Bab I

1004 Words
Hallo ... Selamat datang di cerita terbaru aku. Jangan lupa follow i********: aku di @ay.tarigan Enjoy! *** Namaku Silvana Larasati, seorang mahasiswi keguruan yang sedang pusing memikirkan skripsi. Belum lagi biaya wisuda yang jumlahnya membuat kepalaku terserang migrain seketika. Aku bukanlah dari kalangan orang berada, Ayah hanya seorang pengrajin kayu biasa, sementara Ibu membuka usaha gorengan kecil-kecilan. Meski begitu, aku tetap bersyukur, kedua orangtuaku masih mampu menyekolahkan empat anaknya meski harus diimbangi dengan lauk goreng tahu dan tumis kangkung. Hidup bermewah-mewahan bukanlah gaya kami, tak memikirkan untuk beli beras esok hari saja Ibu sudah sangat mengucap syukur. Hari ini, aku diterima kerja sebagai babysitter di rumah salah satu orang kaya yang tak jauh dari gubuk sederhana kami. Aku harus melakukan itu untuk meringankan beban Ayah dalam mencicil biaya wisudaku. Tak masalah, karena aku hanya bekerja selama beberapa jam saja. Kulangkahkan kaki melewati gerbang yang menjulang tinggi setelah dipersilahkan oleh seorang satpam, dan aku disambut oleh seorang pria tinggi tanpa ekspresi yang kemarin mewawancaraiku. "Mari ikuti saya," ucapnya tenang. Aku mengekor di belakangnya seraya mengagumi keindahan bangunan ini yang terlihat seperti istana. Bahkan, kutebak marmer yang kupijak ini harganya lebih mahal daripada biaya wisudaku. Kami berbelok menuju halaman belakang yang menyediakan sebuah kolam renang luas berhias taman kecil di sudutnya. Aku terpaku saat mendapati d**a telanjang seorang pria yang sedang bersantai di pinggiran kolam. Rambut basahnya mengalirkan butiran halus yang mengalir ke tubuh liatnya. Tanpa terasa, aku menelan ludah susah payah demi membendung jiwa yang resah karena godaan iman di depan mata. "Tuan, pelayan anda telah tiba," ucap pria itu penuh penghormatan. Pelayan? Siapa maksudnya? Aku? Tapi, bukankah yang harus kuasuh adalah seorang anak kecil? "Tunggu dulu, maksud kamu akulah pelayannya?" tanyaku memastikan. Pria yang membawaku ke sini mengangguk, dan hal itu cukup membuatku terkejut. "Kau membawa seorang wanita, Jo?" Pria berambut tembaga itu menggeram kasar. Laki-laki bernama Jo itu menghela napas panjang. "Saya yakin kali ini berbeda, Tuan," sahutnya tegas. Dengusan keras pria itu sebagai sahutan, sebelum ia kembali bersuara. "Terserahmu, beritahu semua tugasnya, dan jika dia berani berulah, aku akan memenggal kedua kakimu!" ancamnya tajam. Aku berjengit kaget karena kekejaman pria itu, bagaimana bisa ia mengucapkan hal semengerikan itu tanpa rasa beban. Hatiku mulai gelisah, mengasuh seorang bayi besar saja sudah menjadi masalah tersendiri bagiku, apalagi harus ditambah dengan kekejaman yang tampak nyata ada dalam diri pria yang akan kulayani ini. Ah, aku merasa sebutan itu terlihat binal sekali, tapi tugasku memang melayaninya 'kan? Meski bukan dalam hal intim seperti yang sering orang lain pikirkan. "Uhm, apa ... apa aku bisa memikirkannya sekali lagi?" ucapku berusaha menawar, aku harus memikirkannya matang-matang, takut tak akan sanggup menjalani tugas berat ini. Meski memang, gaji yang ditawarkan luar biasa diluar nalar, hanya dengan bekerja sebulan saja aku bisa melunasi semua biaya kelukusanku. Tapi sayangnya di kontrak itu tertulis, aku harus bekerja selama tiga bulan lamanya. "Apa kamu lupa telah menandatangani surat perjanjian itu, Nona?" tanya Jo datar, sementara pria bersurai lembab itu menggeram marah. "Usir saja jika memang dia tak ingin bekerja di sini!" hardiknya kasar. Aku sampai mundur selangkah karena suara kerasnya. Ya, benar. Surat perjanjian sialan itu telah aku tanda tangani tanpa berpikir panjang karean tergiur gaji yang fantastis. Jika kupikir ulang, akulah yang bodoh. Karena seingatku Jo memang tak menyebutkan seorang anak kecil yang harus ku asuh, ia hanya menjelaskan bahwa aku akan ditempatkan sebagai pengasuh. Itu saja. Namun, bukankah tetap saja itu penipuan? Seharusnya dia memberitahuku akan bekerja menjadi seorang pelayan, itu akan lebih mudah untuk kumengerti. "Saya akan mengurusnya, Tuan," tutur Jo sopan, setelahnya ia mengisyaratkanku untuk kembali mengikutinya. Aku menurut, berjalan melewati kursi pria itu yang sedang memejamkan mata. Kulirik otot keras yang terpampang membentuk kotak-kotak di perutnya. Seketika, lututku terasa lemah tak berdaya. Aku mendengus jengkel, dasar lutut murahan. Jo membawaku ke sebuah kamar luas yang terasa begitu kosong karena hanya terisi sebuah kasur king size di tengah ruangan, satu buah lemari kecil disebelahnya, serta ruang bersekat yang kuduga adalah walk in closet. "Ini adalah kamar Tuan Max," ujar Jo, membuyarkan fokusku dalam hal meneliti isi ruangan. Aku mengernyit, jadi pria tadi bernama Max. "Jangan sesekali menyentuh apa pun di sini tanpa seizinnya," tambah pria itu lagi. Aku mengangguk, lagipula memang tak ada hal menarik yang menggoda untuk kusentuh. "Tugasmu adalah datang setiap jam lima pagi, menyiapkan keperluan Tuan Max sebelum berangkat bekerja, termasuk membuat makanan untuknya. Setelah dia pergi, kamu boleh pulang, tapi ketika sore hari kamu harus kembali dan menyiapkan keperluan serta makan malam untuk Tuan Max, dan kamu boleh pulang setelah dia tertidur atau dirinya sendiri yang menyuruhmu untuk pulang. Paham?" ujar Jo panjang lebar. Aku yang mendengar rentetan kalimat yang keluar dari mulut pria itu merasa tercengang. Kenapa pekerjaanku lebih mirip tugas seorang istri? Lagipula kenapa bayi besar itu tak melakukan hal itu sendiri, menyiapkan keperluan saat ia pergi ke kantor bukanlah hal sulit, jika menganai sarapan atau makan malam sudah pasti ada pelayan yang ia gaji di rumah ini. Lalu, keberadaannya sekarang untuk apa? "Apa kamu mengerti?" Suara pria itu terdengar lebih tajam, mungkin karena aku yang masih bungkam tak memberi jawaban. Aku menarik napas panjang. "Kenapa tugasku aneh sekali?" tanyaku heran. Dia mengangkat sebelah alis. "Bagian mana yang kamu anggap aneh?" "Maksudku ... maksudku kenapa pekerjaanku malah seperti tugas seorang istri?" cetusku akhirnya. Jo mengerutkan dahi, pandangannya menghunus tajam. "Jangan mimpi!" dengusnya, mulai terlihat jengkel. Hei, aku tak sedang ingin bermimpi. Tipe pria idamanku adalah yang baik dan penyabar, sangat berbanding terbalik dengan sikap pria tadi yang tak jauh seperti kelakuan iblis. "Kamu bisa mulai bekerja besok," ujarnya, lalu bersiap meninggalkanku. Mau ke maan dia? Aku tak tahu jalan keluarnya. "Hei, apakah upah yang kuterima benar seperti yang tertera di kontrak?" tanyaku memastikan. Aku tentu tak mau setelah mengambil resiko sebesar ini, tapi upah yang kuterima tidak sebanding alias mengecewakan. Lagi-lagi ia mendengus, tatapannya terlihat tajam. "Tuan Max tidak akan pernah berbohong soal itu," sahutnya ketus. Aku mencebikkan bibir, kenapa dia langsung merasa tersinggung? Aku kan memang harus berhati-hati, jaman sekarang ini banyak penipu di mana-mana, bukan hanya dari kalangan biasa saja, melainkan orang kaya pun melakukannya. "Satu hal lagi," ucapnya sambil berbalik, kembali menatapku dengan mata tajam. "Kau harus merahasiakan dari siapa pun kenyataan bahwa Tuan Max buta," ujarnya dingin. Seketika aku terpaku, dengan hati mendadak ngilu. Pria dengan rupa sesempurna itu ternyata memiliki kekurangan yang sangat memprihatinkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD