Bab 11. Si Cantik Yang Jahat 4

1398 Words
# Maira yang tengah mengoleskan selai di rotinya kini mengalihkan pandangannya pada Galand yang duduk tepat di sampingnya. Ucapan Galand berhasil memancingnya. “Permisi, apa kau menganggap kalau kepribadianku tidak cukup baik?” tanya Maira. Galand kini menatapnya. “Merampas, menerobos, dan mencari masalah, jelas bukan ciri kepribadian yang baik,” balas Galand. Maira tertawa mendengar ucapan Maira. Dia kemudian melanjutkan aktivitasnya meratakan selai di atas rotinya. “Kepribadian terbentuk sebagai akibat konflik mendasar dan abadi antara individu dengan lingkungan sekelilingnya. Merampas, menerobos dan mencari masalah adalah sesuatu yang aku pelajari dari cara seseorang memperlakukanku dulu. Dan aku tidak belajar dengan cara yang mudah. Iya kan Tante Gea?” Maira kini melirik Nyonya Gea dengan penuh senyuman penuh makna. Tante Gea yang sekarang duduk di kepala meja menelan sarapannya dengan susah payah. “Maira, sesuai wasiat ayahmu. Kita sekarang adalah satu keluarga yang akan tinggal serumah. Aku tahu kau tidak menyukai kami sama seperti kami juga tidak menyukaimu, tapi terlepas dari semua itu kita tetap satu keluarga dan harus berusaha menyesuaikan diri satu sama lain. Tante harap, kau bisa bersikap sebagaimana layaknya anggota keluarga Narendra,” ujar Tante Gea. Dia sedang berusaha tidak mau menanggapi provokasi Maira. “Oh semuanya tidak menyukaiku ternyata. Tapi adik kecil ini tampaknya menyukaiku,” balas Maira sambil tersenyum ke arah Gina. Senyuman yang diberikan Maira bukan jenis senyuman yang ramah dan lembut layaknya seorang kakak kepada adiknya. Itu lebih seperti sebuah senyuman meremehkan kepolosan yang dimiliki Gina. Gina menatap ibunya dengan wajah polos dan Nyonya Gea hanya bisa menarik napas panjang. “Kau akan terlambat ke sekolah Gina. Selesaikan sarapanmu dan langsung ke sekolah,” perintah Nyonya Gea pada anak bungsunya. Dia tidak ingin Gina mendengar semakin banyak perdebatan antara mereka dengan Maira. Gina pada akhirnya kembali fokus pada sarapan di depannya. “Mama akan mengantarku?” tanya Gina dengan nada yang sedikit ragu. “Jangan seperti anak kecil Gina, kau sudah dewasa. Ada banyak hal yang harus Mama urus hari ini. Kau akan diantar oleh sopir,” jawab Nyonya Gea. Gina kembali diam. Saat ayahnya masih ada dan sehat, dia selalu diantar ke sekolah oleh sang Ayah, tidak peduli sesibuk apa pun ayahnya saat itu. Ayunda menatap adiknya dengan tatapan simpati. “Saat aku seumuran dirimu, aku tidak mau lagi Mama muncul di Sekolahku karena aku akan malu kalau teman-teman mengolokku sebagai anak manja. Aku tahu Papa dulu sering mengantarmu ke sekolah tapi cepat atau lambat dirimu harus tetap ke sekolah sendiri. Gina bukan anak yang manja kok,” timpal Ayunda yang berusaha menghibur Gina Gina menggigit bibirnya pelan. Kalau bisa, dia ingin bilang kalau dirinya tidak akan pernah keberatan meskipun di olok-olok sebagai anak manja oleh teman-teman sekolahnya. Dia merindukan kehadiran sang Ayah. “Aku mengerti,” ucap Gina pelan. Di sisi lain, Maira memperhatikan percakapan itu dalam diam. Satu sisi di sudut hatinya merasa miris tentang bagaimana almarhum Ayahnya yang bahkan bersedia mengantar Gina ke Sekolah atau tentang bagaimana Ayunda bisa memanggil almarhum Ayahnya itu dengan sebutan Papa. Sebuah panggilan yang bahkan masih terasa kaku di lidahnya setiap kali diucapkan hingga kini, sekalipun ayahnya itu telah tiada. Dia terlalu lama tidak menyebut kata itu hingga akhirnya merasa kalau itu adalah sebuah kata yang asing. Tante Gea, Galand, Ayunda dan bahkan Gina sudah mengambil tempat yang seharusnya adalah miliknya dan almarhum Ibunya. Tapi di sisi lain, Maira tidak mampu membenci Gina karena setiap kali dia melihat gadis itu, sesuatu dalam dirinya seakan tergerak untuk menyayangi adik tirinya tersebut dibandingkan membencinya. Bahkan sekalipun Gina adalah anak dari wanita yang Maira benci. Gina memasukkan beberapa suapan nasi goreng ke dalam mulutnya dan diam-diam Maira tetap memperhatikannya. Mereka semua sarapan dengan menu yang sama kecuali Gina karena sepertinya gadis itu memiliki selera yang berbeda. Dan Maira ingat kalau saat kecil, ayahnya lebih menyukai sarapan nasi goreng ataupun bubur ayam dibandingkan dengan roti maupun menu lainnya. Baginya ini terasa ironis ketika Gina, satu-satunya saudara tiri yang masih memiliki hubungan darah dengan dirinya malah memiliki selera sama seperti ayahnya. Ironis sekaligus menyebalkan. “Aku sudah selesai,” ucap Gina akhirnya setelah menandaskan isi piringnya dengan cepat. Dia bangkit berdiri dan mencium pipi Nyonya Gea. Dia juga melakukan hal yang sama pada Ayunda dan juga Galand. Namun langkah Gina terhenti saat berhadapan dengan Maira. Nyalinya menciut di bawah tatapan dingin kakak perempuannya yang satu itu. “A─aku mau berangkat sekolah,” ucap Gina. Maira masih mengamati Gina dalam diam selama beberapa saat sebelum akhirnya dia berpaling. “Aku tidak terbiasa disentuh oleh orang lain,” balas Maira menunjukkan penolakan yang kentara. Gina memahami maksud dari Maira jadi dia mengurungkan niatnya. Masih ada lain waktu untuk menunjukkan pada Maira kalau dia ingin memperlakukan Maira sama seperti kakak-kakaknya yang lain. Saat Gina sudah menghilang dari ruang makan itu, Maira menyelesaikan sarapannya juga dan bangkit berdiri. Dia tiba-tiba sudah tidak lagi bersemangat untuk membuat lebih banyak kekacauan. Namun Galand yang melihat hal itu seakan bisa membaca kalau suasana hati Maira tiba-tiba menjadi buruk. “Sudah mau pergi? Setidaknya kau tahu caranya berpamitan. Bahkan Gina yang masih sekolah tahu caranya berpamitan dengan benar,” ujar Galand. “Seperti yang Kakak bilang, kepribadiannya memang sangat buruk,” tambah Ayunda. Nyonya Gea hanya diam saat melihat kedua anaknya mulai menyerang Maira. Maira yang tadinya bermaksud untuk pergi dengan damai kini berbalik dan menatap semua orang bergantian sebelum tatapannya kembali kepada Galand. “Haruskah aku pamit pada kalian? Toh kita akan bertemu lagi di kantor dan bahkan di yayasan,” balas Maira. “Kau akan hadir juga di acara Yayasan hari ini? Maira, kau tidak memiliki hak untuk yayasan itu,” ucap Nyonya Gea yang tampak terkejut. “Kejutan. Aku baru saja resmi menjadi salah satu investor tetapnya kemarin. Tante tidak tahu?” tanya Maira. Nyonya Gea semakin terkejut. Dia sama sekali tidak tahu kalau kemarin saat dirinya sibuk dengan pembacaan surat wasiat, Maira malah memanfaatkan keadaan itu untuk masuk menjadi investor resmi dari yayasan yang dia jalankan. Nyonya Gea hanya bisa terdiam mendengar ucapan Maira. Sebaliknya, Galand malah tertawa mendengar ucapan Maira. “Kau sangat berniat untuk masuk ke dalam kehidupan kami ternyata. Kalau kau punya uang sebanyak itu sampai bisa menjadi investor resmi yayasan yang dijalankan Mama, untuk apa kau repot-repot turun tangan dalam perusahaan? Dengan jumlah saham yang kau miliki, kau bisa duduk tenang sebagai pemegang saham pasif,” timpal Galand. Maira menatap Galand dan mendekat kearahnya. “Tebakanmu sedikit meleset. Aku sangat berniat untuk mengacaukan kehidupan kalian. Itu tujuanku sejak awal,” ucap Maira sambil tersenyum sebelum akhirnya menarik diri dan kembali menjauh dari Galand. Sekilas Galand bisa mencium aroma parfum yang sama dengan yang dia cium semalam saat Maira mendekatinya. “Kurasa kau akan kecewa pada akhirnya. Aku tidak akan membiarkanmu semudah itu,” balas Galand. Maira masih tersenyum. “Kita lihat saja nanti. Oh ya bagaimana hidungmu? Sejujurnya kau terlihat konyol dengan perban itu,” ejek Maira. Senyum di wajah Galand menghilang bersamaan dengan selera makannya. Dia ingin menanggapi ucapan Maira tapi wanita itu sudah lebih dulu berlalu dari hadapannya. “Astaga, dia cantik tapi benar-benar jahat,” ucap Galand sambil memandang kepergian Maira hingga menghilang di balik pintu. Ayunda tampak tidak suka mendengar ucapan Galand itu. “Cantik? Kak, jangan bilang kau tertarik kepada wanita jahat itu,” ucap Ayunda. Galand tertawa. “Aku tidak gila. Dia cantik tapi dia bukan tipeku. Terlebih dia anak Om Sudjarko yang artinya dia adikku sama seperti kau dan Gina. Meskipun menyebalkan untuk mengakuinya sebagai adik karena kepribadiannya dan sikapnya itu,” balas Galand. Nyonya Gea menatap Galand. “Kalian tidak berhubungan darah Galand, tapi kau sama sekali tidak boleh tertarik padanya. Dia musuh kita kalau dia sejak awal menganggap kita musuh. Kecuali kau ingin melepaskan semua kerja kerasmu di perusahaan ayahmu,” ucap Nyonya Gea. Galand meraih kopinya dan menyesapnya sekali. “Mama harus lebih mengkhawatirkan Gina dibandingkan aku. Dia akan dengan mudah dimanfaatkan oleh Maira kalau dia terus menerus ingin mendekatinya seperti itu,” ujar Galand. Nyonya Gea tampak diam selama beberapa saat. Memang benar, saat ini Gina yang terlalu polos sepertinya menyukai Maira dan terang-terangan menganggapnya sama seperti Ayunda dan Galand. Bagaimanapun, Gina dan Maira memiliki hubungan darah karena mereka memiliki ayah yang sama, tapi dia tidak ingin kalau Maira sampai memanfaatkan kebaikan hati anak bungsunya itu. “Gina hanya terlalu polos, nanti juga dia akan sadar kalau Maira tidak seperti kalian, kakak-kakaknya yang lain,” balas Nyonya Gea walau dalam hatinya dia juga meragukan kalimatnya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD