#
Begitu dia selesai membubuhkan tanda tangannya di atas semua berkas dan dokumen yang disodorkan kepadanya, Maira langsung bangkit berdiri hendak meninggalkan tempat itu.
Sejujurnya Maira merasa kesal dan marah pada dirinya sendiri. Bagaimana bisa sebuah foto lama sanggup mengguncangkan perasaannya selama ini?
Maira tidak akan pernah bisa mempercayai kalau almarhum ayahnya masih menganggap dirinya dan ibunya berarti. Kalau itu memang benar. Kalau mereka memang masih memiliki arti untuk ayahnya, lalu kenapa ayahnya itu tidak pernah sekalipun muncul untuk mereka dulu? Kenapa ayahnya meragukan dirinya sebagai anak dan tidak pernah berusaha membuktikan apa pun selain tes DNA palsu yang dimiliki oleh ayahnya dulu?
Andai saja tidak dilakukan tes DNA lagi saat dia mulai tumbuh dewasa dan dirinya terbukti sebagai anak ayahnya, memangnya seorang Sudjarko Narendra masih akan menganggapnya seorang anak?
Yang dipercaya oleh Maira selama ini adalah bahwa ayahnya tidak pernah menganggap dirinya dan almarhum ibunya berarti. Akan tetapi, keberadaan foto itu menunjukkan kalau ayahnya selama ini mengingat dirinya dan ibunya.
Jika itu benar. Jika ada sedikit saja perasaan yang ayahnya miliki untuk ibunya, kenapa ayahnya mengabaikan dirinya dan ibunya selama ini? Kenapa harus membiarkannya sendirian bahkan setelah ibunya tiada? Semua pertanyaan itu benar-benar mengusik Maira di saat Maira bahkan tidak ingin memikirkannya sama sekali.
“Nona, kotak Anda masih memiliki lapisan kedua yang harus dilihat. Selain itu fotonya adalah kenangan yang harus Anda simpan karena itu disiapkan hanya untuk Anda,” saran Tuan Rinaldi Prasetya.
“Buang saja fotonya ke tempat sampah,” jawab Maira dingin saat dia berbalik dan sekilas menatap dingin ke arah kotak miliknya. Dia hanya mengambil kotak itu dan meninggalkan foto tersebut di atas meja.
Semua orang hanya bisa menatap kepergian Maira dalam diam hingga sosoknya yang ramping menghilang di balik pintu.
“Dia benar-benar dingin seperti Amberly,” ujar Nyonya Gea pelan. Meski begitu, sorot matanya tidak benar-benar menunjukkan kebencian saat dia menyebut nama wanita yang sudah melahirkan Maira sekaligus wanita yang dulu pernah menjadi istri dari almarhum suaminya tersebut.
Rinaldi Prasetya melirik Nyonya Gea sekilas dan hanya tersenyum tipis.
“Saya rasa, sudah waktunya bagi saya untuk meninggalkan tempat ini. Tugas saya hari ini sudah selesai,” ucapnya sebelum akhirnya bersiap untuk pergi dari tempat itu.
“Kami mengerti, terima kasih atas hari ini,” balas Nyonya Gea sopan. Sikapnya melembut pada pengacara almarhum suaminya tersebut setelah akhirnya dia tidak lagi merasa penasaran dengan isi surat wasiat.
“Itu sudah tugas saya,” ujar Rinaldi Prasetya sebelum akhirnya dia beranjak pergi setelah memerintahkan asistennya membereskan rekaman hari itu untuk dia bawa.
Gina perlahan meraih foto yang ditinggalkan oleh Maira dan menatapnya lama.
“Mama kenal dengan Mamanya kak Maira?” tanya Gina pada ibunya.
Nyonya Gea menarik napas panjang dan kemudian mengangguk. Dia tampak enggan menjawab lebih jauh pertanyaan anak bungsunya itu. Masa lalu rumit di antara dirinya, Sudjarko Narendra dan Amberly Hana mungkin tadinya hanya mereka bertigalah yang tahu kebenarannya. Sekarang hanya tersisa dirinya yang harus menyimpan semuanya sebagai beban yang akan dia bawa sampai akhir hayatnya.
Ayunda menatap benda di tangan Gina.
“Itu bukan milikmu Gina, tinggalkan saja. Pemiliknya saja ingin membuangnya di tempat sampah,” timpal Ayunda.
“Akan aku simpan,” balas Gina. Dia sudah memutuskan hal itu sejak melihat kalau Maira meninggalkan benda itu.
“Astaga anak ini!” Ayunda benar-benar kehabisan kata-kata melihat bagaimana adiknya bersikap begitu menghargai barang yang bahkan bukan miliknya.
“Ada Papa di foto ini.” Gina memotong cepat sebelum Ayunda benar-benar memarahinya.
Nyonya Gea menatap putri bungsunya dengan tatapan sendu.
“Biarkan saja dia menyimpannya,” ujar Nyonya Gea.
Galand mengangguk ke arah Gina sebagai tanda agar gadis itu segera menyimpan foto itu sebelum ibu mereka mungkin berubah pikiran.
Dia sama sekali tidak keberatan kalau adiknya ingin menyimpan foto itu, bagaimanapun ada foto ayah kandung Gina di situ dan dia paham betapa Gina sangat menyayangi almarhum Sudjarko Narendra.
Adiknya itu bahkan menangis saat ruang kerja sang ayah akan dikosongkan.
Bagi Gina, segala sesuatu yang berkaitan dengan ayahnya adalah harta berharga yang ingin dia jaga, jadi Galand paham kenapa Gina ingin menyimpan foto itu meskipun itu bukan miliknya.
#
Maira duduk terdiam di dalam mobilnya ketika Rinaldi Prasetya mengetuk kaca mobilnya dan membuatnya tersadar dari lamunannya.
Dia menurunkan kaca jendelanya.
“Ada apa Om?” tanya Maira.
Rinaldi Prasetya menatap Maira sesaat dan kemudian ke arah kotak yang kini tergeletak di kursi penumpang.
“Om akan menelepon Jeremy agar dia bisa menemani Nona. Hari ini pasti berat untuk Nona,” usul Tuan Prasetya.
Maira memaksakan senyuman di wajahnya, mencoba untuk terlihat baik-baik saja di hadapan ayah dari kekasihnya sekaligus orang yang selama ini melindunginya diam-diam bahkan di saat ayahnya masih mengabaikannya.
“Tidak. Tidak perlu. Dia sibuk dan aku juga tidak berencana untuk menunda kepindahanku ke rumah keluarga Narendra. Aku hanya akan kembali ke hotel untuk mengambil beberapa barang dan akan langsung ke rumah itu setelahnya,” ucap Maira.
Tuan Prasetya tampak diam untuk beberapa saat.
“Nona, cobalah untuk bertahan selama dua tahun. Akan tetapi, jika Nona kesulitan, manfaatkan saja Jeremy untuk menjadi tameng Nona. Om tidak akan pernah marah dan memaklumi apa pun yang akan Nona lakukan pada Jeremy,” ujarnya.
Maira tertawa.
“Ini sungguh tidak adil untuk Jeremy. Terkadang Om membuatku merasa kalau Om adalah Papaku dibandingkan almarhum Papa sendiri,” balas Maira.
“Om bersungguh-sungguh Maira. Bertahanlah dan gunakan Jeremy sebagai tamengmu. Bukan tanpa sebab selama ini Om mendorong persahabatan antara Jeremy dan Galand. Dia akan menjadi perisai yang bagus untukmu jika Nyonya Gea dan Galand mencoba untuk menekanmu.” Tuan Prasetya terlihat serius saat berbicara.
Maira mengangguk.
“Aku paham Om, terima kasih,” balas Maira lagi. Dia sungguh menghargai saran dan tawaran Rinaldi Prasetya akan tetapi dia tidak berencana untuk memanfaatkan tunangannya itu seperti yang di inginkan oleh keluarga Prasetya. Dia sudah cukup merasa bersalah karena menerima perasaan Jeremy yang tulus kepada dirinya sementara dia sendiri masih belum bisa memastikan perasaannya pada pria itu.
Rinaldi Prasetya mengangguk pelan dan kemudian melangkah menjauh dari mobil Maira.
Maira kemudian menghidupkan mobilnya dan pergi meninggalkan tempat itu tepat sebelum Galand tampak melangkah mendekati Rinaldi Prasetya.
“Tampaknya Om cukup dekat dengan perempuan sombong itu. Om bahkan melindunginya saat pemakaman padahal dia sudah mengacaukan pemakaman,” ucap Galand tajam.
“Aku bertindak sesuai apa yang diminta oleh almarhum ayah kalian. Kehadirannya dan tindakannya hari itu sudah mendapat ijin dari Tuan Narendra,” balas Tuan Prasetya.
Galand menarik napas panjang. Dia tahu seperti apa kesetiaan keluarga Prasetya pada keluarga Narendra karena dia sudah cukup sering menyaksikannya selama ini meski sebenarnya dia juga sama sekali tidak bisa mengerti mengapa keluarga Prasetya begitu setia kepada Sudjarko Narendra sampai terlihat seperti sebuah kesetiaan yang buta.
Ini sesuatu yang hanya dia lihat pada hubungan antara kelurga Prasetya dan keluarga Narendra. Jadi tidak heran kalau Rinaldi Prasetya dan bahkan Jeremy Prasetya, sahabatnya akan berada di pihak Maira yang adalah anak kandung ayah tirinya.
“Aku cuma berharap selain kesetiaan yang kuat dan dalam itu, Om juga memiliki penilaian yang logis dan masuk di akal ketika tiba saatnya kami bersaing. Aku tahu di mata Om aku mungkin terlihat tidak tahu malu, tapi perusahaan ini bisa seperti ini hari ini karena aku dan aku hanya menginginkan apa yang seharusnya menjadi bagianku, apa yang sudah kukerjakan selama ini,” ucap Galand.
Tuan Prasetya tersenyum.
“Aku menghargai kerja keras seseorang sama besarnya dengan aku menghargai hak seseorang. Urusan dirimu dan Maira bukan sesuatu yang menjadi perhatianku secara pribadi, tapi aku jelas akan memilih yang terbaik untuk perusahaan dan keluarga Narendra karena itulah yang sudah menjadi tujuan keluarga Prasetya dari generasi ke generasi hingga saat ini. Pada akhirnya pewaris sebenarnya akan ditentukan setelah dua tahun ini,” ucap Tuan Prasetya.
Galand tertawa. Dia sesungguhnya sedang memperingatkan Rinaldi Prasetya untuk tidak terlalu ikut campur pada apa yang akan terjadi pada dirinya dan Maira, bagaimanapun sudah jelas kalau mereka akan saling menjatuhkan satu sama lain tidak hanya di perusahaan tapi bahkan hingga ke rumah. Dua tahun yang akan terasa panjang.