Bab 2 | Apakah Kamu Ikhlas?

1112 Words
Nyatanya Fayez sampai pada keputusannya dan mencoba ikhlas dengan takdir yang harus dia jalani, Abinya terus mendesak agar dia menerima amanat dari Eyangnya, niat yang baik dari sang kakek yang nyatanya sangat sulit Fayez terima saat hatinya telah tertambat pada wanita lain. Abinya terus memohon dan memintanya untuk menjalankan wasiat Eyangnya. Kini mereka kembali duduk untuk mengobrol empat mata bersama Uminya, mengatakan keputusan akhirnya yang membuat hatinya sejak tadi gelisah. “Abi tau kan, Fayez selalu ingin berbakti kepada Abi dan Umi? Hal yang selalu Fayez utamakan, Insya Allah, Fayez setuju dengan perjodohan ini. Namun, Fayez harap, Abi memahami jika Fayez juga memiliki perasaan dan perasaan tidak bisa dipaksa.” Fayez menundukkan wajahnya, menjeda ucapannya sejenak. “Abi akan mencoba memahami sebagaimana kamu mencoba berbakti pada kami.” “Fayez tidak bisa mencintai Hasna, hati Fayez masih tertaut pada Zahra, begitu kuat, tapi Fayez akan mengusahakan untuk melupakan Zahra, hanya saja… Fayez tidak tau bagaimana jadinya nanti, perasaan ini begitu kuat, Abi. Zahra adalah wanita yang membuat Fayez merasakan perasaan cinta, Fayez mencintainya dan terus berusaha memantaskan diri untuknya, kini saat Fayez tinggal selangkah lagi, nyatanya semuanya menjadi seperti ini, maka Fayez berharap Abi juga tidak memaksakan perasaan Fayez untuk mencintai Hasna, karena itu begitu sulit.” Ucap Fayez membuat Abinya menghela napas panjang. “Abi mengerti, namun ingatlah, Nak. Pernikahan menyempurnakan separuh agamamu, fitrah cinta itu akan lebih indah dan berkah jika kamu menempatkannya pada hati yang tepat. Tidak apa jika kamu belum mampu mencintai Hasna, tapi Abi selalu mendoakan, semoga nantinya kalian bisa saling mencintai karena Allah.” Zubair menyunggingkan senyumnya dengan penuh harap. “Umi juga mengerti, sayang. Umi pun sesungguhnya lebih setuju kamu menikahi Zahra, sudah jelas Zahra lebih baik dan lebih shalihah, dia seorang ustadzah, mengabdikan dirinya untuk pesantren ini, seorang hafizah dan memiliki akhlak yang karimah, lemah lembut perangainya, apalagi yang kurang darinya? Jika nantinya rasa cintamu pada Zahra tumbuh semakin besar, kamu bisa menikahinya dan menjadikannya istri kedua.” Ucap Ainun yang membuat Zubair terkejut. “Astaghfirullah, Umi! Perhatikan lisan Umi, bagaimana Umi menilai seseorang semudah itu? Lalu bagaimana Umi menyuruh anak Umi menikahi wanita lain? Umi juga seorang wanita, apa Umi tidak memikirkan bagaimana perasaan wanita yang dimadu?” Zubair menatapnya penuh peringatan. “Tapi memiliki lebih dari satu istri …” Belum selesai dengan ucapannya, Zubair langsung menyela. “Itu ada di dalam Alquran? Itu kan yang mau Umi katakan? Tapi apakah Fayez mampu menjadi laki-laki yang disebutkan oleh Allah dalam Alquran dalam berlaku adil pada istrinya? Atau Umi mau mengatakan Rasulullah juga memiliki istri lebih dari satu? Tapi apakah ada Rasulullah menikahi istri-istrinya karena perasaan cinta semata? Tidak, Umi! Semuanya dari mereka adalah seorang janda kecuali Sayyidah Aisyah, beliau satu-satunya istri Rasulullah yang masih gadis, Rasulullah menikahinya pun karena mendapatkan wahyu melalui mimpi! Sangat jahil jika Umi menjadikan contoh pernikahan Rasulullah dengan istri-istrinya terhadap manusia-manusia akhir zaman ini yang kebanyakan terbelenggu oleh hawa nafsunya sendiri dan mencari pembelaan untuk menikah lagi karena Alquran dan Hadist!” Zubair mengatakannya dengan tegas namun masih mengontrol nada suaranya, dia tidak ingin menggunakan amarahnya saat berbicara dengan istrinya. “Lagi pula, seorang istri itu amanah dari Allah untuk seorang suami. Jika dia masih belum mampu memuliakan, membimbing dan membahagiakannya, bagaimana dia dengan lancang meminta amanat yang lain kepada Allah dengan menikahi wanita yang lain? Sungguh kemungkinan besar dia akan menjadi dzolim terhadap salah satu istrinya. Apakah kamu mau seperti itu, Fayez? Menjadi suami yang dzolim di hadapan Allah karena menuruti perasaanmu?” Zubair menatap tegas pada Fayez. “Astaghfirullah, tidak Abi. Sungguh, Fayez tidak pernah memikirkan itu. Janganlah Umi dan Abi bertengkar, kita bisa ke rumah Hasna besok, Insya Allah Fayez sudah siap.” Ucap Fayez yang bersedih karena pertengkaran Uminya. *** Dua hari setelah Hasna mengutarakan jawabannya kepada Abinya, Fayez dan keluarganya datang untuk melamarnya. Tentu saja perasaan Hasna sangat bergemuruh, delapan tahun berlalu, dia kembali melihat pria yang membuatnya merasakan cinta. Pria itu kini terlihat lebih tampan dari delapan tahun lalu, tenang pembawaannya, wajahnya meneduhkan hati yang melihatnya. Kedua keluarga besar itu telah duduk setelah makan malam, Hasna masih menunduk malu-malu dan tidak berani menatap terang-terangan pada pria di depannya yang akan menjadi suaminya kelak. “Nak Hasna apa kabar? Sudah lama ya tidak berkunjung ke pondok?” Itu suara Abi Fayez, yang menatap lembut pada Hasna. “Alhamdulillah baik, Pak Kyai.” Ucap Hasna begitu lirih dengan senyumnya. “Mungkin Abi telah mengatakan pada Hasna ya tentang maksud kedatangan kami kemari, jika putra Abi, Fayez Haidar memiliki tujuan yang baik untuk melamar Nak Hasna.” Lanjut Zubair membuat hati Hasna semakin berdetak keras, dia lalu melirik pada Fayez yang ternyata juga sedang melihat ke arahnya. “Iya, Abi telah mengatakannya, Pak Kyai. Tapi sebelum itu bolehkah saya bertanya kepada Gus Fayez?” Tanya Hasna, awalnya Hasna bingung harus memanggil Fayez dengan panggilan apa, tapi karena dulu semua santri dan santriwati memanggil Fayez dengan panggilan itu. “Silahkan Nak Hasna.” Ucap Zubair lagi, Hasna juga melirik ke arah Umi Ainun yang tidak banyak bicara sejak datang. “Terlepas dari perjodohan ini, apakah Gus Fayez memang dengan kerelaan hati melamar saya? Jika memang ada keterpaksaan sedikit saja, maka Gus Fayez boleh membatalkannya sebelum saya memberikan jawabannya.” Ucap Hasna yang membuat Fayez sedikit terkejut dan kembali menatap wanita yang sudah delapan tahun berlalu itu tidak pernah dia lihat lagi. Perempuan yang selalu menjadi trending topic dalam membuat huru hara di Darul Ilmi itu kini terlihat jauh berbeda, tidak ada lagi nada kasar, keras dari suaranya, tidak ada lagi wajah kesal, marah, yang dia lihat adalah wajah yang cantik dan meneduhkan, juga tatapannya yang menenangkan. Bohong jika Fayez telah sepenuhnya rela dengan perjodohan ini, namun dia tidak lagi memiliki kuasa untuk menolak saat semua ucapan Abinya telah secara tidak langsung membuatnya harus menerima perjodohan ini. Dia telah melaksanakan istikharah, namun hatinya masih terasa berat dan condong pada Zahra , tapi sebagian hatinya yang lain pelan-pelan telah rela dan ikhlas menerima perjodohan ini, sehingga dengan setitik kemantapan itu membuatnya melangkah maju dan memasrahkan semuanya kepada Allah. Nanti, setelah pernikahan mungkin dia akan membicarakan baik-baik keadaannya pada Hasna dan berharap wanita itu bisa memahaminya. “Insya Allah saya melamarmu dalam keadaan sadar dan tidak ada paksaan dari pihak manapun.” Jawab Fayez dengan wajah serius, namun tidak ada senyum di wajah pria itu. “Alhamdulillah. Jika begitu … Bismillah saya menerima lamaran Gus Fayez.” Ucap Hasna dengan senyum dan perasaan yang lebih lega, pun diikuti dengan ucapan syukur dari para orang tua. “Jika begitu, kita bisa melaksanakan pernikahan bulan depan, ya?” Ucap Abi Fayez lagi yang membuat Hasna sedikit terkejut, kenapa begitu cepat namun dia hanya bisa menganggukkan kepalanya yang disetujui juga oleh semuanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD