Pintu tertutup sangat keras, hingga membangunkan Yoda yang sedang tertidur di sofa, di dekat televisi. Bocah tampan itu memandang sekilas ke langit ruangan, kemudian bangkit dan mendapati Dion baru saja meletakkan helm sepeda. Yoda heran, lantaran tidak pernah ada barang seperti itu di rumahnya. Itu baru.
"Mami," Yoda seketika mengejar Dion ke kamar. "Udah pulang ya?"
Mendengar suara mungil itu, Dion baru sadar dan menoleh saat sudah membuka pintu kamar. "Yoda, kamu udah pulang sayang?"
"Udah, hari ini pulang lebih awal karena ada ujian harian. Mami, abis dari mana?" Yoda ingin tahu ketika mendapati Dion memakai pakaian asing, karena memang itu tidak biasa.
Baju jersey berwarna cokelat terang, dengan tulisan brand terkenal di Indonesia membuat Dion kini dipandang aneh oleh Yoda. Dia pun tidak mempedulikan, ini semua bukan persoalan karena Dion tidak perlu bicara soal bahwa dia mencoba untuk mengikuti kegiatan klub sepeda.
"Um … Mba Sari mana?" justru Dion menanyakan wanita yang bekerja sebagai asisten rumah tangga.
"Ada," Yoda menoleh ke pintu. "Lagi beli bakso, soalnya aku laper tapi … Belum ada masakan."
"Jadi Yoda mau makan bakso?" tanya Dion serius, dia mengajak anaknya masuk ke dalam kamar.
"Iya," Yoda menatap wajah Ibunya intens. "Ketahuan deh sama Mami,"
Dion memilih untuk duduk di lantai, sedang Yoda sedang berada di tempat tidur. "Sayang, Mami itu enggak suka kalau kamu jajan begituan! Kenapa …,"
"Mi, kan aku udah lama enggak makan bakso. Enggak apa-apa ya, sekali ini aja!" Yoda memohon, dengan raut penuh harap.
"Mbak Sari masak apa hari ini?" tanya Dion mencari aroma di sekitar, karena tidak tercium bau sesuatu di dapur.
"Enggak tau, tadi pas Yoda pulang itu … Kok tiba-tiba laper, pas ke dapur kata Mbak belum masak. Ya udah, aku minta dibeliin bakso." jawab Yoda dengan polos.
"Ya udah, sekali ini ya! Besok, enggak boleh makan bakso lagi, dan harus dihabiskan sayurnya di mangkuk! Ok!" ini sebagai persetujuan yang harus dilakukan, Dion hanya tidak ingin anaknya sering mengkonsumsi makanan olahan.
"Iya, Mami." jawab Yoda ada perasaan senang, karena hari ini Ibunya mengijinkan untuk makan makanan kesukaan.
Setelah Yoda keluar kamar begitu saja, Dion kembali terpaku dengan ruangan kosong saat ini. Dia menarik napas dalam, melihat kalender yang tertata rapi di meja kamar. Ini sudah saatnya Dion menemui Ayahnya, dia sudah berjanji pada Ibunya untuk berkunjung.
"Aku harus gagal ketemu Frey deh," Dion melepas jaket. "Susah cari baju, sepeda juga, sekarang kenapa baru inget sih? Harus nemuin Papa?"
Walau demikian menyesal, Dion akhirnya mengganti pakaiannya. Dia menatap sekilas tubuh dengan balutan pakaian dalam. "Aku enggak buruk deh, tapi … Kenapa Frey cuma melirik doang ya? Ya, dia udah punya pacar! Kasihan deh kamu, Dion!"
Dengan memaki diri, Dion merasa telah kalah dalam hari ini. Dia gagal mengikuti acara ke bukit, lantaran dia sudah mempunyai janji. Dion pun segera mengambil ponsel, dia mencari nomor Devi. Beberapa detik tersambung, sampai akhirnya Dion mendapati suara Devi menyapa.
"Aku hari ini enggak jadi ikutan! Maaf ya." ucap Dion penuh sesal.
"Loh, kenapa Dion?"
"Iya, aku mau ke rumah Papa." jawab Dion berat, dia harus merelakan hari di mana seharusnya dia bisa melihat Frey lebih lama.
"Oh, gitu. Ya udah, enggak apa-apa Baby. Santai aja!" jawab Devi.
Jujur, Dion berharap Devi itu memberikan paksaan. Supaya ada hasrat lebih dalam lagi, sehingga Dion bisa membuat alasan untuk Ayahnya jika hari ini batal untuk berkunjung ke Bandung. Tetapi, Dion justru mendapati jawaban Devi yang ringan, tanpa ada memaksa untuk berpartisipasi sedikit pun.
"Ya udah, aku … Mau lanjut kerja dulu ya, gampang kita sambung lagi nanti!" ucap Devi terdengar terburu-buru.
"Oh, iya deh iya."
Sambungan tersebut berakhir begitu saja. Padahal, Dion sudah cukup senang meski itu hanya Devi. Ya, Devi yang telah lama mengenal seorang Frey. Setelah lebih dekat dengan teman-teman Frey, jujur saja Dion memiliki kepuasan tersendiri meski dia tahu semua tidak akan ada pengaruh nya. Soal kedekatan bersama Frey, semua juga telah berjalan tanpa mereka.
"Mami …,"
Teriakan yang didengar oleh Dion dari dapur, membuat dia tidak sengaja menjatuhkan ponsel. Dalam hati, dia merutuki isi kepala. Tetapi, di sisi lain ingin tahu mengapa Yoda tiba saja memanggil dengan teriakan keras. Dion cepat-cepat ke dapur, melihat Yoda sedang duduk bersila di atas karpet di depan televisi.
"Ada apa, sayang? Kok kamu teriak-teriak gitu?" tanya Dion menghampiri, dia melihat Yoda seketika mengangkat mangkuk berisi makanan.
"Mau?" Yoda menawarkan bakso kepada Dion.
"Enggak ah, Mami lagi diet!" jawab Dion singkat. Tetapi, tidak langsung meninggalkan Yoda melainkan duduk di samping anaknya.
"Enak loh, ini kata Mbak baru buka kemarin." ucap Yoda seolah memberitahu, supaya Dion tergoda.
"Masa? Yang di mana? Emang, Yoda pernah ke sana?" tanya Dion melirik ke makanan yang masih menimbulkan uap panas.
"Pernah, sekali." ucap Yoda polos.
Mendengar itu, Dion seketika menatap ke dapur. Dia mendapati asisten rumah tangga itu sedang menundukkan kepala, ketika Dion telah memergoki sedang menguping. Lalu, tanpa pikir panjang Dion menghampiri.
"Mbak, kemaren kamu beliin Yoda bakso ya?" tanya Dion seketika membuat Sari menarik napas panjang.
"Aduh," Sari kebingungan. "I…Iya, Bu. Aku … Aku cuma kasian aja sama Mas Yoda. Kan waktu itu dia main, cuma di halaman depan sih. Nah, temen-temennya itu cerita habis makan bakso. Makanya, aku ajak aja Mas Yoda itu … Beli bakso, maaf ya Bu. Sekali lagi, minta maaf."
Walau sudah melarang keras, Dion tidak bisa berbuat banyak atas diri Yoda. Dia sadar, semua aturan yang telah dibentuk semata membentengi Yoda supaya anak itu bisa disiplin dan penurut. Namun, semua juga perlu ikut andil dari diri Dion yang memberikan pengawasan secara langsung.
"Ya, enggak apa-apa." Dion pun duduk di meja makan, sambil memegangi kening.
Melihat kondisi itu, Sari si asisten rumah tangga yang sudah bekerja selama 2 tahun segera mengambil teh tawar untuk diberikan kepada Dion. "Bu, minum dulu ya! Biar capek nya ilang."
Dion menarik gelas tersebut, menghirup aroma khas dari teh buatan Sari. "Mana bisa, Mbak? Capek aku ilang? Soalnya, yang capek itu bukan badan tapi … Pikiran."
Memahami atas apa yang telah menimpa majikan, Sari hanya bisa diam sambil menyiapkan beberapa bumbu dapur untuk membuat kari ayam. Sesekali, menoleh ke arah Dion yang sedang menatap kosong ke arah gelas.
"Mbak, nanti sore aku mau ke rumah Papa. Sendiri, jangan bilang sama Yoda ya!" Dion berpesan.
"Bu, kenapa enggak diajak sih? Bukan aku itu males jagain Mas Yoda, cuma … Kan pasti kangen sama Grandpa nya." Sari protes, dengan bahasa yang hati-hati supaya Dion tidak tersinggung.
