14. Kecupan Pertama

1808 Words
Azan Isya sudah sejak tadi berkumandang, kemudian dilanjutkan dengan iqamah yang membahana terdengar dari pengeras suara Mushalla. Para santri yang notabene-nya sebagai jamaah, bergegas bangun dari duduknya untuk mengatur shaf masing-masing. Shalat kali ini diimami oleh Zayyan sendiri atas permintaan Hauzan yang kini sudah resmi menjadi abang iparnya. Dengan memakai peci putih, baju teluk belanga berwarna navy dipadu dengan kain sarung tenun hitam pekat polos buatan dalam Negeri, Zayyan terlihat sangat bersahaja. Di samping sajadahnya terlihat kacamata minus terletak dengan manis, seakan-akan ia mengerti bahwa sang empunya akan segera menghadap Sang Khalik Penguasa jagad raya ini. "Allaahu Akbar...!!!" Zayyan memulai takbiratul ihram diikuti oleh jamaah di belakangnya. Dengan penuh penghayatan, Zayyan membaca bacaan dari mulai doa Iftitah, kemudian dilanjuti dengan Al-Fatihah dan disambung dengan surah pendek. Ia membaca surah Al-Lail pada rakaat pertama. Sampai pada ayat ke sembilan belas hingga dua puluh satu, ia merasakan hatinya berdesir bak riak di pinggir pantai. بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ وَمَا لِأَحَدٍ عِندَهُۥ مِن نِّعۡمَةࣲ تُجۡزَىٰۤ, إِلَّا ٱبۡتِغَاۤءَ وَجۡهِ رَبِّهِ ٱلۡأَعۡلَىٰ, وَلَسَوۡفَ یَرۡضَىٰ "Dan tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat padanya yang harus di balasnya, tetapi (dia memberikan itu semua semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha Tinggi. Dan niscaya, kelak dia akan mendapat kesenangan (yang sempurna)." (QS. Al-Lail : 19-21) Setelah shalat dan berzikir bersama, para santri meninggalkan Mushalla dan bersiap-siap masuk kelas malam. Namun tidak dengan Zayyan, ia masih duduk berdiam diri. Bibirnya masih melantunkan dzikir, shalawat, dan hafalan-hafalan ayat Al-Qur'an. Setelah selesai, ia beranjak, bangkit dari duduknya dan melangkah keluar Mushalla. Zayyan membalas senyum setiap santri yang berpapasan dengannya. Bibirnya tidak berhenti berdzikir, memuji Asma Allah yang telah begitu banyak memberikan nikmat kepadanya. Hauzan mengikuti langkah kaki Zayyan, akan tetapi Hauzan tidak ikut kembali ke rumah bersama Zayyan. Dengan bibir masih melantunkan shalawat, Zayyan melangkah mantap menuju kediaman istrinya. *** Zayyan membuka pintu kamar. Gelap. Hanya sedikit cahaya yang menyembul dari ventilasi-ventilasi kamar. Bau harum semerbak menguar di indera penciumannya. Dengan langkah pelan, ia mendekati tempat tidur dan duduk bersandar di kepala ranjang tanpa menyalakan lampu terlebih dahulu. Suara percikan air di kamar mandi menandakan bahwa istrinya berada di sana. Tidak lama kemudian, Ina keluar dari kamar mandi. Ia terhenyak, kaget saat melihat suaminya sudah berada di kamar. Dengan gerakan cepat, ia meraih hijab dan menutup kepalanya. Zayyan tersenyum melihat aksi istrinya. Di matanya, Ina terlihat sangat cantik, sekilas tadi ia melihat rambut hitam kelam istrinya yang panjang. "Assalamualaikum," ucap Zayyan mengawali pertemuan mereka di malam ini. "Wa... waalaikumussalam, Abang!" jawab Ina gugup. Dua menit berlalu setelah mereka mengawali pembicaraan dengan ucapan salam. Kecanggungan masih terasa di antara mereka. Ina melirik Zayyan diam-diam. Cahaya yang temaram tak membuat penglihatan keduanya buram. Mengetahui sang istri meliriknya diam-diam, Zayyan tersenyum simpul. Beranjak dari duduknya, Zayyan mendekati Ina. "Jangan kau tutupi kecantikanmu, Ina. Sekarang semua yang ada padamu telah menjadi milik saya seutuhnya," ucap Zayyan dengan senyuman hangatnya. Dengan malu-malu, Ina hendak menurunkan kembali kerudung yang ia ambil tadi, tetapi tangan Zayyan lebih dulu meraih penutup kepalanya. Sementara manik matanya tidak lepas dari wajah teduh Ina. "Sini," ajak Zayyan sambil menggenggam tangan Ina dan menariknya ke tempat duduknya tadi. Dengan langkah pelan, Ina mengikuti dan duduk di samping suaminya. Ia menunduk dalam. Tidak berani menatap, perasaan malu masih menguasai hatinya. "Adek udah shalat Isya?" Ina mengangguk. Zayyan tersenyum melihat istrinya menunduk malu, walaupun dirinya juga merasa malu, namun ia harus bisa menguasai hati supaya kecanggungan tidak tercipta lagi di antara mereka. Zayyan merubah posisi duduknya menghadap Ina seraya mengangkat kedua tangannya lalu memegang ubun-ubun kepala Ina dengan penuh kasih sayang seraya berdoa seperti yang diajarkan Rasulullah saw, اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهَا وَخَيْرِ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ ، وَأَعُوْذَ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ "Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepadaMu kebaikan dirinya dan kebaikan yang Engkau tentukan atas dirinya. Dan Aku berlindung kepadaMu dari kejelekannya dan kejelekan yang Engkau tetapkan atas dirinya." (HR. Bukhari, Ibnu Majah, Abu Daud, dan Ibnu Sinni) Ina memejamkan kedua matanya dan dari mulutnya terdengar kata "Aamiin" berkali-kali. Ia mengerti bagaimana memasuki malam zafaf agar pernikahan mereka penuh berkah. Malam zafaf adalah malam pertama bagi pasangan yang sudah menikah. Setelah itu, Zayyan melanjutkan dengan doa agar Allah memberkahi keduanya. "Baarakallaahu likulli waahidin minna fi shaahibihi." Lalu ia kecup ubun-ubun istrinya sambil mengulang doa itu berkali-kali. Sedangkan bibir Ina terus-menerus mengaminkan setiap doa yang dilafadzkan oleh suaminya, Zayyan. Lelaki yang ia pinta di setiap shalat malamnya. Setelahnya, mereka melakukan shalat sunnah bersama, mengharapkan keberkahan dalam rumah tangga yang akan mereka bina. Selesai shalat, Zayyan kembali membaca doa untuk kebaikan rumah tangga mereka. اللَّهُمَّ بَارِكْ لِيْ فِيْ أَهْلِيْ، وَبَارِكْ لَهُمْ فِيَّ، اللَّهُمَّ اجْمَعْ بَيْنَنَا مَا جَمَعْتَ بِخَيْرٍ، وَفَرِّقْ بَيْنَنَا إِذَا فَرَّقْتَ إِلَى خَيْرٍ "Ya Allah, berkahilah bagiku dalam keluargaku, dan berilah barakah mereka kepadaku. Ya Allah, kumpulkan antara kami apa yang Engkau kumpulkan dengan kebaikan, dan pisahkan antara kami jika Engkau memisahkan menuju kebaikan. Aamiin." Zayyan menutup doanya. Saat mendengar lantunan doa dari sang suami, tak terasa air mata Ina menetes, mengharu-biru. Bibirnya pun tidak berhenti mengaminkan setiap doa yang terucap. Mereka khusyu' bermunajat. Setelah shalat dan berdoa, Zayyan berbalik menghadap Ina, ia tatap wajah wanita mungil berlesung pipi yang kini telah menjadi istrinya dengan tatapan yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Semuanya bercampur menjadi satu. Ina beringsut mendekati Zayyan, dan ini adalah kali kedua ia sentuh kulit Zayyan dengan meraih tangan suaminya lalu dengan takzim ia cium tangannya. Tidak lama kemudian ia mendongak menatap balik wajah laki-laki bercambang tipis di depannya dengan tatapan penuh cinta. Zayyan menundukkan kepalanya lalu ia kecup puncak kepala Ina yang berbalut mukena dengan kasih sayang. "Ina, saya mencintaimu." Setelah mengumpulkan keberanian, akhirnya Zayyan mengucapkan kalimah cinta yang selama ini ia pendam. Sudah saatnya bagi Zayyan mengungkapkan perasaan kepada Ina yang telah halal menjadi miliknya. Tidak ada dosa, melainkan pahala yang akan ia peroleh karena telah menyenangkan pasangannya. Deg! Hati Ina berdetak kencang. Semburat merah menghiasi pipinya. Zayyan mengulurkan tangannya menyentuh pipi Ina yang bersemu merah, bahkan ia mengelus-elus pipi yang lembut itu dengan penuh kasih sayang. "Sungguh! Saya mencintaimu. Baru kali ini saya merasakan cinta untuk seorang wanita. Saya harap, rasa cinta ini sama seperti yang Dek Ina rasakan," lanjutnya sambil mengecup kening Ina dengan penuh cinta. Ini pertama kalinya ia mengecup kening seorang wanita selain umminya. "Ina juga mencintaimu, Abang," lirih Ina. "Kecupan pertama yang Abang berikan, insya Allah tidak akan Ina lupakan." Mendengar ungkapan yang sama dari bibir mungil itu, hati Zayyan sama bergetarnya dengan Ina. Telinganya pun kini memerah, malu sekaligus senang. Dan hati keduanya berdesir syahdu ketika ungkapan perasaan telah terluahkan. Walaupun mereka sama-sama awkward, namun, mereka bisa mengatasinya. *** Tengah malam dini hari, sayup-sayup suara tilawah seorang pria menyapa indera pendengaran Ina. Bagaikan mimpi, suara merdu itu semakin lama semakin syahdu di pendengarannya, seakan-akan ia tengah berada di Masjidil Haram yang selama ini ia impikan. "Shadaqallaahul'adhiim...." Ina merasa kehilangan. Suara itu tak terdengar lagi, hanya suara kecil yang memanggil namanya. "Ina, Dek! Bangun, Sayang...!" Ini mimpi! Tidak ada yang memanggilku semerdu dan seromantis begini. Mungkin saja ada, siapa tahu dia adalah pangeran yang selama ini kamu impikan. Batin Ina dalam mimpinya. "Sayang...!!!" Suara itu semakin jelas terdengar. Apalagi usapan lembut dari tangan yang terasa hangat menyentuh pelipis hingga puncak kepalanya berulang kali, ada perasaan kasih sayang di sana. "Cup...!" Sebuah ciuman mendarat di keningnya. Ina menggeliat. Perlahan mata yang tadinya terpejam kini terbuka. Pandangan pertama yang Ina lihat adalah pangeran tampan berbaju putih tersenyum hangat ke arahnya. Begitu sadar bahwa yang tersenyum itu adalah suami tampannya, senyum pun terbit di bibirnya. Masih terasa bagaikan mimpi ia dipersunting oleh lelaki pendiam ini. "Adek, bangun, kita shalat sunnah bersama, ya," ucap Zayyan. Tangannya tidak berhenti mengelus kepala istrinya dengan penuh rasa sayang. "Udah jam berapa, Bang?" Serak suara Ina khas orang baru bangun tidur. "Empat!" "Astaghfirullah, mestinya Ina yang bangun awal, maaf, ya," lirih Ina menyesal. "Tidak masalah siapa yang bangun duluan." Senyum menenangkan terpatri di wajahnya. Kemudian Ina beranjak dan bangun dari pembaringannya menuju kamar mandi. Setelahnya, Ina bergegas memakai mukena dan berdiri di samping Zayan. Mereka kini larut dalam p*********n kepada Tuhan pencipta seluruh alam. Selesai shalat, Zayyan berbalik. Kini mereka duduk berhadap-hadapan. "Bolehkah Dek Ina membacakan satu ayat saja yang membahas tentang shalat yang kita kerjakan tadi?" Sejenak Ina tampak terkejut dengan permintaan Zayyan yang tiba-tiba. "Sekarang?" "Iya." "Kalau salah tolong diperbaiki, ya?" Zayyan menggangguk sembari tersenyum melihat Ina yang salah tingkah. Meski malu-malu, Ina berhasil membaca satu ayat dari surat Al-Isra ayat 79. "Sekalian bacakan artinya," pinta Zayyan. “Dan pada sebagian malam, maka kerjakanlah shalat tahajud sebagai suatu ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” Ina diam sejenak sebelum melanjutkan. "Ayat ini secara jelas menggambarkan tentang perintah Allah kepada kita manusia untuk mengerjakan shalat tahajud sebagai sebuah ibadah tambahan. Ditambah lagi dalam ayat tersebut Allah akan mengangkat orang-orang yang senantiasa shalat tahajud ke tempat yang terpuji. Jadi beruntunglah orang-orang yang bangun di tengah malam untuk bermunajat kepada-Nya." Zayyan manggut-manggut mendengarkan penjabaran istrinya tentang shalat tahajud. "Selain ayat, adakah yang lainnya?" pancing Zayyan. Ina tampak berpikir. "Ada. Boleh Ina ambil satu aja, ya?" Zayyan mengangguk. Ina mulai membaca salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Hakim. "Artinya?" “Dan ketahuilah, bahwa kemuliaan dan kewibawaan seorang mukmin itu ada pada shalat malamnya.” Ina menjawab tanpa keraguan sama sekali. "Masya Allah...." Zayyan menarik Ina ke dalam pelukannya. Ada sesuatu di hatinya yang tidak bisa diucapkan dengan kata-kata. Ia kecup kepala yang berbalut mukena itu berkali-kali. Lain Zayyan, lain pula dengan Ina. Air matanya menetes menghangatkan kalbu. Dulu ia beribadah sendiri dan sekarang berdua dengan suami, separuh agamanya kini lengkap sudah. Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Tidak, sekalipun tidak bagi Ina untuk mendustakan seluruh nikmat yang telah diberikan Tuhan untuknya. Mendapatkan suami yang shalih semakin menguatkan keyakinannya bahwa wanita yang baik pasti akan mendapatkan lelaki yang baik pula. "Ya Rabb...! Hamba berharap keintiman ini dan p*********n ini tidak berakhir, walau hamba tahu mustahil bagi kami untuk tidak berubah, namun dalam genggaman kekuasaanMu, lindungi kami serta iringi setiap langkah kami. Hanya padaMu hamba meminta, perkenankanlah harapanku ini, Aamiin," pinta Ina dalam hatinya. Ia menyeka bekas airmatanya supaya Zayyan tak menyadarinya. Ia tidak ingin merusak kebersamaan mereka di malam ini hanya karena disebabkan rasa sentimentilnya yang datang tiba-tiba. "Ada waktu satu jam lagi sebelum Subuh datang, apakah boleh?" Zayyan bertanya hati-hati. Ina mendongak dan menatap bingung dengan pertanyaan sang suami. Kernyitan halus menghiasi dahinya. Zayyan melengkungkan bibirnya ke atas melihat guratan kebingungan pada raut wajah istri mungilnya yang masih dalam dekapannya. Tanpa kata Zayyan mendaratkan kecupan-kecupan lembut mulai dari dahi, hidung, lalu berhenti di depan bibir warna pink alami milik sang istri. Sedetik kemudian Ina merasakan sentuhan hangat di bibirnya. Entah siapa yang memulai, kini mereka sudah berpindah ke atas tempat tidur. Menjelang Subuh ini mereka kembali merengkuh nikmatnya ibadah bersama pasangan halal. Berharap dititipkan zuriyyat yang shalih dan shaliha. Di doakan oleh para Malaikat, pun Allah meridhai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD