"Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kemudian hanya kepada Kami, kamu di kembalikan."
(Surat Al-Ankabut : 57)
***
Sayup terdengar suara azan menandakan waktu shalat subuh telah tiba. Seorang lelaki tampan berbaju koko putih dan sarung berwarna hitam melangkahkan kakinya menuju masjid dengan perasaan bahagia.
Dia adalah Muhammad Zayyan Altair. Ia baru kembali dari belajar-mengajarnya di salah satu dayah terbesar yang ada di Aceh. Dan ini adalah subuh pertama baginya di masjid sejak kepulangannya kemarin.
Dengan langkah santai ia berjalan sambil melantunkan shalawat dan zikir dengan suara kecil dan pelan. Matanya sesekali menatap langit yang dipenuhi bintang-bintang kecil yang berkelap-kelip.
Halaman masjid sudah dipenuhi beberapa orang yang berlalu lalang. Sebelum ia memasuki halaman masjid, dua orang laki-laki muda mendekatinya. Salah satu dari keduanya adalah Mirza. Muridnya semasa TPA dulu. Tetangga sebelah rumah.
"Assalamu'alaikum, Bang...!" sapa Mirza dan lelaki satu lagi secara bersamaan.
"Wa'alaikumussalam...," jawab Zayyan dengan tersenyum seraya membalas jabatan tangan Mirza dan temannya itu.
"Alhamdulillah, akhirnya pagi ini saya bertemu Abang di sini," ucap Mirza antusias.
"Oh ya, Bang, kenalkan Bang, ini teman saya. Namanya Ammar." Mirza memperkenalkan temannya yang bernama Ammar kepada Zayyan. "Mar, ini Bang Zayyan. Guruku masa TPA dulu...," lanjutnya lagi.
"Salam kenal Bang, saya Ammar teman Mirza. Saya baru di sini. Anak perantauan, Bang," ucap Ammar.
"Salam kenal kembali," balas Zayyan dengan senyum yang tidak pernah pudar dari wajahnya yang tampan itu.
"Baru balik, Bang?"
"Iya, kemarin baru sampai."
Sampai di halaman masjid mereka berpisah. Mirza dan Ammar pamit berwudhu sedangkan Zayyan langsung masuk ke masjid karena ia sudah berwudhu sebelum keluar menuju masjid.
Selepas shalat subuh dan berzikir, Zayyan mengulang hafalan Qur'annya.
Setelah tiga puluh menit kemudian ia baru beranjak dari duduknya dan keluar dari masjid. Di depan pintu masjid ia berpapasan dengan Ammar yang baru ia kenal sebagai teman Mirza. Ammar langsung mendekati dan menyapanya sambil menyunggingkan senyum.
"Assalamu'alaikum, Bang...."
"Wa'alaikumussalam...," balas Zayyan. "Mirza mana? Tidak pulang sekali?" lanjut Zayyan menanyakan keberadaan Mirza.
"Tidak, Bang, dia sudah pulang duluan. Saya sengaja menunggu Abang sejak tadi supaya kita pulang sekali. Kata Mirza rumah Abang searah dengan rumahnya, makanya saya tungguin Abang," jawab Ammar.
Mereka berbincang-bincang sambil berjalan pulang. Ammar anak rantauan dari Medan. Dia satu kampus dengan Mirza. Karena sedang masa libur kuliah Ammar tidak pulang ke Medan, ia mengikuti Mirza pulang ke Bireuen tempat Mirza tinggal. Begitu perkenalan singkat antara Zayyan dengan Ammar sebelum mereka berpisah di pertengahan jalan.
Setibanya Zayyan di rumah, ia langsung masuk dan melangkah ke arah dapur. Ia melihat ummi sedang menyeduh kopi.
"Assalamu'alaikum, Ummi...! Ummi masak apa pagi ini?" Zayyan menyalami dan mencium tangan serta kedua pipi ummi dengan sayang.
"Wa'alaikumussalam, eh... anak Ummi yang ganteng sudah pulang dari masjid," balas ummi dengan senyum lebar. Tangannya mencubit gemas pipi Zayyan. Ummi begitu senang ketika anak semata wayang yang ia sayangi sudah kembali lagi berkumpul bersama di rumah. Selama ini ia tinggal hanya berdua dengan suaminya. Ia merasa kesepian semenjak Zayyan mondok dan mengajar di ma'had.
Zayyan hanya tersenyum mendengar pujian umminya. Terkadang ummi masih memperlakukan Zayyan seperti anak kecil. Padahal umurnya sudah kepala tiga, sudah semestinya ia jadi bapak anak kecil bukan diperlakukan sebagai anak kecil. Tapi Zayyan menerima saja apa yang umminya lakukan karena sebesar dan setua apapun, ia masihlah anak kecil bagi umminya.
"Abi mana, Mi?" tanya Zayyan.
"Ada tadi di luar mungkin sudah masuk kamar, coba Abang lihat sekalian ajak makan, kita sudah lama tidak makan bersama. Ummi kangen tahu."
Zayyan melangkah menuju kamar orang tuanya untuk memanggil abi dan mengajak makan bersama seperti yang diinginkan oleh Sang Ummi.
***
Ghalin Zayyina. Sosok wanita mungil nan manis berlesung pipit itu menatap wajah ibunya untuk terakhir kali dengan mata sayu lagi sembab.
Sore hari ini ibunya berpulang. Kini sayapnya kembali hilang setelah enam belas tahun lamanya sayap yang pertama hilang. Ibunya berbaring dengan balutan kain kafan, diiringi dengan bacaan Qur'an oleh kerabatnya. Kedua saudaranya juga khusyu' dengan lantunan ayat suci. Hanya dirinya yang tetap dengan tatapannya.
"Ina, sebentar lagi Ibu akan dishalatkan," bisik Zahra, istri abang satu-satunya membuyarkan pandangannya.
"Iya, Kak." Dan Ina, begitu ia dipanggil, melanjutkan bacaannya dengan isakan yang ditahan.
Sebelum ibunya dishalatkan. Ina dan seluruh keluarga juga kerabatnya, satu persatu mencium kening ibunya. Ketika tiba gilirannya ia bergumam...
"Ibu, maafkan segala kesalahanku apabila ada yang melukai hatimu. Tunggu aku di sana, Bu. Titip salamku buat Abi. Aku menyayangimu Ibu."
Karena air matanya hampir jatuh, dengan cepat Ina mundur agar air matanya tidak mengenai ibunya.
Kini ia mengiringi ibunya keluar untuk dishalatkan. Hauzan -abangnya- yang menjadi imam. Ina bahagia melihat banyaknya orang yang ikut menshalatkan ibunya. Ia sangat bersyukur akan hal itu.
Semua mengantarkan ibu ke pemakaman. Hanya Ina dan Jiya, kakaknya yang tidak ikut ke pemakaman. Ina sudah terlalu lemah. Jangankan untuk berjalan, berdiri saja dia sudah tak sanggup.
Rumah sudah tidak terlalu ramai. Hanya beberapa orang dan kerabat yang masih sibuk menyiapkan segala keperluan. Bahkan bahan-bahan untuk dimasak sudah tersedia. Itu semua atas arahan adik-adik ibunya.
Zahra yang juga tidak ikut ke pemakaman, karena anaknya yang masih bayi agak kurang sehat, mendekati Jiya.
"Ya, gimana keadaan Ina sekarang? Apa sudah mendingan?" tanyanya begitu sudah di samping Jiya.
"Masih agak lemah. Udah aku bawa ke kamar tadi. Kayaknya udah terlelap, coba Kak Zahra lihat," ucap Jiya. Ia masih sibuk menghadapi tamu yang baru datang karena abangnya yang tertua masih di pemakaman.
Tanpa kata lagi, Zahra melangkah ke kamar Ina. Setelah membuka pintu yang tidak terkunci, ia mendekati Ina. Melihat Ina yang begitu rapuh, hatinya ikut menitikkan air matanya, tanpa suara ia membelai kepala adik iparnya itu dengan lembut.
Merasakan ada yang menyentuhnya, Ina membuka matanya kembali.
"Kak Zahra...." Tangisnya kemudian seraya bangkit dan memeluk kakak iparnya.
"Yang sabar, jangan nangis lagi, Sayang. Ingat, Na, yang hidup akan mati dan yang mati akan hidup kembali. Semoga kita semua dikumpulkan lagi oleh Yang Maha Kuasa bersama di surgaNya nanti," hibur Zahra masih dengan mengusap-usap punggung Ina, adik dari suaminya.
Ina hanya menganggukkan kepalanya saja sebagai jawaban. Dadanya sesak, berkali-kali dia membuang napasnya dengan kasar.
"Sebentar lagi Magrib, kamu shalat di sini atau di Mushalla?" lanjut Zahra lagi.
"Di Mushalla aja, Kak," jawab Ina melepaskan pelukannya dan bangkit berdiri masuk ke kamar mandi.
Setelah membasuh wajahnya yang sembab, Ina mulai berwudhu dan siap-siap ke mushalla.
"Nisa, ajak adik-adik semua shalat berjama'ah di Mushalla."
Ina mendengar suara kakaknya menyuruh santri yang tertua untuk mendisiplinkan adik-adik yang lain.
Tanpa mengalihkan tujuannya, Ina langsung menuju ke mushalla dan ikut berjama'ah bersama setelah azan berkumandang.
Suara iqamah membahana terdengar dari pengeras suara. Imam dan santri juga tamu yang ikut berjama'ah bergegas bangun dari duduknya untuk mengatur shaf masing-masing.
Ina juga sudah bersiap-siap di shafnya. Dengan memakai mukena putih, ia terlihat menawan. Hanya wajah dan mata coklatnya saja yang menandakan ada kesedihan di sana.
Rutinitas shalat magrib dan zikir telah selesai. Beberapa ada yang beranjak keluar dan ada juga yang baru masuk untuk menunaikan kewajiban. Yang baru-baru masuk kemungkinan tamu yang baru datang dari jauh.
Ina tidak beranjak dari duduknya. Ia masih tetap terpaku di shafnya tadi dengan bacaan Qur'annya tanpa menyadari tatapan dari seseorang di shaf depan dengan pandangan yang tidak bisa ditafsirkan.
Sadar waktu magrib hampir lewat, seseorang tadi langsung beristighfar dan mulai melaksanakan shalatnya. Ia bermunajat pada Sang Pemilik 'Arsy agar memudahkan dan meringankan segala urusan gadis mungil itu. Walau ia tidak mengenal gadis itu namun ia merasakan kedekatan yang sangat kuat dengannya.
Ina akan beranjak dari duduknya. Begitu ia berdiri tanpa sengaja ia melihat ke shaf depan dan bersitatap mata dengan seseorang yang tidak ia kenal.
Cepat-cepat ia mengalihkan tatapannya begitu juga dengan seseorang tadi. Wajahnya yang sembab perlahan-lahan sudah kembali segar. Hanya matanya saja yang masih menyisakan kesedihan, itu karena air mata yang tidak berhenti mengalir walau ia sudah menahannya.
Dengan langkah pelan Ina menuju pintu keluar. Ia mengedarkan pandangannya dan melihat tamu masih berdatangan. Itu karena abi dan ibunya adalah sosok yang berpengaruh di tempat tinggalnya.
"Dek, sini...," panggil Jiya begitu melihat adiknya, Ina, masuk.
"Ini kenalin Ummi Dini, sahabat Ibu waktu di Pesantren dulu. Masih ingat, gak? Tahun lalu kita pernah ke rumah beliau waktu acara syukuran, ingat gak?" Jiya dengan semangatnya mengingatkan Ummi Dini pada Ina. Ina hanya tersenyum melihat tingkah ibu satu anak itu.
Iya, kakaknya Jiya mempunyai seorang putra yang bernama Rayyan Faeyza yang berusia dua tahun.
"Assalamu'alaikum, Ummi...." Ina menyalami dan mencium tangan serta pipi Ummi Dini dengan ta'zim.
"Wa'alaikumussalam, ini Ina kan ya? Makin cantik aja."
"Iya Ummi, saya Ina. Ummi udah lama sampai?" tanya Ina.
"Baru beberapa menit yang lalu, ini juga baru selesai shalat tadi sama Nak Jiya," jawab Ummi Dini seraya melirik Jiya dengan tersenyum.
"Owh, Ina pamit dulu, ya, Mi, mau ganti mukena dulu nih. Nanti kan tamunya makin ramai, agak susah kalau pakai mukena gini...," pamit Ina seraya beranjak dari duduknya setelah mendapat anggukan dari Ummi Dini.
Begitu di dalam kamar Ina merebahkan dirinya sejenak untuk merefresh kembali pikirannya. Ingatan akan ibunya masih melekat di pikirannya sehingga air mata kembali mengukir di pelupuk matanya yang lentik itu.
Karena letih, perlahan-lahan matanya menutup dan ia terlelap dengan menyisakan bekasan air mata di pipinya.
TBC