Bintang Mahesti, wanita biasa yang memiliki paras yang sama dengan kehidupannya, biasa saja. Rambut hitam lurus sepinggang, mata sipit, dan kulit putih yang terkesan pucat. Seorang pekerja keras, dan selalu mendapatkan apa yang diinginkannya dengan berusaha giat. Keras kepala dengan otak yang cemerlang.
Kehidupan Bintang terkesan damai, tanpa mengenal perasaan cinta yang merumitkan. Bintang percaya dengan cinta sejati. Ia juga yakin jika hidup sederhana dan penuh cinta adalah impian semua wanita di muka bumi ini. Tapi satu hal yang Bintang tidak mengerti, bagaimana rasanya terjebak rasa penuh warna itu?
Satu hal yang menjadi prinsip hidup seorang Bintang Mahesti. Tidak semuanya yang ada di dunia ini dapat dibeli dengan uang, ia tidak menginginkan hidup mewah tanpa cinta. Bagi Bintang cinta itu terlalu bernilai, hingga tak dapat diperjual-belikan. Walaupun kita tahu bahwa semua orang tidak bisa hidup tanpa uang, tapi bagi Bintang ia tidak bisa hidup tanpa perasaan cinta yang menghiasi hati. Uang bisa dicari, tapi perasaan tulus tidak mudah didapatkan. Bintang sangat mengerti bagaimana rasanya dikucilkan, dikhianati, dan dibohongi karena semua pengalaman pahit di dalam hidupnya, hingga tahu bahwa satu hal di dunia ini yang susah untuk didapatkan adalah perasaan tulus.
Gadis itu sibuk memasukkan buku-buku ke dalam tasnya, ia kembali memeriksa semua hal yang diperlukan, lalu tersenyum puas saat yakin jika semua keperluannya sudah masuk ke dalam tas ransel hitam kesayangannya.
“Bee … kamu mau pergi jam berapa?” Lenny berteriak di depan pintu kamar Bintang yang sedari tadi belum juga keluar dari kamarnya. Padahal jam dinding di rumah mereka sudah menunjukkan pukul 7.30 pagi.
“Iya, ini udah mau jalan, Tan.” Bintang berteriak dari dalam kamar. Ia mengikat rambut panjangnya dan berlari kecil mengambil tasnya yang berada di tempat tidur. Lenny yang berdiri di depan pintu kamar Bintang sudah bersiap-siap untuk menceramahi Bintang, tapi belum sempat ia membuka mulut, Bintang sudah mencium kedua pipi wanita paruh baya itu, membuat wanita itu hanya bisa menghela nafas panjang dan menggeleng-geleng melihat keponakkannya.
“Jangan lari-lari, Bee. Ini rotinya di makan dulu,” ujar Andi, suami Lenny memanggil Bintang yang berlari tanpa menoleh ke arahnya. Ia menggeleng-geleng.
“Udah nggak sempet, Om.”
“Sarapan itu penting, Bee. Ka ...,”
“Ok, ini aku ambil satu.” Bintang memotong perkataan Andi dan mengambil sepotong roti, “Aku pergi dulu ya, Om.” Lanjutnya sembari mencium pipi kiri lelaki paruh baya itu dan memasukan roti ke dalam mulut. Kedua suami istri itu hanya bisa tersenyum melihat keponakkan mereka yang sudah mereka anggap seperti anak sendiri.
Bintang berlari keluar rumah dengan terburu-buru. Ia mengenakan helm dan mulai menyalakan motor matic kesayangannya. Hari ini, Bintang harus tiba di kampus barunya tepat pukul delapan pagi, tapi karena kemarin ia bekerja hingga larut malam, pagi ini Bintang tergesa-gesa menyiapkan dirinya ke kampus. Ia harus belajar bagaimana membagi waktu dengan baik agar tak menyusahkan orang-orang yang disayanginya.
Bintang melajukan motor dengan kecepatan maksimal layaknya seorang pembalap yang sedang berlomba di arena balapan. Kemacetan ibu kota sudah menjadi sarapan pagi setiap harinya bagi Bintang dan mungkin untuk semua warga Jakarta. Tidak ada seorang pun yang mau mengalah di jalanan. Ada yang menyelip-nyelip layaknya ikan belut yang bisa menyelinap melalui celah sempit di antara kendaraan yang memenuhi jalanan Jakarta. Bintang memilih tidak mengikuti pengendara yang seperti belut itu, ia lebih memilih mempercepat laju motor saat ruas jalan terlihat sedikit longgar. Kecepatan tidak akan membunuhmu jika kau bisa berhati-hati di jalan, itulah yang pernah dikatakan ayah Bintang kepadanya.
“BRUKKK!”
Bintang meringis memeganggi kakinya yang ditabrak oleh mobil mewah di depannya,. Mirisnya, mobil itu dengan rasa tidak berdosa berlalu meninggalkan Bintang yang meringis kesakitan. Bintang melotot ke arah pemuda yang mempersilahkan mobil itu berjalan, sedangkan kendaraan dari arah Bintang datang sudah memenuhi pertigaan yang dijaga oleh pemuda itu.
Mencari uang nggak seharusnya mencelakai orang lain.
Tidak menerima dengan perlakuan pengendara mobil tadi, Bintang melajukan motornya dan mengejar mobil itu. Beruntung karna ia masih bisa mengejar dan menemukan mobil sialan yang tanpa dosa meninggalkannya yang sedang kesakitan. Bintang semakin mempercepat laju motornya, ia menyelip ke samping mobil itu, dan tampaknya sang supir tidak merasa bersalah ataupun mengingatnya. Dengan kesal, ia memberhentikan motornya tepat di depan mobil itu dan karena tindakan Bintang yang secara tiba-tiba, mobil itu berhenti mendadak, membuat orang yang menumpanginya terkejut.
Nafas Bintang terengah-engah, emosinya tidak dapat dibendung lagi. Mana kesopanan dan budaya orang Indonesia yang terkenal ramah? Ia memarkirkan motor di tengah jalan, tepat di hadapan mobil BMW berwarna putih yang tadi sempat menyerempetnya. Ia berjalan menuju mobil, memukul keras jendela bagian depan. Sang supir dengan wajah panik mulai membuka kaca disebelahnya, sedangkan Sang tuan tengah asyik menatap layar ponselnya tanpa memperdulikan supirnya yang terlihat panik.
“Keluar lo,” ucap Bintang setengah berteriak, “Keluar atau gue hancurin nih mobil lo pake helm gue!” ancam Bintang sembari melepas helmnya. Ia mengarahkan pelindung kepala itu pada kaca depan mobil.
“Maaf Mbak kenapa ya?”
“Gila lo ya!” Bintang tertawa sinis, “Malah nanya kenapa? Nggak nyadar tadi mobil lo ini udah nabrak kaki gue?”
“Maaf Mbak, saya nggak tahu dan tadi orang itu udah mempersilahkan saya jalan.” tangan pemuda yang mungkin seusianya itu terlihat bergetar, ia menyatukan kedua tangan dan memohon kepada Bintang yang terlihat kesal.
“Eh …” bentak Bintang, “Nggak pernah belajar nyetir ya? Udah jelas-jelas mobil ini nggak bisa masuk, lo masih maksain aja,” Bintang menatap pemuda itu garang, “Keluar lo, SEKARANG!” Bintang memukul pemuda itu dengan helm, membuat pemuda itu semakin bergetar ketakutan.
“Maaf Mbak saya nggak sengaja. Beneran, Mbak.”
“Nggak sengaja?” Bintang tersenyum mengejek, “Setidaknya lo tuh harus minta maaf, bukannya ngabur gitu aja. Semua orang juga buru-buru, emang lo doang yang perlu datang cepat? Keluar lo, biar gue ajarin sopan-santun!” Bintang mengeram dan melotot ke pemuda itu.
“Don … Nih, lo kasih aja tuh cewek uang, nanti juga bakal diam.” penumpang di belakang pemuda itu mulai terlihat tidak sabar dan mengarahkan beberapa lembar uang ratusan ribu kepada supirnya. Bukannya senang, amarah Bintang semakin meninggi mendengar apa yang lelaki itu katakan. Dengan kuat Bintang memukulkan helmnya beberapa kali pada jendela di samping lelaki itu duduk. Serpihan kaca mulai mengenai lelaki itu. Si penumpang mengeraskan rahang dan melotot ke arah Bintang, lalu membuka pintunya dan keluar dari mobil mewahnya.
“Mau lo apa sih cewek rese?” Lelaki itu tak mau menyembunyikan amarah yang berhasil dipancing oleh wanita itu.
“Lo mau tahu apa yang gue mau?” Bintang melotot, ia tak kalah garangnya.
Bintang mengambil beberapa lembar uang ratusan ribu yang berada di tangan pemuda tadi, lalu melemparkannya tepat ke wajah lelaki yang tengah berdiri di hadapannya. Lelaki itu menegraskan rahang sembari menatapnya kesal.