Aku ...

1080 Words
Setelah sampai di bandara internasional Soekarno Hatta aku pun bergegas mencari temanku yang duduk jauh dariku. Aku mengambil tas yang kubawa di atas kabin dan berdiri menunggu seseorang yang di depanku jalan. Aku melihat temanku yang duduk di depan pun sudah berdiri. ''Mai, ayo!'' panggilnya saat aku melihat ternyata orang yang di depanku sudah berada di depan Raya. Aku pun jalan mendekat Raya yang sudah menungguku, ''ayo!'' ajak ku dan aku berjalan duluan. ''Kenapa sih Mai, melamun terus dari berangkat tadi. Kamu berantem sama Maxcel?'' ucapnya lirih saat kami berjalan akan keluar dari pesawat ini. Suamiku Macelio, hanya di lanud semua orang memanggilnya Maxcel. ''Udah ah, nggak usah dibahas! Malah bikin mood ku makin buruk.'' ucapku tanpa menoleh pada Raya. Saat keluar bandara Raya segera memesan grab untuk menuju ke penginapan. Nanti jam 10 kita akan ke aula rumah sakit tempat kami pelatihan, jadi masih ada waktu 1 jam setengah untuk istirahat dan makan. Setelah menunggu 15 menit mobil kijang warna abu metalik berhenti tepat di depan kami. ''Dengan mbak Raya?'' ''Iya pak,'' kami berdua pun memasuki mobil untuk menuju ke penginapan. Ini pertama kali juga saya menginjakkan kaki di Jakarta, kalau bukan tugas kerja mungkin entah kapan bisa menginjakkan kaki di metropolitan ini. Kabarnya dulu suamiku juga lama tugas disini, namun ia tak pernah menceritakan apapun soal pengalamannya Jakarta. Aku tertawa sinis dalam hati, jangankan untuk cerita panjang lebar. Memanggil namaku saja ia enggan. ''Eh, ngelamun Mulu!'' ''Enggak Ray, cuma menikmati gedung-gedung mewah yang indah ini.'' ''Nikmati gedung, apa nikmati pemandangan yang kau tinggalkan dirumah,'' bisik Raya di telingaku. ''Ish, ngapain mikirin kulkas freezer yang nggak guna itu,'' protes ku pada Raya sambil memukul lututnya. Raya memang tahu bahwa aku menyukai Maxcel, sejak pandangan pertama aku sudah menyukainya. Saat bunda pertama kali mengenalkan ku padanya dan membawa ke rumahku. Bawaannya yang diam dan sedikit bicara, dan suaranya yang berat dan merdu di telingaku. Membuatku terasa mabuk kepayang, apalagi tipe laki-laki yang pendiam dan cuek adalah laki-laki idamanku. Tapi siapa sangka, diam dan cueknya terbawa sampai kami menikah. Bahkan lebih parah, sehingga saya menyesal telah mengidam kan lelaki cuek, sehingga membuat hidupku lebih hampa dari pada seorang jomblo. ''Ayuk Mai turun,'' lagi-lagi ucapan Raya mengagetkan ku. Aku pun bergegas turun dan mengambil koper kecil serta tas bawaan ku. Aku baru saja mengeluarkan dompet untuk membayar namun sudah ke dahuluan Raya yang membayar. ''Udah ayo kelamaan, melongo terus. Udah lapar nih,'' ujar Raya sambil menarik lenganku memasuki gedung 5 lantai tersebut. Saat akan memasuki gedung ponsel yang ku pegang berdering, aku pun menghentikan langkah untuk melihat siapa yang meneleponku. ''Siapa Mai,'' tanya Raya. ''Nggak tau Ray, nomor baru.'' ''Ya udah angkat aja, siapa tau penting.'' ''Iya hallo, maaf siapa ya?'' tanyaku pada seseorang di sebrang telpon sana. ''Ini Kak Maira ya? Saya Ardham sepupunya Mac yang di Jakarta. Katanya Anda di Jakarta, dan saya di suruh Mac untuk menjemput Anda. Sekarang Anda dimana?'' Aku melongo melihat Raya, ia hanya mengangkat kedua bahunya karena tidak tahu apa maksudku melihat nya. ''Emm ... Aku udah ada di penginapan, jadi nggak usah di jemp ... '' ''Kami ada di depan Clario hotel kebetulan baru sampai dari bandara, kalau di jemput kami tunggu ya.'' ujar Raya yang tengah merebut teleponku. ''Baik tunggu disana,'' ucap seseorang disana yang langsung mematikan telponnya. ''Eh Ray kenapa kamu main iya iya aja sih, ini jakarta loh. Siapa tahu dia orang jahat,'' gerutuku kesal pada Raya. ''Eh Mai, Lo nggak dengar kalau yang telpon tadi sepupu suami Lo, kesempatan Mai kapan lagi. Uang yang dipakai bayar penginapan bisa buat kita kan. Lo mah enak udah ada yang nafkahi, la gue Mai.'' ''Terserah deh,'' ucapku kesal pada Raya, namun perempuan itu tak pernah marah apalagi tersinggung dengan segala ucapanku. Dia temanku selama ini saat aku berada di Bali, dia sudah seperti saudara bagiku saat aku tak ada siapapun disana. Tak berselang lama mobil mewah warna hitam mulus tanpa lecet berhenti tepat di depan kami. Keluar lelaki tampan seumuran dengan Maxcel, bahkan wajahnya memiliki kemiripan dari hidung dan sama-sama memiliki rahang yang tegas. ''Mai, masih jomblo nggak ya? Ini lebih cakep dari suami Lo Mai,'' bisik Raya yang sedari tadi menyikut lengan ku saat melihat seorang lelaki keluar dari mobil itu dan melangkah ke arah kami. ''Kak Mai, saya Ardham! Masih ingat saya kan?'' ''Iya, iya ingat! Suami dari mbak Raffelin yang cantik itu kan,'' sengaja aku keraskan suaraku, biar perempuan di sampingku tidak berharap. Ardham hanya senyum dan mengangguk, kemudian ia menyuruh kami masuk ke dalam mobilnya. ''Apa Mac menelpon mu untuk menjemput ku?'' ''Iya, aku sudah telpon kak Mai dari tadi tapi nomornya belum aktif, mungkin masih ada di pesawat.'' ''Tapi dia tidak mengabari ku.'' ''Dia sudah kirim pesan kayaknya, soalnya tadi dia menelepon juga belum bisa.'' Aku segera melihat ponsel ku dan langsung menuju ke aplikasi biru. Sudah ada beberapa pesan disana yang belum terbuka. [Saya sudah suruh Ardham untuk menjemput mu, nanti kamu selama pelatihan bisa menginap di apartemen ku] [Oh ya satu lagi, jangan pernah sentuh apapun atau barang apapun milik saya] Dua pesan Maxcel membuatku semakin dongkol, tapi bagiku larangan adalah perintah. Aku langsung menutup ponsel tanpa membalasnya, malas saja membalas pesannya. ''Saya langsung antar saja ya Kak Mai, soalnya saya ada meeting sebentar, jadi mohon maaf tidak bisa ajak jalan-jalan dulu. Nanti aku suruh Raffelin main kesana kalau ada waktu.'' ''Iya Ar gak papa, lagian nanti jam 10 harus persiapan buat latihan. Iya nanti aku tunggu ya, pokoknya harus ke apartemen.'' ''Iya, nanti saya kasih tau dia.'' Setelah Ardham memberikan kunci ia pun pergi, kami berdua memasuki gedung mewah yang entah ada berapa ratus lantai. Sebenarnya aku juga bingung harus gimana untuk sampai ke kamar yang kuncinya sudah aku pegang, aku mau tanya Ardham tadi juga malu. Mau tanya Raya apalagi, gadis yang biasanya cerewet entah kenapa dari tadi diam. ''Woi, kenapa jadi kamu sih yang melamun?'' ''Mai, ini gedung apaan? Gimana cara kita masuk?'' ucap Raya malah menambah pusing kepalaku. ''Ya udah kita tanya saja sama security di sana.'' Kami pun berjalan memasuki ruang utama gedung ini, sedikit banyak drama dan susah untuk masuk kesini. Setalah menelepon Maxcel dan sudah dijelaskan olehnya, baru kita di antar sampai ke apartemen milik suamiku. ''Gila Mai, mewah banget ini dalamnya. Kenapa sih Lo ada yang gratis fasilitas oke Lo nolak, ini juga milik suami Lo Mai,'' cerocos Raya yang sudah keluar aslinya. Sedangkan aku tidak fokus pada ucapan Raya, aku fokus pada pesan suamiku untuk tidak mengulik barang pribadinya. Terimakasih sudah sampai sini, mohon dukungannya ya kak
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD