“Bagaimana kau tahu jika aku dan Elora baru saja berdebat? Kau mendengar omongan kami dari awal?”
Damian tak langsung menjawab. Ia hanya menggaruk kepalanya, saat pertanyaan pria itu terlontar untuknya.
“Jawab, jangan diam saja.”
“Menurutmu?”
“Damian, jangan main-main. Kau dengar semuanya?”
Damian menaikkan kedua pundaknya, bahkan ekspresi wajahnya terlihat begitu menyebalkan saat ini. Sengaja sekali ingin membuat Stevan bingung dan bertanya-tanya.
“Aku hanya tahu kau sedang berdebat dengan Elora. Itu saja.”
“Jujur!”
“Astaga, oke-oke. Aku dengar semuanya.” sahut Damian sambil mencebik.
Stevan sedikit terkejut, dilihat dari pupil matanya yang sedikit melebar, begitu mendengar balasan dari sang adik barusan.
Tatapannya kini berubah menjadi lebih tajam, pun bersiap untuk menunjukkan amarahnya, sebab Damian dengan lancang sudah mendengar seluruh percakapannya dengan Elora. Apalagi yang sedang mereka bicarakan perihal perselingkuhannya juga.
“Kau—”
“Lagi pula kenapa kalian bertengkar hanya karena masalah sepele?” sela Damian.
Ucapan Damian barusan tentu saja membuat Stevan langsung mengernyitkan keningnya bingung. Agak heran, mengapa Damian bisa menyimpulkan jika masalahnya dengan Elora ini hanya masalah sepele?
“Maksudku, soal para pekerja di sini kan bisa dicari lagi. Toh di luar sana pasti banyak yang sedang membutuhkan pekerjaan.” lanjut Damian.
Ia lantas menepuk pundak Stevan dan kembali berkata, “kurang-kurangi kemarahanmu itu. Anggap saja jika Elora sedang berusaha menarik perhatianmu, dengan memecat semua pekerja yang ada di rumah ini. Jangan terlalu kaku. Aku yakin kau pasti jarang memperhatikan Elora, jadi ya dia bertingkah begitu. Makanya, kalau punya istri seperti Elora itu jangan sering-sering kau anggurkan, Stevan! Percuma kau beri dia banyak uang jika tidak punya waktu bersama.”
Stevan terdiam. Ucapan Damian benar-benar menyindirnya. Langsung mengenai hati. Namun, Stevan sedikitnya bersyukur, sebab Damian hanya tahu perdebatannya dengan Elora hanya karena masalah para pelayan dan pekerja di rumah tersebut yang dipecat.
Stevan tak bisa bayangkan jika sampai Damian mengetahui soal perselingkuhannya. Baginya itu sebuah kesialan jika sampai Damian mendengar bagian yang itu.
“Kau sudah pernah menjadi duda sekali. Jangan banyak bertingkah jika tidak mau menyandang status duda untuk yang kedua kalinya.”
Stevan langsung mendelik tajam saat mendengar ucapan Damian barusan. Dan Damian justru hanya menyengir kuda seperti orang yang tak bersalah, sudah bicara seenaknya.
“Kau tahu apa? Jangan sembarangan jika bicara.” tegur Stevan.
Damian hanya terkekeh pelan dan kembali menepuk-nepuk pundak Stevan. Yang awalnya biasa saja mendadak berubah menjadi lebih kuat di akhir.
“Aku tidak mengerti kenapa kau beranggapan jika aku tidak tahu apapun. Jangan lupa Steve, kalau aku adalah adikmu. Jelas aku tahu semua tentang kau, dan... Hanna. Jangan pernah berpikiran bahwa Elora itu sama dengan Hanna.”
“Jangan pernah menyebut nama seseorang yang sudah tiada.”
“Kenapa? Apa masalahnya? Aku hanya mengingatkanmu saja bahwa Hanna dan Elora itu berbeda. Dan tentu saja mereka memiliki takdir yang berbeda juga, Stevan.”
“Jika kau benar-benar ingin tinggal di sini, maka berhentilah bicara.” seru Stevan dengan tegas. Pria itu benar-benar tak menghilangkan tatapan tajamnya pada Damian.
Damian sendiri justru kini tengah tersenyum tipis sambil menggaruk pelipisnya. Agak heran, bagaimana bisa ia memiliki kakak seperti Stevan? Damian berpikir bahwa dulunya mungkin sang ibu pernah melakukan kesalahan, dan lahirnya Stevan sebagai wujud karmanya. Tapi, benarkah?
Damian menghela nafas panjang. Niatnya hanya mengingatkan saja pada Stevan, bahwa ketakutan pria itu terlalu berlebihan. Tapi jika masih bebal begitu mau apa dikata? Damian siap untuk mendapatkan Elora kembali.
“Terserah kau saja kalau begitu. Aku hanya mengingatkan saja.”
Stevan acuh dengan ucapan Damian barusan, dan memilih untuk melanjutkan langkahnya menuju kamar.
Sementara itu, Damian memperhatikan punggung Stevan yang semakin menjauh dengan tatapan yang berbeda.
+++
Elora kembali meletakkan ponselnya ke atas meja bar, setelah membalas sebuah pesan dari seseorang. Tatapan matanya benar-benar tak menunjukkan semangat sama sekali. Ekspresi wajahnya pun begitu datar. Ia menghela napas berat, lalu menuang wine ke dalam gelasnya yang kosong dan meneguknya.
Elora menghabiskan wine yang ada di dalam gelasnya hanya dengan satu kali tegukan saja. Ia menoleh ketika Damian muncul dari dalam.
Sejujurnya, Elora penasaran akan apa yang baru saja Damian dan Stevan bicarakan. Namun terlalu malas untuk bertanya. Sebab Elora tahu jika bertanya dan menunjukkan rasa penasarannya, itu sama saja dengan ia memberikan celah pada Damian untuk meledeknya.
Elora berdehem, begitu Damian semakin dekat. Namun, ia mulai menyipitkan kedua matanya saat Damian mendadak acuh.
“Wah, baru kali ini dia mengabaikan aku.” monolognya, sembari memperhatikan punggung Damian yang semakin menjauh. Sumpah demi apapun, ini kali pertama Damian mengabaikannya.
“Tumben sekali dia mengabaikan aku begini? Menoleh sebentar saja tidak. Wah, aneh sekali. Entah kerasukan apa dia sampai tiba-tiba acuh begini padaku?”
Elora masih saja dibuat terheran-heran oleh sikap Damian barusan. Rasanya seperti bukan Damian yang ia tahu.
“Ck! Kenapa juga aku repot-repot memikirkan hal yang tidak penting begini? Bagus juga kalau dia acuh begitu. Jadi tidak akan ada yang mengangguku lagi setelah ini.”
Baru saja sebentar bicara demikian, tiba-tiba saja Damian muncul lagi. Kalo ini sambil menyeret kopernya yang lumayan besar. Elora yang melihat itu sampai melongo dibuatnya.
“Damian tunggu!” seru Elora yang langsung berlari kecil dan menghadang langkah Damian. “Apa-apaan ini? Koper? Jangan bilang kau—”
“Untuk sementara waktu, aku akan tinggal di sini.”
“Apa?!” pekik Elora kaget. Lalu ia langsung menggeleng dengan cepat, tanda tidak setuju dengan ucapan Damian barusan. “Tidak tidak! Aku tidak mengizinkanmu untuk tinggal di sini! Tidak boleh, titik!”
“Sayangnya, aku tidak butuh izin darimu, Elora.”
“Dam—”
“Stevan sudah mengizinkan aku untuk tinggal di sini.” selanya dengan cepat. Lalu kemudian ia kembali melanjutkan untuk mempertegas ucapannya. “Hanya untuk sementara waktu.”
Sial! Elora sampai tak bisa berkata-kata saat mengetahui jika Stevan sudah memberikan izin pada Damian untuk tinggal di sini. Ia benar-benar tak mengerti pada Stevan yang bisa dengan gampangnya memberikan izin pada Damian tanpa berdiskusi terlebih dahulu dengannya.
Bukannya pelit, tapi Elora tidak mau jika setiap harinya harus kembali berinteraksi dengan Damian lagi, Damian lagi. Apalagi kejadian semalam membuatnya terus dihantui rasa bersalah. Walau sebenarnya kini sama saja kan, jika ia mengkhianati Stevan. Tapi tetap saja, Stevan yang paling parah.
“Bisa menyingkir dari hadapanku sekarang? Aku harus menyimpan koperku ke dalam kamar tamu. Dan—oh ya, kamar tamu yang dekat dengan kolam renang, apakah masih bersih? Aku ingin menempatinya.”
Pupil mata Elora sontak melebar. Itu kamar tamu yang sedang ia tempati!
“Cari kamar lain!”
“Oh, belum dibersihkan? Ya sudah, akan aku bersihkan sendiri tidak masalah.”
“Bukan belum dibersihkan. Kamarnya selalu bersih.”
“Bagus kalau begitu. Aku tinggal menempatinya saja sekarang. Jadi awas, menyingkir dari hadapanku.”
Elora tak juga menyingkir dari hadapan Damian. Ia terus menggeser tubuhnya setiap kali Damian hendak melangkah.
“Elora, aku sedang tidak ingin bermain denganmu. Nanti malam saja bagaimana mainnya? Di atas ranjang lebih enak daripada—”
“Mulutmu!” bentak Elora galak. “Pokoknya kau tidak boleh menempati kamar tamu yang itu. Kalau mau tinggal di sini, maka tempati kamar tamu yang lain.”
“Memangnya kenapa jika aku ingin menempati kamar tamu yang itu? Ada yang salah dengan kamarnya? Berhantu atau bagaimana? Kalau iya, harusnya kau segera menghubungi seseorang yang—”
“Kamarnya sudah aku tempati!” seru Elora menyela.
Damian sontak menaikkan sebelah alisnya. “Kau tidak sedang salah bicara? Bagaimana bisa kau menempati kamar tamu?”