Terkadang, orang yang melukaimu kelak akan menjadi orang yang menyembuhkanmu juga. Orang yang kamu anggap sebagai awal mula penderitaanmu, orang itu juga yang menjadi sumber kebahagiaanmu. Hingga mungkin kamu akan bingung, apakah kamu bisa bahagia dan menangis bersama orang yang sama?
***
Farzan menatap satu kotak s**u strawberry yang baru saja dibelinya, ia kemudian beranjak dengan ragu dan menghampiri wanita yang sangat ia kenal itu. Tangannya terulur menyodorkan kotak s**u miliknya, membuat Meta menoleh dan menatapnya dengan kaget. Mungkin dia tak menyangka akan bertemu seseorang yang dia kenal di sini.
“ Gue harap lo bisa minum s**u meski lagi sakit,” ucap Farzan berusaha seramah mungkin.
Meta menatap s**u kotak yang Farzan ulurkan lalu menerimanya. “ Thanks. Gue lebih suka vanilla by the way.”
Farzan tersenyum tipis. Meta jelas mengenalinya karena mereka beberapa kali bertemu di kampus dan ia juga menjadi panitia ketika Meta diangkat menjadi Ratu OSPEK saat itu. Sebenarnya tak mudah untuk menjadi seorang ratu OSPEK. Kecantikan hanya memiliki sedikit kontribusi penilaian, sisanya kecerdasan dan cara berbicara di depan umum yang menjadi penilaian utama. Oh ya, jangan lupa soal kesopanan. Mau secerdas apapun, adab tetap harus diutamakan. Percuma cerdas melebihi kepintaran Albert Einstein tapi adabnya nol besar.
“ Gimana kabar lo?” Hanya itu yang bisa Farzan tanyakan dan ia tau pertanyaannya terdengar bodoh. Jelas sekali Meta tidak baik-baik saja sekarang.
“ Ya, beginilah. Lo pasti udah denger banyak cerita tentang gue. Dan... see, gue masih hidup, sayangnya.” Meta mengedikkan bahunya, menyadari beritanya sudah menyebar luas termasuk ke sosial media. Meskipun namanya disamarkan, tetap saja ia tahu jika yang tersebar itu adalah laporan yang ibunya tulis... yang telah ditulis oleh Lina dengan tangan yang bergetar dan berurai air mata. Bisa-bisanya orang lain menyebarkannya dan menghakiminya seolah mereka adalah manusia paling mulia di muka bumi ini. “ Gue nggak perlu dikasihani. Tenang aja. Im ok.”
“ Maaf, gue nggak bermaksud membahasnya. Gue emang kebetulan lagi di sini kok dan nggak sengaja liat lo. Emang gue udah denger soal lo mencoba untuk bunuh diri, tapi gue bener-bener nggak tau lo dirawat di sini.” Farzan tidak mau dikira sok perhatian atau apapun itu. Pertemuan mereka ini murni ketidaksengajaan. Atau takdir?
“ Santai aja.” Meta tersenyum tipis. “ Lo ngapain di sini emangnya?”
“ Gue nemenin tante gue, dia udah biasa ke sini setiap satu kali seminggu buat cuci darah.” Farzan kemudian menjelaskan. Akhirnya ia punya bahan pembicaraan. “ Mungkin udah hampir empat tahun.”
“ Ternyata lo keponakan yang rajin ya,” balas Meta. “ Tante lo pasti beruntung banget.”
Kali ini Farzan menggelengkan kepalanya. “ Mana ada orang merasa beruntung ketika dia harus cuci darah setiap minggunya, bergantung dengan obat-obatan dan bahkan untuk minum pun dibatasi.”
“ Sorry.” Meta merasa sudah salah bicara.
“ Nggak. Gue nggak nyalahin lo kok. Tante gue juga beruntung, masih bisa hidup sampai saat ini. Walaupun orang-orang yang dia sayang hanya bisa meninggalkan dia.”
“ Setidaknya dia masih memiliki lo.”
“ Yap. Cuma gue emang. Gue juga hanya punya dia. Saudara lainnya tinggal jauh, beberapa nggak peduli. Ya beginilah kalau keluarga besarnya broken home.”
Membahas soal broken home, Meta jadi teringat akan kondisi keluarganya sendiri. Ternyata orang-orang di sekitarnya pun mengalami hal yang serupa. Padahal Farzan dari luar terlihat nyaris sempurna. Dia tampan, berprestasi, sopan dan ramah... di balik semua itu, dia memiliki masalah tersendiri yang tak bisa dia ekspresikan dengan bebas di luar.
“ Tante gue, dia baru aja diceraikan sekitar tiga tahun lalu. Itu adalah masa-masa terpuruknya karena dia dibuang seperti sampah.” Farzan jadi teringat dengan kondisi terparah Amira—tantenya yang sampai masuk ruang ICU pasca diceraikan oleh suaminya saat itu. Sejak awal Farzan memang tak setuju dengan pernikahan siri yang tantenya jalani, tapi karena mereka terlihat saling mencintai dan tantenya seolah memiliki pria yang melindunginya... ia pun turut bahagia. Sayangnya kebahagiaan yang tantenya rasakan tidak lama.
Pria itu meninggalkan Amira yang sedang berjuang melawan penyakit ginjalnya, hanya setahun dia bertahan menemaninya lalu menyerah begitu saja. Seolah cinta yang dulu menggebu telah berubah tak lebih berharga dari butiran debu.
“ Tante lo pasti wanita yang kuat. Buktinya dia bisa bertahan sampai saat ini. Orang yang udah ninggalin dia, nggak lebih baik dari sampah.” Meta menanggapi dengan menggebu-gebu seolah ikut merasakan sakit yang Amira rasakan.
Ekspresi Meta membuat Farzan terkekeh geli.
Tak lama saat mereka asik mengobrol, Lina datang menghampiri Meta dengan raut wajah cemas. “ Nak... ayahmu... “ Ia terlihat baru saja selesai menangis, matanya sembap dan merah membuat Meta jadi ikut khawatir.
“ Ada apa, bu? Kenapa dengan ayah?”
“ Dia nekat datang ke bar itu untuk minta rekaman CCTV tapi malah dikeroyok sama petugas di sana. Terus pas jalan pulang ayahmu malah kecelakaan... “ Lina seolah tak sanggup melanjutkannya. Tangisannya kembali pecah dengan tubuh yang luruh ke lantai. “ Dia nggak bisa diselamatkan, nak. Ayahmu... astaga kenapa semua jadi seperti ini. Aku bahkan belum menceraikannya.”
Meta shock mendengar berita yang baru saja ibunya berikan. Seluruh tubuhnya terasa lemas tak berdaya, tapi melihat tangisan pilu ibunya... ia menjadi semakin tidak tega. Tangisan itu, ia tahu itu adalah tangisan kehilangan yang sesungguhnya. Tangisan yang menandakan jika ibunya masih sangat mencintai ayahnya, semenyakitkan apapun luka yang telah ayahnya torehkan di hati ibunya... tetap saja, pria itu jugalah yang hanya bisa memenangkan hati ibunya.
“ Ayo, bu. Ibu jangan nangis di sini,” ucap Meta yang menggenggam tangan ibunya dengan erat. Tak terbayang seberat apa luka yang harus ibunya tanggung selama beberapa tahun terakhir ini.
Farzan masih terdiam di tempatnya, ketika Meta hanya menatap nanar ke arahnya sebelum pergi bersama ibunya. Seketika lutut pria itu terasa lemas sampai membuatnya harus berpegangan pada dinding di dekatnya.
***
Kehilangan harga diri.
Kehilangan pria yang telah melindunginya sejak kecil.
Keduanya sama-sama menyakitkan. Lalu ketika kedua kehilangan menyakitkan itu datang berbarengan, rasanya Meta nyaris tak kuat untuk melanjutkan hidupnya. Gadis itu kembali merenung, menatap hampa pada ruang perawatannya yang semakin sunyi.
Lina masih sibuk mengurus pemakaman Bara dan segala hal lain. Sementara Meta hanya bisa duduk diam di sini, setelah usaha bunuh dirinya gagal. Bukannya ia yang mati, justru ayahnya yang meninggalkannya secara mendadak.
“ Rekaman CCTV?” Meta tertawa hampa, menyadari apa yang telah ayahnya lakukan. Rupanya pria itu tengah mengusahakan kasusnya agar bisa ditangani, sayangnya bukan bukti yang dia terima... tapi justru luka berat yang membuatnya tak bisa bertahan. “ Sedikit saja, tidak bisakah ayah berbuat hal yang benar? Tidak perlu berusaha terlalu keras, semuanya nggak akan berubah. Tapi setidaknya... seharusnya ayah masih ada di sampingku. Bukan meninggalkan aku dan ibu seperti ini. Kenapa ayah masih saja egois?” Ia memeluk lututnya sendiri, membenamkan wajahnya di sana.
Meta tak kuat menahan tangisnya lagi hanya demi menguatkan ibunya, padahal ia juga rapuh. Mengingat keluarga hangatnya yang berubah bak neraka selama tiga tahunan ini. Lalu kepergian ayahnya menambah luka dalam di hatinya.
Farzan mengurungkan diri untuk masuk ke dalam kamar perawatan Meta. Tadinya ia ingin pamit pada wanita itu tapi sepertinya dia sedang tidak bisa diganggu untuk saat ini. Pria itu kemudian menggantungkan satu plastik putih berisi beberapa kotak s**u vanilla dan meninggalkannya.
Sepanjang perjalanan, ucapan ibunya Meta seolah terngiang-ngiang di dalam kepala Farzan. Suaranya seolah terulang terus menerus.
Ayahmu kecelakaan.
Ayahmu ingin mendapatkan rekaman CCTV di bar itu.
Ayahmu ingin memberikan bukti agar laporan kita ditindak.
Sebesar itu perjuangan ayah Meta untuk mendapatkan keadilan bagi putrinya, sampai dia justru kehilangan nyawanya sendiri.
“ Ada apa, Zan?” tanya Amira yang paling kenal dengan sifat Farzan. Jika sudah diam begini pasti ada masalah yang tengah keponakannya pikirkan.
Farzan menggelengkan kepalanya. “ Nggak apa-apa, tan. Hari ini aku mau langsung pulang ya.”
“ Langsung ke kosan kamu? Nggak mampir dulu?”
“ Nggak, tan. Lagi banyak tugas.”
“ Oh. Iya sih kamu udah semester akhir, pasti sibuk skripsi ya.”
Farzan mengulum senyum.
“ Kirain diem karena lagi ada masalah sama pacar,” gurau Amira yang membuat Farzan terkekeh. “ Cari pacar lagi loh, Zan. Sandra aja udah mau tunangan. Padahal pacaran lamanya sama kamu ya.”
Mendengar nama mantan kekasihnya disebut, Farzan merasa ada sedikit bagian hatinya yang sakit. Tapi pria itu tetap menyunggingkan senyumnya seperti biasa. “ Bukan jodoh namanya, tan.”
“ Iya sih. Tapi tante nggak suka aja. Dia kayak manfaatin kamu aja buat bantu skripsi dan kuliahnya dia. Mentang-mentang kamu lebih muda dan pintar. Pokoknya kamu harus lebih bahagia dari dia, Zan. Buktiin kalo tanpa dia, kamu justru jauh lebih bahagia. Orang yang nggak pernah menghargaimu, nggak pantas diratapin terus.”
Ucapan Amira memang benar. Tak seharusnya Farzan meratapi kandasnya hubungan dengan kekasihnya beberapa bulan yang lalu. Begitu singkat tapi lukanya masih berbekas hingga saat ini, ketika wanita yang ia cintai justru memilih pria lain yang sudah mapan dan memutuskannya hanya karena ia masih anak kuliahan. Hanya karena wanita itu ingin segera menikah. Padahal Farzan masih ingat betul jika Sandra selalu bilang ingin menikah di usia tiga puluh tahun.
Rasanya ingin tertawa, ketika alasan itu dibuat hanya demi membuat harapan bagi Farzan. Seolah ia memiliki cukup waktu untuk membangun hubungannya menjadi lebih mantap lagi. Nyatanya itu hanya ilusi yang Sandra buat untuk menenangkannya, hingga tiba saatnya dia justru meninggalkannya begitu saja.