Bab 5

2756 Words
Kota tampak padat pagi ini. Sinar matahari telah merangkak naik di atas kepalaku, panasnya membuatku bergerak di kursi taman dengan gelisah. Aku membuka buku catatanku, mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi kemarin. Rupanya aku menemui Annette kemarin, dia bersama bayi perempuannya yang bernama Joanah. Pagi ini aku tidak melihat mereka. Yang ada hanya kerumunan pejalan kaki yang mengitari jalur taman. Aku menatap patung yang berdiri kokoh di pusat bundaran. Wajahnya menantang sinar matahari. Ia menggenggam sesuatu yang terlihat seperti serangkaian bunga di tangannya. Aku membuka buku dan menarik pena. Aku mulai melukis lagi. Aku suka memandangi patung itu. Aku suka memotret orang-orang yang berlalu lalang di sekitar sana. Seorang wanita tua yang berjalan mengitari jalur kemudian menarik perhatianku. Ia mengenakan pakaian hangat dan sebuah tas merah mengayun di salah satu pundaknya. Tampaknya ia menyadari seseorang sedang memerhatikannya karena aku merasakan tatapannya terarah padaku saat ini. Kernyitan terbentuk di seputar dahinya ketika ia mendekatiku. Tiba-tiba aku menjadi semakin gelisah. Aku membolak-balik album foto, berusaha menemukan gambarnya. Aku tidak bisa mengingat wanita ini. Apa dia mengenalku? Aku sedang berkutat dengan album foto itu ketika ia akhirnya sampai di hadapanku. Dia harus menunduk untuk menatap langsung ke mataku. Tiba-tiba aku merasa kursi kayu itu akan roboh. “Sara?” wanita paruh baya itu melambaikan satu tangannya di depan wajahku. Ia tersenyum, tapi tidak hangat. “Kau ingat aku? Kita bertemu dua hari yang lalu.” Aku tidak bisa mengingatnya. Aku kebingungan. Aku terlalu gugup untuk mengatakan sesuatu. Aku tidak ingin dia menganggapku mabuk. “Aku.. aku..” “Tidak apa-apa, tidak masalah. Apa aku bisa membantumu? Kau kelihatan bingung. Kau punya masalah?” Dia duduk di sampingku, agak terlalu dekat sehingga aku bisa melihat wajahnya lebih jelas. Sepasang mata hitam itu, juga wajah keriputnya. Berapa usianya? Dan yang terpenting – siapa namanya? “Maaf, tapi siapa kau?” Awalnya dia hanya mengernyitkan dahinya ketika mendengar pertanyaan itu. Dia tersenyum saat berpikir aku sedang berusaha menghiburnya, tapi senyum itu sirna dengan cepat. “Aku Jane. Kau tidak ingat aku?” “Jane?” “Ya aku Jane dan kau Sara. Kita bertemu dua hari yang lalu. Kita bicara dua hari yang lalu. Kenapa kau tidak mengingatnya?” “Aku minta maaf tapi aku benar-benar lupa..” “Itu aneh sekali, aku sering melihatmu berkeliaran di sekitar sini. Tidak hanya sekali kita berpapasan. Apa kau bersama keluargamu, Sara?” “Tidak. Aku sendirian.” “Well, dimana mereka?” “Nick adikku, dia bekerja untuk kepolisian Manhattan.” “Kau tinggal di sekitar sini?” Aku merasa dia menjadi semakin aneh, tapi aku merasa tenang setelah dia menyebutkan namanya. Aku rasa aku mengingatnya. Jane Thornton, wanita di foto itu. Suaminya sudah meninggal dan dia bersama dua putra dan ketiga cucu perempuannya. “Aku dari Lexington. Aku naik kereta menuju City Hall setiap hari dan.. aku suka disini.” “Jadi kau tidak bekerja?” Aku merasa ragu untuk menjawab pertanyaannya. Jika kami berbicara dua hari yang lalu, aku penasaran apa saja yang kukatakan? Apa aku mabuk saat itu? Jane tampaknya menyadarinya karena dia mulai beringsut dan menatapku lebih dekat. “Apa kau mabuk, Sara? Kau mabuk, ya?” “Tidak, tidak.” Aku merasakan hawa panas menjalar di seputar tengkukku, kemudian merambat naik hingga ke wajahku. Aku duduk dengan gelisah hingga Jane menggenggam tanganku, menahannya di atas pangkuan. “Tidak apa-apa, tidak ada yang berniat menyakitimu.” Kepalaku tertunduk. Tatapanku terarah pada punggung tangannya yang keriput. Dia bertubuh gemuk, genggamannya terasa kuat. Sementara aku seperti sesuatu yang rapuh. Kurasakan ketenangan saat Jane melepas genggamannya. Aku memberanikan diri untuk menatapnya. Kini, ia terlihat ketakutan. Aku ingin bertanya apa yang dipikirkannya, wajahnya terlihat pucat hingga kusadari kalau ia menatap foto-foto dalam buku album yang setengah terbuka di sampingku. “Apa yang kau lakukan? Aku melihatmu membawa kamera itu dua hari yang lalu. Aku pikir kau mengambil gambar semua orang yang ada di sini. Untuk apa? Apa yang sedang kau lakukan? Apa kau.. sedang berusaha mengintai seseorang..” Aku menggeleng. Kupikir Jane bukanlah orang yang tepat untuk kuceritakan tentang Tom – tentang Nick, sesi terapi dan semua obat-obatan itu. Aku merasa takut berada di dekatnya dan kusadari dia bukan hanya satu-satunya orang yang menatapku dengan cara seperti itu: seolah berharap aku tidak pernah muncul di sana. Aku mengepakkan barang-barangku, memasukkannya ke dalam tas dengan cepat kemudian bangkit berdiri dan meninggalkannya. Aku hanya meminta maaf dan dia tidak berusaha mencegahku. Tampaknya, Jane sama khawatirnya dengan aku. Ketika aku sudah melangkah cukup jauh, aku berbalik hanya untuk mendapatinya bergerak meninggalkan kursi itu. Aku harap itu menjadi pertemuan terakhir kami.  -- Percakapanku bersama Jane bukanlah hal terburuk yang harus kuhadapi hari itu. Aku sedang duduk di galeri, menatap orang-orang yang berjalan cepat meninggalkan tempat itu, ketika surat kabar yang ditinggalkan oleh seseorang di atas bangku tunggu memperlihatkan wajah seorang wanita berambut pirang dengan sepasang mata biru yang besar. Wajahnya cantik, dia adalah sosok wanita mungil dengan rambut pendek, bulu mata lentik, bertubuh sintal dan memiliki tulang hidung yang kecil. Seorang balita berusia sekitar dua tahun berjalan di sampingnya. Tangannya yang kecil bergelayut di keliman baju ibunya. Seorang pria tinggi mengekor di belakang mereka, bertubuh ramping, memakai setelan jas bermerk. Rambutnya hitam, sepasang bola matanya yang berwarna biru tampak tajam, ketika ia tersenyum, sudut rahangnya tampak mengeras, senyumannya terlalu kaku dan tampilannya begitu klimis. Aku membaca tulisan yang dicetak tebal dalam kolom berita itu. Pengusaha batu bara ternama, George Walker, pergi bersama keluarga menghadiri acara amal terbesar di Brooklyn. Aku membentangkan surat kabar itu, sekali lagi membaca tulisannya lebih jelas. Wajah wanita dalam surat kabar itu tampak tidak asing. Dia Nicole, sahabat yang meninggalkanku sejak lama. Aku masih mengingat wajahnya dengan jelas. Rasanya itu sudah bertahun-tahun yang lalu, sebelum penyakit ini menggerogoti pikiranku. Tidak banyak yang berubah tentangnya, dia masih Nicole yang cantik seperti yang kukenal, kecuali karena tubuhnya tidak sekurus dulu. Aku membaca tanggal yang tercantum pada artikel itu. Disana tertulis Senin, 6 November 2018. Artikel itu baru saja dicetak kemarin. Kuperhatikan nama seseorang yang menulis artikel itu: Kristopher Warren, terdengar familier. Mungkin, aku menggantung beberapa kolom beritanya di atas papan. Kuputuskan untuk menyelidikinya nanti. Aku terburu-buru ketika meraih tas hitamku. Dengan sedikit gelisah, aku memasukkan surat kabar itu ke dalam sana kemudian berjalan menuju stasiun. Keretaku tiba lima belas menit lebih lama sore ini. Langit gelap telah menggantung  di atas ketika aku akhirnya berhasil mencapai kamar nomor 16 di tempat penginapan itu. Kudengar langkah kaki seseorang yang berjalan di luar. Seorang petugas kebersihan mengetuk pintuku tepat ketika aku hendak melepas mantel dan bergerak menuju kamar. Aku menolak layanan kebersihan itu dengan cepat, merasa lega ketika mendengar langkah kakinya bergerak menjauh meninggalkan pintu kamarku. Samar-samar aku mendengar musik yang dinyalakan dengan volume keras dari kamar nomor 15. Nate selalu terganggu dengan suara musik itu, aku memilih untuk mengabaikannya. Malam ini cukup baik. Aku tidak harus menghadapi ocehan Nate dan Nick juga tidak menghubungiku sejak pagi tadi. Aku harap dia tidak datang malam ini. Aku hanya ingin sendirian. Aku mengeluarkan anggur pinot yang kubeli di toko dalam perjalanan pulang, kemudian duduk di atas meja kerjaku. Aku membuka kamera dan menyalakan monitor. Setelah mentransfer sejumlah gambar yang ditangkap oleh kameraku, aku mencetaknya dengan cepat. Notifikasi yang muncul di layar monitorku kemudian memberitahu kalau ada lebih dari seratus pesan yang belum terbaca di akun media sosialku. Aku membukanya, membaca seluruh percakapan itu dengan cepat, tanpa berniat menanggapi obrolan yang di bahas disana. Itu adalah tempat perkumpulan online puluhan orang yang mengalami masalah serius sepertiku. Kebanyakan dari mereka adalah seorang ibu yang kecanduan alkohol, pria lajang yang keluar masuk penjara, wanita tua dengan kecenderungan narkoba, juga sejumlah kaum anti-sosial yang sedang melewati masa terapi mereka. Kami sering berbagi pengalaman dalam satu wadah itu. Dua orang ahli psikologis yang menjadi admin dalam grup sosial itu selalu memberi saran dan meditasi setiap pagi. Aku membuka percakapanku satu minggu yang lalu dan membacanya ulang. Aku menceritakan pengalamanku ketika seseorang menyeretku di stasiun. Aku bergidik saat membacanya. Aku menceritakan apa yang kualami malam itu: kejadian paling mengerikan yang pernah kubayangkan. Aku mabuk dan mulai berteriak seperti orang gila. Aku menangis di tengah jalan dan seseorang polisi menyeretku masuk ke dalam mobil. Aku ditahan selama dua puluh empat jam di balik jeruji besi hingga Nick datang menjemputku. Aku merasa malu – benar-benar malu hingga aku berpikir untuk melepas kejadian itu dari otakku. Aku tidak percaya kalau aku benar-benar menceritakannya pada puluhan anggota di dalam grup itu, tapi aku senang setelah membaca respons mereka. Tampaknya, mereka orang-orang yang akan memahami kondisiku. Mereka tidak segera mengjuhat atau menganggapku aneh, mereka memberiku dukungan dan aku merasa lega. Aku tidak ingat kapan pertamakali aku bergabung dalam akun sosial media itu, aku hanya merasa senang berada di sana. Sambil tersenyum, aku mengetikkan sesuatu di atas keyboard dan mulai menyapa semua anggota. Hai, bagaimana hari kalian? Aku harap kalian tidak mengalami hari yang buruk sepertiku.. omong-omong, aku merasa senang bisa mengenal kalian. Aku merasa bodoh dengan kata-kata itu, tapi aku tidak menghentikan diriku. Kusaksikan seseorang dengan nama papan Jess sedang mengetikkan sesuatu hingga kata-katanya muncul di depan layar. Halo juga, Sara. Aku rasa kau bukan satu-satunya orang yang mengalami kejadian buruk hari ini. Putriku menumpahkan es krim di atas pakaian yang kubeli seharga satu kali gajiku dalam sebulan! Coba bayangkan itu! Aku tersenyum semakin lebar saat membayangkannya. Jess, berwajah cantik dengan selera humor yang tinggi. Wanita yang tidak patuh pada suaminya dan membenci perannya sebagai seorang ibu rumah tangga. Seorang sosialita yang harus menjalani kesehariaannya yang membosankan. Aku rasa itu cocok untuknya. Belasan pesan lain bermunculan di bawah pesan yang ditulis Jess. Aku tidak menanggapinya, aku merasa cukup senang dengan hanya menjadi pengamat. Sembari menyesap anggurku, aku terus membaca puluhan pesan berikutnya yang bermunculan, kebanyakan dari pesan itu berisi keluhan, seakan semua orang baru saja mengalami kejadian terburuknya hari ini. Seakan hari ini telah dikutuk sebagai hari paling menyebalkan di bulan November. Percakapan itu baru berakhir setelah satu jam. Aku berpamitan kemudian menutup akun media sosialku dan beralih pada surat kabar yang kubiarkan tergeletak di atas meja kerja. Semua barang-barang berada dalam posisi tidak beraturan di atas sana. Aku menyelipkan catatan yang berisi pengingat untuk membersihkan kamarku di akhir pekan. Aku meletakkan catatan itu di atas lampu tidur hanya agar aku tidak melupakannya. Setelah menggunting tajuk berita utama yang menjadi pusat perhatianku, aku membuka google dan mengetikkan nama George Walker di atas keyboard. Sebanyak lebih dari tiga ratus nama yang sama muncul di layar monitor. Aku kemudian mempersempit pencarian dengan sampel nama yang sama di kota Brooklyn. Nama-nama itu kemudian dipersempit hingga hanya menyisakan tiga puluh tujuh nama George Walker yang tinggal di kota Brooklyn. Kuperhatiakn gambar wajahnya yang tercetak di surat kabar kemudian aku mencari wajah yang sama di layar monitorku. Dalam beberapa percobaan, aku akhirnya menemukan profilnya. George Walker, berusia sepuluh tahun lebih tua dari dugaanku. Seorang pengusaha batu bara kaya raya, berusia empat puluh tujuh tahun, telah mengawali kariernya pada usia ke tiga puluh dua dan satu-satunya pewaris yang meneruskan bisnis besar milik ayahnya. George tercatat telah menikah dua kali. Istri pertamanya bernama Emily Walker, delapan tahun menikah kemudian bercerai. Kemudian aku sudah menebak nama istri keduanya: Nicole Bennett, sekarang Nicole Walker. Mereka menikah bulan Agustus 2016 dan memiliki seorang putra berusia dua tahun dari pernikahan mereka. Aku membuka situs yang memperlihatkan sejumlah foto pada hari pernikahan mereka. Nicole tampil anggun dengan gaun sutra berwarna krem, renda yang membingkai wajah ovalnya, juga cincin pernikahan yang melingkari jari manisnya. Rambutnya masih panjang dan tubuhnya tampak langsing kala itu. Ia tersenyum ke arah George dan George menciumnya tepat di atas kening. Mereka tampak seperti pasangan yang sangat serasi dan bahagia. Aku bertanya-tanya apa yang akan dikatakan Tom jika mengetahui hal ini. Mungkinkah ia cemburu – mengkinkah aku cemburu? Nicole sahabatku dan aku, secara tidak langsung, telah merebut kekasihnya. Kini, ketika ia akhirnya menikah, mengapa aku masih merasakan kecemburuan besar terhadapnya, atau mungkinkah itu hanya perasaan bersalah yang kurasakan terhadapnya? Rasa bersalah karena aku bahkan tidak pernah meminta maaf setelah mengecewakannya? Saat kedua mataku terasa menyengat, aku mengangkat botol alkohol ke bibir dan segera menyadari kalau alkohol itu tidak lagi tersisa. Kuletakkan botol itu di atas meja, kemudian aku mengetikkan sesuatu di atas keyboard. Aku melacak sejumlah akun media sosial yang mungkin dapat menghubungiku dengan Nicole. Aku melacak alamat rumah dan e-mailnya. Aku mengirim sejumlah surel ke alamat itu, berharap ia akan membalas pesanku. Ketika aku mendapatkan semua informasi itu, aku mencatatnya dengan di halaman depan agendaku. Aku tidak tahu apa yang ingin kulakukan, tapi aku berencana untuk mengunjunginya. Aku rasa aku merindukan sahabatku. Kepalaku tiba-tiba saja terasa pening. Aku berjalan sempoyongan meninggalkan layar monitor yang masih menyala dan bergerak menuju dapur. Ketika aku membuka lemari penyimpanan anggur, aku merasa lega saat menemukan botol yang setengah kosong di sana. Kuteguk anggur itu dengan cepat dan aku merasakan sensasi yang sama setiap kali aku menikmati minumanku. Rasanya seperti semua masalah berhamburan keluar dari kepalamu dan kau terlahir kembali. Aku meraih botol asenapine yang diletakkan Nick di dekat sana. Setelah membaca resepnya, aku mengeluarkan dua butir pil. Obat itu seharusnya diminum pada pagi dan sebelum tidur, tapi pagi tadi aku melewatinya. Malam ini aku ingin tidur nyenyak, jadi aku memutuskan untuk menelan tiga pil sekaligus. Aku tidak peduli risikonya. Aku membiarkan obat-obatan itu tergeletak di meja dapur ketika aku berjalan menuju lemari pendingin. Aku menulis sebuah catatan yang kutempelkan di pintu lemari itu bersama sejumlah catatan lainnya. Esok ketika aku terbangun aku harus mengingat Nicole. Aku harus mengunjunginya dan berbicara dengannya. Aku ingin meminta maaf. Sara? Sara? Sara ini Nick. Suara itu berasal dari mesin penjawab telepon otomatis yang menggantung di dinding. Tubuhku merosot jatuh ke lantai kayu ketika aku menyaksikan lampu merah dari mesin itu menyala-nyala. Suara Nick terdengar berat di telingaku seperti sekumpulan lalat yang berdengung. Dia tidak berhenti berbicara. Aku harus memfokuskan diri untuk dapat menangkap kata-katanya. Sara kenapa kau tidak mengangkat teleponku? Apa kau mabuk? Kau dengar aku? Jika kau mendengar pesan suara ini, hubungi aku kembali. Tolong.  Dan Sara.. jangan lupakan obatmu! Nick terdengar seperti orangtuaku alih-alih adikku. Dia memintaku untuk menjauhi alkohol – menjauhi Tom, menjauhi stasiun, menjauhi orang-orang dan minum obat. Aku tidak bisa menjalani kehidupan seperti itu. Berada di rumah seharian membuatku gila. Aku ingin berbicara dengan orang-orang, aku ingin merasa normal. Kurasakan tubuhku bergetar hingga suara itu muncul. "Halo, tukang mabuk! Bagaimana harimu?" Suara itu hangat dan beraksen kental. Suara yang hanya dimiliki oleh Tom. Kutegakkan tubuhku. Saat kulit kakiku menyentuh permukaan lantai kayu, aku merasakan hawa dinginnya merayap hingga ke ubun-ubun. Malam ini terasa dingin seperti malam-malam sebelumnya. Tapi aku memiliki Tom, aku rasa kondisinya tidak akan menjadi lebih buruk. "Buruk. Buruk sekali Tom." "Apa kau mulai menguntil lagi?" Aku tersenyum lebar, kurasakan pening di kepalaku mereda. "Ya, aku rasa." "Siapa kali ini?" "Itu Nicole. Apa kau percaya?" "Tidak, tidak sedikitpun." "Tom.." Aku mendengar Tom tertawa keras. Dia suka sekali meledekku – dia selalu meledekku. "Kenapa wanita itu?" "Dia sudah menikah, Tom. Suaminya, George Walker, pengusaha sukses yang kaya raya.." "Apa suaminya juga pernah bermimpi menjadi wartawan?" Pertanyaan itu menggelitik perutku. Tom pernah menyatakan keinginan besarnya menjadi wartawan. Dia menyukai sastra dan dia seseorang yang sangat puitis. Aku pikir Tom lebih cocok jadi penyair. "Tidak. Dia pengusaha batu bara." "Terdengar membosankan." "Biarkan aku menyelesaikan ini, Tom.." "Oke, oke, maaf. Apa lagi?" "Mereka memiliki anak. Seorang anak laki-laki." "Tapi aku ingin anak perempuan. Kau akan memberiku anak perempuan, bukan?" Sudut bibirku terangkat dan aku mengulas senyum. Kubayangkan mata biru cerahnya menatapku, lubang hidungnya mengembang dan mengempis, dia berusaha membuatku tertawa. "Apa yang akan kau lakukan?" "Aku tidak tahu. Aku sudah kelelahan. Aku pikir aku akan tidur." "Tidakkah ini terlalu awal?” Aku tidak menanggapinya kemudian Tom menggerutu. Ia akhirnya menyerah. “Oke, oke, kita bicara lain waktu. Sara?” Mataku sudah setengah terpejam. Aku merasa tubuhku ditarik menjauh dari diriku. Cahaya lembut dari lampu di sudut ruangan, berpendar ke segala arah. Cahayanya jatuh tepat mengenai lantai kayu dan karpet merah usang di tengah ruangan. Suara musik dari kamar nomor lima belas teredam oleh teriakan seseorang di pintu depan. Aku memaksakan tubuhku bergerak bangkit. Tanganku menggapai-gapai, mencari pegangan pada dinding di sampingku. Aku berderap maju, merapatkan tubuh ke dinding, mencari-cari. Aku mendengar suara Nate berteriak di belakangku, suara ketukan pintu kayu dari arah depan dan suara-suara musik yang menggema dari kamar nomor lima belas. Aku mengabaikan suara-suara itu, langkah kakiku yang goyah membawaku hingga aku sampai di ruangan sempit berbau apak - kamarku. Aku menyeret tubuhku, menderap naik ke aras kasur kemudian mendengar suara-suara itu lagi. Hal terakhir yang kuingat malam itu adalah wajah Nicole di surat kabar - suara Tom dan seruan Nate. Aku tertidur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD