terbaikku. Kalau hanya ini tak apa. "Tentu." Setelah itu kami bertukar nomor ponsel. "Hmm, boleh kutahu kamu mau ke mana dengan pakaian serapi itu di akhir pekan?" tanya Bryan disela-sela makan. Ia menjilati jarinya yang terkena selai. Sejujurnya tanpa ia sadari, tingkahnya membuatku tergoda. Namun sayangnya aku tidak akan membiarkan nafsu menguasai diriku. Aku punya batas yang jelas dan keras dalam tiap hubungan yang kuinginkan. "Bekerja," jawabku singkat. Dia hanya ber-ooh ria dan kembali melanjutkan sarapannya. Tidak lama, dari arah ruang tamu seorang pria Asia berjalan mendekatiku. "Onii-sama, sudah waktunya." Mengingatkan padaku akan jadwal kerja yang menunggu. "Baiklah, ayo berangkat, Takuto." Dia adalah asisten kepercayaanku. "Nikmati sarapanmu, Bryan. Setelah itu kau bisa meminta Sam yang berjaga di pintu depan mengantarmu ke tempat mobilmu terparkir. Aku pergi dulu," pamitku. Bryan mengangguk mengerti, masih sambil mengunyah rotinya. Sementara aku berjalan ke arah mobilku yang telah disiapkan diikuti oleh Takuto di belakangku. Takuto adalah satu-satunya asisten yang kupercayai di antara 10 orang asistenku yang lain. Aku menemukannya 14 tahun yang lalu di Hokaido, jJepang. Ia adalah anak hasil kekerasan rumah tangga. Saat kutemukan seluruh tubuhnya dipenuhi oleh memar. Ia tengah duduk di tepi jalan di depan rumahnya, menangis kedinginan di antara salju yang terus berjatuhan. Wajahnya yang tampan terlihat jelas bahkan di antara luka memar yang menghiasi mukanya. Melihat itu, aku membeli Takuto dari orang tua bejatnya. Awalnya aku ingin menjadikannya 'mainanku'. Akan tetapi, disela masa penyembuhan lukanya, aku menemukan potensi. Ia sangat cerdas untuk ukuran anak berumur 10 tahun. Jadi aku berubah pikiran, menyekolahkannya dan menjadikan ia tangan kananku. Tentu saja aku tidak pernah menyentuhnya. Aku tidak mencampurkan urusan pribadi dan pekerjaan, itulah sebabnya ia memanggilku onii-sama. Panggilan hormat untuk kakak laki-laki dalam bahasa Jepang. Hingga sekarang tidak sekali pun Takuto mengecewakanku, ia sungguh membalas budi dengan benar. *** Saat ini aku tengah berada di dalam mobil yang tengah melaju pelan membelah jalanan kota Boston, ditemani oleh Takuto dan empat orang bodyguard. Malam telah larut, tapi sayangnya urusanku belum usai. Aku masih harus menemui seorang b******n tua yang sudah berani-beraninya mencurangiku. Akhirnya kami tiba di sebuah night club yang terletak dipusat kota. Dengan percaya diri aku, berjalan memasuki club diikuti oleh Takuto dan tiga orang bodyguard. Sengaja kusisakan satu orang untuk berjaga di depan, siapa tahu k*****t tua itu berhasil lolos dari ku dan lari keluar. Begitu memasuki club, k*****t tua itu langsung datang menghampiriku. "Sir Dean, saya tidak tahu Anda akan datang kemari." Nampaknya ia masih mengira aku tidak mengetahui kecurangannya. Ya sudah, aku tersenyum menyambutnya dan begitu ia sudah ada di hadapanku .... BRUAK!! Kutendang k*****t tua itu hingga terpental jatuh ke lantai, memberi isyarat pada salah satu bodyguard-ku untuk menangkapnya. Pria tua itu memegangi perutnya, meringis menahan sakit. "Kenapa Anda lakukan ini, Sir? Apa salah saya?" tanyanya, pura-pura bodoh. Aku menatapnya dingin mengancam."Apa salahmu?" Lalu kupukul rahangnya. Ia tidak bisa mengelak lantaran kedua tangannya dipegangi oleh bodyguard-ku. "Beraninya kau mencuri uangku b******n tua!!" Setelah mendengar kata-kataku pria tua itu meronta-ronta mencoba untuk kabur, tapi sayangnya ia tidak cukup kuat untuk lepas dari kuncian bodyguard-ku. "Seret dan bereskan!" perintahku sambil menggerakkan tangan memberi isyarat seperti memotong leher dengan telapak tanganku. Dua bodyguard-ku langsung pergi menyeret pria tua itu, meninggalkan ku bersama Takuto dan seorang dari mereka. Masih bisa kudengar teriakan memohon dari mulut pria tua itu. "Kumohon maafkan saya, Sir." Tentu saja kuabaikan teriakannya, berjalan ke arah meja bartender dan memesan segelas tequella. Orang-orang yang tadinya sedang duduk di meja bartender yang sama denganku, segera menyingkir menjauh. Mereka cukup pintar untuk mengerti bahwa lebih baik tidak berurusan denganku. Saat sedang meminum minumanku, tanpa sengaja ekor mataku melihat seorang wanita yang kukenali tengah bertransaksi pil ekstrasi dengan seorang bandar yang kukenal juga, senyuman langsung mengambang di wajahku. "Takuto hubungi Mr. Vagaan, minta ia menemuiku besok siang dan selidiki wanita yang sedang berbicara dengannya di sana!" Aku memberi perintah ke Takuto sambil menunjuk ke arah wanita berambut ikal itu. Setelah Takuto menyanggupi, aku pun meletakkan gelasku, membayar dan segera pergi meninggalkan night club sebelum wanita itu menyadari kehadiranku.                              
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD