Bab 6 | Tamu di Pagi Hari

1640 Words
“Aku mengerti, Mas. Apakah ada wanita yang kamu cintai saat ini?” Tanya Hasna dengan nada getir. Dia lupa dan terlalu larut dengan lamaran pria yang masih ia cintai diam-diam selama bertahun-tahun itu, hingga dia hanya menanyakan keikhlasan hati pria itu menikahinya, tapi tidak menanyakan apakah ada wanita yang dicintai oleh pria itu. Betapa bodoh dan fatalnya dia! “Itu tidak penting sekarang. Yang ingin aku usahakan adalah hubungan kita dalam pernikahan ini, bisakah kita mulai dengan berteman?” Tanya Fayez penuh harap, dengan berani menggenggam tangan Hasna yang membuat wanita itu sedikit terkejut. “Tentu, Mas. Itu awal yang indah.” “Apakah kamu nyaman jika kita tidur satu ranjang? Jika kamu masih belum nyaman kita bisa pisah kamar terlebih dahulu.” Fayez bertanya kepada Hasna, membuat Hasna tidak memiliki jawaban atas itu. Dia bahkan tidak pernah terpikirkan akan hal itu. “Sepertinya kamu …” Fayez melanjutkan, namun Hasna dengan segera menyela. “Kita satu kamar saja, Mas. Itu lebih baik agar kita bisa saling mengenal.” Ucap Hasna membuat Fayez mengangguk, namun tidak ada senyum di wajah pria itu, membuat Hasna menduga-duga, apakah pria itu berharap Hasna memberikan jawaban yang berbeda. “Ya sudah, aku masukkan barang-barang kita dulu ya.” Fayez akan beranjak, namun Hasna menahan tangan pria itu. “Tentang wanita yang kamu cintai … Sudah sejauh apa hubungan kalian, Mas dan sedalam apa perasaanmu?” “Jika aku mengatakannya mungkin akan menyakitimu.” Fayez menatap sendu pada Hasna, pria itu membuang wajahnya. “Aku perlu tau untuk mengetahui harus sebanyak apa aku berusaha untuk pernikahan ini.” Ucap Hasna lagi dengan yakin. “Aku mencintainya bertahun-tahun lalu, aku sudah akan mengkhitbahnya, namun Abi menjodohkanku denganmu, lalu semuanya batal begitu saja. Aku menyakitinya dan masih harus merelakan jika memang dia bukan jodohku. Sehingga aku masih perlu waktu, Na. Aku harap kamu mengerti.” Ucap Fayez lagi lalu benar-benar beranjak meninggalkan Hasna yang terdiam dalam keheningan, bibirnya kelu dan dadanya terasa seperti diremas-remas. Ternyata perasaan Fayez sedalam itu untuk wanita itu. Dia tidak pernah terpikirkan jika Fayez memendam rasa pada seorang wanita, dia pikir pria itu tidak mencintai wanita mana pun dan tidak sedang mengusahakan hubungan halalnya dengan siapapun saat pria itu mengatakan kerelaannya atas perjodohan dengannya. “Hasna …” Panggil Fayez saat mencapai pintu kamar mereka. “Iya, Mas.” “Apa maksudmu mengatakan akan berusaha keras untuk pernikahan ini? Bukan hanya kamu, tapi kita. Kita akan mengusahakannya bersama-sama.” Fayez menatapnya tidak mengerti, namun Hasna tersenyum dengan tatapan sendunya. Karena aku mencintaimu. “Karena aku tidak mencintai siapa pun, sedangkan kamu masih harus memulihkan hatimu dan melupakan wanita yang kamu cintai. Maka usahaku harus lebih keras untuk membuatmu mau menerimaku sebagai istrimu lahir dan batin, dan mencintaiku pada akhirnya.” Jawab Hasna dengan senyum yang sarat kepedihan, namun hanya wanita itu yang mengetahui seberapa perihnya mengetahui pria yang baru satu hari menjadi suaminya itu mencintai wanita lain. “Aku juga akan berusaha keras untuk melupakannya dan memulihkan hatiku. Aku akan mengusahakan untuk mencintaimu.” Ucap Fayez lagi. ‘Tapi mudah sekali bagi manusia terjerumus oleh perasaannya, Mas. ‘ Hasna hanya membatin. “Maka aku akan membuat itu mudah.” “Apanya?” “Agar kamu jatuh cinta padaku.” Ucap Hasna dengan senyum kecilnya, yang membuat Fayez ikut tersenyum dan terharu. “Ya sepertinya kamu sudah memulainya.” Ucap Fayez lagi melihat Hasna kini lebih ekspresif. “Mas, bagaimana pun perasaanmu kepadaku saat ini, aku telah mencintaimu.” Ucap Hasna lagi yang membuat Fayez tidak mengerti. “Apa? Bagaiamana bisa? Bagaimana kamu telah mencintaiku?” “Aku mencintai seseorang yang telah menerima amanah besar dari Allah dan Abiku melalui sebuah ikatan yang suci, bagaimana aku tidak mencintainya? Seseorang yang jika aku berbakti dan mematuhinya dan jika dia ridho kepadaku, maka aku akan masuk surga lewat pintu mana saja. Tentu aku akan mencintainya dengan sepenuh hatiku, aku mencintainya karena aku mencintai Allah. Jadi, jika ada sesuatu yang tidak kamu sukai dariku atau aku membuat kesalahan, maka tegurlah aku, Mas.” Ucap Hasna dengan mata yang memanas, pun dengan Fayez yang terdiam dan tersentuh dengan jawaban Hasna, bagaimana jawaban wanita itu begitu indah? Sepertinya benar, jika dia akan mudah jatuh cinta kepada Hasna, walau kini hatinya masih terus teringat Zahra. “Kamu telah berubah banyak ya, Na.” Ucap Fayez lirih, bahkan masih jelas diingatannya bagaimana Hasna yang dimarahi oleh uminya setelah melakukan pelanggaran dan bagaimana Hasna yang selalu membantah saat dinasehati oleh uminya, kini wanita itu menjelma menjadi wanita yang teduh dan lembut tutur katanya. Delapan tahun, ternyata merubah banyak hal dalam diri wanita itu. Rasulullah SAW bersabda: “Apabila seorang perempuan sholat lima waktu, puasa selama sebulan, menjaga kehormatannya, dan taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya, masuklah engkau ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau sukai.” (HR. Ahmad) *** Karena jarak rumahnya dengan rumah mertuanya sangat dekat, tentu menjadi seperti sebuah keharusan bagi Hasna untuk sering-sering berkunjung, dia masih memiliki PR untuk melembutkan hati Umi Ainun, kan? “Kamu bisa naik motor, Na?” Tanya Fayez saat di meja makan, kini Hasna sedang menyiapkan sarapan untuk Fayez. Wanita itu tengah menyendok nasi dan sup ayam plus tumis tempe kering sebagai menu sarapan pertama di hari kedua dia menjadi seorang istri. “Tidak, Mas. Biasanya aku menggunakan mobilku. Abi bilang hari ini Mang Solin mau mengantarkannya ke sini. Mas lebih suka naik motor ya?” Tanya Hasna, kini wanita itu sudah duduk di depan Fayez. “Tidak juga, fleksibel saja. Kamu kenapa tidak bisa naik motor? Tidak pernah belajar atau takut?” “Hehe iya, dulu pernah jatuh jadi tidak berani lagi.” “Ooh … begitu.” “Mas suka tidak dengan masakannya?” Tanya Hasna dengan was-was. “Enak, kamu jago juga masaknya, kupikir kemampuan memasakmu mengkhawatirkan.” Ucap Fayez diselingi dengan tawa, membuat Hasna ikut tersenyum tipis. “Alhamdulillah jika begitu, Mas ada alergi sesuatu tidak?” Tanya Hasna dengan serius, Fayez menghentikan suapannya dan menatap lembut pada wanita itu, begitu perhatiannya Hasna. “Aku bisa makan apa saja. Bagaimana denganmu?” “Lalu apa yang Mas tidak suka?” Hasna justru menjawab pertanyaan Fayez dengan pertanyaan selanjutnya, membuat Fayez tersenyum lembut. “Aku suka semuanya juga. Kamu belum menjawab pertanyaanku, Na. Aku juga ingin tahu banyak tentangmu.” Fayez menatapnya dengan tatapan teduh, membuat Hasna jadi salah tingkah sendiri, semburat merah juga menghiasi kedua pipinya. “Aku alergi kacang, Mas. Kalo makanan aku tidak suka brokoli dan wortel. Mas hari ini masih libur ngantor?” “Iya, lusa baru masuk. Ada apa? Kamu mau aku antar pergi ke suatu tempat? Atau kamu mau ke ruko?” Mendengar Fayez yang antusias membuat Hasna tersenyum dan menggeleng. “Aku sudah menitipkan semuanya pada Mahira, sepupuku, dia yang selalu menghandle di saat aku kesulitan, dia sepupu sekaligus orang yang paling dekat denganku, Mas.” “Ah, jadi yang kemarin sekitar tujuh orang datang bersamaan itu karyawan-karyawanmu?” Tanya Fayez menyadari sesuatu, membuat Hasna mengangguk kecil. “Masya Allah, hebat sekali kamu, Na. Kamu berhasil menciptakan lapangan pekerjaan. Jadi … aku ingin mendengar tujuanmu membangun bisnis ini dan apa yang berhasil kamu capai melalui bisnis yang kamu rintis ini.” Fayez menyelesaikan sarapannya, lalu menatap penuh minat pada Hasna. “Mas kan juga berhasil menciptakan lapangan pekerjaan, aku tidak sehebat itu, Mas. Kamu memuji berlebihan.” Hasna merendah karena dia memang tidak suka dengan pujian yang bisa membuat dia ujub. Sebuah ketukan pintu membuat obrolan keduanya terhenti, Fayez langsung berdiri dan mengatakan biar dia saja yang membukanya, namun tetap saja Hasna mengikuti dari belakang. “Assalamualaikum …” “Walaikumsalam …” Jawab Fayez dari dalam, keningnya mengernyit saat merasa familiar dengan suara itu, namun rasanya tidak mungkin. Wanita yang mengetuk pintu itu juga sedikit terkejut saat Fayez yang justru membukanya, dia pikir istri pria itu yang akan membukanya. “Gus, maaf jika mengganggu … Umi meminta saya mengantarkan ini.” Ucap Zahra dengan wajah menunduk. “Siapa, Mas?” Tanya Hasna dari belakang. Mas? Deg! Hati Zahra rasanya teriris sembilu, wanita itu bahkan telah memanggil Fayez dengan lebih akrab dan terdengar indah. Bukankah seharusnya dia yang ada di posisi itu saat ini andai saja … “Ini Ustadzah Zahra, beliau salah satu ustadzah yang mengajar di pondok.” “Oh …Assalamualaikum, Ustadzah … Terima kasih ya sudah repot-repot mengantarkan ini ke sini.” Sapa Hasna dengan senyum yang ramah. “ Mas, tidak ditawari masuk?” Kini Hasna bertanya seperti meminta ijin pada suaminya. “Tidak usah, Mba. Saya mau langsung kembali saja, kebetulan memang ada kelas pagi ini. Tadi Bu Nyai meminta tolong saya, jadi sungkan saya tolak.” Zahra langsung menjawab, dengan berani netranya menatap Fayez yang juga menatapnya dalam. Hasna melihat interaksi itu, entah mengapa dia memiliki feeling jika Zahra lah orang yang dicintai suaminya. ‘Jadi dia adalah wanita yang hampir menikah dengan suamiku?’ Batin Hasna merepih perih, ada perasaan bersalah karena telah merusak kisah cinta mereka yang dimulai dengan awal yang baik. “Mas … “ Panggil Hasna setelah kepergian Zahra, dia menatap sendu pada Fayez. “Apa Zahra orangnya? Wanita yang kamu cintai?” Tanya Hasna dengan berani dan dia melihat perubahan raut wajah Fayez. “Apa si, Na … Kamu tidak perlu mencari tahu. Ayo masuk.” Ucap Fayez terlihat tidak senang, membuat hati Hasna justu semakin getir. “Aku sungguh minta maaf, Mas. Aku … Akulah yang menjadi orang ketiga di antara kalian.” Ucap Hasna dengan nada penuh sesal, matanya terasa memanas. Tiba-tiba rasa rendah dirinya muncul, dibanding dengan Zahra dia jelas jauh, Zahra memang lebih pantas bersanding dengan Fayez, mereka cocok dan saling mengimbangi satu sama lain. “Astaghfirullah, Hasna. Kamu bilang mau membuatku jatuh cinta padamu? Namun yang kamu lakukan justru bertolak belakang.” Fayez menatapnya dengan raut lelah, membuat Hasna menunduk dan menggigit bibirnya kuat. “Maafkan aku, Mas.” Ucap Hasna yang masih belum mampu mengontrol emosinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD