Bola mata Ayra membulat sempurna, jantungnya berdetak lebih cepat, wajah cantik itu langsung berubah panik saat tiba-tiba saja Bhara mendaratkan sebuah ci*m4n lembut di bibirnya.
Ayra terus berusaha menghindar, saat Bhara tidak berhenti menyentuh bibirnya. Darahnya terasa berdesir, ada gelayar aneh yang menggelitik tubuhnya, namun penolakan hatinya membuat wanita itu terus meronta.
Kesal karena Ayra tidak membalas sentuhannya dan terus meronta, Bhara akhirnya mengunci pergerakan tubuh Ayra, membuat wanita itu tidak berkutik di bawah kungkungannya.
Semakin Ayra menghindar, semakin intens Bhara bermain di mulutnya. Panas dan liar.
Lidah pria itu memaksa masuk, menerobos ke dalam mulutnya, membelit lidah, mengabsen barisan gigi Ayra dan seluruh bagian dalam mulut wanita itu.
Hingga beberapa saat lamanya, tanpa mendapat balasan dari Ayra.
Puas mengobrak-abrik mulut istrinya, Bhara kembali menyambar bibir wanita itu dengan rakus.
Ceklek
"Aarrgh! Baby! Apa yang kau lakukan!" teriak Celina dari ambang pintu.
Ci*m4n Bhara langsung terlepas, keduanya lalu bersamaan menoleh ke arah pintu.
Di sana, Celina berdiri dengan wajah merah padam, kilat amarah terpancar di matanya melihat Bhara sedang asyik mencumbu Ayra.
"Celina? Siapa yang menyuruhmu datang kemari?"
Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat di wajah Bhara, bukan dari Celina, melainkan dari Ayra.
Celina yang berdiri di ambang pintu langsung menutup mulutnya karena terkejut. Ia benar-benar tidak percaya, dan baru kali ini ia melihat ada seorang wanita yang berani menampar seorang Bharata Yhuda.
"Suami baik katamu? Omong kosong!" desis Ayra menatap tajam ke arah Bhara, lalu dengan sekuat tenaga mendorong tubuh pria tersebut.
Wanita itu bergegas turun dari tempat tidur dan melangkah ke arah pintu.
Akan tetapi dengan cepat Bhara menarik tangan Ayra, membawa tubuh wanita itu ke dalam pelukannya, lalu memeluk pinggang ramping istrinya.
"Mau kemana? Kau Nyonya rumah di sini, jadi bukan kau yang harus pergi," ucap Bhara tepat di telinga Ayra.
Mendengar ucapan Bhara, Ayra langsung tersenyum miring, dalam hati wanita itu berkata, "Aku akan menggiringmu masuk ke dalam perangkap yang kau buat sendiri, Tuan Bharata Yhuda."
Ayra perlahan melepaskan diri dari pelukan Bhara, ia lalu memutar tubuhnya menghadap ke arah Celina.
"Kalau begitu, usir wanita ini dari sini sekarang juga!" seru Ayra dengan sengit, serayak menunjuk wajah Celina.
"Hei! Jaga bicaramu wanita rendah!" sentak Celina tidak terima.
"Si4l! Wanita ini menggiringku masuk ke dalam perangkap yang aku buat sendiri!" gerutu Bhara dalam hati.
Mau tidak mau Bhara terpaksa mengorbankan kekasihnya kali ini, agar rencananya bisa berjalan dengan mulus.
"Celina, keluar dari sini sekarang juga."
"Baby, apa yang kau katakan?" Celina melangkah ke arah Bhara dengan wajah marah. Ia tidak percaya jika kali ini Bhara akan lebih memilih Ayra di banding dirinya.
"Aku bilang keluar dari sini sekarang juga!" ulang Bhara dengan perasaan bersalah di dalam hatinya.
Celina terkesiap, kedua tangannya mengepal dengan kuat. Ia tidak percaya, jika Bhara benar-benar mengabaikannya, bahkan membentaknya demi seorang wanita rendah seperti Ayra.
"Sebagai nyonya rumah, aku tidak sudi jika ada wanita lain menginjakkan kakinya di rumah ini, apalagi sampai lancang masuk ke dalam kamar pribadi orang, itu sangat tidak sopan! Tidak beretika sekali!" tandas Ayra menatap datar ke arah Celina.
Celina yang sudah di kuasai amarah, langsung melayangkan sebuah tamparan ke wajah Ayra. Namun dengan cepat, Bhara menangkap tangan Celina sebelum sempat mendarat di wajah Ayra.
"Lepas, baby! Aku akan merobek mulut wanita rendahan ini! Berani-beraninya dia mengatakan aku tidak beretika!" teriak Celina berusaha melepaskan cekalan Bhara di tangannya.
"Jangan cari masalah! Cepat pergi dari sini!" Bhara menarik tangan Celina, memaksa wanita itu keluar dari kamar.
Meskipun Celina terus meronta dan berteriak, namun Bhara tidak mengindahkannya. Ia terus menyeret wanita itu hingga keluar apartement.
Begitu sampai di luar Bhara langsung memeluk tubuh Celina dengan erat.
"Maafkan aku Celina. Aku tidak bermaksud menyakitimu," ucap Bhara penuh penyesal.
"Kau menyakiti perasaanku, baby! Kau membuat aku terhina di depan wanita kampungan itu!" Celina terisak dalam pelukan Bhara sambil terus memukul d4d4 pria tampan itu.
"Maaf Celina, maaf. Aku terpaksa melakukannya, aku terpaksa mengorbankanmu agar wanita itu benar-benar percaya kepadaku," ucap Bhara serayak membelai rambut panjang Celina yang tergerai indah.
"Percayalah kepadaku, aku melakukan ini demi kebaikan kita Celina," imbuh Bhara.
Celina mengurai pelukan Bhara di tubuhnya, wajah cantik dengan riasan tebal itu menatap dalam kekasihnya.
"Baby, apa maksudmu? Apa kau akan mengatakan jika mulai sekarang kau akan tinggal bersamanya? Lalu bagaimana denganku?" tanya Celina dengan tatapan sendu. Air mata kembali menetes di pipinya, membuat Bhara semakin merasa bersalah kepadanya.
"Sstt, jangan menangis Celina, aku tidak suka melihatnya," lirih Bhara mengusap air mata Celina dengan lembut. Pria itu lantas membingkai wajah cantik Celina dengan kedua telapak tangannya yang besar.
"Tapi kau yang sudah membuatku menangis," desis Celina.
"Dengar, kita harus sedikit berkorban agar eyang kembali percaya kepadaku. Kau tau bukan jika eyang begitu menyukai wanita itu?" Celina mengangguk, wanita itu mulai faham dengan jalan pemikiran kekasihnya.
Bhara tersenyum, kemudian mendekatkan mulutnya ke telinga Celina.
Tidak lama kemudian wanita itu tersenyum menyeringai, saat mendengar kalimat yang di bisikkan Bhara di telinganya.
***
[Apa dia memperlakukanmu dengan baik?] Bunyi pesan yang di kirim Abi kepada Ayra.
Saat ini wanita itu sedang duduk di lobi rumah sakit, menunggu Bhara yang sedang ke kamar kecil.
Mereka baru saja menjenguk Eyang Candrawati. Dan seperti yang sudah di janjikan oleh Ayra, ia akan datang kembali untuk menyuapi Eyang Candrawati makan, membantunya minum obat, dan berada di sampingnya sampai wanita sepuh itu tertidur.
[Jangan kuatir Mas Abi, dia memperlakukan aku dengan baik. Dan sepertinya dia mulai berubah] balas Ayra.
[Syukurlah, aku ikut senang mendengarnya. Jika dia sampai menyakitimu lagi, maka aku tidak akan segan-segan merebutmu darinya]
Ayra tersenyum membaca balasan dari Abimana. Jika saja pria itu tidak meninggalkannya karna ada urusan mendadak di kantor, sampai kemudian terjebak di dalam ruang rapat kemarin, sudah pasti ia tidak akan bersama Bhara saat ini.
Mana mau Abimana membiarkan Ayra di bawa oleh Bhara, apalagi setelah kejadian malam itu.
[Apa Mas Abi merindukan aku?]
[Jangan menggodaku, Ra! Aku belum lama waras, apa kau ingin aku berbuat gila lagi] balas Abimana, membuat Ayra langsung tertawa cekikikan.
[Kalau begitu, aku akan merindukan Zeydan dan Alika saja] balas Ayra dengan cepat.
Saking asyiknya berbalas pesan dengan Abimana, Ayra sampai tidak menyadari jika Bhara sudah berdiri beberapa meter di depannya.
Wajah pria itu terlihat datar, menatap tidak berkedip ke arah Ayra yang sedang tersenyum bahagia.
Setelah selesai berbalas pesan dengan Abimana, Ayra kemudian mematikan ponselnya, lalu memasukkan benda pipih itu ke dalam tas miliknya.
Ketika Ayra menegakkan kepalanya, senyum di wajah wanita itu langsung sirna saat ia mendapati Bhara sudah berdiri di hadapannya, menatap ke arahnya tanpa berkedip.
"Ayo kita pulang," ucap Bhara datar. Pria itu lantas memutar tubuhnya, lalu melangkah lebar ke arah pintu keluar.
Ayra segera bangkit, lalu menyusul Bhara dengan langkah tergopoh-gopoh.
"Tolong antarkan aku pulang," pinta Ayra saat mereka sudah berada di halaman parkir.
"Aku akan mengantarmu pulang, setelah eyang keluar dari rumah sakit," sahut Bhara mempercepat langkah kakinya.
"Sudah dua hari aku meninggalkan kedua anakku, dan mereka saat ini sedang sakit. Kita tidak tau kapan eyang akan keluar dari rumah sakit," tukas Ayra menghentikan langkahnya.
Meskipun ia tau, jika Abimana menjaga anak-anaknya, namun tetap saja ia sangat merindukan mereka.
Bhara yang tidak menyadari jika wanita di belakangnya berhenti, terus saja melangkahkan kakinya menuju parkiran.
Pria itu baru sadar saat ia sudah sampai di depan mobilnya. Bhara lantas memutar tubuh, menatap lurus wanita yang berdiri beberapa meter di depannya.
"Aku sudah menyuruh seseorang untuk memastikan keadaan kedua anakmu, dan mereka baik-baik saja. Bukankah Abimana juga mengutus seseorang untuk menjaga kedua anakmu?" ujar Bhara dengan kedua tangan bersedekap.
"Tetap saja aku ingin memastikan keadaan mereka dengan kedua mataku sendiri, selain itu aku juga sudah sangat merindukan mereka," sahut Ayra berharap Bhara mau mengerti dengan perasaannya.
"Ini sudah malam, besok aku akan mengantarmu sepulang kerja."
"Kau tidak perlu mengantarku, aku bisa berangkat sendiri," ujar Ayra tidak kurang akal.
"Bilang saja kau ingin bertemu dengan Abimana," tukas Bhara dengan sengit.
"Mas Abi sedang di luar kota, kau jangan berpikir aneh-aneh!" balas Ayra tak kalah sengit.
"Kau pulanglah sendiri, aku akan pulang ke rumahku," imbuh Ayra lalu melangkah pergi meninggalkan Bhara.
Akan tetapi, baru saja hendak melangkah Bhara sudah lebih dulu memegang tangannya.
"Aku sudah berusaha menjadi suami yang baik, jadi berusahalah untuk bersikap baik dan patuh kepada suamimu," ucap Bhara dengan rahang mengeras.
Pria itu kemudian menarik tangan Ayra menuju ke mobil, membukakan pintu untuk wanita itu lalu mendorong tubuhnya masuk ke dalam.
Bhara kemudian berjalan memutari mobil, lalu duduk di depan kemudi di samping Ayra.
"Jangan kau pikir aku tidak tahu dengan rencanamu! Berhentilah berpura-pura menjadi suami yang baik di hadapanku," ujar Ayra menatap tajam ke arah pria di sampingnya.
"Sh*t!" umpat Bhara sambil memukul roda kemudinya dengan kasar.
Tidak hanya malu, tapi Bhara juga merasa kesal karena ternyata Ayra sudah mengetahui rencana busuknya.
"Apa sekarang kau ingin memerasku?" tanya Bhara mulai melajukan mobilnya meninggalkan parkiran.
Ayra memutar bola mata ke atas, berurusan dengan pria bernama Bharata Yudha memang benar-benar membutuhkan kesabaran ekstra.
"Aku bukan tipe manusia sepertimu, kau tidak perlu kuatir aku mengambil keuntungan darimu," jawab Ayra.
Bhara melirik sekilas wanita yang duduk di sampingnya lalu tersenyum miring.
Tidak peduli dengan apa yang sedang dipikirkan oleh Bhara, Ayra memilih memejamkan kedua mata, setelah memasang sabuk pengaman ke tubuhnya.
Sebenarnya ia sudah menahan kantuk saat menemani eyang Candrawati, namun ia terus menahannya, sampai wanita tua itu terlelap dalam tidurnya.
Beberapa saat kemudian, Ayra benar-benar tertidur pulas dengan kepala bersandar ke pintu mobil.
***
Bhara terus saja menatap wajah cantik yang tertidur pulas dalam gendongannya. Ia berulang kali menelan ludah melihat bibir ranum nan seksi milik Ayra, yang sedikit terbuka.
Benar-benar menggoda. Belum lagi wangi tubuh wanita itu, yang begitu menggelitik indra penciumannya.
Begitu sampai di dalam kamar, Bhara segera membaringkan tubuh Ayra ke atas tempat tidur mewah miliknya, dengan sangat berhati-hati.
Bhara kemudian melepas sepatu dan kaos kaki yang di pakai Ayra, ia lantas duduk di samping wanita itu, menatap wajah cantik yang terlelap dalam mimpi indahnya.
"Mengapa kau benar-benar terlihat cantik?" gumam Bhara dalam hati. Tangannya perlahan terulur, merapikan anak rambut yang berantakan menutupi kening istrinya.
Ingatannya kembali melayang saat ia mengambil ciuman Ayra dengan paksa. Bahkan sampai sekarang, Bhara masih bisa merasakan rasa manis dan kenyal bibir istri.
Pria itu menyeringai lebar, saat tiba-tiba saja sebuah ide jahat melintas di benaknya. Bhara perlahan membungkuk, hingga wajahnya berada begitu dekat dengan wajah Ayra.
Kedua tangannya terulur, berusaha membuka hijab yang masih melekat di kepala Ayra.
Bhara tersenyum smirk saat ia berhasil membuka hijab istriny, namun bersamaan dengan itu tiba-tiba saja Ayra membuka kedua matanya.