Memang apa yang dikatakan Sari itu benar, hanya saja Dion sudah tahu akan sesuatu. Yoda suka bersama Kakeknya, dan itu semua tidak disukai oleh Dion. Dia enggan, karena Ayahnya tersebut lah yang sudah membuat dirinya mengalami kondisi berstatus single parent.
"Enggak, soalnya Yoda pasti enggak mau diajak pulang! Malam ini, kamu nginep ya mbak!" Dion berpesan kembali.
"Iya, Bu."
Setelah mendapati jawaban pasti, barulah Dion menyusul Yoda. Menu yang ada di mangkuk sudah habis, dan Dion bisa melihat sorot mata bahagia Yoda setelah bisa menikmati bakso. Sungguh, Dion tidak tega. Dia selalu menekan jumlah makan dan gizi seimbang Yoda, meski tujuan itu benar adanya. Tetapi, terkadang Dion merasa bersalah.
"Enak enggak, baksonya?" tegur Dion.
Yoda seketika menaruh piring ke baki. "Enak, Mi. Tapi … Aku janji enggak akan beli bakso lagi kok, makan yang sehat aja ya!"
"Kan kemarin udah beli sama mbak?" sindir Dion sambil berkacak pinggang.
Yoda terbelalak, dia tersenyum menunjukkan giginya yang baru saja tanggal. "Maaf Mi, aku cuma … Penasaran pas Mbak Sari bilang kalau bakso di seberang jalan, di sebelah bank itu enak."
Walau kesal karena Dion merasa aturannya telah dilanggar, dia tetap berlaku sabar dengan duduk sambil membelai ujung kepala Yoda. "Enggak apa-apa, Mami enggak akan marah kok. Asal kamu … Itu jujur, pasti Mami ngerti. Soalnya, kan udah seminggu ini Yoda nurut dan hebat bisa menghabiskan porsi makan nya!"
"Iya, Mi. Maaf." sesal Yoda.
"Ya udah, enggak usah dibahas lagi! Sore ini, Mami ada kerjaan. Kamu di rumah sama Mbak ya!" pinta Dion, supaya malam ini Yoda tidak sendirian.
Mendengar itu, Yoda seketika tersenyum lebar. "Wah, asyik Mbak Sari nginep di rumah. Ya udah, Mami kerja aja! Biar aku sama Mbak Sari."
Rasa antusias Yoda sebenarnya tidak salah. Tetapi, entah Dion merasa telah kehilangan momen utama bersama anaknya. Waktu yang seharusnya ada, kini menjadi hilang karena sebenarnya hanya hari ini Dion memiliki kesempatan. Esok, Dion harus kembali bekerja menjadi asisten pelatih karate dan meluangkan waktu untuk berolahraga sebelum bertanding.
[...]
Rumah dengan dijaga ketat oleh dua penjaga, kini terlihat sepi. Tidak ada siapa pun di pos penjagaan. Kemudian Dion turun dari taksi bergegas ke jendela pos satpam, dia menilik lagi keadaan di dalam sana.
"Pak, kok enggak ada orang sih?" tanya Dion pada dirinya sendiri, dan berharap ada yang menyahut.
Sepi. Keadaan rumah memang tidak seperti biasanya, Ayah Dion yang merupakan bos produksi pakaian jelas sering kedatangan tamu dan terutama rumah berdekatan dengan pabrik. Namun, sore ini justru Dion mendapati kondisi yang lain.
Setelah Dion mengitari sekeliling rumah, dia memutuskan untuk kembali ke batas gerbang di depan. "Kok sama sekali enggak ada yang orang sih?"
Tepat ketika Dion mengambil ponsel, berniat untuk menghubungi Ayahnya perihal keadaan di rumah. Tiba saja datang bis besar berkuatan sekitar 50 orang
berhenti tepat di depan rumah. Dion terkejut, dia seketika menepi dan berada di sisi jendela pos satpam.Setengah bingung, dan rasa ingin tahu karena keadaan sangat lain Dion segera mendekat, melihat orang dari kepercayaan Ayahnya keluar dari bus dan menenteng sebuah kantong plastik putih besar. "Pak, kenapa ada bis di depan rumah?"
Belum sempat mendapati jawaban, Dion sudah melihat mobil merah milik Ayahnya datang. Dari yang terlihat orang-orang yang turun dari dalam bis, Dion bisa menebak jika mereka baru saja pergi liburan.
"Mbak Dion udah lama di depan rumah?"
Pertanyaan seseorang membuat Dion sempat terkejut, dia berpaling dari Ayahnya yang baru saja keluar dari mobil. "Eh, enggak kok. Baru aja, dan aku liat pos satpam sepi makanya heran."
Setelah memberi jawaban yang terkesan buru-buru, barulah Dion mendapati Ayahnya mendekat. Dia malas, hanya saja Dion masih menghormati pria yang berjalan menggunakan bantuan tongkat tersebut. "Sore, aku ke sini karena memang kita ada janji. Makanya … Kudu ditepatin, 'kan?"
Pria dengan kumis tebal, alis dan sorot mata yang tajam itu memandangi Dion penuh ketelitian. "Udah dari tadi di sini?"
"Lumayan, sekitar 40 menit." jawab Dion singkat.
"Ya, ok. Ayo, masuk! Dari pada di sini, soalnya … Bentar lagi Papa ada rapat. Kalau ada yang mau dibicarakan mending sekarang aja!" ucap Ayah kandung Dion.
Meski tidak terima, karena pertemuan ini berasal dari permintaan Ayahnya Dion tetap berjalan di belakang bermaksud untuk membuntuti. Setelah berada di halaman depan, Dion dikejutkan oleh keberadaan mobil mewah berwarna kuning. Mobil yang dulu pernah diimpikan oleh Dion. Namun, itu menjadi harapan saja karena sampai kapan pun Dion tidak akan pernah mampu membelinya.
"Sini, duduk!"
Dion dipersilakan untuk duduk di teras. Ya, karena merasa hanya tamu Dion pun mengambil posisi di tempat tersebut. "Kalian habis liburan ya? Para karyawan dan staff?"
"Iya, cuma Papa enggak ikutan. Abis ada urusan, dan kebetulan … Pulang bareng." jawab pria mengenakan kemeja batik hijau dengan mudah.
Dion memandangi area rumah mewah Ayahnya, bersih dan rapi. "Papa nyuruh aku ke sini, buat apa?"
Bukan saatnya untuk berbasa-basi karena Dion perlu mengurus beberapa keperluan lain, dan meluangkan waktu untuk pergi ke Bandung merupakan hal besar. Namun, setelah memberikan pertanyaan Dion diberi jamuan berupa minum dan kue kering.
"Ayo, kamu makan dulu! Biar kita bicaranya itu enak!" pinta Ayah Dion.
Seseorang yang bernama resmi Mahendra itu terus mengamati Dion, meski dia sadar bahwa putrinya curiga. "Kamu kenapa kurusan sekarang? Diet lagi?"
"Iya, 2 bulan lagi aku tanding. Makanya harus diet," Dion sempat memerhatikan kondisi badan nya. "Kenapa? Kurang bagus ya kalau aku kurus?"
"Bagus, kan itu syaratnya. Tapi … Cobalah gedein lagi massa otot kamu itu, kalau kurus kering kamu nanti lemah, dan kalah!" ucap Mahendra setengah menuntut.
"Kan kalah, menang itu sudah ada sejak dulu. Wajar!" ucap Dion lugas.
Mahendra hanya duduk dengan posisi punggung menetap di badan kursi, dia mengangkat satu kaki kemudian masih mengamati Dion. "Gimana kabar Yoda? Cucu Papa?"
"Baik, dia … Dapat peringkat ke-3 di sekolah." jawab Dion dengan bangga.
"Baguslah, ada kemajuan. Kemarin cuma masuk 5 besar sekarang, 3 besar." ungkap Mahendra memuji cucunya.
Cukup lama Dion menunggu sampai Mahendra memberi penjelasan atas pertemuan kali ini. Sampai akhirnya datang pria berpakaian rapi, memegang map dan pulpen yang duduk di sisi kiri Mahendra. Ada apa? Dion sempat menatap jeli, karena orang tersebut merupakan pengacara Mahendra.
"Hai, Dion. Apa kabar?" sapa pria berdasi tersebut.
"Hai, Pak Jo. Baik, Anda bagaimana?" tanya Dion hanya basa-basi.
"Cukup baik selama kamu liat aku masih bisa tersenyum." jawab Jo ringan.
Lalu Dion menyisihkan sisi bibirnya. "Ya, Anda memang keliatan lebih segar kok."
"Oh ya, apa … Papa kamu ini udah ngomong, soal … Kenapa kamu disuruh ke Bandung?" tanya Jo, yang seketika memangkas pandangan Dion ke lain arah.