Katanya rumah akan selalu menjadi tempat ternyaman untuk pulang. Juga menjadi tempat dirimu merasa aman. Sayangnya nyaman dan aman itu tak pernah lagi Meta rasakan, tepatnya sejak tiga tahun yang lalu... saat kedua orang tuanya terus menerus bertengkar setelah ayahnya diketahui memiliki istri lain selain ibunya. Sebagai seorang wanita, ibunya jelas hancur dan merasa dikhianati. Walaupun ayahnya kemudian meninggalkan istri sirinya demi memperbaiki hubungan pernikahannya.
Namun kepercayaan Lina—ibu Meta telah terlanjur hancur. Dia terus menerus marah dan mengamuk, bahkan memaki suaminya sendiri untuk meluapkan segala kekecewaannya. Lama-lama Bara—ayah Meta pun tak tahan dengan perlakuan istrinya, alhasil keduanya terus terlibat pertengkaran, saling menyalahkan satu sama lain.
Rumah bukan lagi tempat yang hangat bagi Meta, rasanya ia ingin pergi sejauh-jauhnya dari sana. Muak dengan keadaan rumahnya yang bak kapal pecah. Tak pernah ada ketenangan lagi di sana, yang ada hanya pertikaian menegangkan dan tak ingin ia lihat.
“ Emang s****n! Harusnya mereka cerai aja sekalian daripada ketemu dan bertengkar terus. Biarin aja ayah sama selingkuhannya itu daripada balik ke rumah dan menghancurkan segalanya. Atau seenggaknya dia mending diem terus biar ibu nggak pernah tau. Semua jadi nggak akan kacau seperti ini.” Meta memaki keadaannya sendiri. Terkadang menjadi yang tidak tahu memang lebih baik, dibanding tahu dan kemudian kenyataan itu ternyata hanya bisa melukainya.
Gadis berusia dua puluh tahun itu terus berjalan tanpa arah, hingga tanpa sadar langkah kaki telah membawanya ke sudut kota. Tepat di depan sebuah bar Meta menghentikan langkahnya, menatap tempat dengan pencahayaan minim dengan penjaga dua pria bertubuh kekar di depannya. Tempat yang belum pernah ia kunjungi seumur hidupnya.
Meta jadi teringat akan perbincangan random sahabat-sahabatnya.
“ Gue suka kok minum alkohol. Soalnya kalau minum alkohol, gue merasa beban di pundak gue bener-bener nggak berasa. Plong banget gitu. Cobain deh sekali-kali,” ucap Ivana—salah satu sahabat Meta yang keluarganya tak jauh berbeda dengannya. Bedanya kedua orang tuanya sudah bercerai sementara kedua orang tua Meta memilih bertahan dengan segala rasa sakit untuk mereka berdua.
Meta tak pernah mencoba apapun untuk menghilangkan stress di kepalanya. Terkadang hanya berjalan tanpa arah seperti ini pun cukup agar ia bisa pulang ke rumah saat tengah malam—saat semua orang sudah tidur, saat rumahnya sudah tenang dan saat tubuhnya sudah lelah. Jadi saat sampai di rumah ia bisa langsung tidur nyenyak tanpa memikirkan apapun.
Untuk kali ini, Meta nekat mencobanya—mencoba saran dari Ivana. Ia pun akhirnya masuk ke dalam bar itu. Suara bising langsung menyambutnya, juga aroma alkohol dan parfum yang campur aduk. Seketika membuat kepalanya semakin pusing. Bagaimana bisa orang-orang bertahan di tempat seperti ini?
Mata gadis itu tertuju pada area tengah, tempat dimana orang-orang menari dengan gerakan yang entah apa. Ia hanya berdiri di dekat meja bartender ketika seorang pria berpakaian hitam itu menghampirinya. “ Mau pesan apa?” tanyanya dengan ramah.
“ Emhh...” Meta terlihat bingung saat melihat menu di depannya. Tidak ada yang ia ketahui sama sekali.
“ Apple lime mojito, maybe?” Pria bartender itu memberi saran, ia jelas tau mana pengunjung yang sudah biasa datang ke bar atau yang baru pertama kali. Jelas gadis di depannya ini baru pertama kali datang.
“ Oke.” Meta mengangguk.
Pria itu segera membuatkan minuman yang ia sarankan lalu meletakkannya di depan Meta.
Meta hanya menatap gelas berisi minumannya, warnanya bening kehijauan dengan daun mint di dalamnya. Aromanya segar, ia pun mencoba mencicipnya dan rasanya memang unik. Rasa manis, asam dan segar seketika memenuhi tenggorokannya. Ada sedikit sensasi pahit di akhir membuat gadis itu mengernyitkan dahinya.
“ Biasanya pemula akan suka sama minuman itu,” ucap bartender tadi yang ternyata justru asik memperhatikan cara Meta menikmati minuman alkohol pertamanya, mungkin. “ Oke, hope you have fun.” Ia meninggalkan Meta untuk melayani pengunjung lain.
Meta hanya duduk di tempatnya sembari kembali mencoba menikmati minuman dengan cita rasa yang aneh di lidahnya ini. Entah apa enaknya minuman beralkohol itu, ia sama sekali tak mengerti. Hingga perlahan kesadarannya mulai berkurang... sesaat ketika beberapa pria datang menghampirinya.
“ Hai. Butuh partner?” tanya salah satu pria yang tak jelas wajahnya itu. Karena penerangan di dalam bar yang tidak terlalu terang ini membuat Meta kesulitan melihat jelas wajah-wajah di sekitarnya. Apalagi kesadarannya mulai menurun seiring alkohol yang menguasai tubuhnya.
Entah kenapa Meta pun justru mengangguk. Pria itu menariknya ke lantai dansa dan mereka berdua menari bersama. Rasanya benar-benar luar biasa, ia merasa sangat bebas seolah tak ingat lagi dengan semua masalah dalam hidupnya. Terasa damai, tenang, dan... bahagia.
“ Liat temen lo tuh. Kalo udah mabok, siapa aja digandeng. Mau taruhan?” tanya salah satu teman si pria.
“ Dia pasti bakal cek in lah abis ini. Yakin gue.”
“ Tapi bukannya dia anti s*x di luar nikah?”
“ Lah kalo anti, ngapain dia ngajak ke bar. Ngajak cewek pula sekarang. Biasanya nggak pernah sih.”
“ Ya bisa aja. Cowok tuh kalo udah pernah disakiti, pasti akan berubah. Lets see. Perubahan apa kira-kira yang bakal ditunjukan temen kita ini.”
“ Gila lo. Pura-pura nggak tau aja gue mah.”
" Kayaknya ceweknya cakep ya?"
" Kayaknya sih. Nggak keliatan anjir. Aturan gue aja yang ngajak ya."
" Penjahat kelamin lo, biarin temen kita buka segel dulu lah. Lo mah udah sering."
" s****n lo. Bener juga."
" Lagian kalaupun ceweknya nggak cakep banget, yang penting cewek tulen. Isinya sama aja."
" m***m lo!"
***
Ada banyak hal yang kelak akan membuatmu menyesali perbuatanmu. Kesalahan kecil yang berakibat fatal pada hidupmu, ketika kamu menggantungkan kesadaranmu pada satu gelas minuman memabukkan... lalu kamu kehilangan segalanya.
Sakit.
Pusing.
Itulah yang Meta rasakan pertama kali ketika dirinya terbangun di sebuah kamar yang begitu asing. Rasa nyeri di bagian bawah tubuhnya membuat gadis itu mengernyit dan enggan untuk beranjak. Namun seketika itu juga kesadarannya pulih, ketika rasa nyeri itu bukan hanya sekedar mimpi... tapi terasa begitu nyata. Ia langsung menyibakkan selimutnya, melihat tubuhnya yang polos tanpa satu helai benang apapun.
Merasa kepalanya semakin pening, Meta memejamkan matanya, berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi kemarin. Sialnya ia tidak bisa mengingat apapun selain minuman yang rasanya aneh sekaligus membuatnya mabuk itu. Ah, pria... pria dengan wajah yang tak ia ingat itu menggandengnya ke lantai dansa dan mereka menari bersama. Lalu, kenapa sekarang ia ada di sini? Sendiri? Dengan tubuh polos? Matanya membelalak kaget ketika menyadari apa yang mungkin telah terjadi.
“ Argh!” Meta menjerit ketika berusaha beranjak dari ranjangnya. Rasa nyerinya luar biasa, ditambah noda darah di atas ranjangnya yang berwarna putih s**u itu. Ia pun terjatuh di lantai, menatap sekitarnya untuk mencari seseorang yang mungkin seharusnya bertanggung jawab.
Nihil.
Tidak ada satu orang pun di kamar ini selain Meta sendiri.
“ Nggak mungkin.” Meta menggelengkan kepalanya, mencoba mengelak apa yang telah terjadi padanya. Ia memegangi kepalanya dan menjerit histeris, menyadari dirinya telah kehilangan hal yang paling berharga, yang selalu ia jaga selama ini.
Kehormatannya.