Matahari telah tenggelam, berganti tempat menjadi rembulan yang terang. Semuanya terasa menakjubkan kecuali satu hal yang terdengar meyakitkan. Perkelahian kedua orang tua tanpa sadar mengores pilu pada mahluk kecil yang tak berdosa, seharusnya anak-anak tak perlu mendengarkan pertengkaran.
Seharusnya malam ini, anak-anak mendengarkan kisah sebelum tidur atau bahkan di nyanyikan lagu pengantar tidur. Bukan malah mendengarkan teriakan dan makian orang tuanya, tapi anak-anak kecil ini tidak bisa melakukan banyak hal selain diam dan termenung.
Entah sampai kapan perkelahian orang tuanya usai, dua anak kecil ini hanya terus terdiam memandang bulan yang terlihat selalu terang tak seperti perasaan mereka berdua yang terasa kelam dan gelap. Jika boleh memilih, dua anak kecil ini ingin terlelap saja dan tak memperdulikan apapun.
Tapi sayangnya mereka tak bisa melakukannya, menutup mata untuk tertidur saja terasa sulit. Apalagi tak memperdulikan apapun, rasanya tidak mungkin untuk kedua anak kecil ini mengabaikan keributan yang tak juga usai.
Tak butuh waktu lama gadis kecil itu menghampiri kembarannya, gadis belia ini ketakutan dan butuh di tenangkan saudara kembarnya.
"Na! Naraya takut Na, kapan mamah sama ayah gak ribut terus Na?" tanya Naraya bingung.
Mendengar saudara kembarnya ketakutan, membuat anak kecil laki-laki itu menggenggam tangan saudaranya dan ia menepuk-nepuknya lembut. Dia juga tak tau pasti kapan mamah dan ayahnya berhenti berkelahi, tapi saat ini kembarannya lebih butuh ketenangan di banding apapun sekarang.
Naraya yang di tenangkan kembarannya pun hanya tersenyum lembut, perasaannya jadi lebih baik sekarang. Meski begitu teriakan dan makian mamah dan ayahnya justru semakin keras hingga kedua bocah ini mendengarnya, mereka berdua tak mengerti apa maksudnya.
"Kamu keterlaluan ya Tama! Kamu udah punya Nagara dan Naraya tapi masih bisa-bisanya kamu tergoda sama single parent beranak satu itu. Dan apa-apaan kamu minta aku di madu?! Gak! Aku gak mau di madu. Lebih baik aku pergi sama Nagara dan Naraya," maki Gioraya kesal.
"Aku juga cinta dia sama kayak aku cinta ke kamu Gioraya! Aku bakal berlaku adil kok. Kamu gila kalo sampe kamu misahin anak-anak dari ayahnya. Jangan egois kamu Gioraya," ujar Tama ikut kesal.
"Cinta?! Adil?! Kamu yang gila Tama. Mudah banget kalo ngomong, nyatanya selama ini kamu banyak ngabisin waktu di kerjaan bukan sama aku ataupun anak-anak! Terus adil darimananya Tama?! Aku egois? Kamu yang selalu mentingin diri sendiri Tama bukan aku! Pokoknya kalo kamu tetep maksa buat nikahin dia. Lebih baik kamu ceraikan aku dulu Tama," maki Gioraya kesal.
Merasa tak akan ada habisnya perkelahian gila ini, Gioraya pun memilih meninggalkan suaminya dan memasuki kamar anak-anaknya. Sebenarnya Gioraya tak ingin berpisah dengan Tama, tapi menjadi madu? Tak pernah terlintas dalam benak Gioraya.
Bukankah selama ini Gioraya telah sabar, telah kuat dan selalu memberikan yang terbaik untuk Tama. Lantas bagaimana bisa Tama masih sempat-sempatnya memikirkan wanita lain, memangnya apa yang kurang dari Gioraya.
Melihat Gioraya yang mengunci diri bersama anak-anak membuat Tama khawatir, hingga ia memanggil-manggil istrinya. Sementara Gioraya hanya tersenyum lembut ke arah Nagara dan Naraya yang menatapnya bingung, meski hati Gioraya terasa tercabik-cabik tapi dirinya tak ingin buah hatinya ikut teluka seperti dirinya.
"Gioraya! Buka pintunya ... Jangan aneh-aneh kamu," panggil Tama khawatir.
"Nagara, Naraya sini tidur. Mamah nyanyiin kalian biar kalian tidurnya nyenyak," ujar Gioraya lembut.
Nagara dan Naraya pun menghampiri mamahnya, tak butuh waktu lama keduanya langsung mendekap sisi kanan dan kiri mamahnya. Bagi mereka berdua mamahnya adalah ketenangan dan kebahagiaan untuk Nagara dan Naraya, begitupun di mata Gioraya anak-anaknya adalah segalanya untuknya.
Dan selama mamahnya menyanyikan lagu pengantar tidur agar mereka tertidur, samar-samar Nagara melihat mamahnya menangis. Bibir mamah mungkin mengulas senyuman terbaik yang Nagara lihat. Tetapi sudut mata mamah terus saja meneteskan air mata hingga membuat Nagara merasa sedih, Nagara berjanji tak akan terlibat dalam perkelahian atau menyakiti siapapun.
Karena Nagara tak ingin orang lain merasa sedih dan terluka seperti mamahnya, Nagara akan melakukan yang terbaik sebisanya. Tetapi meski begitu, dalam diam Nagara dan Naraya merasa ada hal kurang baik yang akan mereka alami setelah mendengar perkelahian kedua orang tuanya.
Mereka tak tau apa yang akan terjadi nanti, namun rasanya seperti bukan hal yang baik yang akan terjadi. Setelah melihat putra dan putrinya telah tertidur lelap membuat Gioraya mengulas senyumnya bahagia, dirinya tau suaminya telah menghadirkan wanita lain di hatinya.
Dan tak banyak yang bisa Gioraya lakukan saat ini, mempertahankan rumah tangganya pun terasa tak lagi mampu ia lakukan. Karena dengan teganya Tama berani menjatuhkan hati selain padanya, sepertinya keputusan Gioraya untuk meninggalkan Tama cukup tepat.
Daripada dirinya harus sakit hati melihat suaminya di miliki orang lain, akan lebih baik Gioraya membahagiakan anak-anaknya serta membahagiakan dirinya sendiri. Gioraya pun menyelimuti anak-anaknya, kemudian mencium dahi Nagara dan Naraya lembut.
Jika keputusannya di nilai Tama egois maka salahkan Tama yang tak bisa setia padanya, Gioraya tak akan pergi jika Tama bisa menjaga perasaannya. Nyatanya Tama tak bisa menjaga perasaannya atau bahkan menghargai perjuangan Gioraya selama ini bukan, lalu apa lagi yang bisa Gioraya pertahankan? Jika hati yang di jaga dengan tulus justru di balas dengan dirinya yang ingin di madu.
Gioraya merasa cukup untuk menjadi orang bodoh selama ini, sekeras apapun hatinya bertahan demi Tama. Perasaan Tama tak lagi sama untuknya, jadi keputusan terbaik menurut Gioraya saat ini adalah menghidupi anak-anaknya sendiri.
Gioraya pun merapihkan pakaian Nagara dan Naraya ke dalam koper, jujur hati Gioraya tak ingin seperti ini tapi dirinya tak akan sanggup bila harus di duakan. Ia tau anak-anaknya akan merindukan Tama karena mereka begitu dekat, tapi mempertahankan hubungan yang telah rusak tak akan lagi sama untuk di jalani.
Setelah semuanya rapih, Gioraya keluar kamar dan tak melihat suaminya di saja. Bahkan Tama tak berusaha membujuk atau mempertahankan rumah tangganya yang di ujung tanduk, lalu apalagi yang harus Gioraya pertahankan jika hanya dirinya sendiri yang berusaha.
Tak ingin terlalu larut dalam sakit hati yang kian menusuk, Gioraya pergi ke kamarnya dan merapihkan pakaiannya ke dalam koper. Tekadnya telah bulat dan tak ada pilihan lain saat ini, Gioraya akan memulai hari baru bersama Nagara dan Naraya.
Ia harap ia akan kuat dan tak akan ada lagi rasa sakit yang ia rasakan setelahnya, Gioraya pun berjalan kembali ke kamar Nagara dan Naraya sambil membawa kopernya. Samar-samar ia mendengar Tama sedang menelpon seseorang, lalu bagai di sambar petir di siang hari Gioraya mendengar Tama akan menceraikannya beberapa hari lagi.
"Ada apa nelpon malam-malam Dayunda?" tanya Tama lembut.
"Gak mas, aku rindu aja sama mas. Gi mana mas udah bilang ke mba Gioraya kalo mas mau nikahin aku?" tanya Dayunda manja.
"Sama mas juga rindu kamu kok. Udah tapi dia gak mau di madu dan minta di ceraikan saja kalau sampai mas maksa Gioraya di madu dan mas jadi bingung Dayunda," ujar Tama dilema.
"Mas gak usah bingung. Kan mas bilang cinta aku! Mas sudah janji loh mau nikahin aku terus apalagi yang mas bingungin. Tinggal mas ceraikan saja dia apa susahnya sih mas," ujar Dayunda kesal.
"Iya mas cinta kamu tapi mas juga cinta Gioraya. Gak bisa semudah itu mas lepasin orang yang mas cinta Dayunda," ujar Tama sedih.
"Kalo mas gak nikahin aku terus buat apa nungguin mas? Mending aku yang pergi atau dia yang pergi mas! Pilih sekarang atau kamu gak akan liat aku lagi," ucap Dayunda kesal.
"Kamu jangan gitu Dayunda! Mas butuh waktu buat memikirkan semuanya," ujar Tama bingung. "ok aku tunggu beberapa hari lagi kalo mas gak milih atau ceraikan dia. Mending aku pergi aja mas! Buat apa aku bertahan sama kamu kalo kamu gak nikahin aku," ucap Dayunda semakin kesal.
"Ok beberapa hari lagi mas bakal ceraikan Gioraya," ujar Tama sedih.
Lutut Gioraya terasa lemas, dunianya seakan hancur saat mendengar kata cerai dari orang yang Gioraya cintai. Jadi semudah itu kata perpisahan terucap dari orang yang selalu Gioraya pertahankan, ternyata selama 5 tahun pernikahan yang mereka lalui tak lagi membuat Tama mempertahankannya.
Tama berbalik dan terkejut melihat Gioraya tak jauh darinya, dengan sigap Tama menghampiri istrinya namun Gioraya melarangnya mendekat. Tak ada lagi yang perlu di jelaskan, tak ada lagi yang bisa Gioraya pertahankan.
Semuanya telah hancur, begitu juga hati Gioraya yang kini tak lagi berbentuk. Meski begitu Gioraya merasa pilihan sebelumnya memang tepat, hati Tama tak lagi sepenuhnya milik Gioraya dan tak ada lagi yang bisa Gioraya pilih selain berpisah dengan Tama.
"Diam di situ Tama. Jangan coba-coba kamu mendekat! Aku benar-benar kecewa sama kamu, apa yang telah kita lalui tak membuat kamu mempertahankan kami. Tapi aku mengerti satu hal Tama, berpisah denganmu adalah hal terbaik yang bisa aku lakukan sekarang! Kamu gak harus nunggu beberapa hari lagi. Karena mulai besok kami akan pergi dan aku akan mengurus semuanya," ujar Gioraya tenang.
Tama ingin membujuk istrinya, tetapi Gioraya sudah lebih dulu pergi dari sana dan masuk ke kamar Nagara dan Naraya. Pintu kembali di kunci dan tubuh Gioraya jatuh ke lantai, hatinya sakit bahkan terlalu sakit hingga Gioraya tak mampu lagi menahan tangisnya.
Pada akhirnya Gioraya tak mampu mempertahankan rumah tangga yang begitu ia dambakan sejak lama, semuanya terasa hancur berantakan hingga tak menyisakan apapun di hati Gioraya. Namun saat Gioraya melihat Nagara dan Naraya tertidur pulas, sudut hati seorang ibu merasa tertampar dengan keras.
Bagaimana nanti jika mereka mempertanyakan ayahnya? Bagaimana jika nanti hidup mereka tak baik-baik saja? Sejenak Gioraya merasa bersalah bila harus berpisah hanya karena hatinya telah di curangi seperti ini, tapi bertahan setelah di lukai akan sangat menyakitkan nantinya.
Belum tentu Gioraya bisa terlihat baik-baik saja di depan anak-anaknya saat Gioraya mempertahankan rumah tangga yang tak lagi sama, Gioraya juga takut perkelahian antara dirinya dan Tama akan mempengaruhi tumbuh kembang putra-putrinya.
Dan Gioraya tak menginginkan hal itu, dengan perlahan Gioraya mendekati Nagara dan Naraya. Mereka terlalu kecil untuk mengerti apa itu perpisahan, mereka terlalu lugu untuk mengerti apa itu perceraian.
Gioraya pun semakin merasa sedih dan menciumi tangan Nagara dan Naraya, berharap mendapat kekuatan yang cukup untuk melewati esok hari. Namun meski hati Gioraya terluka tapi rasa bersalah dan khawatir lebih mengikat hatinya, Gioraya khawatir anak-anaknya tak akan bahagia tanpa sosok ayah di sampingnya.
Dengan perasaan bersalah Gioraya meminta maaf kepada Nagara dan Naraya atas apa yang Gioraya putuskan saat ini, karena bagaimanapun juga hati seorang ibu tak akan pernah sanggup memisahkan anak dari ayahnya. Tapi Gioraya tak punya pilihan lain lagi, hanya kata maaf yang bisa Gioraya ucapkan saat ini.
"Maafin mamah Nagara, Naraya ... Maafin mamah karena terpaksa ngebawa kalian pergi dari sisi ayah. Mamah gak mau kalian terpengaruh sama perkelahian kami. Mamah hanya mau kalian bahagia di manapun kalian berada sayang," lirih Gioraya sedih.
Walaupun tak ada jawaban dari putra-putrinya yang tertidur dengan lelap, Gioraya tetap meminta maaf hingga matahari menunjukkan sinarnya.
"Maafin mamah ya sayang. Maafin mamah nak," lirih Gioraya sedih.
Nagara dan Naraya yang melihat mamahnya tertidur sambil mengenggam tangan mereka jadi bingung, jadi semalaman mamah tidur di samping mereka? Mengapa ada tiga koper di dalam kamar? Apa yang sebenarnya terjadi pada mamah semalam? Merasa tak mengerti apapun.
Keduanya membangunkan mamahnya agar mereka mengerti apa yang terjadi, merasa tangan Gioraya di tepuk-tepuk. Dirinya pun membuka mata dan melihat wajah bingung putra-putrinya, meski berat untuk di katakan Gioraya tetap memberi pengertian selembut mungkin.
"Pagi sayangnya mamah, gi mana semalem tidurnya pules? Nagara dan Naraya mimpi indah kan sayang," ujar Gioraya lembut.
"Pagi juga mamah, mamah habis nangis? Iya Naraya tidurnya pules mah. Mimpi indah juga kok mah hehehe," ucap Naraya senang.
"Pagi juga mah, iya Nagara tidur pules dan mimpi indah kok. Tapi kenapa ada koper di kamar kita mah? Kita mau jalan-jalan sama ayah mah," tanya Nagara bingung.
"Mamah gak habis nangis kok Naraya. Gak jalan-jalan sayang, mulai sekarang kita gak harus lagi di sini sayang, kita harus tinggal terpisah sama ayah. Anak-anak mamah anak yang kuatkan? Kalian gak apa-apakan tinggal sama mamah aja?" tanya Gioraya lembut.
"Kenapa gak di sini mah? Kenapa kita harus tinggal terpisah sama ayah mah? Ayah jahat sama mamah kah?," ujar Nagara bingung.
"Ayah gak jahat kok sama mamah, kalian gak suka liat mamah sama ayah berkelahi kan? Mulai sekarang kita gak akan berkelahi lagi dan seperti biasa kita selalu bertiga karena ayah harus kerja kan sayang," ujar Gioraya lembut.
"Kenapa kita bertiga gak tetep sama ayah aja mah?" tanya Nagara sedih.
"Kita tetep sama ayah cuma beda jarak aja Nagara sayang, ayah tetep akan nengokin kalian kok. Jangan khawatir ya," ujar Gioraya lembut.
"Iya deh mah, terus kita akan ke mana?," ujar Nagara bingung.
"Ke tempat baru dan kita akan ada di lingkungan baru yang gak pernah kita pikir sebelumnya. Yuk siap-siap anak mamah," ujar Gioraya lembut.
Nagara dan Naraya mengangguk patuh, mereka bersiap dan menyiapkan hati untuk memulai semuanya yang terasa baru. Nagara dan Naraya tetap tak mengerti mengapa kedua orang tuanya harus berpisah, namun seiring berjalannya waktu dan mulai memasuki sekolah.
Keduanya mengerti satu hal, mamah dan ayahnya telah berpisah dan mereka tak punya apapun selain harus berusaha dengan keras. Perihal janji ayahnya yang akan menengoknya pun tak bisa mereka pegang, karena kadang ayahnya datang dan kadang tidak.
Namun meski begitu Nagara dan Naraya tak menyesal atau bahkan menyalahkan takdir, yang sudah terjadi biarlah berlalu. Dan apa yang sedang di jalani saat ini jauh lebih penting daripada terjebak dalam kesedihan yang terlalu larut, Nagara dan Naraya percaya semuanya akan baik-baik saja karena ada mamah yang selalu di sisinya.
|Bersambung|