Bab 9. Si Cantik Yang Jahat 2

1455 Words
# Maira sama sekali tidak terlihat gentar meskipun ukuran tubuh Galand jelas-jelas jauh lebih besar dibandingkan dengan dirinya yang ramping. Selain itu meski Maira tinggi semampai, tetap tidak bisa menyamai tinggi Galand sehingga dia harus mendongak saat berbicara dengan Galand dalam jarak sedekat ini. “Tidak heran, kau ternyata tidak setangguh yang terlihat. Kau tahu kan? Bocah kurang ajar, bukan pria sejati namanya kalau memukul perempuan. Kurasa Tante Gea gagal mengajarimu hal sederhana untuk membuatmu menjadi pria sejati yang sesungguhnya,” balas Maira. Galand mengepalkan sebelah tangannya sementara tangannya yang lain masih mencengkeram erat pergelangan tangan Maira. Maira merasakan pergelangan tangannya seperti akan remuk dalam cengkeraman tangan Galand. Walau begitu dia menahan dirinya untuk tidak meringis menahan sakit. “Bukan pria sejati? Apa kau benar-benar tidak bisa menahan diri untuk tidak menghina dengan mulutmu itu? Oh, aku ingat kalau ibumu meninggal saat kau kecil dan kau dibesarkan secara bergantian oleh keluarga ibumu. Menyedihkan sekali. Pantas saja dirimu tumbuh menjadi gadis yang sekasar ini dan tidak mengerti bagaimana caranya menjadi wanita yang anggun. Aku penasaran, apa saja yang sudah dilakukan oleh perempuan cantik tak bermoral yang tumbuh tanpa orang tua? Apa sebelum ditemukan oleh Om Rinaldi dan almarhum Om Sudjarko, kau juga menggunakan wajahmu untuk menggoda para pria? Aku curiga karena mulutmu dan kata-kata yang kau keluarkan sama dengan para wanita penghibur di klub malam,” sindir Galand tajam. Kalimat Galand jelas berhasil menyinggung Maira karena saat ini wajah cantik Maira terlihat kesal dan marah. “Jaga mulutmu bocah kurang ajar! Kau hanya parasit yang dibawa Tante Gea!” Maira mengangkat tangannya yang bebas karena dia ingin kembali menampar Galand. Tanpa kesulitan Galand menangkap tangan Maira yang satu lagi sebelum berhasil menamparnya. Bahkan sekalipun Maira berusaha menarik kedua tangannya, dia sama sekali tidak berdaya. “Parasit tidak memberi sumbangsih apa-apa! Aku bekerja keras membantu membesarkan perusahaan dan Mamaku menikah dengan Om Sudjarko secara sah! Mamaku mengurus keluarga dan rumah ini! Jadi jaga mulutmu yang jahat itu! Aku juga lebih tua darimu, jadi kau tidak berhak memanggilku bocah! Malah kau harus belajar memanggilku Kakak! Paham?!” tekan Galand sambil menghempaskan Maira hingga mundur membentur pintu kamar di belakangnya. Maira meringis. Punggungnya terasa sakit sekarang. Kedua pergelangan tangannya juga terasa nyeri. Tapi sebelum Maira sadar, Galand sudah kembali berada di hadapannya dan membuatnya benar-benar terdesak. “Kalau sudah paham, berikan kembali kamar adikku! Seperti yang kubilang, ada sangat banyak kamar di rumah ini dan kau bisa memilih salah satu di antaranya tanpa harus saling mengganggu,” ujar Galand dingin. Maira menatap Galand marah. “Seperti yang kau bilang, ada banyak kamar di rumah ini dan adikmu yang cengeng itu bisa memilih salah satu di antaranya tanpa harus menggangguku,” tegas Maira. “Kaulah yang menggangguku! Kenapa kau sangat suka memutarbalikkan kalimat orang lain!” sela Ayunda yang tidak terima. “Hentikan Ayunda, kau juga Galand. Hentikan sekarang. Berikan saja kamarnya untuk Maira. Itu memang kamarnya saat kecil dulu,” ucap Nyonya Gea menengahi. Ayunda dan Galand tampak terkejut mendengar ucapan ibu mereka yang tidak disangka-sangka itu. Mereka tidak mengerti apa yang membuat Nyonya Gea bisa tiba-tiba melunak pada Maira yang jelas-jelas datang untuk membuat masalah. “Tapi Mama, ini tidak adil. Lihat yang dia lakukan pada barang-barangku! Ini baru hari pertama! Kita tidak tahu kekacauan dan masalah seperti apa lagi yang akan diperbuatnya nanti,” ucap Ayunda protes. Dia tidak terima kalau harus mengalah begitu saja pada Maira yang baru datang. “Mama bilang hentikan Ayunda! Pembantu akan membantu membereskan barang-barangmu dan juga membantu menyiapkan kamar yang kau pilih. Kita semua butuh istirahat. Maira, ambil saja kamar itu dan beristirahatlah. Hari ini sudah cukup melelahkan untukku. Kalau kau memang ingin membuat masalah lain, lakukan saja besok. Bukannya kau memang berencana untuk tinggal di sini? Kau punya banyak waktu untuk rencanamu yang lainnya meski itu akan berakhir percuma,” lanjut Nyonya Gea. Maira tersenyum sinis pada Galand yang masih berada di hadapannya. “Kau dengar itu? Mamamu sudah memutuskan untuk memberikan kamar ini kepadaku. Kau urus saja adikmu yang cengeng itu,” ejek Maira lagi. Galand memicingkan matanya menatap Maira, seakan dia tengah mengamati wajah perempuan di depannya itu. “Mamaku terlalu lunak. Kenapa kau tidak membawa kopermu keluar dari kamar itu dan memberikan kembali kamar itu pada Ayunda.” Galand bersikeras. Jaraknya dengan Maira sangat dekat hingga dia bahkan bisa menghirup aroma harum yang lembut dari tubuh Maira tanpa sengaja membuatnya sedikit terpaku. Maira balas menatap Galand dengan tatapan licik. Dia malah semakin mendekat ke arah Galand. “Dalam mimpimu,” bisik Maira. Diam-diam dia sudah membuka pintu kamarnya dan mendorong pintunya hingga terbuka saat Galand lengah. Galand tampak kaget saat Maira berhasil meloloskan diri dari hadapannya dan masuk ke dalam kamar. Dia baru akan mengejar Maira namun dengan cepat Maira menutup pintu kamarnya saat Galand hampir berhasil masuk. Karena perbuatan Maira, hidung Galand membentur pintu. “Arrghhh!” Galand memegangi hidungnya yang sekarang mengucurkan darah. “Kakak! Astaga!” Gina bergegas membantu Galand dengan memberikannya tisu. Nyonya Gea bergegas menuntun putranya. “Sudah Mama bilang biarkan saja dia. Lihat yang sudah dilakukannya padamu.” Nyonya Gea terlihat khawatir. Ayunda dengan kesal menendang pintu kamar Maira sebelum akhirnya menyusul Galand, Nyonya Gea dan juga Gina ke lantai bawah untuk mengobati Galand. Di sisi lain Maira duduk diam sambil bersandar di balik pintu. Telapak tangannya yang sudah menampar Galand dan Ayunda terasa sakit serta tampak memerah sekarang. Selain itu pergelangan tangannya tampak membiru dan bengkak. Beberapa hari ke depan mungkin akan sulit baginya menggunakan tangannya. Maira sama sekali tidak menyangka kalau Galand akan memiliki tenaga sebesar itu. Pria itu mungkin bisa saja meremukkan pergelangan tangannya tadi kalau saja ia menambahkan sedikit tekanan lagi. “Menyebalkan!” umpat Maira kesal. Kedua matanya tampak berkaca-kaca saat ini. Bukan karena rasa sakit di tangannya yang membuatnya kesal dan sakit hati sekarang tapi karena kata-kata Galand yang sudah merendahkannya dengan mengatakan kalau dirinya tumbuh tanpa kedua orang tuanya. Kalau dia adalah anak yang hidup dengan diasuh hanya oleh keluarga ibunya. Semua orang tahu kalau apa yang dia alami adalah kesalahan ayahnya dan Nyonya Gea. Ayahnya yang sudah mempercayai hasutan ibu tirinya itu. “Galand Aditya Richard! Aku tidak akan pernah membiarkanmu menguasai semuanya. Kau cuma anak haram dari wanita yang merampas tempat Mamaku,” ucap Maira dengan suara gemetar dan mata berkaca-kaca. Maira kemudian bangkit berdiri, tapi baru beberapa langkah dia menjauh dari pintu, sebuah ketukkan terdengar di pintu kamarnya. Untuk beberapa saat dia ragu karena enggan harus menghadapi Galand maupun Ayunda. “Kak Maira.” Suara Gina terdengar dari balik pintu. Maira akhirnya membuka pintu kamarnya dan menatap Gina dingin. “Apa lagi sekarang?” tanya Maira. Gina dengan ragu-ragu mengulurkan sesuatu ke arah Maira. “O—obat untuk tangan Kakak,” ucap Gina dengan takut-takut. Maira menatap obat berbentuk gel yang disodorkan Gina kepadanya itu. Gina kemudian menunjuk pergelangan tangan Maira yang membiru. “Ka—kalau tidak diobati, besok tangan kakak akan beng—kak,” ucap Gina lagi. Pada akhirnya Maira mengambil obat yang disodorkan Gina, membuat gadis itu tersenyum menatap Maira. “Kenapa kau ada di sini dan bukannya mengobati hidung Kakakmu?” tanya Maira curiga. Gina menggeleng pelan. “Sudah ada Mama dan Kak Yunda yang membantu Kak Galand. Aku tadi melihat pergelangan tangan Kak Maira membiru karena Kak Galand dan aku pikir Kak Maira pasti tidak membawa obat. Selain itu pembantu di rumah ini masih takut dengan Kak Yunda jadi akan sulit bagi Kak Maira meminta bantuan mereka,” ucap Gina yang mulai tidak merasa gugup lagi saat berhadapan dengan Maira. Maira mengangkat sebelah alisnya, seakan dia heran pada kepolosan sekaligus ketulusan Gina. Seumur hidup, dia dibesarkan dengan mengetahui kalau dirinya adalah anak tunggal jadi dia tidak tahu bagaimana cara yang tepat memperlakukan seorang adik perempuan yang baru ditemuinya. “Aku masih belum menganggapmu adikku tapi terima kasih,” balas Maira datar. “Sama-sam—” Gina bahkan belum menyelesaikan kalimatnya saat Maira menutup pintu kamarnya begitu saja. Gina menarik napas panjang dan tersenyum. “Sama-sama kak Maira,” ucapnya lagi. Dia akhirnya berlalu dari depan kamar Maira dan memutuskan untuk membantu menata kamar baru Ayunda. Setidaknya ini yang bisa dia lakukan untuk kakak perempuannya yang lain. Dia tidak setuju dengan cara Maira tapi dia juga tidak suka dengan cara kedua kakaknya memperlakukan Maira. Bagi Gina, baik Ayunda maupun Maira, keduanya adalah kakak perempuannya dan dia akan tetap memperlakukan keduanya dengan baik tanpa peduli apakah Maira menganggapnya adik atau bukan. Dari dalam kamar Maira mendengarkan ucapan Gina sebelum pergi. Baginya, sebaik apa pun adik tirinya, tetap saja Gina adalah anak dari Nyonya Gea. Wanita yang sudah membawa kehancuran pada keluarganya. Maira menggenggam erat obat yang diberikan Gina beberapa saat lalu dan duduk diam di atas tempat tidurnya sebelum akhirnya memutuskan untuk mengoleskannya ke pergelangan tangannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD