Rumah Nicole terletak di pinggir kota Manhattan. Aku melacaknya pagi ini melalui situs internet. Wanita itu telah memiliki seorang suami yang cukup sukses dengan karienya, pernikahan mereka terjadi dua tahun yang lalu dan Nicole dianugerahi seorang bayi laki-laki. Aku melihat sejumlah fotonya yang dipajang diinternet. Aku menggigit bibirku saat melihat Nicole tersenyum dalam setiap foto itu. Hanya ada beberapa foto pernikahannya yang tersebar di media sosial dan aku baru sadar kalau aku masih berteman dengannya di f*******:.
Aku mencatat semua informasi tentang Nicole dan menyimpannya. Aku hanya bertahan selama tiga puluh menit di tempat itu. Setelah membayar biaya akses internetnya, aku bergerak pergi menuju stasiun. Kali ini, aku akan menaiki kereta menuju Manhattan.
Deretan rumah yang kulalui saat itu merupakan bangunan tinggi yang mewah. Aku menatap ke balik pagarnya, mencari-cari papan nomor rumah bertuliskan A11 hingga aku menemukan bangunan dua lantai yang terletak di sisi paling sudut. Bangunan bercat putih itu memiliki halaman depan yang cukup luas. Pagarnya tertutup rapat. Tepat di depan pintu ada papan bertuliskan Walker Resident dengan huruf timbul.
Tubuhku bergetar, aku mendapati kedua kakiku terasa kaku untuk melangkah ke dalam sana. Tidak ada sesuatu yang muncul di dari pintu masuk. Rumah itu tampak besar dengan jendela-jendela yang tertutup rapat di lantai satu dan dua. Balkonnya cukup luas dan ada sebuah kursi santai di beranda. Aku membayangkan Tom dan Nicole berdiri di sana, Tom menggendong bayi mereka dan Nicole berada tepat di sampingnya. Mereka tertawa bersama, aku hanyalah orang yang berada di kejauhan, aku hanyalah orang tak dikenal yang menyaksikan kebersamaan mereka.
Tiba-tiba kepalaku terasa sakit. Gambaran kabur muncul di benakku dalam kilasan yang cepat dan aku hampir akan terjatuh jika saja tidak berpegangan pada batang pohon di sampingku.
Aku mengingat danau, hamparan daun-daun kering di atas tanah yang basah. Aku mengingat darah di tanganku dan aku bisa mencium bau udara tipis di rawa yang bercampur dengan darah. Ada begitu banyak darah.. Tanganku menggapai-gapai sesuatu, aku tidak yakin apa yang hendak kuraih, tiba-tiba semuanya menjadi gelap.
Ingatan itu berakhir di sana. Ia hilang bersamaan dengan kemunculan seseorang di pintu depan. Aku melihat Nicole keluar dari sana, ia mengenakan setelan blus berwarna biru muda dengan sebuah tas merah menggantung di salah satu bahunya. Wanita itu mengunci pintu rumahnya dan bergerak pergi. Aku melangkah maju untuk melihat lebih dekat. Nicole tidak bersama suami atau bayi laki-lakinya dan tampilannya pagi ini mengatakan kalau ia akan menghadiri suatu pertemuan.
Aku menahan kakiku untuk tidak bergerak lebih jauh. Aku hanya berdiri di kejauhan dan melihatnya keluar dari gerbang. Ia kemudian berjalankaki meninggalkan rumahnya. Aku menyaksikan hingga Nicole menghilang di tikungan, kuputuskan untuk mengikutinya.
Jalanan yang ditempuh Nicole tampak berliku-liku. Ia melalui gang-gang sempit yang kotor dan deretan toko di pinggir jalan. Aku memperlambat langkahku ketika melihat Nicole memasuki sebuah toko obat. Dia hanya singgah selama beberapa menit kemudian bergerak meninggalkan toko itu.
Aku masih mengikutinya ketika dia menaiki sebuah bus yang mengarah ke pusat kota. Sampai sejauh itu, Nicole masih tidak menyadari jika seseorang membuntutinya. Itu suatu pertanda baik. Kami berhenti di bagian utara kota Manhattan dimana ada lebih banyak orang yang hadir di sana. Aku mulai merasa gelisah, namun aku tidak menghentikan langkahku untuk mengikutinya hingga Nicole masuk ke dalam bangunan bertingkat yang letakknya di tikungan jalan.
Itu adalah sebuah tempat yang dikhususkan untuk perkumpulan sosial dan terapi. Aku melangkah lebih dekat dan berhenti di depan pintu. Dari balik pintu kusam itu, aku melihat Nicole menaiki tangga menuju lantai dua dan menghilang di sana. Saat itulah kuputuskan untuk masuk. Dua orang pengunjung yang sedang duduk dan menunggu panggilan di sana menatapku. Satu adalah wanita bertubuh gemuk dengan kulit gelap yang tampak ramah, satu yang lain adalah wanita yang lebih kurus berkulit pucat dengan wajah serius. Aku memilih tempat di samping wanita berkulit gelap itu. Dia tersenyum ke arahku dan aku tersenyum balik hingga kusadari wanita ini telah menjulurkan satu tangannya yang besar. Genggaman tangannya terasa hangat dan aksen North Carolina yang khas terdengar dari suaranya.
“Georgina. Orang-orang biasa memanggilku Gina.”
Gina.
“Aku Sara.”
“Jadi Sara.. apa yang terjadi?”
Aku mengernyitkan dahiku, aku merasa kesulitan untuk memahami ucapannya.
“Hah?”
“Kau ada di sini, artinya sesuatu pasti terjadi,” Gina tertawa. Tawanya yang lebar memperlihatkan sederet gigi putihnya yang rata. “Ayolah, semua orang yang datang kesini, mereka memiliki masalah dengan keluarganya. Kebanyakan dari kita para istri memiliki masalah dengan suami kita. Apa ini pertama kalinya kau berkunjung? Rasanya aku baru melihatmu.”
“Ya,” aku tidak berbohong untuk yang satu itu. Tapi aku benar-benar tertarik pada apa yang dikatakannya. Itu adalah tempat perkumpulan sosial para istri yang memiliki masalah. Mereka melewati terapi khusus bersama-sama dan yang membuatku penasaran adalah alasan mengapa Nicole menghadiri pertemuan sosial itu, bersama orang-orang asing yang hadir di sana. Apa yang ingin dibahasnya?
“Jadi apa yang terjadi?”
Aku tertegun, di satu waktu merasa gugup saat wanita itu menunggu jawabanku. Kemudian, aku mendengarnya tertawa. Tangannya yang besar menangkup lenganku dan ia tersenyum lebar.
“Apapun itu, aku tahu itu sulit untukmu. Aku juga mengalami hal yang sama saat pertama aku datang ke tempat ini. Bukan hal yang mudah untuk menceritakannya pada orang-orang yang baru kukenal. Tapi semakin lama, aku semakin terbiasa, dan itu sebuah keajaiban karena aku merasa segalanya menjadi semakin mudah untukku. Aku bisa melepaskannya begitu saja, itu juga yang akan terjadi padamu.”
Tak lama setelah itu, seorang petugas yang berjaga memanggil Gina untuk naik ke lantai dua. Gina menepuk bahuku saat bangkit berdiri. Aku melihatnya berjalan menuju lantai dua. Sekilas, aku melihat senyum lebar mengambang di wajahnya dan selama sesaat aku berharap dapat melewati obrolan yang lebih lama bersamanya. Jika tempat ini dikhususkan untuk perkumpulan orang-orang yang memiliki masalah dalam hubungan, maka aku rasa tidak akan sulit untuk berada di sini lebih lama. Aku ingin melepas apa yang kurasakan terhadap Tom dan membuat hidupku lebih mudah seperti Gina – seandainya semudah itu.
Aku pergi sebelum Nicole menyelesaikan pertemuannya dengan orang-orang itu. Aku telah mencatat semuanya di buku harian: Nick, rumah Nicole, bangunan tempat pertemuan sosial itu, juga pertemuanku dengan Gina. Tidak banyak pertunjuk yang kudapat tentang hari yang hilang itu. Nick terlalu marah untuk menjelaskannya dan sekarang harapanku hanya Nicole. Tapi benarkah hanya itu? Lalu bagaimana dengan tas dan kameraku yang hilang? Atau luka berdarah di keningku. Darah siapa yang ada di tanganku dan apa maksud dari ingatan itu? Aku bergetar, aku rasa sesuatu yang besar telah terjadi. Aku kehilangan sesuatu, aku tidak ingat tapi aku merasakannya..
--
Malam ini aku terjaga. Aku telah menelan semua obat-obatku tapi itu tidak membuatku tidur. Aku telah mengalami insomnia sejak usiaku belasan tahun, dan malam ini adalah puncaknya. Aku meneguk semua anggurku, aku duduk dan menyaksikan film yang kuputar sekitar satu jam yang lalu, tapi tidak ada yang benar-benar membuatku tenang.
Aku mondar-mandir di ruang tengah, berusaha mengingat-ingat. Aku tidak akan bisa tidur tenang – aku rasa aku tidak pernah tidur dengan tenang. Kepalaku dipenuhi oleh banyak hal, tapi aku tidak fokus. Semuanya hanya seperti gambaran yang kabur. Apa yang terjadi? Aku merasa tubuhku melemah seiring berjalannya waktu. Kepalaku terasa pening, tapi itu bukan karena lukanya – aku tidak yakin. Aku tidak yakin tentang apapun.
Ada sejumlah agenda yang kutempel di pintu lemari pendingin. Aku memiliku jadwal kunjungan dengan Dokter Lou minggu besok dan ada panggilan wawancara kerja di dua tempat berbeda pada hari Senin. Jika aku lulus, aku diharapkan dapat bekerja setelah natal. Itu tidak lagi terdengar menarik untukku. Tiba-tiba saja dunia terlihat buram di belakangku. Yang kupandang kini hanya ruang kosong di atas papan merah itu, dan potongan-potongan gambar acak yang telah kususun. Susunannya belum sempurna, tapi foto yang terpotong-potong itu kini mulai membentuk fitur wajah seseorang. Seorang wanita berambut pirang yang mengenakan jaket dan sepatu merah. Siapa wanita ini? Aku ingin tahu namanya. Aku belum berhasil menemukan potongan gambar wajahnya. Apa yang terjadi pada wanita ini? Mengapa aku merobek fotonya? Itu pasti ada kaitannya dengan pagi ketika aku terbangun dengan luka di kepalaku.
Aku menggeledah seisi kamarku, berusaha menemukan tas dan kameraku. Tapi hasilnya nihil. Semua barang-barang itu menghilang dan yang kulihat hanya sebuah buku asing di antara tumpukan buku milik Nick dalam rak itu. Aku mendekatinya, kuraih buku bersampul biru itu, k****a judulnya: Strangers karya Beverley Mills. Buku itu tebal, sampulnya tua dan pinggiran kertasnya telah menguning. Aku tidak mengenali buku ini. Ini jelas bukan buku yang akan dibaca Nick dan buku ini tidak pernah ada di rak penyimpananku sebelumnya.
Aku membawanya ke kamarku, membalik halaman pertama dan melihat nama seseorang yang ditulis dengan huruf sambung 'milik Heath' kemudian ada tulisan lain di bawahnya 'untuk kesayanganku Kate'.
Siapa Heath? Siapa Kate? Apa aku mengenal mereka?
Aku membalik halaman selanjutnya. Aku menghabiskan waktu sepuluh menit untuk membaca bab pertama dari kisah fiksi itu. Kisah itu kedengaran asing dan aku tidak ingat jika memang aku pernah membaca kisah ini sebelumnya. Siapa yang meninggalkan buku ini di rak penyimpananku? Mungkin Nate? Hanya ada satu cara untuk memastikannya.
--
Aku mengetuk pintu kamar Nate sekitar pukul tiga dini hari. Wanita itu muncul di depan pintunya dengan ekspresi yang menyatakan ketidaksukaan yang jelas. Nate tanpak mengantuk karena sepertinya aku baru saja membangunkannya dari tidur.
"Ada apa?" tanyanya.
"Bisa aku bicara sebentar?"
"Astaga, Sara. Pukul berapa ini? Kenapa kau tidak tidur?"
"Tolong.. ini.. ini penting. Ini sangat penting."
Nate kelihatan tidak senang, tapi ia membuka pintunya lebih lebar untukku. Aku melangkah masuk. Aroma kopi dan rokok yang tajam langsung menyeruak ke hidungku. Aku melihat setumpuk pakaian di atas sofa, jaket milik Nate, dan jeans milik seorang laki-laki. Aroma parfum yang asing juga menguar di ruangan itu. Nate segera menyingkirkan asbak di atas meja dan tumpukam pakaian itu. Sekilas aku mengintip ke arah kamarnya dan cepat-cepat membuang tatapanku saat melihat seorang pria yang sedang tidur di atas kasur milik Nate. Aku tidak yakin pria itu berpakaian di balik selimut yang membalut tubuhnya dari pinggang hingga kaki.
Wajah Nate memerah, bisa kurasakan karena sekarang ia terburu-buru menutup pintu kamarnya. Nate bergerak ke arah konter dan meraih dua gelas kosong.
"Mau kopi?"
Aku mengangguk. Aku tidak menyukai kopi tapi aku rasa tidak sopan jika aku meminta alkohol.
"Siapa disana?" Aku mendapati diriku bertanya.
Nate mendekatiku dan menyerahkan satu cangkir yang terisi penuh sementara dia memegang satu yang lain. Kami berjalan menuju sofa saat Nate menjawab dengan tidak acuh.
"Jangan berisik! Kau bisa membangunkan Cole."
Aku rasa Cole kekasihnya – atau simpanannya. Nate pernah bercerita padaku kalau ia bukan wanita yang bisa bertahan dengan satu laki-laki saja. Terlebih jika laki-laki itu adalah seorang pengatur yang menjengkelkan.
"Jadi aku mendengarkanmu. Apa yang ingin kau katakan?"
Nate telah memilih posisi nyamannya di atas sofa. Matanya yang kelelahan menatapku. Sejenak aku hanya memerhatikan tampilannya: maskaranya telah luntur, rambut hitam panjangnya tampak berantakan dan kaus yang dikenakannya tampak kebesaran. Nate wanita bertubuh kurus yang cukup menarik. Ia berbicara dengan hangat dan aku merasa nyaman bersamanya. Aku merasa bisa memercayainya, tapi hanya sebatas itu.
"Aku ingin tahu apa buku ini milikmu?" Aku mengeluarkan buku itu dari balik jaketku. Nate meletakkan cangkir kopi untuk meraih bukunya. Ia membacanya sekilas kemudian mengembalikannya dengan cepat.
"Bukan. Dan kita sama-sama tahu aku tidak suka membaca buku. Ada apa dengan buku ini?"
"Aku tidak tahu, aku menemukannya di atas rak penyimpanan buku-buku milik Nick tapi buku ini jelas bukan milik Nick."
"Mungkin kau hanya lupa kalau kau membeli buku di suatu tempat dan kau meletakkannya di sana."
"Tidak. Disini tertulis buku ini milik Heath dan.. Kate."
"Ini buku lama, Sara. Kau mungkin membelinya di toko buku bekas."
"Aku tidak pernah membeli buku!" Aku bersikeras. "Seseorang pasti meletakkannya di atas rak itu. Aku tidak ingat. Mungkin Heath. Wanita yang memiliki buku ini."
Nate tersenyum. "Apa kau datang hanya untuk mengatakan hal ini?"
"Aku.. aku hanya ingin tahu, siapa Heath? Kenapa buku ini ada di atas rakku?"
Nate mengembuskan nafas dan menanggapiku dengan sabar. "Kenapa kau tidak mencoba menghubungi Nick dan bertanya padanya? Mungkin dia tahu sesuatu tentang buku ini, lagipula kau bilang kau menemukannya di antara tumpukan buku-buku bacaan milik Nick, benar?"
"Dia.. dia marah padaku."
Nate mengeryitkan dahinya, tampak seolah tidak memercayai kata-kataku. Kurasa dia tahu kalau ini bukan kali pertama aku membuat Nick marah.
"Kenapa?"
"Aku tidak tahu. Aku lupa. Aku.. aku terbangun di hari Sabtu dan tiba-tiba semuanya kacau. Aku melupakan segalanya.." aku sempat berniat untuk mengatakan tentang darah di tanganku dan kekacauan yang terjadi di kamarku, tapi kupikir itu akan membuat Nate curiga. Aku memilih untuk melewati bagian itu. "Tasku hilang. Kamera, buku-buku dan semua barang-barangku ada di sana. Aku tidak bisa menemukannya di manapun."
"Apa kau mabuk lagi, Sara?"
Aku tidak menjawab. Cangkir kopi itu berputar di tanganku. Nate kelihatannya tidak butuh jawaban untuk pertanyaan itu.
"Astaga, kau mabuk! Kau selalu kacau saat mabuk.."
"Dengar! Ini.. ini tidak ada kaitannya dengan apa yang terjadi, oke?" Aku berusaha berkilah. "Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi hari itu? Apa yang terjadi padaku. Aku pikir Nick tahu, jadi aku mendatanginya pagi ini dan bertanya. Dia bilang aku membuat keributan di jalanan. Aku menyerang seorang wanita.." Kedua mata Nate membeliak, urat-urat muncul di keningnya dan aku merasakan kedua tanganku bergetar. Aku tidak berhenti untuk menceritakan kejadian itu, aku harus tahu apa yang terjadi. Mungkin Nate tahu.
"Ya, dia bilang.. aku menyerang seorang wanita. Wanita itu temanku. Teman sekolahku. Dan dia melaporkanku ke polisi. Aku hampir akan ditahan, tapi Nick mengeluarkanku. Aku tidak ingat apapun dan pagi ketika aku terbangun, semuanya menjadi kacau.. ada sesuatu yang hilang, aku tidak bisa mengingatnya. Aku rasa kejadiannya bukan hanya itu, tapi aku terlalu takut untuk menanyakannya pada Nick. Kemudian ada buku ini di rak penyimpananku. Apa kau tahu artinya itu? Mungkin.. ada orang lain selain kau dan Nick yang masuk ke kamarku. Aku tidak tahu.. aku tidak bisa ingat apa-apa."
"Sara!" Nate menggenggam tanganku. Cengkramanya terasa kuat. "Aku tidak tahu apapun. Aku pergi ke Trenton bersama Cole sejak minggu kemarin dan pesawat kami baru tiba pagi ini. Jika kau memang benar-benar bertemu seseorang, aku tidak tahu apapun dan jujur saja aku baru mendengar hal ini darimu. Aku mengerti mengapa Nick marah padamu.. mungkin kau hanya perlu menunggu waktu yang tepat untuk bertanya padanya."
Nate pergi selama satu minggu dan aku tidak tahu hal itu. Sekarang, aku tidak memilki seseorang yang mungkin tahu apa yang terjadi. Aku merasa sesuatu seakan menampar wajahku. Tidak ada petunjuk apapun, tas dan kameraku menghilang, yang tersisa hanya buku itu. Buku milik seseorang bernama Heath atau mungkin Kate.
--
Nate mengusirku malam itu. Maksudku, kekasihnya akhirnya terbangun dan dia menyadari kehadiranku. Cole – siapapun namanya, dia tampak tidak suka, jadi Nate secara halus memintaku untuk pergi.
Aku tidak keberatan, aku tidak menyukai laki-laki itu. Bukan hanya karena tubuhnya terlalu besar dengan otot-otot yang terlihat menjijikan, tapi juga sifatnya yang tidak kusuka. Laki-laki ini – Cole, dia menatapku seolah aku adalah kotoran yang harus disingkirkan dari tempatnya. Aku pergi bahkan sebelum Nate membukakan pintu untukku, dan sisa malam itu kulalui dengan mabuk hingga aku terbangun di pagi harinya dengan kepala yang terasa pening.
--
Beritahu saya tanggapan kalian..