"Ini semua karena kau!" hardiknya tiba-tiba.
Aku bahkan sampai meloncat mundur saking terkejutnya. "Apa salahku?" ucapku tak terima.
"Seharusnya kau tidak terlambat!"
Bibirku menipis seketika. Demi Tuhan, aku hanya terlambat satu menit dua puluh detik saat tiba di kamar ini. Lagipula, dia tahu darimana sih?
"Jika kau tidak terlambat, dia tidak akan bisa masuk ke kamar ini," dengkusnya.
"Apa hubungannya?" gerutuku jengkel. Kenapa dia harus marah? Bukannya ia senang karena baru mendapat service memuaskan dari wanita itu.
"Sudahlah! Cepat kerjakan tugasmu, Pelayan Bodoh!" umpatnya kesal.
Apa? Dia mengatai aku bodoh? Dasar pria tua bangka kurang ajar, otak m***m dan menyebalkan.
Kuhentakkan kaki sekencang mungkin agar ia menyadari aku sedang kesal padanya. Tapi, sialnya bayi tua itu malah tak peduli dan kembali membaringkan tubuh dengan sangat santai di atas ranjang.
Aku meletakkan tas berisi bekal makananku di atas meja, lalu berjalan ke kamar mandi untuk menyiapkan keperluan tuan besar yang sangat terhormat itu. Setelah selesai semuanya, aku keluar dan hendak melapor padanya.
Namun, betapa terkejutnya aku saat mendapati pria bertubuh besar yang hanya mengenakan celana ketat sepaha itu sedang membaui kotak bekalku.
"Hei, apa yang anda lakukan?" tanyaku spontan.
Tuan Max berhenti sejenak, meletakkan benda itu di atas pangkuan.
"Ini milikku," ucapnya santai.
Oh, ini sungguh sangat menguji kesabaran. Aku akan mati kelaparan karena belum makan sejak pagi jika dia merampas bekal makananku, apalagi hari ini aku akan pulang malam hari ke rumah setelah menyelesaikan tugasku di sini.
"Maaf, Tuan, itu bekal saya. Anda mandilah dulu, saya akan turun dan menyiapkan sarapan untuk anda," ucapku sesopan mungkin.
Pria itu mendengus samar, memindahkan bekal itu ke belakang tubuhnya.
"Pokoknya ini milikku," ucapnya final.
"Tapi, Tuan--"
"Kau bisa menukarnya di dapur rumah ini, bawa makanan apa saja yang kau sukai." Pria itu berbalik memunggungiku, berkutat dengan kotak makanan yang kini sudah ia buka penutupnya.
Aku mengintip sesaat setelah ia menyendok nasi goreng itu ke dalam mulutnya, dan tentu saja dia selalu makan dengan berantakan.
Kuhela napas pasrah sebelum berjalan mendekat padanya.
"Berikan pada saya--"
"Sudah kubilang ini makananku!" decaknya tak suka.
"Biar saya menyuapi anda, Tuan," ujarku menjelaskan.
Bayi besar itu berhenti mengunyah sejenak, dahinya berkerut samar, lalu tanpa kata ia bergeser menghadap tepian ranjang. Hal itu sudah memberitahuku bahwa ia setuju dengan apa yang kukatakan padanya.
"Buka mulut anda," ucapku sembari menyendok nasi goreng lengkap dengan potongan telur dadarnya.
Ia mematuhi perintahku tanpa banyak protes. Ah, jika saja ia bisa selalu manis seperti ini.
"Mana minumku?" tanyanya datar.
Aku tersadar dan menepuk dahi kuat. Tapi, ini kan bukan salahku, dia yang lebih dulu merebut bekalku tanpa mau aku turun dan menyiapkan sarapan untuknya.
"Akan saya ambilkan di dapur," ujarku cepat.
"Berikan minummu, aku bisa mati jika menunggu kau turun lebih dulu!"
"Tapi--"
"Cepatlah! Kau ingin dipenjara karena membuatku masuk rumah sakit!" ancamnya.
Karena aku begitu sadar bahwa bayi besarku ini punya kegilaan tingkat tinggi yang bahkan di luar batas nalar manusia biasa, maka aku segera menuruti perintahnya. Mengambil botol minum yang sudah sedikit memudar warnanya.
"Ini, Tuan." Kuulurkan botol itu ke tangannya setelah membuka penutupnya.
Tuan Max meneguk langsung dari pinggiran botol. Oh apa itu artinya kami sudah berciuman secara tidak langsung?
Aku menggeleng keras, berusaha mengenyahkan pikiran konyol yang menyerang otak murahanku.
Saat hendak kembali menyendok makanan, ponselku berdering nyaring dari dalam tas lusuhku.
Aku meringis gelisah, takut suara bising ponsel murahku akan menggangu gendang telinga mahal Tuan Max.
Segera kusambar ponselku, sedikit mengernyit karena nomor tak dikenal terpampang jelas dilayar. Aku menolak panggilan dan memasukkannya lagi ke dalam tas. Tapi, benda persegi itu kembali berdering dengan keras.
"Tuan ... bolehkah saya menerima panggilan sebentar?" tanyaku ragu.
"Hm, tetap di situ!" ucapnya datar.
Mau tak mau aku mengangkat panggilan tanpa menjauh dari bayi besar yang sangat menjengkelkan itu.
"Hallo ...," sapaku pelan.
Aku mengernyit saat mendengar suara seorang pria di seberang.
"Iya, benar saya Silvana," jawabku saat ia bertanya.
"Apa? Mas Leo? Yang ngelamar aku kemarin?" ucapku terkejut tanpa ada maksud.
Ya, pria itu mengaku bernama Leo, pria yang kemarin Ayah dan Ibu ceritakan padaku. Tapi, dari mana ia mendapat nomor ponselku?
Pria itu tertawa di seberang sana, meminta janji temu untuk sekedar bersilaturahmi.
Aku dilanda kebimbangan, dan belum sempat bibirku menjawab, ponselku kini sudah berpindah tangan secara paksa. Entah bagaimana cara pria itu melakukannya.
"Jangan ganggu, Silvana! Dia sedang bekerja!" ucap pria itu ketus.
Aku menggeleng panik saat ia menahan ponselku ditelinganya meski aku sudah berusaha menariknya.
"Ya, lebih baik begitu!" ujarnya, lalu membanting ponselku ke lantai.
Aku melotot kaget karenanya. "Apa yang Tuan lakukan?" bentakku marah.
"Kau di sini untuk bekerja, bukan bermesraan lewat telepon dengan kekasihmu!" ucapnya datar.
Aku menggeleng tak percaya, napasku memburu dengan emosi yang siap meledak.
"Siapa yang bermesraan? Lagipula apa hak Tian membanting ponselku?" teriakku murka.
"Itu hukumanmu," sahutnya santai.
Aku berusaha menarik napas sepanjang mungkin, menghembuskannya perlahan-lahan, berharap perasaanku sedikit tenang.
"Tuan memang orang kaya, tapi bukan berarti bisa melakukan sesukanya. Bagi Tuan memang itu bukan benda berharga, tapi bagi orang miskin seperti saya itu sangat berarti," ujarku serak, entah mengapa buliran bening itu mengalir begitu saja di pipi.
Kupunguti serpihan ponsel yang selama lima tahun ini menemani hari-hariku, kini benda itu sudah menjadi pecahan tak berarti.
"Sebaiknya anda mandi, saya sudah menyiapkan keperluan anda di sana," ucapku pelan, sambil membereskan sisa-sisa makanan.
Pria itu terdiam sejenak sebelum beranjak dengan wajah dingin mematikannya.
Kuhela napas panjang, langkahku bergerak gontai menuju lemari pria itu, menyiapkan stelan kerja untuknya.
Ingatanku kembali pada tawaran Ayah tentang lamaran Leo, berikut dengan hutang yang harus di bayar minggu depan, lalu bertambah dengan kondisi ponselku yang mengenaskan. Darimana aku mendapatkan semua biaya itu?
Pintu kamar mandi terbuka lebar, menampakkan sosok Tuan Max dengan handuk melingkar di pinggang.
Aku spontan memalingkan wajah, meski sudah berberapa hari melihat pemandangan serupa bahkan lebih parah dari itu, tapi tetap saja aku masih merasa malu.
Apalagi saat tanpa kata pria itu mengenakan celana pengaman untuknya dan membiarkan handuk itu jatuh ke kantai.
Napasku spontan tertahan dengan jantung berdebar kencang. Lebih-lebih saat ia meletakkan kedua tangan di pinggang dengan tatapan tajam lurus ke depan.