Bab 5. Pewaris Sebenarnya 5

1244 Words
# Rinaldi Prasetya membenarkan posisi kacamata miliknya kemudian berusaha dengan susah payah mempertahankan wajah datarnya. “Saham perusahaan yang berada di bawah kepemilikan Tuan Sudjarko Narendra akan dibagikan pada istri sah dan anak-anaknya. Baik anak bawaan maupun anak yang mewarisi garis keturunan Narendra. Untuk itu Almaira Narendra akan mendapatkan bagian sebesar 33% kepemilikan saham, sedangkan Gea Narendra dan Galand Aditya masing-masing akan memperoleh 12% kepemilikan saham ditambah dengan perkebunan di area Bogor untuk Galand dan Villa di Bandung untuk Gea Narendra. Ayunda Narendra akan diberi 2% jika dia mau ikut serta bertanggung jawab atas perusahaan dengan pengawasan dari kedua kakaknya, yaitu Almaira dan Galand. Terakhir, Gina Narendra berhak atas kepemilikan saham sebesar 1% dan semua dana yang dia terima akan di transfer ke rekening pribadi yang dikelola oleh yayasan hingga yang bersangkutan cukup umur. Biaya pendidikannya akan ditanggung hingga dia lulus universitas yang dia pilih selama dia lulus dalam tesnya. Lalu untuk ….” “Ini tidak masuk akal!” Nyonya Gea memotong kalimat Rinaldi Prasetya. Dia menatap pengacara itu dengan tatapan marah dan kesal. Bahkan sekalipun dia dan Galand menggabungkan saham yang mereka dapat, Almaira tetap berada di atas angin. Sementara itu mustahil memaksa dewan direksi lain untuk menjual saham milik mereka karena keuntungan perusahaan yang dengan ajaib tidak terpengaruh meski media dengan heboh meliput berpulangnya Sudjarko Narendra. Rinaldi Prasetya membetulkan letak kaca matanya. dia sudah tahu ini akan terjadi karena almarhum Sudjarko Narendra sendiri sudah memprediksi kejadian ini sebelum beliau meninggal. “Ini adalah sesuatu yang ditinggalkan oleh almarhum. Saya sama sekali tidak bisa mengatakan kalau ini tidak masuk akal selama ini adalah keinginan almarhum Tuan besar,” sanggahnya. “Pada akhirnya darah lebih kental daripada air. Tante ingin anak Tante menguasai harta keluarga Narendra? Tentunya Papaku juga pasti memiliki keinginan yang sama. Benar kan Tante?” ucap Maira dengan nada sinis. Dia seakan sengaja menyinggung Nyonya Gea dan juga Galand. “Maira kau sudah keterlaluan!” bentak Nyonya Gea. Nyonya Gea ingin memaki Maira tapi Galand lagi-lagi menahannya. Mengingatkannya kalau apa pun yang terjadi di ruangan itu akan terekam di kamera saat ini. Sebagai gantinya Galand menatap Maira dengan tatapan yang sama sinisnya. “Kau benar-benar keterlaluan dengan penilaian sepihakmu. Asal kau tahu, aku sama sekali tidak berminat pada apa yang menjadi harta keluarga Narendra, tapi aku jelas-jelas tidak memiliki keinginan untuk menyerahkan apa yang sudah menjadi hasil dari kerja kerasku selama ini. Ini bukan masalah siapa yang lebih berhak, tapi masalah kompetensi. Aku akan dengan senang hati bersaing secara sehat dan terbuka untuk menempati kursi CEO, yah…. setidaknya, hal itu tidak sekedar ditentukan hanya karena kau memiliki saham terbanyak. Para pemegang saham tidaklah sebodoh itu,” ucap Galand. Maira mengalihkan tatapannya ke arah Galand. Sejak awal dia juga sudah menilai kalau Galand bukanlah seorang yang bisa dianggap remeh. “Kau sudah bekerja keras selama ini untuk Papaku, aku turut prihatin dengan nasibmu. Sayang sekali meski sudah menjilat Papaku hingga ke liang lahat, kau hanya mendapatkan 12%,” balas Maira. Dia sengaja memberi provokasi pada Galand. Rahang Galand mengeras mendengar ucapan Maira, tapi dia menekan emosinya. Dia tidak ingin terjatuh pada permainan kata Maira yang cukup tajam itu. Satu hal lagi yang dia tahu tentang Maira adalah kalau Maira mampu mengeluarkan kalimat yang tajam dan menyakitkan untuk orang yang dia anggap sebagai lawan. Namun di pihak lain, Ayunda tentu saja tidak terima saat di depan matanya, kakak dan ibunya dihina. Dia kini menatap Maira tajam. “Kau mungkin anak kandung Papa, tapi kau selama ini dirimu bahkan tidak diakui dan diusir keluar dari keluarga Narendra. Lalu kau bilang kau layak menjadi pewaris keluarga Narendra? Benar-benar tidak tahu malu!” cecar Ayunda. Maira tertawa kecil. Dia sama sekali tidak tampak terpengaruh dengan kata-kata Ayunda. “Hal itu bukan kalian yang menentukan. Mau bagaimana lagi? Aku ini Narendra sejati,” sindir Maira. Gina hanya diam melihat perdebatan yang terjadi di antara semua orang selama beberapa saat. Wajahnya terlihat sedih. Almarhum ayahnya pernah mengatakan kepadanya kalau hubungan keluarga akan di uji oleh harta, kalau permusuhan akan semakin melebar karena kekuasaan, namun dia sama sekali tidak menyangka kalau ibunya, kedua kakak yang dia sayangi dan kakak perempuannya yang baru muncul akan menjadi musuh seperti ini. Sejujurnya Gina merasa senang memiliki seorang kakak perempuan lagi seperti Maira. Meskipun terlihat galak, namun Maira jelas lebih cantik dan berkarisma dibanding Ayunda. Terlebih dia merasa kalau Maira adalah orang baik. Bukan berarti dia membandingkan Ayunda dengan Maira karena dia juga sangat sayang pada Ayunda yang selama ini sudah menjadi kakak perempuan yang baik untuknya. Bagi Gina, Ayunda adalah kakak kesayangannya juga meski terkadang Ayunda bersikap acuh dan sedikit tidak peduli dibandingkan Galand. Gina sebenarnya hanya ingin menyambut Maira dalam keluarga mereka. Setelah mereka kehilangan ayah mereka, yang berarti kehilangan satu anggota keluarga, bukankah bertambah satu anggota keluarga adalah hal yang baik? Sayang sekali semua orang sepertinya tidak memiliki pemikiran yang sama dengan Gina. Baik itu ibunya, Galand, Ayunda dan bahkan Maira tidak memiliki pemikiran yang sama dengan Gina yang hanya ingin semuanya berakhir dengan damai tanpa adanya perselisihan. Rinaldi Prasetya menangkap perubahan wajah Gina. “Ehm, Nona Gina. Ada yang ingin Nona katakan?” tanyanya. Dia sengaja melakukan itu agar perhatian semua orang tidak bisa teralihkan. Gina mengangkat wajahnya dan kini semua mata mendadak tertuju kepadanya, termasuk Maira. Dia tampak ragu sejenak namun kemudian dia tampaknya menetapkan pemikirannya. “Mama, Kak Galand, Kak Ayunda. Bukankah tidak baik mengeroyok satu orang seperti ini? Tiga lawan satu bukan lawan yang seimbang,” ujar Gina kepada ibu dan kedua kakaknya yang duduk di depannya. Dia kemudian beralih ke arah Maira dengan takut-takut. Jelas sekali dia butuh keberanian besar untuk sekedar menatap wajah Maira yang terlihat dingin itu. “Kak Maira, bukankah kakak juga adalah kakakku? Aku tidak meragukan kakak sebagai keluarga Narendra. Malahan aku senang memiliki satu orang kakak lagi, terutama kakak perempuan. Ja─jadi bisakah kakak ti─tidak marah pada Mama dan Kakak-kakakku?” Gina malah menjadi semakin gagap saat pandangannya bertemu dengan Maira. Maira menatap Gina sesaat. “Adik kecil, bukan aku yang memulai. Kau tahu kan? Aku akan diam kalau yang lainnya diam. Papa pasti juga mengajarimu bukan? Harga diri seorang Narendra, lebih dari apa pun. Bahkan semut pun akan menggigit kalau di injak, apalagi aku,” balas Maira. Nada suaranya sedikit melembut meski tatapannya dingin ke arah Gina. Dia bisa merasakan kalau entah bagaimana, Gina jelas berbeda dengan Galand maupun Ayunda. Bahkan berbeda dengannya karena Gina memiliki perasaan yang halus. Gina menggigit bibirnya pelan. Kemudian dengan mata berkaca-kaca dia berpaling pada Ibu dan kedua kakaknya. “Mama, Kakak. Aku tahu isi pesan terakhir Papa tidak sesuai harapan semuanya. Tapi bisakah kita mendengarkan semuanya sampai selesai? Aku ingin mendengar pesan terakhir Papa sampai selesai,” pinta Gina dengan nada memohon. Galand mengerutkan dahinya dan kemudian mengangguk pelan. Begitu juga dengan Nyonya Gea dan Ayunda. Maira perlahan menyadari kalau Gina mungkin adalah titik lemah semua orang. Dia tidak menyangka kalau perpaduan ayahnya dan Nyonya Gea bisa menghasilkan anak dengan hati selembut ini. Sebenarnya sifat Gina yang seperti ini mirip siapa? Pertanyaan itu sempat terlintas di kepala Maira. Rinaldi Prasetya kembali menarik napas panjang. Syukurlah kali ini sepertinya dia akan bisa melanjutkan pembacaan wasiat sampai selesai tanpa ada interupsi lagi. Dia tidak menyangka semua orang akan mendengarkan keinginan seorang gadis muda yang bahkan belum lulus sekolah dan itu membantunya untuk bisa menyelesaikan tugasnya. Dia cukup yakin kalau tanpa Gina, semua orang di ruangan ini akan terus berdebat sampai hari berganti dan dia tidak akan pernah bisa menyelesaikan pembacaan wasiat keluarga Narendra tepat waktu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD