Warning
“Banyak alasan yang tak dapat kukatakan padamu. Sekarang, jalani saja dahulu.
Aku yang memang seperti ini adanya.”
—Oh Sean.
***
Peranan musim gugur sangat berarti bagi keromantisan cinta. Suatu hubungan biasanya memanfaatkan keadaan sekitar yang mudah mereka dapatkan. Seperti saat ini, Sean memanfaat warna jingga itu sebagai latar akhir dari sentuhan kata 'kencan' yang dia kumandangkan sendiri.
Padahal, Yoon Rahee justru merasa ini sama sekali tidak bisa disebut dengan kencan.
"Aku mau pulang, Sean!" Ini yang ketiga kali dia utarakan. Rahee merasa bosan dan tak bersemangat, pasalnya sejak tadi yang dilakukan mereka hanya saling berdiam diri.
Memang Sean menciumnya sebelum ini, tapi setelahnya pria itu malah mengabaikannya dengan luka yang dia buat saat menyerang bibirnya tadi. Sangat tidak bertanggung jawab.
"Sean, ayo pulang." Rahee menggoncangkan tubuh kekar suaminya yang masih setia memejamkan mata sejak tadi. Ayolah, sudah hampir 3 jam mereka berteduh di sini. Dan sungguh, Rahee bosan sekali!
"Sean!"
Lelaki itu berdecak, melirik Rahee yang kentara sekali kesalnya.
"Kau mau pulang?" tanyanya seolah tak mendengar ucapan awal Rahee, wanita itu mengangguk. Kemudian Sean melanjutkan ucapannya, "Tapi aku masih betah di sini. Jika kau memaksa, silakan pulang sendiri. Kau tahu jalannya, kan?"
Oh, kalian dengar itu? Suami macam apa yang berkata demikian pada istrinya? Ini kencan yang sangat mengerikan!
Rahee membuang pandangannya, ingin menangis karena bosan dan merasa terluka.
"Kenapa? Tidak jadi pulang?"
Ya Tuhan! Ingin sekali Rahee menyumpal mulut pria Oh itu. Sudah menciumnya dengan kasar tanpa tahu malu, mendiamkannya tanpa bertanya atau bekata maaf setelah itu, dan sekarang? Sulit dipercaya!
Rahee bangkit dari dudukkannya. Ia memutuskan untuk kembali terlebih dahulu sebelum emosinya semakin naik dan malah mempermalukan diri sendiri dengan menangis sia-sia di depan wajah Sean.
"Aku tunggu di rumah," katanya sebelum beranjak pergi. Biar bagaimana pun Sean adalah suaminya, jadi dia akan menunggu.
***
Tak pernah terasa malam sudah tiba, senja barusan kini berganti dengan cahaya rembulan.
Namun, tidak ada yang berubah dengan isi di dalam rumah itu.
Rahee duduk di kursi halaman sambil sesekali menyeruput cokelat panasnya. Ia sedang menunggu Sean, pria itu belum juga menunjukkan batang hidungnya. Jujur, dia khawatir.
Sudah empat jam penuh Rahee habiskan untuk penantiannya, merasa bodoh karena bisa-bisanya dia menikah dengan pria yang tidak ia ketahui asal-usulnya, karakternya, dan segala hal tentang dirinya, bahkan nomor ponselnya saja pun Rahee tak punya.
"Sean, kau di mana?" gumamnya lebih pada diri sendiri.
Rahee memeluk tubuhnya, udara malam menggerogoti sebagian kulitnya hingga kini ia merasa kedinginan.
Melirik angka digital petunjuk waktu dalam ponselnya, ia menyadari jika empat jamnya terbuang percuma. Sean mungkin tidak akan pulang, Rahee memutuskan untuk kembali ke dalam rumahnya dan menunggu di ruang tengah saja.
Sedangkan di luaran sana, seorang pria sedang menumpahkan cairan nafsunya.
"Yeah, let's keep screaming, b***h!"
Erangan demi erangan Sean padukan dengan jeritan kesakitan teman persetubuhannya. Dia sudah membayar mahal wanita di bawah kuasanya itu, nafsu binatang seorang Oh Sean tak akan ada habisnya hanya dengan sekali pelepasan saja. Dia tak pernah puas.
"Stupid girl! I love you f*****g!"
Plak!
Jeritan kesakitan itu bertambah di kala telapak tangan lebar Sean menampar keras bagian bokongnya. Bahkan jalang itu menangis tanpa suara, menjerit tertahan, dan menyesali keputusannya, karena kini tubuhnya terikat dengan kain merah yang menutupi bagian mulutnya.
Jika kalian ingin tahu, Sean tak pernah melakukan jenis percintaan dengan banyak gaya. Hanya ada satu style bercinta yang menjadi panutannya. Dengan posisi tubuh wanita yang tidak bisa melihat wajahnya, bahkan tidak ada korban yang tahu bahwa dirinya adalah seorang sadistic selama perjalan making love-nya. Dia menyembunyikannya dengan baik bersama permainannya yang bersih tanpa jejak.
"Argh, sial! You really so f*****g girl!"
Damn!
Itu adalah akhirnya, dengan napas memburu Sean mengeluarkan tembakkannya di luar tubuh wanita itu. Sedangkan sejak lima menit yang lalu jalang tersebut sudah tumbang dengan mata yang tertutup rapat.
Sean kembali menarik resleting celananya, selama bercinta ia tak pernah membiarkan tubuhnya polos tanpa bahan, belum ada satu pun wanita yang berhasil mengeksplorasi setiap jengkal tubuhnya.
"Leon, masuklah! Bersihkan jalang itu!" perintahnya kepada pria cantik yang sejak tadi menunggu di luar kamar.
Leon tersenyum. "Merasa lebih baik?" tanyanya yang hanya dibalas dengan dengkusan panjang lelaki Oh itu.
Akibatnya Leon terkekeh, sebelum beranjak ia menepuk pelan bahu kiri Sean sambil berucap, "Jangan sungkan padaku. Tapi ada baiknya kalau kau mau berhenti dan belajar sedikit lebih lembut. Mungkin istrimu juga menginginkan kelezatanmu, Dude."
Setelahnya Leon benar-benar pergi menyisakan Sean yang menggeram kesal karenanya.
Kalian tahu, apa yang membuat ia berakhir di sini?
‘Si Bodoh itu malah menyebutkannya! Susah payah aku menahannya sebelum sampai di sini, membayangkan bahwa wanita yang kusetubuhi tadi adalah istriku sendiri! Sialan!’ Geraman batin dari seorang Oh Sean.
Sementara itu ....
Rahee menunduk lesu, sudah lebih dari larut malam suaminya belum juga pulang. Maka ia putuskan untuk segera terlelap. Berharap besok ia akan menemukan Sean yang terpejam di sampingnya.
***
Cahaya matahari mengintip di sela-sela jendela. Rahee mengerang di kala sinar surya itu mampu menyilaukan matanya padahal ia sedang terpejam.
Sayup-sayup kelopaknya terbuka, untuk pertama kali dalam hidupnya dia kecewa karena terbangun dari tidurnya. Rahee tidak menemukan Sean di ranjangnya, tempat itu pun masih dingin tak berjejak.
"Dia tidak pulang," desahnya melirih dengan embusan napas pelan.
Rahee beranjak dari kamarnya, ia berniat untuk menyesap air putih karena tenggorokannya dirasa kering.
Bertepatan dengan pelepasan dahaganya, suara ketukan pintu berhasil mengalihkan atensinya.
Rahee tersenyum cerah, dia yakin itu adalah Sean. Untuk masuk rumah sendiri saja kenapa harus mengetuk pintu terlebih dahulu? Suaminya itu memang sopan sekali.
Namun sayang, senyumannya berubah masam tepat ketika ia membuka pintu.
Seseorang itu tersenyum dengan manisnya, sapaan pertama yang ia dapat adalah, "Kecewa karena aku yang datang?"
Secepat yang ia bisa, Rahee mengubah ekspresinya.
"Tentu saja tidak, Leon. Apa kau mencari Sean? Sayang sekali dia sedang tidak di rumah."
Leon terkekeh, matanya sampai menyipit cantik.
"Apa aku tidak diizinkan untuk masuk dan duduk di sana?" tanyanya sambil menunjuk sofa ruang tamu. "Tidak sopan berbicara sambil berdiri di depan pintu," sambungnya kemudian.
"Oh, maaf. Silakan masuk." Rahee tersenyum kikuk. "Mau kubuatkan minuman?"
"Secangkir lemon tea jika tidak keberatan."
"Baiklah, tunggu sebentar."
Leon meletakkan bokongnya pada bantalan sofa, ia menunggu sang empunya rumah yang katanya siap sedia menyuguhinya minuman. Selang beberapa menit, Rahee datang membawa secangkir lemon tea untuknya.
Mereka duduk berhadapan.
"Jadi, ada apa?" tanyanya mengawali. Rahee penasaran dengan tujuan Leon yang datang berkunjung.
Pria asal Beizing itu tersenyum lagi dan lagi. "Sean menyuruhku untuk mengecek kondisimu. Dan syukurlah kau baik-baik saja."
Rahee mengeryit bingung, kalimat itu sangat sulit untuk ia pahami. Jika memang benar begitu. Lantas, kenapa tidak Sean saja yang langsung datang ke sini? Ini rumahnya dan dia suaminya. Namun anehnya, apakah harus Leon yang memastikan keadaan istrinya sendiri?
"Aku tidak mengerti maksudmu, Leon," katanya berterus terang.
Leon menyeruput minumannya sebelum berucap, "Aku ingin kau tahu satu hal, tapi tolong rahasiakan ini dari suamimu. Anggaplah kau tak pernah tahu."
Semakin sulit dimengerti, tapi Rahee mengangguk mengiyakan.
"Katakan saja, aku akan dengarkan."
Leon meronggoh kantung jaket yang dikenakannya, lalu mengeluarkan sebuah amplop cokelat yang sudah terlipat-lipat hingga ukurannya menjadi setengah dari setengahnya. Kemudian ia menyodorkannya pada Rahee.
"Apa itu?"
"Buka dan lihatlah, kau akan tahu nanti."
Meski ragu, namun Rahee tetap menerimanya. Ia membuka dengan penuh kehati-hatian bersama tanda tanya besar yang bersarang dalam otak cantiknya.
Sebelum Rahee mengeluarkan isinya, Leon berucap, "Aku tahu kau tidak--ah, maksudku--belum mencintai Sean. Jadi, sebelum terlambat kupikir kau harus tahu kebenarannya. Sedikit mengenai suamimu.”
"Haruskah aku melihatnya sekarang?"
"Jangan ragu, jika bukan sekarang kapan lagi?" Leon mengiringi kalimatnya dengan senyuman manis di bibir.
Jika Sean belum mencuri perhatiannya, dapat dipastikan Rahee akan jatuh terlebih dahulu kepada pria cantik ini. Dia manis dan penuh pesona, begitulah penilaian darinya.
Saat membayangkan hal-hal apa saja yang ada di dalam amplop cokelat itu, senyuman Rahee mengembang. Bisa saja kan Sean secara diam-diam memberinya kejutan lewat misteri yang Leon bawa? Ah, manis sekali jika memang begitu.
Lalu, Rahee berhasil manarik isinya dan melihat dengan jelas apa yang ada di dalamnya.
Seketika wajahnya merona, sayang sekali semburat merah di wajahnya bukan karena ia merasa tersanjung, melainkan rasa marah dan kecewa yang bercampur menjadi satu. Angan-angan indahnya musnah detik itu juga.
"Apa ini?" Suaranya sudah tak seramah tadi.
Rahee menatap penuh intimidasi antara kertas yang digenggamnya dan wajah Leon secara bergantian. Ia butuh jawaban.
"Seperti yang kau lihat, itu hasil jepretan kamera."
Sangat santai sekali nada suaranya, tidak tahukah ia jika saat ini Rahee sedang menahan amukannya?
Rahee tertawa sinis.
"Kau pikir ini lucu? Merekayasa kedua insan yang sedang b******u, kau mengganti wajah pria itu dengan wajah suamiku?" desisnya tak suka.
Leon menggeleng. "Jangan salah paham dulu, dengarkan penjelasanku," katanya menenangkan, meski tak mengubah suasana.
Hatinya terjepit, Rahee merasakan sakit yang cukup beralasan ketika melihat lembaran foto itu yang menampilkan posisi laknat sebuah percintaan. Dan parahnya, pria yang ada di sana adalah Sean. Bohong, kalau Rahee biasa saja melihatnya. Faktanya dia ingin menangis sekarang, merasa marah entah pada siapa. Apakah itu alasan mengapa Sean tak pulang semalam?
"Aku mengambil foto itu satu tahun yang lalu." Leon berucap.
Rahee mendongak padanya, sekarang bolehkah ia bersyukur?
"Bisa kau perhatikan lebih detail fotonya? Sean menggunakan tali dan penutup mata yang dia pakaikan pada tubuh wanita itu."
Rahee menurut, di sana ia menangkap posisi bercinta paling mengerikan yang pernah ia lihat. Dengan kedua tangan wanita yang terikat dan kepalanya yang tersungkur ke depan, Sean berdiri di belakangnya. Lalu, pita merah melilit di lingkaran kepala yang menutupi penglihatan wanita itu, dan terakhir terdapat luka memar di setiap inchi tubuh lawan main Sean.
Sontak Rahee menutup mulutnya secara refleks, ia menggeleng ketika ingatan saat malam pertama yang sempat ia alami bersama suaminya.
"S-Sean ..." tidak! Rahee tak sanggup untuk sekadar berucap. Membayangkan kemungkinan terburuk yang Sean derita, ia tak bisa.
"Ya. Itu Sean, dia menderita kelainan seksual yang sering disebut dengan s****l Sadism. Seorang sadistic."
Bagai dijatuhi bom atum kepalanya terasa meledak-ledak, Rahee tak ingin percaya itu. Namun, perkataan Leon seolah menamparnya menuju kenyataan. Sangat jelas, jika Oh Sean memang seperti itu.
Air mata yang sejak tadi ditahannya pun tumpah juga. Rahee tak bisa diam saja ketika mengetahui satu fakta kecil ini, ia merasa sakit, marah, dan kecewa. Kenapa baru sekarang ia menyadarinya?
"Dan semalam, Sean melakukannya lagi dengan wanita yang berbeda."
Mendengar itu, hatinya tertohok nyeri dalam alasan yang sama. Jadi benar, semalam Sean bermain dengan wanita lain di saat dia bahkan sudah mempersunting dirinya? Lalu, apa artinya ia menunggu sampai pagi tiba? Jika pada akhirnya semua terbuang percuma. Sean bahkan tidak datang dan malah menyuruh orang lain untuk memastikan kondisinya.
Rahee tertawa sumbang, ia menertawakan dirinya sendiri yang terlalu banyak berharap dan berangan indah tentang masa depannya. Naif.
"Melihat reaksimu yang seperti ini, sepertinya aku salah mengira." Leon menggantungkan kalimatnya, ia menatap lekat wajah basah Rahee. "Kau mencintainya."
Rahee memalingkan wajahnya, ia menghapus kasar jejak air asin di permukaan pipinya. Sekarang ia tak tahu harus berkata apa, Rahee tak bisa mengelaknya.
"Untuk itu, tolong ... bantu dia. Sean membutuhkanmu, kenalilah dia. Hanya kau yang mau Sean dengarkan."
Ucapannya bagai omong kosong belaka. Namun, dari dalam pandangannya memiliki arti yang tersirat. Leon tersenyum lembut setelahnya, mengakhiri pertemuan mereka dengan penyampaian yang cukup memberatkan Rahee.
Setelahnya Leon benar-benar menyisakan Rahee sendiri bersama foto laknat yang masih setia ia tangisi.
‘Bodoh! Kenapa mudah sekali untuk aku jatuh cinta? Jika bukan karena adikku, aku tak akan mau menikah dengannya. Namun sayang, nasi telah menjadi bubur. Hatiku menolak logika. Bahwa kini, aku sudah benar-benar jatuh kedalam sangkarnya.’
--Yoon Rahee.
***
Note: Aku udah memperingati.