Keputusan Akhir (1)

1527 Words
Selama perjalanan, Jihan sama sekali tidak berbicara. Hanya Argan-lah yang mendominasi, itu pun jarang mendapat tanggapan dari Jihan. Bayangkan, Jihan sama sekali tidak berkeinginan untuk berangkat ke kantor bersama Argan, tapi, Mama-lah yang mendesak. Apa yang Jihan bisa lakukan selain terpaksa mengangguk? “Apa yang ingin Jihan ketahui tentang saya? Silahkan tanya saja, saya akan dengan senang hati menjawabnya. Ini untuk mengisi waktu kita selama di perjalanan.” Jihan menggeleng sebagai jawaban kemudian mengalihkan pandangan ke samping, melihat jalanan yang mereka lalui dari balik kaca. Jihan bertanya-tanya, berapa lama lagi sampai di kantor? Jihan sangat tidak nyaman sekali satu mobil dengan Argan. “Kalau begitu, saya yang memberitahu. Saya Argan Akbar, 28 tahun seorang manajer hotel. Saya anak tunggal. Saya juga tidak dekat dengan siapa pun. Saya tertarik dengan seorang perempuan pada pandangan pertama, yang sepertinya sulit sekali untuk memulai pembicaraan dengan perempuan itu.” Tentu saja Jihan tahu siapa ‘perempuan’ yang dimaksud Argan, tapi Jihan tetap bertahan dalam kebisuan. Kata orang, untuk meminta sebuah petunjuk, Jihan harus salat dulu. Tadi malam sudah Jihan lakukan tapi sampai sekarang sama sekali tidak menunjukkan hasil apa-apa. Alih-alih tenang dengan kebaikan Argan, Jihan malah semakin tidak enak. Apa ini pertanda kalau Argan bukan yang terbaik bagi Jihan? Lalu, bagaimana  dengan orang tua mereka? “Ini jaga-jaga kalau Jihan penasaran. Saya baru satu kali berpacaran dan itu sudah lama sekali, mungkin saat kuliah di semester tiga. Jadi, jangan khawatir soal mantan atau apa pun yang berhubungan dengan masa lalu, karena saya bersih dari itu.” Hal itu sukses memanmembuat Jihan menoleh cepat. Bola matanya melebar beberapa detik sebelum kembali ke mode normal. Jihan tidak menyangka Argan akan membicarakan hal seperti ini. Sebenarnya Argan sama sekali tidak tahu, tapi, ketidak-tahuannya sangat menyentil hati Jihan, sampai rasanya nyeri. Memang selalu ada alasan kenapa kita tidak menyukai seseorang dan ini rupanya jawaban rasa tidak suka Jihan terhadap Argan. Walau lebih banyak diam, Jihan sering menilai seseorang lebih tajam dalam kediamannya. Sejauh ini, Jihan menggambarkan Argan adalah laki-laki yang ... sangat percaya diri dan terlalu cepat akrab, mungkin bagian ini hanya bermasalah bagi Jihan. Mungkin pandangan orang lain berbeda, tapi inilah menurut pandangan Jihan. Argan Akbar bukan keinginan Jihan, tapi keinginan orang tuanya. Sesuatu tidak bisa dipaksa, kalau dipaksa akan berakhir tidak baik. “Sepertinya saya menghabiskan setengah jam untuk mengoceh sendirian. Tidak ada bedanya, ya, sendiri atau berdua.” Tawa kecil Argan terdengar oleh Jihan. “Tidak apa-apa. Karena Jihan menarik, saya memaklumuinya.” “Terima kasih,” ucap Jihan. Setelah melepaskan sabuk pengaman, Jihan mengangguk sekali lalu membuka pintu mobil. “Hati-hati di jalan.” Setidak peduli apa pun, Jihan masih tahu diri. Argan sudah mau berbaik hati mengantarkan, tidak seharusnya Jihan tidak sopan sampai akhir perjalanan. “Sama-sama. Saya akan menjemput Jihan nanti. Selamat bekerja.” “Tidak us–” Namun, mobil itu sudah melaju perlahan. Meninggalkan Jihan dengan kalimat yang tidak selesai diucapkan. Niat hati ingin menolak, namun selalu saja ada kendala untuk mengatakannya. *** Jihan menyimpan file laporannya kemudian membuat komputernya sleep. Icy sudah menunggu untuk makan siang, mau tidak mau Jihan harus bergegas. Padahal laporan akhir bulannya sebentar lagi akan selesai dan bisa diprint saat itu juga untuk diberikan pada Pak Yanto, kepala divisi bagian produksi. “Gue udah bilang nggak, Han, kalau kafe yang baru buka itu, menu ayam gepreknya juara?” tanya Icy begitu Jihan bangkit, lalu keduanya langsung keluar dari ruangan. “Mau ke sana, nggak? Lo ‘kan belum nyobain.” “Boleh,” jawab Jihan. “Apa ayam gepreknya pakai level?” Masakan pedas adalah favorit Jihan, masalahnya lidah Jihan tidak bisa mentoleransi yang terlalu pedas. Perutnya akan berontak dan bisa terkena diare berhari-hari. “Ada. Untuk ukuran lo, gue saranin level tiga.” Karyawan hilir mudik, beberapa dari mereka langsung saling sapa dengan Jihan dan Icy. Perusahaan ini memiliki kantin sendiri sebenarnya, tapi kalau tiap hari makan menu itu-itu saja kadang bosan juga. Bersyukur di depan sana ada kafe yang baru buka jadi karyawan bisa selingan ke sana. Membutuhkan waktu sepuluh menit untuk keluar dari area perusahaan menuju kafe. Begitu masuk, kafe sangat ramai. Meja yang kosong pun hanya dua, Jihan dan Icy segera menempati meja paling tengah sebelum keduluan pelanggan lain. Seorang waitress mendekat dan menyerahkan masing-masing buku menu pada Jihan dan Icy. Keduanya kompak memesan ayam geprek beda level lalu untuk minum, Jihan sendiri memesan jus jeruk sementara Icy memesan jus alpukat. “Han,” panggil Icy setelah waitress pergi. “Gue nggak sengaja lihat lo dianter tadi pagi. Tumben? Mana yang antar cowok lagi.” “Iya, diantar,” jujur Jihan. “Sama siapa?” Muka-muka Icy sudah menunjukkan kejahilan. “Jangan bilang, lo udah punya pacar? Atau ... calon suami?” Tarikan napas terasa berat begitu pun dengan embusan. Jihan menautkan kedua tangannya di bawah meja kemudian membawa pandangan ke sembarang arah. “Sepertinya ... aku tidak akan punya pacar. Kalau calon suami ... itu bukan keinginanku, melainkan keinginan ... Mama.” “Perjodohan?” tebak Icy dan sangat tepat sasaran. “Serius, lo kenapa, sih, Han? Muka lo itu cantiknya di atas rata-rata. Kalau dipandang lama-lama bikin adem. Anak-anak kantor pun banyak yang coba deketin lo, tapi, berakhir nggak ada hasil apa-apa. Selama ini, apa yang lo tunggu, Jihan? Atau, lo punya trauma sendiri?” “Tidak ada.” Jihan mengelak. Sampai sekarang pun, Jihan masih betah memendam masalahnya sendiri. Jihan tidak pernah berbagi walau itu dengan orang terdekatnya sendiri. “Aku hanya belum siap, Cy.” “Terus gimana soal perjodohan?” “Akan kucoba membicarakannya dengan Mama. Kuharap Mama akan mengerti.” “Ini gue bukan nakut-nakutin, ya, Han. Tapi, gimana seandainya nyokap lo ngotot ngejodohin? Posisi lo itu tertekan, dilangkahi adik bahkan dilangkahi adik sepupu. Apa lo nunggu Zidan menikah, baru lo punya niat ke arah sana?” Atmosfernya sekarang berbeda. Memang masih ramai tapi kata-kata yang diucapkan Icy seolah bergaung di telinga Jihan. Iya, sampai kapan Jihan seperti ini? Sampai kapan Jihan ketakutan? Kata orang, rasa takut seharusnya dihadapi bukan melarikan diri. Tapi, Jihan belum memiliki keberanian yang besar untuk menghadapinya. Sudah sembilan tahun terlewat buktinya Jihan masih seperti ini saja. Tangan kanan Icy mengetuk meja, untuk mengembalikan fokus Jihan. “Gue bukan menyudutkan lo, Han. Sebagai teman, gue pengen yang terbaik buat lo. Gue berharap keputusan apa pun yang lo buat, itu akan membahagiakan lo.” “Terima kasih,” bisik Jihan lirih. Icy mengangguk lalu tersenyum tipis. “Sama-sama.” Pesanan di antar tidak lama setelah pembicaraan serius mereka berakhir. Di saat yang bersamaan, seseorang mengamati meja yang ditempati Jihan dan Icy dengan binar sendu. Tatapannya mengarah pada Jihan dengan putus asa, sakit dan ... kerinduan. *** Berkali-kali Jihan menarik napas untuk menetralisir gugup namun sepertinya tidak berhasil. Telapak tangan Jihan mengeluarkan keringat yang sudah kesekian kalinya Jihan usap ke pakaian yang Jihan kenakan. Malam ini. Ya, malam ini Jihan harus membicarakannya dengan Mama. Perihal Jihan yang belum siap. Perihal tidak usah memikirkan omongan tetangga atau pun orang lain. Perihal ... jangan terlalu menuntut Jihan dan menekan Jihan. Ditarik Jihan napasnya pelan kemudian diembuskannya perlahan. Setelah mengucap bismillah dalam hati, Jihan meraih kenop pintu dan memutarnya pelan. Biasanya Mama sehabis makan malam selalu berada di ruang tamu. Dibawa Jihan langkahnya pelan dan hati-hati. Begitu melihat punggung Mama, gugup yang sempat hilang kini muncul lagi. Hatinya memberikan dorongan dan semangat. Pikirannya seolah bersorak, kalau tidak diutarakan sekarang, kapan lagi? Ini sudah lebih dari seminggu, takutnya keluarga Jihan dan keluarga Argan sudah menentukan saat melihat tidak ada tanda-tanda berhasil dari pergerakan Argan. “Ma,” panggil Jihan, pelan sekali. “Boleh bicara?” Mama menoleh. Senyumnya langsung mengembang kemudian tangan kanannya melambai. “Sini, Han. Papa tadi masuk duluan, katanya terlalu capek untuk menemani Mama nonton.” Jihan menurut. Segera Jihan memutar sofa panjang dan bergabung di samping Mama. Sedetik pandangan Jihan tertuju pada layar datar yang menampilkan sinetron kesukaan Mama, sedetiknya lagi Jihan langsung menatap Mama, hanya saja tidak berani tepat di manik mata. “Apa ... apa Jihan, boleh ...” Jeda sejenak Jihan pergunakan untuk meraup napas sebanyak-banyaknya. “Menolak. Argan dan Jihan ... tidak berhasil.” Pergerakan Mama sebagai respon setelah mendengar kata-kata Jihan. Mama bahkan mengambil remot kemudian mematikan televisi. Arah duduk Mama sepenuhnya beralih pada Jihan. Pandangan Mama saat ini ... datar, tidak bersahabat. “Alasan apalagi kali ini?” “Jihan ... takut, Ma. Jihan ... belum siap.” “Ini yang Mama bilang kalau kamu itu selalu jalan di tempat. Alasannya sudah berulang kali Mama dengar. Entah itu takut, entah itu belum siap. Sekarang Mama tanya, kapan kamu siapnya? Setahun lagi? Lima tahun lagi? Sepuluh tahun lagi?” Mata Jihan mulai memanas. Jihan pun menanyakan hal yang sama pada dirinya sendiri. Kapan siapnya? Karena sekarang, Jihan sama sekali tidak ada bayangan. “Mama yang full 24 jam di rumah, Han. Mama yang sering ngumpul-ngumpul sama tetangga. Mereka tidak gamblang mengucapkan tapi Mama yang selalu peka, Jihan. Mereka selalu membicarakanmu padahal mereka tahu sendiri, kalau Mama ini adalah mamamu. Hati orang tua mana yang tidak akan sakit mendengar anaknya disindir dan digosipi tepat di depan mata.” Isakan kecil mulai terdengar. Egoiskah Jihan sekarang kalau tetap mempertahankan keinginannya dan menuruti rasa takutnya? Egoiskah kalau Jihan mengabaikan kesedihan Mama? Atau, haruskah Jihan memilih pasrah sekarang? “Sekali ini saja, ya, Nak. Mama tidak akan meminta apa-apa lagi. Asal kamu sama Argan, Mama tidak akan menuntut apa-apa lagi.” Nyeri di d**a bertambah. Apalagi melihat aliran bening serupa menetes dari dua mata indah Mama. Jihan sangat berdosa sekarang karena membuat Mamanya menangis. Jihan coba untuk menarik napas meskipun sesak. Jihan telan ludahnya yang terasa tercekat. Dengan kepala sepenuhnya menunduk, Jihan menjawab sambil tergugu, “Asalkan Mama tidak sedih lagi ... Jihan akan melakukan segalanya.” Tarikan kuat dan dekapan hangat Jihan rasakan sekarang. Apalagi saat telapak tangan Mama mengusap belakang kepala dan punggung Jihan berulang kali. “Terima kasih, Nak. Terima kasih sudah menuruti keinginan Mama.” Di satu sisi, Jihan lega karena Mamanya bahagia. Di sisi lain, hatinya teriris dan terluka. Ini artinya ... Jihan tidak akan bisa melarikan diri lagi. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD