“Assalamulaikum, Umi.” Salam Hasna membuat semua orang yang ada di ruangan itu berhenti untuk melihat sejenak.
Semua menjawab salamnya, namun detik berikutnya langsung sibuk dengan urusan masing-masing.
Hasna bisa melihat jika Umi Ainun sedang bersama seorang wanita yang ia ketahui bernama Zahra. Seseorang yang membalas pesan suaminya setelah dua minggu berlalu, seseorang yang dia belum mendengar cerita lengkapnya tentang kisah cinta wanita itu dengan suaminya.
Umi Ainun menjawab salamnya juga, namun langsung melengos, membuat Hasna menggigit bibir dalamnya gugup, dia tidak mengenal siapapun di situ, dia berniat membantu untuk pengajian tabligh akbar nanti malam yang diselenggarakan setelah Isya.
“Zahra, bisa bantu Umi mendekor bunga ini di meja para tamu VIP, kamu kan yang pandai mendekor.” Ucap Umi Ainun kemudian, nada suaranya cukup keras untuk membuat semua orang yang ada di sana mendengarnya.
Dengan langkah yang lambat, Hasna mendekati Umi Ainun.
“Umi, ada yang bisa Hasna bantu?” Tanya Hasna dengan nada lembutnya. Umi Ainun langsung menoleh dan menatap Hasna dengan tatapan yang menilai.
“Memang kamu bisa membantu? Bukankah kamu hobinya membuat masalah?” Ucap Umi Ainun begitu menohok, kebencian kepada Hasna telah membutakan hatinya hingga melupakan tentang adab untuk tidak menyakiti sesama makhluk, setan telah berhasil memupuk kebencian untuk menantunya itu. Karena Hasna, dia gagal mendapatkan menantu terbaik yang sepadan dengan Fayez, itulah di mana semua kebencian bermula.
“Insya Allah, Hasna akan membantu sebisa Hasna, Umi. Tidak akan mengacau.” Hasna menyembunyikan luka tak kasat mata yang menikam dadanya itu, masih memberikan senyum tulus kepada wanita yang telah ia anggap seperti ibu kandungnya.
“Kamu datang jam segini, sudah tidak ada yang perlu kamu bantu. Pulanglah.” Usir Umi Ainun dengan tegas, tidak ada nada penyesalan pada suaranya, membuat Hasna terdiam, dia menatap ke sekelilingnya dan melihat jika semua orang memperhatikan mereka sekarang.
“Umi, Hasna bisa membantu apa saja.” Ucap Hasna masih belum menyerah, jika dia mengikuti perintah Umi Ainun untuk pulang, bagaimana dia bisa mengambil hati Uminya itu?
“Ya sudah sana cuci piring di dapur bekas makan siang para panitia yang sudah bekerja dari pagi.” Ucap Umi Ainun dengan ketus, namun sekali lagi Hasna menyunggingkan senyumnya dan mengangguk.
“Baik, Umi.” Ucap Hasna lalu bergegas menuju ke belakang. Tidak sedikit pun dia menyimpan kesal atas perlakuan Umi Ainun, dia hanya berdoa semoga usahanya ini bisa melembutkan hati mertuanya itu.
Tidak ada yang berani menghentikan Hasna mencuci piring saat gosip begitu mudah menyebar tentang perintah Umi Ainun pada menantunya itu untuk mencuci piring. Ada dua orang yang membantunya namun mereka juga tidak mengatakan apapun.
Saat dia telah selesai dan akan meniriskan piring-piring itu, tiba-tiba saja pening menyerang kepalanya, membuat beberapa piring itu lepas dari tangannya.
“Astaghfirullah.” Pekik Hasna yang langsung mundur beberapa langkah, beberapa pecahan juga mengenai kakinya yang masih mengenakan kaos kaki.
“Ya Allah, lihat kan? Kamu memang tidak pernah becus dalam apapun.” Umi Ainun sudah memekik dengan nada kesal, mendatangi Hasna dengan helaan napas keras untuk menyalurkan kekesalannya.
Hasna hanya menunduk dan merasa bodoh sekali, kenapa harus teledor di saat seperti ini.
“Sudah saya bilang kamu pulang saja. Tapi masih saja keras kepala, tidak pernah berubah dari dulu.” Umi Ainun masih mengomel, para panitia yang beberapa juga ada santri yang membantu dan staff pengajar hanya saling pandang.
Umi Ainun yang biasa dikenal baik dan lemah lembut hari ini terlihat berbeda.
“Umi, ada apa ini?” Suara seseorang yang terdengar berat membuat mereka semua terkesima untuk sejenak. Itu Fayez yang menatapnya dengan tatapan yang sulit di artikan, apakah pria itu akan semakin membuatnya terpojok atau menyelamatkannya, Hasna tidak tau.
***
-Mas, aku minta ijin ya, nanti aku ke pondok sekitar jam dua ya untuk bantu-bantu persiapan tabligh akbar.-
Membaca pesan yang baru dikirimkan Hasna membuat Fayez terlihat berpikir, entah mengapa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, dia tau uminya masih belum bisa menerima Hasna sebagai istrinya.
Dia juga sangat tau bagaimana harapan besar Uminya agar Fayez menikah dengan Zahra, Zahra sudah sangat dekat dengan uminya sejak wanita itu menjadi santri di pesantren, hingga mendapatkan beasiswa untuk kuliah dan kembali ke pesantren sebagai pengajar.
Uminya sudah menyayangi Zahra seperti putrinya sendiri, tentu menaruh harapan besar agar Zahra bisa menjadi menantunya.
Saat Fayez mengutarakan niatnya untuk bertaaruf dengan Zahra, uminya sangat bahagia sekali dan sangat mendukungnya.
Fayez menggelengkan kepalanya dan beristighfar, kenapa pikirannya kembali tertuju pada Zahra, dia kembali melihat pesan dari Hasna dan segera membalasnya.
-Iya, boleh.-
Dia kembali mencoba untuk memfokuskan dirinya pada pekerjaan, menit demi menit berlalu dan jam telah berganti, tetap saja pikirannya tidak tenang, dia lalu memilih beranjak dari kursinya dan segera pulang.
Karena waktu yang sudah menunjukkan hampir jam tiga sore, Fayez memilih langsung ke rumah orang tuanya yang sangat berdekatan dengan tabligh akbar itu digelar. Biasanya kerabat yang datang akan membantu di depan, memastikan jika semua telah siap, baik dari segi dekor, kerapian, sound system dan semuanya.
Namun, saat mencari di sana dia tidak menemukan Hasna, dia memilih bertanya kepada beberapa panitia tentang keberadaan Uminya, yang mengatakan jika Uminya masih di Ndalem.
“Umi di mana?”
“Tadi ke belakang, Gus.”
Fayez langsung ke arah belakang, dan benar saja dia mendengar suara Uminya seperti sedang mengomel. Lalu melihat Hasna yang menunduk dengan keadaan pecahan piring di sekitar wanita itu.
Tanpa bertanya, Fayez sudah bisa menebak apa yang terjadi. Uminya pasti menyuruh Hasna mengerjakan pekerjaan di belakang dan semuanya menjadi kacau seperti ini.
Dia menarik napas diam-diam, lalu mendekat untuk meredakan keadaan. Tidak pernah terbayangkan olehnya harus berdiri di antara uminya dan istrinya yang saling bersebrangan.
Hasna melihat Fayez di sana, Fayez melihat kekacauan di sekitar Hasna, langsung berlari menuju pada istrinya itu dan menggenggam tangannya.
“Kamu tidak apa-apa?” Tanya Fayez dengan lembut dan penuh perhatian, membuat mata Hasna memanas, kedatangan Fayez menyelamatkannya dari suasana yang sudah runyam ini.
“Lihatlah istrimu, Fayez. Berniat membantu namun justru mengacau, jika memang sudah tabiat memang sulit berubah. Dari dulu sejak menjadi santriwati saja kamu yang paling banyak berulah sepanjang sejarah pondok pesantren ini didirikan.” Ucap Umi Ainun dengan ketus.
“Astaghfirullah, Umi. Tolong perhatikan kata-kata Umi. Hasna juga pasti tidak sengaja melakukannya. Nanti aku akan minta Alif untuk membersihkannya.”
“Fayez …” Umi Ainun menatap Fayez dengan tidak percaya, anak yang dia didik dan besarkan dengan sepenuh hati justru tidak membelanya.
“Umi, aku minta maaf ya, aku tidak bermaksud membela siapa pun.” Ucap Fayez yang seolah bisa membaca pikiran Uminya melihat tatapan kecewa di mata wanita yang dia cintai sepenuh hati itu.
Fayez lalu melihat pada kaki Hasna di mana kaos kakinya telah berubah menjadi merah karena darah yang merembes melalui kulitnya.
“Fayez dan Hasna pulang dulu ya, Umi. Kasian Hasna kakinya terluka.” Ucap Fayez menggenggam tangan Hasna semakin erat.
“Kamu bisa berjalan?” Bisik Fayez menatap pada Hasna dengan khawatir.
“Bisa, Mas. Maaf ya aku mengacau.” Lirih Hasna, nadanya penuh penyesalan.
Zahra melihat semuanya dengan hati yang tercabik-cabik, bagaimana sikap Fayez, kekhawatiran pria itu terhadap istrinya, perhatiannya dan bagaimana dia meredakaan keadaan yang mencekam. Itulah Fayes, husband material fiddunya wal akhirah yang selama ini selalu ia doakan.
Mata Zahra memanas saat melihat bagaimana Fayez pergi bersama istrinya, tidak sedikit pun pria itu melihatnya, apakah semudah itu pria itu melupakannya? Pesan terakhir dari pria itu kemarin hanyalah permintaan maaf tanpa ada rasa yang tertinggal untuknya? Rasanya tidak mungkin.
Zahra di sini masih tercabik-cabik hatinya atas garis takdir mereka, hatinya masih patah dan hancur, membutuhkan banyak waktu untuk bisa melupakan pria itu, yang nyatanya hingga detik ini cintanya sedikit pun tidak berkurang, bahkan justru semakin sulit ia kendalikan. Cinta yang menjadi fitrah setiap manusia itu kini telah menjadi cinta terlarang yang sudah seharusnya tidak boleh Zahra miliki, kini dia berperang dengan nurani dan napsunya untuk cinta yang sudah tidak suci lagi itu.