"Kau ingin cepat pulang, bukan? Maka tersenyumlah, dengan begitu eyang juga akan segera pulang ke rumahnya," ucap Bhara sebelum ia dan Ayra melangkah keluar dari kamar.
Entah mengapa ada rasa nyeri di hati Ayra, mendengar ucapan Bhara barusan. Namun ia berusaha mengenyahkan rasa tersebut, karna ia tau jika Bhara hanya sedang memanfaatkannya.
"Pegang tanganku, dan ingat untuk berpura-pura mesra di hadapan eyang," imbuh Bhara.
Tanpa berkata apa-apa, Ayra kemudian melingkarkan tangannya di lengan Bhara. Dan pada saat mereka keluar, wanita itu langsung menyunggingkan senyum di wajahnya sambil bergelayut manja, seperti pasangan pengantin baru pada umumnya.
Bhara dan Ayra pura-pura terkejut saat melihat Eyang Candrawati, mereka berdua bergegas menghampiri wanita tua yang sudah duduk manis di depan meja makan.
"Eyang? Kapan Eyang sampai? Mengapa tidak memberitahuku? Apakah Eyang sudah benar-benar sembuh? Dan apakah dokter sudah mengizinkan Eyang untuk pulang?"
Pria itu juga langsung memberondong wanita sepuh itu dengan berbagai pertanyaan, membuat Eyang Candrawati tersenyum mendengarnya.
"Assalamualaikum, Eyang," ucap Ayra dengan sopan, menyapa wanita sepuh itu.
"Waalaikum salaam," sahut Eyang Cendrawati dengan lembut.
Wanita cantik itu lalu meraih tangan Eyang Candrawati, kemudian mencium punggung tangannnya dengan takzim.
"Semoga rahmat Tuhan selalu menyertaimu, sayang," sahut Eyang Candrawati, membelai puncak kepala Ayra.
Mau tidak mau, Bhara pun mengikuti apa yang di dilakukan oleh istrinya, mengucapkan salam, lalu mencium punggung tangan Eyangnya.
"Eyang belum menjawab pertanyaanku tadi," ujar Bhara masih menunggu jawaban dari eyangnya.
"Eyang sampai tadi malam, Eyang sengaja tidak memberitahu kalian berdua, karena Eyang ingin memberi kejutan. Tentu saja Eyang sudah sembuh, apalagi saat melihat jika cucu dan cucu menantu Eyang sudah mulai akur," sahut Eyang Candrawati.
Wajah keriput wanita tua itu terlihat tersenyum bahagia, melihat kemesraan yang ditunjukkan Bhara dan Ayra di depannya.
Setelah puas mendengar jawaban dari Eyangnya, Bhara buru-buru menarik kursi untuk Ayra, membantu wanita itu duduk dengan nyaman.
"Terima kasih, Mas," ucap Ayra tersenyum manis ke arah suaminya. Bhara mengangguk samar, lantas ikut duduk di samping istrinya.
Bhara lalu meraih tangan Ayra, kemudian membawanya ke atas meja.
"Kalian terlihat sangat serasi, bahkan menurut Eyang kalian adalah pasangan yang sempurna," puji Eyang Candrawati menatap senang pada pasangan pengantin baru di depannya.
"Terima kasih, Eyang, kami sangat tersanjung mendengarnya." Bhara menjawab lebih dulu, sebelum Ayra sempat membuka mulutnya.
"Apa tidur kalian nyenyak?" tanya Eyang Candrawati menatap bergantian ke arah cucunya. Pandangan matanya juga tidak luput dari melihat tangan Bhara dan Ayra yang saling menggenggam dengan erat sejak tadi.
"Tentu saja tidur kami sangat nyenyak, Eyang, apalagi kami sangat kelelahan tadi malam," jawab Bhara mencium punggung tangan Ayra.
Pasangan suami istri itu lalu saling pandang, sambil melempar senyum satu sama lain.
Eyang Candrawati mengangguk-angguk kecil. Wanita sepuh itu ikut merasa bahagia melihat kebahagiaan cucu dan cucu menantunya.
"Eyang sangat bahagia melihat kalian berdua. Akhirnya kalian bisa saling menyayangi dan menerima satu sama lain. Eyang do'akan semoga pernikahan kalian langgeng sampai maut memisahkan," ucap Eyang Candrawati dengan tatapan haru ke arah pasangan suami istri itu.
"Aamiin, terima kasih atas do'anya Eyang, semoga Tuhan mengabulkannya," sahut Bhara dengan bersemangat.
Ayra hanya mengangguk berulangkali, seolah sangat setuju dengan apa yang diucapkan oleh suaminya.
"Sekarang ayo kita sarapan dulu, Eyang sengaja memesan makanan sebanyak ini untuk kalian berdua," ucap Eyang Candrawati.
Dengan sigap Bhara langsung mengambil piring, menyendok nasi dan mengambil beberapa lauk pauk.
"Mau menu yang lain?" tanya Bhara saat menyodorkan piring berisi nasi dan lauk pauk ke hadapan Ayra. Tepatnya ke hadapan mereka berdua.
Ayra menggeleng, wajahnya terlihat sedikit syok melihat banyaknya nasi dan lauk di atas piring.
"Kita makan sepiring berdua, biar tambah romantis," bisik Bhara di telinga Ayra.
Eyang Candrawati kembali tersenyum melihat keromantisan Bhara dan istrinya. Ia sudah mulai yakin, jika Bhara memang berubah dan bisa menerima Ayra apa adanya.
***
"Kau kenapa?" tanya Bhara heran, saat melihat Ayra meringkuk di tempat tidur sambil memegangi perutnya.
Pria itu kemudian duduk di sisi tempat tidur, memperhatikan wajah Ayra yang terlihat pucat dan berkeringat dingin.
"Perutku sakit sekali, Mas, apa di antara makanan tadi ada yang mengandung udang?"
Dahi Bhara berkerut, tidak hanya sop tauge, tom yam kesukaannya juga menggunakan kuah kaldu udang.
"Apa kau alergi udang?" Bhara justru balik bertanya. Ayra mengangguk lemah, sambil terus meringis menahan sakit.
"Bertahanlah, aku akan menelfon dokter."
Mendengar kata dokter Ayra, langsung memegang tangan Bhara, sambil menggeleng berulang kali.
"Tidak perlu memanggil dokter, Mas, tolong belikan obat di apotik saja," tutur Ayra dengan tatapan memohon.
"Apa kalian sudah siap?" Tiba-tiba Eyang Candrawati muncul dari balik pintu, lalu melangkah menghampiri Bhara dan Ayra.
"Ya Tuhan, apa yang terjadi?" Wajah Eyang Candrawati terlihat panik, saat melihat Ayra meringkuk kesakitan.
"Istriku alergi udang, Eyang, perutnya sakit, dan Ayra tidak mau di panggilkan dokter, ia hanya minta di belikan obat di apotik," sahut Bhara menjelaskan.
"Ya sudah, kalau begitu cepat belikan obatnya, biar Eyang menunggui Ayra."
"Eyang, aku tidak apa-apa, hanya sakit perut karena alergi. Sebaiknya Eyang dan Mas Bhara berangkat ke kantor saja, bukankah pagi ini ada rapat penting," ujar Ayra mencoba meyakinkan.
Bhara yang hendak bangkit dari duduknya, kembali mengurungkan niatnya.
"Tidak bisa! Eyang harus memastikan jika kau baik-baik saja sebelum pergi," sahut Eyang Candrawati bersikeras.
"Mas Bhara bisa membelinya sekalian berangkat ke kantor, suruh saja seseorang mengantarkan obat itu kemari, bukankah begitu lebih baik, Mas?" Ayra menatap Bhara lekat, berharap pria itu menyetujui usulnya.
"Apa kau yakin bisa bertahan? Kalau kau yakin bisa menahan sakit sampai obatnya tiba, aku rasa itu tidak masalah," sahut Bhara membuat Ayra sedikit bernafas lega.
"Aku sudah beberapa kali merasakannya, jadi jangan kuatir," ujar Ayra meyakinkan.
Eyang Candrawati menghela nafas pelan, melihat penolakan Ayra sepertinya tidak ada cara lain selain mengikuti kemauan wanita tersebut.
"Baiklah sayang, kalau begitu Eyang dan Bhara berangkat dulu ya, cepat hubungi suamimu jika kau butuh sesuatu," ucap Eyang Candrawati. Wanita tua itu lalu membungkuk, kemudian mendaratkan kecupan lembut di kening cucu menantunya.
Setelah itu Eyang Candrawati melangkah menuju ke pintu, namun ia tidak serta-merta keluar dari kamar, wanita tua itu berdiri di balik pintu, ingin melihat Bhara berpamitan kepada istrinya.
"Beristirahatlah dulu, aku akan segera mengantar obatnya," ujar Bhara dengan lembut.
Pria itu kemudian menarik selimut ke atas tubuh istrinya, pandangannya tidak teralihkan dari wajah Ayra yang juga sedang menatap ke arahnya.
Melihat isyarat dari Bhara, Ayra pun segera mengangguk samar. Wanita itu perlahan memejamkan kedua matanya, kedua tangannya mencengkeram selimut dengan kuat, menahan rasa gugup di hatinya.
Melihat wajah Ayra yang berubah tegang, terbesit sebuah ide di benak Bhara untuk mengerjai wanita itu.
Pria itu perlahan merunduk, hal pertama yang ia lakukan adalah mengecup kening Ayra, kemudian kedua matanya, hidung, lalu kedua pipi wanita itu.
Ayra semakin terlihat gelisah, dalam hati ia merutuki Bhara, yang seperti sengaja mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Sebuah lumatan lembut di bibirnya, membuat Ayra langsung membuka kedua matanya.
Dan Bhara seperti tidak berniat menyudahi sentuhannya, pria itu justru semakin memperdalam ciumannya di bibir Ayra.
Ayra ingin sekali mendorong tubuh Bhara sekuat tenaga, namun bayangan Eyang Candrawati masih terlihat di balik pintu, membuat wanita itu mengurungkan niatnya.
Namun tanpa Ayra sadari, Eyang Candrawati kemudian pergi meninggalkan kamar tersebut, sambil menyunggingkan senyum bahagia di wajahnya.
"Mas, hentikan, sudah cukup," desis Ayra saat merasakan sentuhan Bhara mulai turun ke leher jenjangnya.
"Eengh ...." Ayra mendesah tertahan saat Bhara menyesap lehernya dalam-dalam, hingga meninggalkan jejak kemerahan di sana.
Tidak puas hanya meninggalkan satu jejak di leher istrinya, Bhara pun membuat jejak merah lain di beberapa tempat di leher Ayra.
"Mas ... hentikan," pinta Ayra dengan wajah memohon. Namun Bhara seakan menuliskan pendengarannya, pria itu justru semakin liar mencumbunya.
"Mas ... perutku sakit," cicit Ayra dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca.
Ucapan Ayra langsung membuat Bhara tersadar, pria itu lantas menegakkan tubuhnya.
"Maaf, aku lepas kendali," lirih Bhara sarayak merapikan anak rambut Ayra yang berantakan.
Niat hati ingin mengerjai istrinya, namun malah justru dirinya yang terbuai oleh hasrat.
"Aku pergi dulu," pamit Bhara setelah mendaratkan ciuman lembut di kening Ayra.
Ayra mengangguk samar, lalu kembali meringkuk di bawah selimut.
***
"Eyang akan kembali lusa, tapi sebelum itu Eyang ingin kau membawa Ayra ke rumah utama. Eyang tidak akan pergi sebelum memastikan jika Ayra dan kedua anaknya benar-benar hidup nyaman seperti istrimu yang lain," ujar Eyang Candrawati saat mereka berada di dalam mobil.
"Eyang jangan kuatir, aku akan memastikan jika Ayra dan kedua anaknya hidup nyaman dan bahagia bersamaku," sahut Bhara dengan senyum meyakinkan.
"Jika sampai kau tidak menepati ucapanmu, kau akan terima resikonya," tandas Eyang Candrawati, membuat Bhara langsung menelan ludah.
"Kau tidak perlu ikut masuk ke dalam. Kembalilah, antarkan obat itu untuk istrimu, Eyang sendiri yang akan memimpin rapat pagi ini," ucap Eyang Candrawati, setelah mobil mereka sampai di depan kantor perusahaan.
Bhara mengangguk patuh, pria itu lalu bergegas turun untuk membukakan pintu bagi Eyangnya.
Lucas, sang asisten pribadi yang sudah tiba terlebih dulu, langsung menyambut kedatangan Eyang Candrawati.
"Apa Pak Bhara tidak akan ikut rapat kali ini, Eyang?" tanya Lucas dengan sopan, saat melihat Bhara kembali masuk ke dalam mobil dan pergi meninggalkan halaman gedung.
"Istrinya sedang sakit, ia akan menyusul nanti," jawab Eyang Candrawati sambil melangkah masuk ke dalam gedung dengan di tuntun oleh Lucas.
Sementara itu di tengah perjalanan pulang, Bhara terus saja mengumpat kesal di dalam mobilnya, karena tiba-tiba saja jalanan berubah menjadi macet.
Ternyata ada kecelakaan tragis di ujung jalan, hingga menyebabkan kemacetan total dari dua arah yang berlawanan.
Jika ia tidak segera keluar dari kemacetan itu, sudah dapat dipastikan kalau ia akan terlambat mengantarkan obat untuk Ayra, dan juga terlambat untuk mengikuti rapat.
Saat sedang memikirkan cara untuk dapat keluar dari kemacetan tersebut, Bhara dikejutkan dengan suara nada dering dari ponselnya.
Pria itu buru-buru meraih ponsel dari dalam saku jasnya, kedua alisnya langsung bertaut saat melihat nama Ayra yang tertera di layar ponselnya.
Saat Bhara mengangkat panggilan telfon tersebut, suara teriakan Ayra langsung menyapa gendang telinganya.
[Mas Bhara! To--long!]
Tut tut tut
Belum sempat Bhara bertanya, sambungan telfon mendadak mati, dan nomer Ayra sudah tidak dapat di hubungi setelah itu.
"Sh*h! Apa yang sebenarnya terjadi!" umpat Bhara dengan wajah panik sambil terus menghubungi ponsel Ayra.