Tubuh Mas Aresh & Cagas

1618 Words
Menurut Kiya, tawaran Aresh adalah yang paling gila, menikah dengan pria itu, saudara kembar tunangannya sendiri. Belum selesai dengan keterkejutan, Aresh menambahkan bahwa dia akan berpura-pura menjadi Cagas. Mereka akan menutupi kenyataan bahwa Cagas sedang terbaring koma, dirawat di rumah sakit dengan ruangan ekslusif yang tidak bisa sembarang orang masuk. Beberapa rumah sakit tertentu memiliki fasilitas semacam itu, bahkan yang diperbolehkan masuk hanya tenaga medis khusus yang memang sudah ditunjuk sejak awal. Biasanya digunakan untuk para pejabat, politikus kelas atas, untuk mengklaim bahwa diri mereka sakit, maka mendapatkan keringanan hukuman; dipersingkar waktu di penjara, atau dengan dalih untuk perawatan kesembuhan. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang menggunakan ‘cuti rawat’ di mana tidak ada siapa pun yang bisa masuk ke kamar, lingkupnya lebih kecil, dengan dalih bahwa benar-benar butuh istirahat dan perawatan yang meminimalisir berhubungan dengan orang-orang. Padahal kenyataannya mereka sendiri tidak ada di dalam kamar dan lebih memilih berlibur, menikmati alasan sakit mereka. Ada juga yang sedang berusaha mengalihkan kekayaaan yang mereka punya agar tidak terdeteksi oleh pajak di negaranya. Cagas Erosh tentu bukan politikus atau pejabat. Dia tidak berbuat busuk atau melakukan kesalahan berat. Cagas juga benwar-benar terbaering koma tanpa kejelasan kapan akan bangkit. Namun, keadaan Cagas harus dirahasiakan agar tidak membuat huru-hara sambil mencari fakta siapa yang sengaja menabrak Cagas. Siapa yang berencana untuk menghancurkan bisnis keluarga mereka. Cagas dan Aresh memiliki bisnis keluarga berupa perusahaan arsitektur dan design, sampai perusahaan periklanan dan pemasaran. Perusahaan mereka terkenal cukup mumpuni di dunia bisnisnya sendiri. Kliennya banyak dan mereka adalah perusahaan yang tidak kalah besar. Untuk dapat ditangani oleh perusahaan mereka, harus mengantre, memiliki dana yang cukup besar, atau memang memiliki koneksi khusus. Tapi, ada beberapa keunikan ketika mereka memang tertarik dengan projectnya, bahkan uang sebesar apa pun tidak akan menjadi penting. Waktunya tinggal menghitung jari, sebenarnya mereka tidak perlu lagi melakukan banyak persiapan, sebab sudah dilakukan sebelumnya oleh Kiya dan Cagas. Kiya dan Aresh hanya perlu melanjutkannya, tetapi rasanya begitu aneh ketika melihat lelaki yang akan menikah dengannya sekalipun wajahnya sangat mirip, kembar idientik, tetapi jelas bukan kekasihnya. Cagas itu hangat, senyumannya seperti matahari di musim dingin, pelukannya memberikan kenyamanan, rambutnya kembut dan berantakan, kerap mengusak di hidung Kiya. Sementara Aresh terlihat lebih pendiam, lebih dewasa, lebih tidak terjangkau olehnya, mungkin karena mereka berdua memang bukan siapa-siapa. Mereka hanya berbicara beberapa kali, tidak terlalu dekat, sebab memang tidak adanya hubungan apa-apa. Selama ini Kiya selalu ramah, tetapi juga menjaga jarak dengan Aresh, sebab Kiya tahu bahwa Cagas pasti akan merasa tidak nyaman. Aresh dan Cagas memiliki wajah yang sama, Kiya tidak mau Cagas berpikir macam-macam. Kiya sendiri tidak mau sampai hatinya goyah. Cagas dan Aresh adalah dua pria yang berbeda. Kiya tidak tinggal bersama ayah dan ibunya, kedua orang tuanya tinggal di kota lain sementara dia tinggal di apartemen pusat ibu kota. Bukan apartemen mewah, tetapi juga bukan kelas bawah, sebab biasanya apartemen diisi oleh orang-orang yang gajinya masih bisa menghidupi diri dengan cukup, kisaran dua digit, atau menyentuh dua digit berbeda sedikit, terutama jika memang kawasan perkantoran di mana lebih mudah mengakses transportasi umum, bisa juga ditempuh dengan jalan kaki. Kiya itu anak manis yang berbakti di mana tidak pernah lupa mengirim uang ke orang tuanya sekalipun beberapa kali ditolak, dia bahkan sering menyempatkan waktu untuk bertemu di tengah-tengah kesibukannya sebagai seseorang yang bekerja di agency, tentu jam kerjanya kadang tidak tentu dan tekanannya cukup banyak, sebab semuanya berlomba-lomba dan berlari mendapatkan target dan kemenangan. Biasanya Cagas akan menemani, pun juga sebaliknya, mereka sudah dekat satu sama lain. Kiya menghabiskan cutinya selama ini untuk merawat Cagas dan mempersiapkan pernikahan mereka sebelum pada akhirnya mungkin dia akan keluar. Semuanya dibuat tidak terlalu sulit mengingat Cagas adalah salah satu pimpinan di mana perusahaan agency tersebut milik keluarganya. Sama seperti hari ini, tengah hari, Aresh menjemputnya. Pukul satu siang setelah mengisi perut seadanya, Aresh langsung keluar dari ruang kerja dan mengatakan pada sekretarisnya bahwa dia ada urusan di luar pekerjaan. Sebenarnya tidak masalah karena memang sedang tidak ada project di mana dia harus turun tangan, semua sudah dia kerjakan dengan cepat. Aresh itu orang yang bertanggung jawab. Sambil mengendarai mobilnya, Aresh menuju ke apartemen Kiya, bertanya-tanya apakah yang dia lakukan benar. Dia berharap tidak ada kekikukan yang sebenarnya mustahil dihindari. Kiya baru saja selesai mandi, Aresh dapat menghirup aroma khas Kiya, bukan parfumnya, tetapi aroma kulit yang tercampur dengan sabun. Aroma manis yang mennggelitik hidung. Aroma rambut yang sudah dikeringkan dan ditata sedemikian rupa, tetapi masih tertinggal wangi rempah manisnya. Aresh jadi mengerti kenapa setiap dia pulang dan menemukan Kiya dan Cagas sedang bersama—biasanya di ruang tengah, Cagas pasti sedang memeluk Kiya atau sebaliknya. Kiya harum, Cagas pasti tidak tahan untuk dekat-dekat dengan perempuan itu. Aresh … Aresh tidak boleh begitu. Dia harus menjaga jarak sebisa mungkin. Dia bukan Cagas. Dia tidak punya hak untuk memeluk Kiya seerat mungkin. Dia tidak punya hak untuk mengecup bibir dengan polesan gincu lilac dan memasukkan lidahnya ke dalam sana hingga meloloskan beberapa desahan sambil mengatakan bahwa Kiya membutuhkannya. Mereka tidak bisa melakukan itu. Aresh bisa melakukannya dengan perempuan lain yang terjamin di mana dia bisa membayarnya. Biasanya Pradit, sahabatnya, punya rekomendasi bagus. Dia hanya perlu berbaring sementara perempuan nakal dengan tubuh telanjang akan meliuk-liuk di atas tubuhnya. Mengangkang dan menari-nari sampai dia mengeluarkan cairannya memenuhi seluruh sisi pengaman yang cukup ketat di miliknya yang besar. “Mas Aresh?” panggil Kiya yang menyadarkan Aresh dari lamunannya. “Y—ya?” “Mas Areh melamun? Ayo katanya kita mau—” Kiya menggantung ucapannya dan menunduk. Dia menggigir bibirnya dengan ragu dan malu-malu. Aresh bisa melihat pipi seputih s**u itu mulai kemerah-merahan seperti buah persik. Manis sekali. “Iya, ayo, Mas mau lihat gaun pengantin kamu,” ucap Aresh membuat Kiya sedikit terkejut. Gamblang tetapi tetap tenang. Aresh itu begitu memukau. “Dan ya, aku juga mau fitting,” tambah Arfesh yang jadi malu sendiri. Kiya menganggukkan kepalanya dengan lucu. Mata bulatnya terlihat berkilau di mata Aresh, tetapi bukan mata yang seperti bambi, melainkan kucing perliharaan yang lucu. Dari atas sampai bawah, ditambah tubuh mungil dengan proporsi ideal, Aresh tidak dapat memungkiri bahwa Kiya adalah tipe-nya. Ah, bukan, tipe ideal banyak pria. Mereka berjalan beriringan. Aresh memasukkan tangan ke dalam kantung celana karena takut sendiri kalau jari mereka akan bersinggungan, dan mungkin Aresh tidak tahan untuk tidak menggenggamnya. Hanya sebuah sentuhan kecil akan membuat Aresh menggila. Dia harus menahan diri. Mungkin saja semua dimulai dari sentuhan tidak sengaja, berpegangan tangan, lalu keesokan harinya, tahu-tahu dia sudah berusaha menggauli Kiya di atas kasur. Baginya Kiya itu milik adik kembarnya. Baginya Kiya itu terlalu inosen dan pure untuk dia sentuh dan dijadikan pelepasan nafsu lelakinya. Dia tidak bisa melakukan itu pada Kiya. “Mas Aresh, aku rasa pakaian Cagas akan pas dipakai Mas Aresh. Tubuh Mas Aresh sama Cagas nggak jauh berbeda. Kalian ini benar-benar kembar idientik loh, aku kaget,” oceh Kiya bermaksud baik. Namun, cukup membuat Aresh tertegun dan kembali mengatur napasnya. Mata Aresh menatap Kiya yang tidak sadar akan ucapannya. Tubuhnya dan Cagas sama. Dia tahu itu memang benar, tetapi Kiya tidak mengerti efek yang dia berikan atas ucapan yang terdengar begitu polos. “Iya, Mas berharap pas, supaya lebh mudah. Kan sebentar lagi,” jawab Aresh. Kiya menganggukkan kepala dengan lega. Sebenarnya sedari tadi dia merasa canggung dan takut sendiri. Dia tahu dan berpikir pasti Aresh melakukannya untuk Cagas, pasti sulit menikah dengannya. Jadi dia berusaha bersika hangat dan ramah agar membuat Aresh nyaman. Kiya tidak tahu apa yang sebenarnya Aresh rasakan. “Tubuh Mas, kayak Cagas,” lirih Aresh. “Ya, Mas? Kenapa?” tanya Kiya yang tidak terlalu bisa mendengarnya ketika mereka sudah berada di basement. Keduanya berhenti di depan mobil hitam milik Aresh. “Kiya, suka tubuh Cagas?” tanya Aresh tiba-tiba. Wajah Kiya langsung merah. Pipinya yang kemerah-merahan itu selalu menjadi kesukaan Aresh. Perempuan itu mengangguk malu-malu. Aresh merasa menjadi binatang buas yang ingin menerkam Kiya saat itu juga. Kalau Kiya adalah wanita yang biasa dia kenal, mungkin rok Kiya sekarang sudah tersingkap di atas jok belakang mobilnya dengan tubuhnya yang menindih. Perempuan-perempuan itu selalu suka mendapatkan dirinya. “Mas nanyanya … iyalah, Mas. Kan Cagas tunangan aku, Mas. Aku sayang Cagas.” Aresh tersenyum dengan jawaban Kiya. Membukakan pintu untuk Kiya duduk di jok penumpang sementara dia berlari kecil ke jok pengemudi. Menyalakan mobil untuk memastikan pendinginnya cepat bekerja. Dia kemudian dengan sigap memasangkan sabuk pengaman pada Kiya yang terkejut. “Kenapa, Kiya?” “A—apanya, Mas?” “Kamu mundur banget begitu. Percuma, kan belakang kamu bahu jok, nggak bisa terlalu mundur. Nanti malah punggung sama kepala belakang Kiya jadi sakit,” jawab Aresh lembut. Tidak juga bergerak dari posisinya hingga wajah mereka begitu dekat dan seolah memeluk Kiya. “T—terlalu dekat, Mas. Refleks.” Aresh tersenyum. “Iya, Mas Cuma mau pasangin seat belt doang kok,” ucap Aresh yang segera memasangnya. “T—terima kasih Mas,” jawab Kiya ketika Aresh sudah menjauh. “Kiya bilang tubuh Mas kayak tubuh Cagas dan … Kiya suka tubuh Cagas. Mas jadi bingung mengartikannya,” ucap Aresh ketika menjalankan mobil. Menginjak pedal gas. Menyadari apa yang terjadi, Kiya langsung gelagapan sendiri. “M—maksudnya—” Dia tidak perlu melanjutkan karena Aresh malah terkekeh. “Iya, Iya, Mas mengerti,” ucap Aresh begitu lembut. Sangat lembut. Sangat dewasa dan terlihat mengayomi. Kiya jadi semakin salah tingkah sendiri. Dia menunduk dan memegang kedua pipinya yang merah dan semakin hangat. Dia malu. Tanpa sadar dia bicara aneh-aneh! Terlihat nakal sekali! m***m! Padahal kenyataannya Aresh tahu bahwa Kiya tidak berniat seperti itu. Dia yang satu-satunya memancing dan flirty pada Kiya. Dia melakukan yang seharusnya tidak dia lakukan. Namun, sebenarnya sejak awal memang semuanya sudah salah, kan? Pernikahan ini. []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD