3. ALASAN PENOLAKAN

1293 Words
Ribut baru saja akan naik ke kamarnya ketika langsung ditodong Susi yang melihatnya datang sendiri. Padahal, dia mengutus Ribut untuk mengundang Mana ke rumah mereka hari ini. "Mana mana?" tanya Susi heran. "Di rumahnya, Ma," jawab Ribut yang sengaja berdiri di dekat tangga, berhenti untuk memberikan jawaban pada Mama tercintanya. "Maksud Mama, kok, nggak dibawa ke sini, Kampret," celetuk Dara, kakak perempuan satu-satunya Ribut. "Oh," sahut Ribut singkat. "Si Mana diare." "Apa? Diare? Kok bisa? Kok, kamu malah pulang, sih? Bawa ke rumah sakit atau dirawat, dong," tegur Susi yang segera meninggalkan ruang makan dan memukul gemas lengan Ribut. "Kamu gimana sih jadi tunangan?" Ribut mencebikkan bibirnya. "Buat apa, Ma? 'Kan dia punya orang tua. Biar diurus sendirilah." "Ya nggak bisa gitu, dia itu tunanganmu, lho. Tunjukan perhatianmu, dong. Gimana sih?" omel Susi. "Iya, tuh, dasar nggak perhatian," celetuk Dara lagi. "Kalau kakak begitu khawatir, kenapa nggak kakak aja yang tunangan sama Mana?" sergah Ribut kesal. "Oon, ya? Kami satu kelamin," sahut Dara santai. "Ya apa masalahnya? Jadi pasangan aja," balas Ribut. "Itu nggak mungkin," bantah Dara tegas. "Kenapa? Mau bilang kalau itu nggak normal?" sindir Ribut. “Bukannya pernikahanmu dengan lawan jenis sudah gagal. Kenapa nggak nyoba yang sejenis? Kali aja berhasil. Ya kan?” Ekpresi Ribut tidak menunjukkan tanda-tanda bercanda. Dara tersenyum tipis, menatap adik lelakinya dengan hasrat pembunuh luar biasa lantas berucap, “Menjadi CEO dan sukses sudah membuatmu kurang ajar huh? Haruskah aku menarik investasiku di perusahanmu, menjualnya pada pihak musuh dan membuatmu dihentikan sebagai CEO?” Dara mengancam. Ribut menelan ludah, kehilangan investor seperti Dara, tentu bukan yang diharapkannya. Terlebih, perempuan itu memiliki koneksi yang tidak sedikit dengan banyak perusahaan lain. Bermusuhan dengan Dara, bisa dibilang, bunuh diri. “Oke, anggap saja aku tidak bilang apa-apa.” Ribut memutuskan. Dara berdecak pelan, “Nggak minta maaf dulu?” Ribut dan Dara bertatapan sebentar, sebelum lelaki itu menghela napas dan berucap maaf agar perang dunia ketiga tidak pecah. “Maaf,” ujarnya pelan membuat Dara tersenyum penuh kemenangan. “Kapan kamu akan menikah?” tanya Dara membuat Ribut mengernyitkan kening. “Untuk apa bertanya tentang itu?” "Aku harus menikah lagi dan menghasilkan keturunan. Dengan begitu, harta warisan Mama nggak akan jatuh ke tanganmu sendirian," jawab Dara yang membuat Ribut berdecak kesal. "Matre!" "Bodoh." "Udah, udah. Kok malah berantem masalah warisan, sih? Mama masih hidup lho ini," tegur Susi. "Maaf, Ma. Salah dia tuh," kata Dara menyalahkan Ribut. "Salahmu!" Ribut nggak mau kalah. "Udah. Karena kamu suka teriak ke kakakmu makanya kamu nggak perhatian sama Mana," ujar Susi menyalahkan Ribut. "Perhatian, kok, Ma," bantah Ribut. "Mana udah Ribut kasih obat, kok." Susi tersenyum senang. "Beneran?" "Iya, udah Ribut buatin air garam," jawab Ribut yang langsung berlari pergi ke kamarnya. Kabur. "Dasar," dengus Susi lalu kembali ke meja makan untuk melanjutkan makannya yang belum selesai. Ribut melemparkan tubuhnya ke kasur. Dia lelah karena hampir dua jam diajak Komala untuk berduel di game. Ribut memang terlihat seperti berandalan tetapi soal game, dia payah sekali. Terlebih Mana menyaksikan dan menertawakannya. Gelak tawa perempuan itu masih tergiang-giang di telinga Ribut dan membuatnya sakit kepala. Harga dirinya seperti diinjak-injak. Komala adalah pemilik dari perusahaan game. Wajar jika dia sangat ahli. Namun, mengalami kekalahan di depan Mana, orang yang selalu memberontak dan melawannya balik, itu sangat memalukan. "Menyebalkan," keluh Ribut lantas memejamkan mata, ingin tidur walau seketika kaget ketika kedua kakinya ditarik hingga menghempaskan tubuhnya ke lantai. "Aduh, sakit!" jerit Ribut sembari mengusap-usap pantatnya yang terasa nyeri. Ribut menyipitkan mata dengan bibir manyun, kesal menatap Dara yang cekikikan di depannya. Perbuatan tidak menyenangkan yang dialaminya barusan disebabkan oleh kakaknya yang jail. "Penganiaan, nih," ucap Ribut. Dara hanya menjulurkan lidahnya. "Penganiayaan jidatmu!" "Kalau tulang ekorku patah gimana? Pantatku jatuh duluan!" sungut Ribut. "Alay! Di mana-mana orang jatuh kebanyakan pantatnya duluan. Lagian kamu cuma jatuh dari kasur bukan atap gedung lantai 30," sahut Dara santai. "Tetep aja kan segala kemungkinan itu ada," kata Ribut tidak mau kalah. "Lebay, deh," ucap Dara lantas duduk di kasur Ribut. "Ngapain ke sini?" tanya Ribut lantas bangun dan memilih untuk duduk di kursi belajar, tidak ingin dekat-dekat Dara. Bahaya. "Lapar, nih," keluh Dara. "Makan," sahut Ribut. Dara berdecak pelan. "Iya, kalau itu paham," katanya. "Cuma hari ini pengen makan yang lain." "Apaan? Batu kali? Ban karet bakar?" sergah Ribut, masih dendam. "Sembarangan!" Dara bangkit lalu segera menyerang Ribut membuat lelaki yang tidak bisa bela diri itu kewalahan menghadapi Dara yang pernah sabuk hitam di Pencak Silat. "Lepas, Kak!" Ribut berusaha meronta untuk bisa lepas dari jepitan tangan Dara. "Beliin makanan dulu baru dilepasin," ucap Dara mengajukan syarat. "Gimana mau beli kalau aku dicengkeram begini sih?" keluh Ribut. "Janji beli ya? Awas ingkar," ancam Dara. "Iya, lepas! Nggak bisa napas!" sahut Ribut menyanggupi. Dara melepaskan tangannya yang menjepit kepala ribut. Jand berusia hampir tiga puluh dua tahun itu mengibaskan rambutnya ke belakang hingga sempat 'menampar' wajah Ribut lalu duduk kembali di kasur. Dara pernah menikah meski hanya bertahan selama dua tahun. Mantan suaminya selingkuh. "Tas Gucci," ujar Dara kemudian. “Hah? Apaan? Makanan, Oi!” Ribut protes. Dara terkikik, “Bercanda. Aku tahu kamu miskin,” ejek Dara. “Kalau tahu, ngapain menyuruhku membelikanmu makanan?” sanggah Ribut. “Kamu miskin, tetapi masih sanggup untuk membelikanku makanan kan? Lagipula. Kamu harus membayar jasaku yang bersedia berinvestasi di perusahaanmu,” balas Dara. “Aku mau sate ayam.” Ribut berdecak pelan lalu mengeluarkan handphonenya. Dia memesan makanan secara online. "Lagi otw abangnya, tunggu. Sabar," kata Ribut kemudian. "Oke," sahut Dara lalu tersenyum puas. “Lagipula, kamu berinvestasi sebagai klamufase saja kan? Kamu hanya tidak mau menjadi pengusaha dan mengeluarkan tenaga untuk memikirkan ini-itu. Ya kan? Kamu hanya ingin diam di rumah dan tetap kaya, dasar,” omel Ribut. "Diem kamu, Kampret. Kedengeran Mama, aku sleding kau," ancam Dara. Ribut mencebikkan bibirnya, kesal. Kakak perempuannya yang terlihat seperti perempuan pada umumnya itu sedikit berbeda. Dia selalu bersikap kasar pada Ribut. Sangat jauh berbeda ketika di depan orang lain. Kakaknya itu sudah seperti memiliki kepribadian lain. "Penganiayaan," desisnya yang langsung kena jitak Dara. "Sama yang lebih tua harus hormat," nasehat Dara. Ribut mengangkat tangan kanannya, memberi hormat seperti saat upacara yang langsung membuatnya kena jitak lagi. "Sikap hormat, Kampret. Bukan hormat kayak gitu. Kamu pikir kakakmu ini tiang bendera?" delik Dara sebal. "Iya," sahut Ribut jujur. Dia nyaris mendapat jitakan lagi kalau driver online tidak mengirimkan notifikasi kalau pesanan telah sampai. "Tuh, makanan datang. Ambil sana," ujar Ribut. "Udah datang? Yuppy," seru Dara yang langsung keluar dari kamar Ribut. Ribut menghela napas panjang. Lega. "Oi, Kampret, udah dibayar'kan?" tanya Dara yang ternyata balik lagi. "Udah," jawab Ribut. "Oke, sip. Good boy," puji Dara yang langsung menghilang lagi. Ribut berdecak pelan. Lama-lama saldonya akan menipis jika terus-menerus mentraktir Dara makan. Bagaimanapun kakaknya itu bukan manusia sembarangan. Soal makanan Dara terbilang rakus. Apalagi dia suka olahraga. Asupan gizi dan tenaga yang dikeluarkan harus seimbang. "Oi!" Ribut nyaris terpekik ketika Dara memanggilnya lagi. "Apaan? Kurang?" tanya Ribut sambil mengelus-ngelus dadanya. Kaget. "Mana, tunanganmu, dia kayak apa?" tanya Dara kepo. Sejujurnya, mereka belum pernah bertemu. "Perempuan," jawab Ribut yang langsung dibalas decakan kesal oleh Dara. "Soal itu aku juga tahu. Maksudku, dia pandai bela diri?" tanya Dara lagi. Ribut berpikir sebentar lalu menggeleng. "Dia tipe yang serius dalam hidup. Aku rasa dia nggak punya waktu untuk belajar bela diri," jelas Ribut. "Cih, membosankan," komentar Dara lalu pergi dengan kecewa. Ribut tersenyum geli. Dara dan Ribut memang sering berkelahi, tetapi soal selera, mereka sering sama. Demikian pula soal Mana. Kesan pertama mereka tentang gadis itu adalah membosankan. Jika saja Mana sedikit oon, tidak terlalu serius, seperti tokoh utama perempuan dalam drama komedi-romantis, mungkin Ribut akan mempertimbangkan. Namun, perempuan itu tidak memiliki selera humor sama sekali, membuat Ribut sama sekali tidak tertarik, kecuali dalam urusan berkelahi, mencaci maki atau semacamnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD