Berbeda (1)

1144 Words
Begitu tiba di depan butik, Argan yang datang lebih dulu menyambut Jihan dengan senyuman. Jihan hanya mengangguk sekali lalu ketika mendekat, keduanya langsung masuk bersamaan. Butik ini adalah butik kenalan Mamanya Argan. Jihan dan Argan sama sekali lepas tangan masalah pernikahan, orang tualah yang mengurus semuanya, bahkan termasuk cincin untuk keduanya. Tante Jenifer, pemilik butik sekaligus perancang busana menyambut kedatangan Jihan dan Argan. Senyumnya mengembang lebar dan segera memanggil pegawainya untuk bantu mengarahkan ke ruang di mana terdapat beberapa gaun dan jas yang sudah tersedia. “Linda tadi cuma titip pesan di w******p, tolong fotokan anak dan calon menantunya. Kalian berdua dibiarkan pacaran dulu, katanya suapaya terbiasa dan setelah menikah nanti tidak terlalu canggung.” Tante Jenifer mempersilahkan Jihan lebih dulu masuk kemudian Argan, berikutnya Tante Jenifer sendiri dan dua orang pegawainya. “Untuk gaun pengantin, sebenarnya kedua orang tua kalian sudah menentukan pilihan, tapi katanya tergantung selera Jihan saja.” “Terima kasih, Tante,” bisik Jihan lirih. “Gaunnya boleh dicoba sekarang?” “Tentu saja, Sayang.” Tatapan Tante Jenifer beralih pada dua pegawainya kemudian membuat isyarat dengan anggukan. “Bantu Jihan, ya.” “Baik, Bu,” jawab keduanya kompak. Sementara itu, Tante Jenifer langsung berpaling pada Argan. “Bagaimana? Mau mencoba sekarang juga?” “Nanti, Tante. Saya ingin melihat Jihan dulu. Boleh saya menunggu di sana?” tunjuk Argan pada sebuah sofa yang terletak di sudut. “Untuk jas seharusnya tidak seribet gaun, kan?” “Tidak, tapi tidak mudah juga.” Jawaban Tante Jenifer membuat Argan terkekeh kemudian Tante Jenifer juga ikut terkekeh. Sementara itu, Jihan segera dituntun mendekat pada jejeran gaun yang begitu indah dan memukau. Kalau dalam keadaan biasa, maksudnya ikhlas, hanya dengan melihat ini saja Jihan pasti bahagia. Tapi, ini berbeda. Jihan memandang tanpa ekspresi yang berarti dan menelusuri dari motif satu ke motif yang lain. Tidak ada yang berhasil menarik tapi Jihan harus memilih, bukan? Maka dari itu, Jihan menunjuk dengan sembarang lalu menatap pada dua pegawai Tante Jenifer. “Ini saja, Mbak.” “Mari, Kak, saya antar ke ruang ganti,” ucap pegawai yang satunya. Jihan langsung menurut tanpa kata. Begitu pintu ruang ganti tertutup, dua pegawai itu langsung melakukan tugasnya. Padahal yang bantu dipakaikan gaun adalah manusia namun Jihan sama sekali tidak melakukan pergerakan, persis seperti manekin. Pandangannya terpaku pada satu titik dengan bibir membentuk garis datar. Setelah hampir setengah jam bergelut dengan gaun berat dan rumit, pintu ruang ganti kembali dibuka. Jihan berjalan pelan dengan kedua pegawai mengiringi di belakang, bantu mengangkat bagian bawah gaun supaya mempermudah langkah Jihan. Senyum Tante Jenifer kali ini sangat puas mengetahui gaun rancangannya ternyata sangat pas saat dikenakan kliennya. Terlebih yang mengenakan memiliki paras begitu cantik, menambah kesan keindahan tersendiri dan nilai gaunnya seakan-akan naik beberapa poin. “Cantik,” puji Argan dengan senyum merekah. “Tapi, Tante, bisa bagian pinggangnya diperkecil lagi? Tampak mengganggu permandangan dan itu nanti akan sedikit bermasalah saat Jihan mengenakannya di resepsi.” “Begitu, kah? Sebutkan saja apa yang kurang menurut pengamatanmu, nanti Tante rombak sesuai kebutuhan. Kamu memiliki mata yang tajam, ya, Argan. Padahal menurut Tante itu sudah pas.” Argan tertawa lalu menggeleng. “Teliti itu bidang saya. Sejauh ini tidak ada yang salah dengan apa yang saya lihat dan ucapkan, kecuali ... yang ini. Agak sedikit berbeda dan memiliki tantangan tersendiri.” Tatapan Argan tertuju pada Jihan dan Jihan menghindar dengan membuang pandangannya. “Berlian indah sangat mahal bukan, Tante? Apalagi mendapatkannya, tentu tidak akan mudah.” Tante Jenifer langsung mengerti arah pembicaraan dan tawanya ikut-ikutan keluar. “Tante harap kamu bisa memiliki berlian itu sesegera mungkin.” “Terima kasih, untuk satu itu saya sangat percaya diri.” Diusap Argan alisnya dengan jempol lalu pandangan jenakanya kembali mengarah pada Tante Jenifer lagi. “Selanjutnya giliran saya, bukan? Calon istri saya akan kesusahan kalau mengenakan gaun itu terlalu lama.” “Kamu memang laki-laki yang menyenangkan, Argan. Jihan sangat beruntung. Mari ikut Tante.” Tante Jenifer sendirilah kali yang menuntun Argan. Saat dua orang itu berlalu, diam-diam Jihan mengepalkan tangannya. Napas Jihan memburu, berusaha menekan rasa tidak nyaman di hatinya dan berusaha untuk menenangkan diri. Jihan dan Argan sebentar lagi akan menikah, tidak baik terus-terusan memupuk rasa tidak suka. Sebaiknya yang Jihan lakukan sekarang adalah, mencoba berdamai dengan dirinya sendiri dan pelan-pelan menerima. *** “Aku memiliki apartemen. Kita bisa tinggal di sana sementara sebelum mencari rumah yang nyaman untuk kita tinggali setelah menikah nanti.” Sesekali Argan melirik Jihan lalu kembali fokus pada jalanan. “Sesekali Jihan main ke hotel, nanti aku kenalkan pada rekan-rekan kerjaku.” “Terima kasih, insya Allah nanti,” balas Jihan pelan. “Jihan bisa memasak?” “Bisa.” “Kalau begitu, aku akan memberitahu makanan kesukaanku. Kepiting saus tiram, ikan kakap bakar dan rawon. Kalau Jihan bisa membuat itu, aku sangat senang sekali. Kalau tidak bisa, masih ada waktu untuk belajar.” Jihan mengangguk sekenanya. Dengan tak kentara Jihan bergerak, bermaksud untuk mengubah posisi duduknya, karena terlalu penat sejak bermenit-menit yang lalu tidak banyak melakukan pergerakan. Saat ini Jihan dalam perjalanan pulang, tentunya diantar Argan. Karena semenjak cincin tersemat di jari, Mama tidak pernah lagi mengizinkan Jihan pergi ke kantor menggunakan taksi atau ojek online, melainkan Argan-lah yang mengambil alih tugas itu. Katanya harus terbiasa. Intinya semua kedekatan yang Jihan dan Argan lakukan ini didorong oleh keluarga untuk membuat keduanya saling terbiasa. Argan tentu saja dengan senang hati menerima itu, karena Argan ikut andil juga di dalamnya. Tapi, Jihan ... hatinya kadang berubah-ubah. Antara tidak nyaman dan antara berusaha melawan dengan mencoba untuk menerima. “Kalau Jihan sendiri, ada masakan yang Jihan suka?” Terus-terusan Argan mengajak Jihan berbicara, kalau tidak seperti ini maka pergerakan hubungan mereka akan seperti siput. Lambat sekali sedangkan pernikahan semakin dekat. “Aku akan mencoba jadi laki-laki yang bisa memahami Jihan, sebaliknya Jihan juga begitu padaku.” “Saya tidak pernah mempermasalahkan makanan.” “Bisa formalnya dihilangkan? Aku merasa aneh mendengar perbedaan bicara kita. Tidakkah Jihan merasakan hal yang sama, maksudku keanehan itu?” Jihan menggigit bibir bagian dalamnya kemudian menggeleng. “Akan saya usahakan.” “Saya lagi,” ulang Argan disertai kekehannya. “Sebaiknya segera dibiasakan, ya. Jangan menahan diri lagi. Berbicaralah panjang lebar dan biasakan jangan menampilkan wajah yang tidak bersemangat seperti itu. Aku takut Mama nanti salah paham karena anaknya selalu pulang dengan raut tidak bahagia. Pasti beliau berpikir aku tidak membuatmu cukup senang.” Ya, Argan memang memanggil mama Jihan dengan sebutan mama, begitu juga dengan papa. Yang belum terbiasa hanyalah Jihan, bahkan untuk percakapan begini pun Jihan sampai dinasehati Argan untuk segera mengubahnya. Jihan kadang lupa, Argan ini adalah Argan yang sering berkomentar sekarang. Tapi, semakin Jihan mendengar, Jihan semakin susah menurut. Sisi pembangkang Jihan selalu mencegahnya untuk melakukan apa yang diperintahkan Argan. “Sepertinya aku tidak bisa mampir nanti,” ujar Argan, begitu mobilnya menepi tepat di depan pagar rumah Jihan. “Titip salam untuk mama dan papa.” “Iya, tidak apa-apa.” Jihan langsung membuka sabuk pengaman berikut pintu mobil di sampingnya. Saat Jihan akan keluar, Argan menahan dengan memanggil nama Jihan. Tentu saja Jihan menoleh, tapi tidak mau menatap mata Argan secara langsung karena Jihan tahu itu tidak boleh. “Boleh kalau kusentuh Jihan jangan menampilkan gerak yang berlebihan. Jujur saja aku mengira aku seperti seseorang yang sudah berbuat kejahatan pada Jihan.” Untuk yang satu ini, Jihan tidak bisa tidak menjawab. “Maaf, saya merasa tidak nyaman.” “Tapi, kita sudah bertunangan. Sebentar lagi kita akan menikah.” “Masih sebentar lagi, belum sudah. Assalamu’alaikum.” Jihan mengangguk sekali lalu segera pergi. Apa hanya Jihan yang merasa kalau Argan semakin hari ... semakin lancang? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD