Gara-gara Perintah Kurang Jelas

2162 Words
Dapur dan Ruang Makan Bertemu di saat yang tidak tepat. Itulah ungkapan yang pas, yang tengah dirasakan oleh Beby. Hanya Beby seorang. Karena nyatanya Abrisam tidak. Ia bersikap seolah tidak terjadi apa-apa, padahal dalam hati kecilnya--Abrisam juga merasa sangat bersalah karena membesar-besarkan masalah kecil tadi sore. Entahlah.. Ini semua karena rasa kesal dan kecewa tidak jelasnya itu! Tentang insiden berpelukan Beby dengan seorang pria di restoran favoritnya, masih menjadi kaset rusak dalam ingatan Abrisam. Ditambah dengan Beby yang menurutnya sudah mulai tidak memprioritaskan pekerjaannya. Ah, hanya alasan semata 'kan? Rasa cemburu buta ada di balik semua ini? Mungkin, iya. Tapi sang pemilik rasa tak menyadarinya. Hanya beberapa saat keduanya beradu pandang, Abrisam langsung memutuskan kontak pandangannya. Pria itu berjalan menuju meja makan. Kemudian mendudukkan dirinya di kursi biasanya. Di hadapannya, sudah terhidang seporsi nasi dan ayam goreng yang ia yakini dari restoran cepat saji--karena tadi sore dirinya memberikan perintah pada Beby untuk memesan makanan. Ada pula dua piring kue bolu dengan beda rasa, yang tentunya dua-duanya bukan varian rasa favoritnya. Tapi tak apa, Abrisam tetap suka. Jika sudah dihidangkan di hadapannya seperti ini, tandanya boleh dimakan. Abrisam sudah bersiap untuk menyantap makanannya, akan tetapi ia teringat belum mencuci tangannya. Akhirnya ia putuskan untuk berjalan menuju wastafel dapur dan mulai mencuci tangannya terlebih dulu di sana. Menjaga kebersihan sebelum makan itu penting. Jangan sampai lupa! Di sana, Beby ternyata masih belum beranjak dari dapur ini. Gadis itu masih berdiri menghadap meja dapur dan juga semangkuk mie instan kuah. Mie tersebut terhidang masih dengan asap yang mengebul. Itu artinya, baru saja dimasak. Yang jadi pertanyaan dalam benak Abrisam adalah mengapa Beby memasak mie instan? Bukankah ia tadi juga ikut memesan makanan cepat saji? Wanita memang seperti itu, suka sekali mencari penyakit dan mencuri perhatian. Lain halnya dengan Abrisam, Beby teringat bahwa dirinya belum menyuguhkan air minum untuk Abrisam. Tanpa mencoba menyapa Abrisam, Beby segera mengambil gelas kosong bersih, lalu mengisinya dengan air yang berasal dari galon. Tak bisa menahan bibirnya untuk tidak bertanya. Abrisam pun bertanya setelah mendudukkan dirinya di kursi. "Kenapa kamu memasak mie instan?" Beby baru saja selesai menaruh segelas air putih di samping makanan Abrisam. Maksud hatinya setelah ini hendak ngacir dan menghindar dari Abrisam, nyatanya sudah keduluan oleh pria itu. Beby tidak bisa menghindari Abrisam barang selangkahpun. Tak mau membuat Abrisam marah karena merasa pertanyaannya lama dijawab oleh Beby. Gadis itu pun lantas menjawabnya dengan segenap kejujuran yang ia punya, "Saya lapar, Pak Isam. Tidak sempat memasak nasi dan lauk-pauk tadi. Jadi saya memasak sebungkus mie instan yang saya ambil dari lemari dapur. Besok saya ganti, Pak. Sudah malam, ingin keluar untuk mencari makan pun, saya nggak berani. Jangan marah ya, Pak.." Pernyataan terakhir yang Beby lontarkan sepertinya kurang afdal. Bagaimana bisa ia meminta Abrisam untuk tidak marah? Sedangkan yang dilakukannya selalu seolah sedang menguji kesabaran Abrisam. Habisnya, mau bagaimana lagi? Urusan perut tidak bisa ditahan. Abrisam kini justru menatap Beby dengan tatapan tidak percayanya. Memangnya, sejak kapan mereka berdua menjadi orang yang sangat asing seperti sekarang ini? Sehingga Beby tiba-tiba mempermasalahkan sebungkus mie instan. Padahal sebelum-sebelumnya, Abrisam bahkan memberikan akses sepenuhnya untuk Beby bebas memasuki kamarnya. Jangan nethink! Hanya sebatas merapihkan ruangan tersebut, melipat-lipat baju milik Abrisam, dan menyetrikan baju pria itu bila diperlukan. Di rumah ini, posisi Beby sudah seperti merangkap ART juga selain pengasuh Olla. Kembali pada inti masalah. Abrisam hendak marah besar, tetapi ia tahan. Karena Beby sudah menunduk dalam, tak berani sama sekali menatapnya. Sepertinya gadis itu masih memikirkan amarah yang Abrisam keluarkan tadi sore. Sebenarnya bukan maksud Abrisam seperti itu, ia hanya terbawa lelah dan juga rasa kesal tak jelas. Maka dari itu, malam ini sebisa mungkin Abrisam menahan dirinya untuk tidak marah-marah kembali. Kasihan Beby.. Tetapi, pria itu tetap memberi Beby sedikit pelajaran. Bagaimana bisa Beby yang sudah bekerja dan tinggal di rumah ini bertahun-tahun, mempermasalahkan sebungkus mie instan? Sepele bagi Abrisam. Tidak ada apa-apanya. Bahkan jika Beby meminta dibelikan mobil pun, Abrisam menyanggupinya. Berlian, emas permata? Bisa! Tetapi Beby tidak pernah memintanya dan Abrisam pun tidak pernah bisa menyusun alasan yang pas untuk memberikan itu semua. Alhasil, tidak pernah Beby dapatkan, dan Abrisam berikan. Abrisam tersenyum sinis. "Kenapa tidak sekalian kamu ganti air yang kamu gunakan untuk memasak mie instan itu? Memangnya kamu pikir, saya ini majikan yang super jahatt dan juga perhitungan?" Pertanyaan itu keluar dari bibir Abrisam dengan nada dingin. Beby semakin kalut. Ia sangat takut bila Abrisam marah besar seperti tadi sore. Padahal maksud Beby hanya izin, tidak bermaksud menyinggung sama sekali. Tetapi lagi-lagi, Beby salah di mata Abrisam. "M--maaf, Pak. Bukan begitu maksud saya.." Mata Abrisam terpaku saat ia hanya mengetahui ada dua bungkus makanan dari restoran cepat saji. Yang satunya telah ada di tong sampah. Namun masih terlihat oleh mata tajam Abrisam. Tentu isinya telah tiada. Abrisam yakini itu bekas Olla makan dan yang satunya masih utuh di atas meja--tentu miliknya sendiri. Pria itu menatap Beby dengan tatapan menyelidik, "kenapa kamu cuman pesan dua porsi makanan?" "Pak Isam yang perintahkan saya untuk memesan makanan untuk Bapak dan Olla. Jadi saya pesankan dua, Pak. Saya salah lagi?" Jadi, karena itu? Astaga! Bagaimana bisa Abrisam marah karena sebenarnya sumber kesalahpahaman di sini adalah perintahnya sendiri. Kurang jelas, penuh emosi, siapa yang tidak takut? Perlu digaris bawahi, perintah Abrisam yang memang salah di sini! Abrisam sadar kini. Ini semua salahnya. Ia membawa rasa lelah dan juga rasa kecewa tak jelasnya itu sampai ke dalam rumah ini. Sehingga merusakk semuanya. Padahal, sebelumnya tidak pernah ada kejadian semacam ini. Pria itu sangat menyesal. Terlebih, Beby masih saja terus menunduk. "Kenapa kamu nunduk terus? Tidak sopan, Beby." "M--maaf, Pak Isam.." Saat itu juga, Beby mengangkat kepalanya. Dan, betapa terkejutnya Abrisam saat ia mengetahui air mata Beby sudah mengalir di wajah cantik gadis muda itu. Lagi-lagi, semua karena salahnya. Salah Abrisam. Bibir bergetar milik Beby kembali berucap penuh dengan nada penyesalan yang sebenarnya tidak perlu. "Pak Isam, s--saya minta maaf kalau saya nggak becus. Saya janji, mulai besok saya akan memasak lebih awal--" "Tidak. Tidak perlu. Memasak di jam biasanya saja. Saya yang salah di sini. Saya minta maaf, Beby." "Saya yang salah, Pak Isam. Maafkan saya." Lega. Karena dirinya dan Beby sama-sama berebut salah. Setidaknya, tidak ada lagi keegoisan di antara mereka berdua. Meninggalkan bab tentang saling maaf-maafan. Abrisam penasaran akan suatu hal. "Sekarang, saya tanya. Kenapa kamu tidak membaca pesan singkat dari saya tadi sore? Kamu sibuk membalas pesan seseorang, atau justru sedang berteleponan?" Pertanyaan Abrisam barusan persis dengan sesi interogasi. Dan, Beby-lah yang kini sedang diinterogasi di sini. Tidak ayah, tidak anak--sama saja! Begitulah pikiran Beby. Tetapi menurut Beby, ada yang aneh dari pertanyaan Abrisam barusan. Selama ini, tidak pernah Beby mendengar Abrisam marah dan juga menuduhnya perihal pesan yang terabaikan. Hanya hari ini saja Abrisam tampak sedikit, ehm posesif. Beby tak kehabisan kata. Dengan jelas ia mencoba membeberkan semuanya. Terutama tentang alasannya yang tidak sengaja mengabaikan pesan singkat Abrisam. "Saya tidak sedang membalas pesan orang lain, atau bahkan berteleponan dengan orang lain, Pak. Tadi sore, saat saya berkebun bersama Olla, saya tinggalkan HP saya di kamar, Pak. Itulah alasan mengapa saya tidak membaca pesan singkat Bapak. Karena memang saya tidak tahu jika Bapak mengirim sebuah pesan singkat pada saya. Maafkan saya, Pak Isam. Lain kali, saya akan membawa kemanapun ponsel--" "Tidak perlu. Maaf saya sudah salah paham dengan kamu." "Tidak, Pak. Saya yang salah di sini," kukuh Beby. Karena ia sangat takut. Ia masih sangat membutuhkan tempat untuk berteduh dan juga pekerjaan. Mengingat dirinya sebatang kara. Hanya pada keluarga Pak Hanggoro, dan juga Abrisam, ia bergantung. "Berhenti menyalahkan diri kamu sendiri, Beby. Saya yang salah. Saya terlalu lelah, sehingga masalah kecil, saya besar-besarkan. Saya meminta maaf untuk itu, Beby." Beby hanya mengangguk kali ini. Tak berani lagi berebut maaf dan salah, atau mendebat Abrisam. Sedangkan Abrisam diselimuti rasa bersalah karena tidak mau mendengarkan penjelasan dari Beby terlebih dulu. Jika sudah seperti ini, maka ia putuskan suatu hal secara cepat dan tepat. Karena memang hal inilah yang dirasa Abrisam paling terbaik. Lagipula, mana mungkin pria itu tega membiarkan Beby makan mie instan padahal sudah pasti terakhir kali Beby makan saat sarapan tadi pagi. Itu sudah pasti. Abrisam hafal dengan yang satu itu. Abrisam bangkit dari duduknya. Melangkahkan kakinya menuju meja dapur dan mengambil semangkuk mie instan buatan Beby. "Pak, mie saya.." "Kamu makan nasi dan ayam goreng itu. Saya yang makan mie kuah ini," putus Abrisam. Tentu saja keputusan itu membuat Beby berani membantahnya, "Pak Isam, biar saya yang makan mie-nya. Bapak makan nasi dan ayam goreng itu saja, nanti Bapak sakit. Bapak juga pasti cuman makan saat sarapan tadi pagi saja 'kan?" "Saya tadi siang makan." Abrisam lagi-lagi teringat momen di restoran tadi siang. Siial! Mengganggu sekali kilasan memori Beby berpelukan dengan seorang pria tersebut. "Tapi tetap saja. Mie itu saya yang memasaknya, jadi saya juga yang harus memakannya. Sini, Pak.." Beby meminta mienya secara baik-baik. Namun gelengan keras Abrisam membuat Beby tak bisa berbuat banyak. "Keputusan saya tidak bisa dibantah. Duduk dan makan nasi ayam gorengnya, Beby." Melihat belum ada pergerakan sama sekali dari Beby. Padahal dirinya sudah duduk manis kembali. Abrisam lantas menatap Beby dengan tatapan tajamnya, "ayo..tunggu apalagi? Mau melihat saya marah besar?" "Jangan, Pak! Iya, s--saya makan nasi ayam gorengnya." Beby pun kemudian langsung mendudukkan dirinya di salah satu kursi yang biasanya memang ia duduki saat makan di meja makan ini. Dalam hening dan hanya terdengar denting sendok makan itu, Beby merasa tidak enak saat menyaksikan Abrisam-lah yang justru memakan mie instan itu. Padahal, pria itu jarang sekali memakan mie instan. Perutnya tidak akan ada masalah 'kan setelah ini? Beby semakin merasa bersalah. Hari ini, dirinya benar-benar tidak becus. "Kenapa kamu nangis lagi? Kamu benar-benar sebelas-dua belas dengan Olla," ejek Abrisam di akhir katanya, ia pun juga tertawa kecil. Sebenarnya, Abrisam hanya ingin mencairkan suasana tegang ini dengan lelucon. Akan tetapi situasi justru semakin tegang. Beby menatap Abrisam dengan mata yang masih berkaca-kaca, "m--maafkan saya atas kejadian burukk hari ini, Pak Isam." Dengan santai Abrisam menjawab, "Saya tidak marah, saya hanya kelelahan. Saya minta maaf juga atas sikap burukk saya hari ini. Terutama pada kamu, Beby." "Wajar kalau Bapak marah, saya tidak becus.." "Ayah, Mbak Beby kenapa nangis!?" Baik Abrisam maupun Beby langsung mengalihkan pandangan mereka masing-masing. Kini kedua orang dewasa itu sama-sama menatap pada satu titik. Dimana Olla sudah berdiri di sana dengan kedua tangan berkacak pinggang. Lantas langkah kaki kecilnya itu berlari menghambur pada Beby. "Mbak Beby kenapa nangis? Ayah marah-marah lagi seperti tadi sore!?" Beby menggeleng. Tapi sialnya, air matanya tidak mau berhenti mengalir. Itu semua bukan tentang semua ucapan Abrisam tatkala marah, bukan. Tetapi karena Beby terharu, Olla selalu saja peduli padanya. Padahal di sini juga ada ayah kandungnya. Beby terkadang merasa asing, tapi merasa yang paling disayang oleh gadis kecil itu. Haahh, rasanya Beby tidak pernah rela untuk meninggalkan rumah ini? Biar saja Olla tetap kecil, Beby siap merawatnya hingga akhir hayat nanti. Tetapi itu mustahil. Nyatanya, gadis cilik itu sudah bertumbuh besar. Padahal Beby merawat Olla mulai dari Olla belum bisa berbicara sampai dengan pandai berbicara dan menginterogasi seperti sekarang ini. Tangan mungil Olla lantas bergerak mengusap air mata yang terus keluar dari mata cantik Beby. "Mbak Beby jangan nangis.." "..biar Olla yang marahin balik Ayah!" Abrisam terdiam di posisi duduknya. Ia sempat terkejut, tapi hanya sebentar. Karena sudah biasa. Olla memang selalu berpihak pada Beby apapun yang terjadi. Abrisam justru masih santai menyantap mie instan lezat buatan Beby. Entahlah, rasanya berbeda. Lebih lezat daripada buatan tangannya sendiri. Olla sudah bersiap untuk memarahi sang ayah. Matanya sudah melotot, kedua tangannya berkacak pinggang, benar-benar menunjukkan sisi galaknya. Akan tetapi, kedua tangan Beby lebih dulu memeluk tubuh Olla. Mengurung pergerakan yang hendak gadis kecil itu lakukan. "Lepasin Olla, Mbak Beby!" "Nggak mau. Mbak Beby mau peluk Olla." Suara Beby masih sangat serak. Tetapi air matanya tidak lagi mengalir sederas tadi. Masih terus memberontak dalam pelukan Beby yang sangat kuat itu. Olla tidak kehabisan akal. Ia berseru, "Ayah! Ayah minta maaf sama Mbak Beby! Se-ka-rang!" "Mbak Beby, saya minta maaf.." See. Memang secepat itu Abrisam selalu menuruti ucapan Olla agar tidak terjadi hal-hal yang akan memperpanjang kekesalan sang putri. "Mbak Beby maafin Ayah Olla, ya?" Olla menatap Beby dengan tatapan sangat teduh. Gadis kecil itu memohonkan maaf atas perilaku ayahnya. Bagaimana bisa Beby tidak sesayang ini pada Olla? Olla memang tidak terlahir dari rahimnya. Tetapi kasih sayang Beby sudah seperti seorang ibu pada anaknya. Beby pun juga dengan cepat langsung mengangguk. Tak ada keraguan dalam hatinya, karena sebelum Olla datang--ia dan Abrisam sudah saling bermaaf-maafan. Lebaran dipercepat sepertinya. Xixixi.. "Sekarang, Ayah sama Mbak Beby jabat tangan dulu! Kalau kata bu guru di sekolah, orang yang maaf-maafan harus jabat tangan." "Itu nggak wajib Olla," sanggah Abrisam masih terus menyendokkan kuah mie instan terlezat menurutnya itu. Olla kembali melayangkan tatapan tajamnya. Kali ini tidak hanya pada Abrisam. Tetapi pada Beby juga. Seketika itu juga, Beby langsung mengawali jabat tangan yang diminta Olla. Ia menatap Abrisam dengan tatapan memohon. Abrisam lantas menghela napasnya. Meletakkan sendoknya, kemudian menjabat tangan Beby. "Sudah. Olla senang?" "Senang, Ayah!" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD