“Kalau jatuh ya.... bangkit dong! Jangan mau terpuruk! Apalagi cuma gara-gara cowok uuurggh,” Khayra mendumel. “Gak banget!”
Mira terkikik di belakangnya. “Lagian nih, siapa yang jatuh coba?” ia menyinyir sambil menyusul Khayra yang sudah duduk di teras masjid kampus. Ia berlagak biasa padahal hati masih pias kalau teringat Anggun dan Wirdan. Apalagi jika melihat keduanya--uuurgh. Rasanya, Mira ingin membunuh seseorang!
Karena nyatanya, ia masih belum mampu membangkitkan diri dari ujian cinta. Meskipun tak terpuruk seperti yang dikatakan Khayra, namun beberapa hari ini sanggup membimbangkan hati yang ia punya. Hingga semangat belajarnya pun turut menurun. Kadang, ia bisa bangkit dan selalu mengingat-Nya. Tapi jika Wirdan muncul di depannya, sudahlah. Ucapkan selamat tinggal untuk usaha bangkit yang ia usung berhari-hari. Usaha bangkitnya akan roboh ketika melihat lelaki itu. Ia tak tahu apa yang salah. Padahal niat untuk meraih cinta-Nya sudah ada. Usaha pun sudah di-lakukan. Tapi masih saja....
Ia sudah mengikuti segala macam wejangan 'kebangkitan cinta' ala Khayra. Mulai dari tekuni solat malam, solat dhuha bahkan puasa daud. Tapi semuanya akan hancur ketika wajah Wirdan kembali nampak dimatanya. Ia heran. Apa yang salah?
“Kali-kali aja,” Khayra menjawab dengan kalem. “Intinya, kalau jatuh hati eh jatuh cinta itu ambil sisi positifnya aja.”
“Misalnya?”
“Belajar ngendaliin nafsu. Belajar ngendaliin perasaan. Belajar ngendaliin cinta itu sendiri, Mir. Gimana caranya supaya cinta kita kepada seseorang tak melebihi cinta kita kepada Yang Di A—” ia tergagap lalu nyengir ketika tersadar dosennya yang cantik--Bu Marissa—mengamatinya sejak tadi. Sejak kapan itu dosen disitu? dumelnya dalam hati.
“Tadi kayaknya ada yang lagi ngomong tentang cinta.” Wanita cantik itu menyindir sembari melepas sepatunya. Keduanya terkekeh sambil saling melirik geli.
“Biasa, Bu. Anak mudaaa,” sahut Khayra lalu tergelak.
“Gini-gini ibu masih muda loh!”
Mira terkikik kecil. “Muda di sini dalam arti single loh, Bu,” Mira menyahut dengan enteng.
Wanita cantik itu terkekeh. “Tapi harus hati-hati,” ia memperingati. Keduanya kompak menatap dosen cantik yang kini turut duduk di antara keduanya. “Cinta itu terkadang mengelabui. Perasaan yang dirasa terkadang berasal dari hasutan setan belaka. Kalau......rasa itu tak bisa dikendalikan.”
“Bener banget, Bu. Bener banget!” Khayra menggebu sambil ber-tepuk tangan.
Marissa malah terkikik kecil tapi masih melanjutkan wejangannya. “Nah...ciri cinta yang berasal dari Allah itu adalah cinta yang senantiasa mengingat-Nya. Cinta yang tak menduakan-Nya. Cinta yang selalu me-nomorsatukan-Nya.”
Mira menelan ludah dengan kelu. Sangat tersindir akan kalimat-kalimat sang dosen hingga dosen cantik itu masuk ke dalam masjid, ia masih termenung. Saat Khayra meneriakinya untuk ketiga kali, baru ia beranjak. Ia malah ragu akan rasa cinta yang ia punya. Menilik usaha untuk meraih cinta-Nya belum berhasil--lebih tepatnya gagal total. Ia malah ber-pikir, kalau memang cinta ini berasal dari-Nya seharusnya ia tak mudah goyah. Seharusnya....tapi kenyataannya?
Ia menghela nafas. Apakah cinta yang ia punya, benar-benar anugerah? Seperti orang-orang bilang, kalau cinta itu anugerah. Atau malah, cinta yang ia punya adalah musibah? Hasil hasutan setan belaka. Karena cinta yang ia punya senantiasa teringat padanya bukan pada-Nya. “Dengar tuh, Mir!” ledek Khayra lalu terkikik melihat wajah masam Mira. Gadis itu merangkulnya dengan hangat. “Sekarang waktunya untuk memperbaiki cinta yang salah itu, Mir. Supaya lurus kepada-Nya. Karena seperti itulah cinta yang benar.”
“Heum. Ya, Mira tunggu Ayah sama Bundo. Waalaikumsalam, Bun,” tuturnya lalu menutup telepon. Ia menghela nafas sebelum duduk di samping Delia yang kini melirik Khayra. Dua gadis itu menyuarakan tanya lewat mata ketika melihat wajah kusut Mira. Gadis itu seperti kehilangan semangatnya. Entah apa penyebabnya, tapi Khayra menduga, masih ada hubungannya dengan Wirdan.
“Kenapa?” Delia angkat suara sambil mengalihkan novelnya dari mata. Ia kehilangan fokusnya ketika melihat wajah muram Mira. Namun ketika ditanya, gadis itu malah menghela nafas lalu menyandarkan punggung di bantal jumbo miliknya.
“Ayah sama Bundo mau ke Jakarta. Sekalian belanja baju di Tanah Abang untuk stok toko di Padang,” jawabnya yang malah membuat keduanya terkekeh. Ia mengerut bingung.
“Maksudnya bukan nanya itu, Mira!” seru Delia sambil menelengkan kepalanya. Ia terkekeh geli. “Maksud kita.... kenapa? Kok kayaknya ada masalah?” ia mengerling ke arah Khayra.
“Bang Wirdan lagi? Atau Anggun?” Khayra menyambung. Mata gadis itu terbelalak sementara dua orang di sekitarnya tergelak. “Cemburu itu wajar kali. Tapi yang gak wajar itu kalo cemburu sama Anggun.” Khayra tak kuasa menahan tawanya melihat wajah shock Mira. “Anggun itu sepupunya Bang Wirdan. Adiknya Mbak Aisyah.”
“Kenapa gak bilang?” ia menyeru. Seruan yang mengundang tawa.
“Situ gak nanya. Salah siapa?” Khayra terbahak lalu memeletkan lidah. Sementara Mira malah senewen walau hatinya lega juga. Ia terkekeh kecil tapi kemudian, wajahnya muram lagi. Kali ini sebelah alis Delia ter-angkat.
“Kenapa lagi? Bukan masalah cemburu lagi? Atau....ada sesuatu dengan orangtuamu, Mir?”
Ia menggeleng lemah. “Bukan itu,” jawabnya lalu menarik nafas dalam. Tangannya mengambil boneka beruang pemberian abangnya--Ilham. “Susah,” keluhnya yang kembali membingungkan dua sahabatnya. “Susah buat lupain dia dan fokus hanya untuk mencintai Allah.”
Khayra ber-oh ria lalu terkikik. Delia menelengkan kepala--tak habis pikir. Ini adalah tahapan dimana seseorang yang jatuh cinta mengalami kegalauan, simpulnya.
“Melupakan atau move on atau apalah itu namanya, memang tak ada yang mudah, Mira. Butuh tekad kuat. Karena melupakan itu bukan dilihat pada hasilnya, melainkan pada prosesnya. Sama seperti ketika jatuh cinta. Bukan hasilnya, apakah dia balas mencintai kita atau tidak tapi, prosesnya. Proses dimana kita belajar mencintainya dan belajar untuk mengikhlaskan cinta yang kita beri. Karena cinta kan tak mengharapkan balasan. Kalau cinta mengharapkan balasan, namanya bukan cinta, Mir. Kalau cinta, seharusnya kita tak perlu mengkhawatirkan hasilnya apakah cinta itu akan berbalas atau tidak. Kalau tidak terbalas, ya anggap saja ibadah. Ibadah untuk mendekatkan diri pada-Nya. Karena cinta adalah ujian hidup, Mir,” jelasnya lalu mengembang senyum tipis saat mata Mira menatap dengan antusias atau lebih tepatnya, mengejek?
Oh, dengarlah. Siapa yang akan percaya bahwa seseorang yang men-cintai tak ingin cintanya dibalas?
Ck! Pikiran picik itu yang seketika menyadarkan Mira. Jika cinta ber-bicara tentang keikhlasan, bukankah sudah benar jika tak apa walau harus mencinta dalam kesendirian? Karena cinta itu memberi bukan menerima.
“Sama seperti ketika kita memutuskan untuk melupakan cinta itu,” ia menghela dan Mira kembali fokus. Kali ini ia mengakui, jika cinta itu adalah tentang keikhlasan memberi bukan menerima. Ia mengangkat tangan dan memangku dagunya dengan kepala tangan itu.
“Bukan melihat hasilnya apakah kita akan bisa melupakan dia atau tidak. Tapi proses saat kita belajar melupakan dia. Karena saat itu, kita belajar untuk mengalihkan dunia yang kemarin-kemarin masih terfokus padanya berganti kepada yang lain. Memang tak mudah, tapi menurutku kalau sudah bertekad, pasti bisa.”
“Yakin?” Delia malah meledek Khayra. Gadis itu melotot sementara Delia tergelak. Ia tahu jika Khayra sudah benar-benar melupakan cinta pada lelaki itu. Tapi ia juga tahu, jika Khayra belum bisa melupakan benci pada lelaki itu. Jika seperti itu, apakah rasa cinta itu masih tersisa? Karena sama halnya dengan cinta dan nafsu yang tipis perbedaanya, maka cinta dan benci juga tipis perbedaannya. Terlalu mencintai malah bisa menjadi benci. Dan terlalu membenci.....juga bisa menjadi cinta.
“Kalau menurutku nih, melupakan itu tak bisa dipaksakan, Mir.” Delia menyuarakan pendapat hatinya.
“Ya deeh yang belum bisa move on!” Khayra langsung meledek. Delia menanggapinya dengan tawa. Ia tak mungkin membantah karena itulah kenyataannya.
“Enjoy this feeling, Mir,” serunya santai. Mengabaikan Khayra yang kini mencibirnya. “Jangan memaksa untuk menghapusnya jika memang tak sanggup. Meski harus merasakan sakitnya juga. Karena seperti yang ku bilang, bukan cinta namanya kalau tidak jatuh. Jatuh merasakan indahnya. Jatuh merasakan sakitnya. Jatuh merasakan rindunya.”
“So?” Mira bertanya yang disambut gelak tawa keduanya. Bibir gadis itu mengulum senyum. Semangatnya mulai terbit kembali. Khayra merangkul Delia dan menarik tangan Mira. Mengajak keduanya keluar dari kamar kos Delia dan berangkat menuju Terminal Depok. Sore ini mereka bertugas di Terminal Lebak Bulus dan akan berangkat kesana dengan naik bis.
“Asal tak larut dalam cintanya dan terus berusaha meraih cinta-Nya.”
Enjoy...enjoy this feeling, Mir! hiburnya. Kapan lagi merasakan indah dan sakitnya jatuh cinta? Mumpung perasaan itu masih bisa dirasakan sebelum menjadi hampa ketika ia berhasil melupakan lelaki itu atau move on atau apapun istilahnya itu. Karena ia tahu, melupakan itu tak mudah. Sama seperti ketika dipaksa untuk jatuh cinta pada seseorang yang tak menarik hati. Tak kan bisa. Baginya, cinta bukan datang karena terbiasa. Melainkan, cinta datang ketika mata tak bisa berpaling pada sosoknya. Cinta datang ketika bibir melantunkan doa untuknya. Dan...cinta datang ketika hati tak lelah memanggil namanya. Tapi ketika hatinya hampa kelak dan Wirdan ber-sama bayangannya menghilang, ia menambahkan satu kalimat lagi tentang cinta. Yaitu, cinta datang ketika Allah meridhoi cintanya. Ketika ia mudah untuk jatuh cinta maka disaat yang sama, ia akan sulit untuk melupakan cinta. Dan untuk perasaan ini, ia sudah tahu pilihan mana yang lebih tepat untuknya. Dari pada berlelah-lelah mengikuti tekad Khayra, ia lebih senang mengikuti kalimat Delia. Enjoy this feeling!
Santai tapi tetap usaha untuk melupakan. Meski tidak segiat Khayra. Tapi ia juga tak mau berleha-leha. Ia juga ingin hatinya hampa dan cintanya sepenuhnya hanya kepada Allah. Agar cintanya menjadi benar. Cinta yang tidak menduakan-Nya dan cinta yang yang menomorsatukan-Nya. Ia meng-angkat jempolnya sembari tersenyum tipis. Tak seperti biasanya, jika disuruh ikut mengajar--ia akan menolak. Kali ini, ia malah menawarkan diri. Alasannya tentu saja agar pusat dunianya teralihkan dari lelaki yang sedang sibuk memberi arahan pada teman-teman yang lain. Ia boleh saja menikmati perasaan ini tapi ia tak mau terlalu larut ke dalamnya. Cukuplah berada di permukaannya. Jangan sampai tenggelam di dalamnya. Ia tak memberi materi seperti teman-teman yang lain. Ia malah bertanya pada lima anak yang menjadi asuhannya, mereka ingin belajar apa?
Dan....mereka menjawab, tentang sekolah. Pertanyaan yang membuatnya pilu ketika mendengarnya. Bagi mereka yang tak pernah mengecap bangku sekolah, tak kan pernah tahu rasanya bagaimana sekolah itu. Mereka ingin sekolah, tapi apa daya ketika kebutuhan hidup sekedar untuk makan menuntut. Boro-boro bersekolah, untuk makan malam nanti saja belum tentu ada. Sementara kebanyakan anak-anak mampu di luar sana malah bermain-main di sekolah. Tak pernah serius. Padahal seharusnya mereka melihat ke bawah. Banyak yang kekurangan dan tak seberuntung mereka. Dari sini lah, Mira tahu rasanya bersyukur. Tahu rasanya berkecukupan. Kini semangat kuliahnya timbul lagi setelah sempat surut. Surut hanya karena cinta. Oh! Memang cukup menggelikan. Tapi kini ia sadar. Ia yang punya orang tua berkecukupan dan bisa membayar kuliahnya, tak pantas malas-malasan. Dan soal cinta itu?
Delia mengatakan satu hal saat di perjalanan tadi. “Jangan kau bawa cinta semu pada lelaki dalam hidupmu. Tapi bawalah cinta-Nya dalam hidupmu.” Karena perasaan cinta pada lelaki yang dirasa, yang katanya indah, penuh warna bagai pelangi, Allah akan menggantinya dengan perasaan cinta yang lebih sempurna. Cinta yang tak kan pernah bisa kau ucapkan lewat kata-kata betapa indahnya. Karena kata-kata saja tak cukup jika berhubungan dengan-Nya. Tak cukup dengan hati, tak cukup dengan tangis untuk-Nya. Tapi cukup dengan cinta yang kau punya untuk-Nya.
Khayra juga bilang, bahwa “jika kamu benar-benar mencintai Allah, taatilah Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah akan mengasihi dan meng-ampuni dosa-dosamu.” Dan doa Mira saat itu adalah semoga Allah meng-ampuni dosanya yang telah berkhianat tentang cinta kepada-Nya dan malah jatuh dalam cinta semu kepadanya.
Sebagai hiburan, ia menyoraki mereka dengan semangat. Meniupkan api semangat agar berkobar di d**a mereka. Jika belajar bukan hanya di bangku sekolah. Jika belajar bisa dimana saja selama kemauan itu ada.
Semangat yang tanpa sengaja tertular pada sosok di seberang sana. Sosok yang mengamati sejak lama. Sosok yang kini hanya mengulum senyumnya. Menikmati senja dan cinta. Menikmati perasaan yang katanya sementara. Menikmati rasa yang katanya anugrah-Nya. Namun tetap yang utama adalah Dia. Karena Dia yang memberikan rasa indah di dalam dadanya.