Lexington, Manhattan, New York City
Rabu, 22 November 2017
--
Pertemuanku dengan Kate hari ini boleh terbilang hadir lebih awal. Aku pergi ke kantor pos pagi tadi sekitar pukul delapan dan menyebrangi perumahan untuk sampai di stasiun. Keretaku tiba tepat waktu dan tidak ada gangguan yang cukup serius sehingga aku hanya butuh waktu setengah jam untuk sampai di City Hall. Beberapa hal yang tidak bisa kupikirkan adalah fakta bahwa Kate telah menungguku di sana. Ia dengan blus putihnya dan jeans pudar yang sama seperti hari Senin. Sebuah tas kecil berwarna hitam mengayun di satu bahunya. Ia tidak mengenakan kacamata atau penutup kepala, tapi aku bisa mengenalinya dari kejauhan.
Kate melambai ke arahku, aku merasakan langkahku mantap ketika berjalan menghampirinya. Itu adalah perasaan teraneh yang pernah kurasakan ketika bertemu orang asing. Aku tidak pernah merasa sedekat dan seyakin ini. Tapi aku telah melihat seluruh gambar wajahnya terpajang di papan merahku, aku telah membaca semua catatan yang mengingatkanku tentangnya dan aku segera tahu kalau dia bukan hanya seorang psikiater muda yang cantik - dia telah menjadi temanku.
Aku ingat aku ingin menunjukkan sebuah tempat padanya. Tiba-tiba aku tahu apa yang ingin kubicarakan. Aku merasa begitu bersemangat, aku merasa begitu normal. Kate dapat menyadarinya. Dia terus tersenyum ke arahku.
Yang membuatku semakin bersemangat, Kate segera menyetujui rencana perjalanan kami kali ini. Kami berjalan bersisian di sepanjang jalur sempit, dia masih mengikutiku bahkan ketika kami harus menempuh jalur terjal yang dipenuhi oleh rumput-rumput tinggi dan liar. Kami menyebrang rel, dan berjalan lebih jauh lagi menuju jembatan kayu kecil. Di sanalah aku berhenti. Aku menatap Kate saat ia memandang ke sekitarnya. Tepat di depan kami, hamparan tanah kosong yang luas terbentang memajang, tak jauh di sana kereta tua bergerak di sepanjang jalur rel dan di belakangnya, ada sungai yang memanjang menuju pusat kota.
Sebuah bangku tua yang telah berkarat menemani kami di tempat kosong itu. Kate dan aku duduk di sana, memandang langit cerah di bulan November. Kami mengobrol, merasakan sapuan hangat cahaya matahari di wajah kami, dan angin kencang yang bertiup dari arah berlawanan. Aku menunjuk ke sebuah pohon besar di ujung, sebuah dermaga yang luas terletak tak jauh di belakang sana. Orang-orang tampak sibuk bekerja menaiki tangki ke atas kapal. Matahari bergerak di sebelah timur, cahayanya mengintip dari dua pohon besar di sana.
Aku melihat Kate tersenyum, selama sesaat ikut merasakan apa yang dirasakannya.
"Aku suka tempat ini. Bagaimana kau bisa menemukannya?"
Aku menatap lurus ke depan, tepat dimana pagar kawat setinggi dua meter di pasang untuk membatasi rel. Sebuah kereta melintas cepat dari sana, aku bisa melihat lampu merah yang menyala-nyala sebagai sinyal, dan aku bisa merasakan bunyi bersedu mesinnya yang berisik saat kereta itu melintasi jejeran rumah bergaya victoria dia sampingnya. Aku menunggu hingga suara bising itu menghilang sebelum menjawab.
"Aku berjalan satu kilometer dari stasiun dan aku menemukan tempat ini. Aku tidak punya tujuan saat itu, aku selalu menghindari keramaian. Itu membuatku sangat terganggu. Jadi ketika aku menemukan tempat ini, aku merasa tenang. Aku hanya suka berada di sini. Terkadang pintunya ditutup oleh petugas, mereka hanya membuka pintunya pada hari-hari tertentu. Aku tidak selalu berada di sini, hanya jika aku perlu datang kesini. Aku suka memerhatikan kereta, aku suka melihat rumah-rumah itu dan aku suka pemandangan dermaga di sana. Ini sebuah tempat buangan yang indah. Tempat ini akan ditutup dalam beberapa bulan. Seseorang berencana membangun sebuah gedung besar disini."
"Apa kau akan mengatakan padaku, apa yang benar-benar menarik tentang semua ini?"
Aku tertegun. Mataku berputar ke arah Kate. Aku segera menyadari kalau dia sedang menatapku. Matanya bulat dan besar seperti yang kubayangkan. Warnanya biru gelap dan ada kilau dari cahaya matahari yang memantul di sana.
"Tidak semua orang memahaminya, tapi aku menyukai suasananya. Aku suka berada di kereta, aku suka memandangi kereta bergerak, aku telah menghabiskan sisa hidupku di sana. Ketika aku berada di kereta, aku selalu menatap rumah-rumah itu.. aku melukisnya dan aku membayangkan keluarga-keluarga yang tinggal di sana. Terkadang aku merasa tidak puas dan aku datang ke tempat ini untuk melihat rumah-rumah itu lebih lama. Ada beberapa hal yang menarik tentang bangunan-bangunan tua itu. Saat aku melihatnya aku selalu ingat Virgina. Di sanalah aku lahir dan di besarkan, kakekku memiliki ladang perkebunan yang besar. Dia seorang petani. Dan ayahku memiliki rumah bertingkat yang terlihat sama seperti rumah itu.." aku menunjuk ke sebuah rumah bercat putih di ujung sana. Sebuah patung dan ukiran batu melingkar di halaman depannya. Pagarnya terbuat dari kayu dan bagian depan terasnya tampak dipenuhi oleh dedauanan kering yang berserakan. Jendela-jendelanya tampak kusam seolah rumah itu sudah lama tidak dirawat. Aku menyakini pemiliknya pasti sudah pergi dan menjual rumah itu.
"Warna catnya putih.." kataku. "Ada kolam di halaman depan, dan ayunan juga pohon besar. Aku, Nick dan ayahku membangun rumah kecil di pohon itu. Itu hanya sebuah tempat sempit yang tersusun dari kayu. Kami sering bersembunyi di sana ketika ibu kami marah.. atau ketika kami diperintah untuk membersihkan kebun.."
Aku tersenyum. Ingatan itu masih terasa segar di otakku. Masa-masa ketika Nick hanya setinggi bahuku. Aku masih mengingat wajahnya yang polos memerah ketika malu. Dia cemberut saat ayah kami menggodanya dan dia akan berteriak ketika aku menjahilinya. Itu sudah lama sekali, tapi aku merasa itu baru saja terjadi kemarin.
".. ada begitu banyak hal yang kulihat dari rumah itu. Aku melihat wajah ibuku yang duduk di beranda. Dia suka memasak kue apel. Pagi hari ketika aku selesai membantu kakekku berkebun, dia selalu memanggil kami. Dia membuat kue paling enak. Aku ingat semua cerita-ceritanya tentang bajak laut tua yang tinggal di laut selama seribu tahun. Aku ingat rak-rak buku di perpustakaan kami. Ayahku sangat menyukai geologi. Dia sering mengajakku ke museum untuk belajar. Aku melihat itu semua dan aku tertarik. Aku merasa dekat berada di sini. Aku ingin kembali ke masa-masa itu dimana aku tidak pernah melupakan segalanya. Aku mengingat orang-orang yang kujumpai, aku tertawa dengan bebas dan tidak ada kegelisahan setiap kali aku tertidur atau ketika aku bangun di pagi hari. Sekarang semuanya berubah. Hidupku sudah berubah total. Tidak ada lagi ayah dan ibu, aku hanya memiliki Nick dan aku tidak bisa mengingat apapun."
Kate masih mendengarkan dengan tenang. Sekilas aku melihat guratan tipis terbentuk di seputar dahinya. Kedua alisnya bertaut saat dia menatapku. Aku mengenali rasa simpati itu. Dokter Lou pernah menunjukkan reaksi yang sama, aku tidak ingat kapan.
"Kau memiliki begitu banyak kenangan untuk diingat," katanya. "Tidak ada yang benar-benar hilang darimu kecuali tentu saja, apa yang terjadi selama beberapa tahun terakhir. Itu masalah serius, tapi itu tidak berarti hidupmu berhenti di sini. Kau memiliki banyak hal di kepalamu yang bahkan tidak bisa kupikirkan, Sara.. semua orang yang hadir dalam hidupmu, kau saksi mata dari kehidupan mereka. Kau suka membayangkan hal-hal indah tentang mereka dan kau membayangkan hal itu karena kau menginginkannya. Aku bisa memahami hal ini. Semua orang melakukan hal yang sama. Semua dari kita selalu berharap hal-hal baik akan terjadi. Bahkan sekalipun itu tidak benar. Dunia menafsirkan apa yang kita inginkan dengan cara yang berbeda, terkadang dengan cara yang tidak bisa kita mengerti, tapi pada intinya selalu ada rahasia yang ditakdirkan untuk kita."
Kata-kata itu menggema di kepalaku, aku mengingat setiap kata dengan baik dan merekamnya. Aku bisa merasakan udara sejuk di bawah langit November sembari mendengar deru mesin kereta yang bergerak di atas rel panjang menuju Manhattan. Aku merasakan Kate berada di sampingku, mendengar semua yang dikatakannya dan merasa kegelisahanku perlahan terkikis. Ia selalu telah mengisi kekosongan dalam diriku, membuat dunia terasa nyata di depan mataku.
Aku ingin berada lebih lama di sana, bersama Kate, memandang kereta yang bergerak cepat melewati kami, menatap jejeran rumah bergaya victoria, membayangkan seseorang muncul di balik pintu-pintu prancis itu. Aku suka melihat dahan pohon bergerak tertiup angin, daun-daun yang gugur, juga aroma dermaga yang terletak tak jauh di sana. Aku membayangkan diriku duduk di atas pasir putih berselimutkan kaus tipis musim panas. Kali ini seseorang bersamaku. Kate dan aku berjalan di pantai, kami tertawa layaknya remaja berusia belasan tahun, kami bercerita seperti sepasang sahabat yang akrab. Aku ingin kembali hidup normal, aku ingin mengingat Kate – aku ingin mengingat segalanya tanpa harus membaca ulang catatan-catatanku, atau melihat foto-foto yang terpajang di papan merah itu. Aku ingin mengingat semuanya, aku ingin berdiri di tengah keramaian tanpa merasa khawatir. Aku bisa merasakannya sekarang, saat angin lembut membelai wajahku dan sekali lagi, Kate yang berbicara di sampingku. Tiba-tiba segalanya terasa lebih baik.
"Aku punya sesuatu untukmu.." kata Kate. Dia mengeluarkan sebuah alat berbentuk kotak seukuran kepalan tangan dari dalam tas hitamnya kemudian menunjukkannya padaku. Benda itu merupakan sebuah alat perekam suara. Kate menunjukkan cara untuk menggunakannya. Dia menekan tombol merah di sudut kemudian berbicara.
"Hai Sara.. ini Katherine Bernice. Kau bisa memanggilku Kate. Sekarang kita ada di.. aku tidak tahu persis nama tempatnya, tapi tempat ini indah. Ada ladang rumput yang luas, dan rel kereta, dan kita sedang memandangi rumah-rumah tua. Disini juga ada dermaga. Udaranya sangat sejuk. Saat kau terbangun besok, aku ingin kau mengingat momen ini. Kita akan mengingatnya."
Kate menekan tombol off dan rekaman itu berakhir. Ia kemudian menunjukkan tombol untuk memulai ulang rekaman-rekaman sebelumnya. Aku mempelajarinya dengan cepat. Aku masih memiliki banyak pertanyaan tentang alat perekam itu, tapi waktunya habis. Kate pergi sekitar pukul sebelas. Pertemuan kami hari itu berakhir di sana. Sekarang, aku memiliki sesuatu yang akan selalu mengingatkanku tentangnya.
***
Hai Sara.. ini Katherine Bernice. Kau bisa memanggilku Kate. Sekarang kita ada di.. aku tidak tahu persis nama tempatnya, tapi tempat ini indah. Ada ladang rumput yang luas, dan rel kereta, dan kita sedang memandangi rumah-rumah tua. Disini juga ada dermaga. Udaranya sangat sejuk. Saat kau terbangun besok, aku ingin kau mengingat momen ini. Kita akan mengingatnya.
Aku memutar rekaman itu berkali-kali setibanya aku di tempat penginapan. Entah bagaimana, aku suka mendengar suaranya dan aku masih membayangkan suasana di dekat rel itu. Aku bisa merasakan bulu-bulu halus sekujur tubuhku meremang. Kusaksikan jarum jam dinding menunjuk tepat di angka sebelas. Aku telah duduk di dapur selama berjam-jam, menikmati anggurku dan bergulat dengan catatan juga rekaman itu.
Karena penasaran, aku mencoba untuk memulai rekaman baru. Kutelan tombol merah seperti yang diajarkan Kate kemudian ketika lampu hijaunya berkedip, aku berbicara dengan pelan.
Halo, ini Sara, ini malam yang hangat ditanggal 18 November. Aku melakukan perjalanan sepanjang hari bersama temanku, Kate. Kami mengunjungi sebuah lahan kosong di dekat rel. Aku suka menyebutnya Aola. Itu sebuah tempat yang tenang, dimana aku bisa melihat kereta bergerak di atas rel, lintasannya melewati deretan rumah dan.. dermaga. Aku biasa mengunjungi tempat itu dan hari ini berbeda karena untuk pertama kalinya aku mengajak seseorang bersamaku. Ini hari yang indah. Kami berbicara banyak hal.. dan..
Aku tertegun saat merasakan air mataku jatuh. Ingatan itu muncul tiba-tiba dan setiapkali aku mengingatnya, aku akan menangis.
".. aku rasa, aku merindukan ibuku. Di malam yang hangat dia sering mengajakku ke kebun, kami menyaksikan bintang-bintang dan kunang-kunang di pekarangan. Dia akan menceritakan masa kecilnya bersama nenekku dan betapa bersemangatnya aku saat itu. Aku tidak tahu bagaimana harus mengungkapkan perasaanku. Aku rasa aku telah menemukan seseorang yang begitu berarti seperti ibuku. Tidak ada seseorang yang benar-benar mengenalku dan tetap.bertahan, dan.. semoga aku tidak salah, aku harap Kate tidak meninggalkanku. Dia cantik. Dia terlalu sempurna. Aku ingin seperti dia, aku.. aku ingin.." tangisku mulai sesuggukan. Aku merasakan kedua bahuku berguncang. "Aku ingin menjadi dirinya. Aku ingin merasa normal. Aku harap aku memiliki kehidupan seperti itu. Aku berharap.."
--
Seseorang mengetuk pintu kamarku dan aku tersentak di atas kursi. Dengan tergesa-gesa, aku menyembunyikan alat perekam dan semua catatan itu ke dalam laci di kamarku. Aku bergerak ketika suara ketukan di depan pintu semakin keras, dan aku sudah bisa menebak siapa yang datang.
Nick muncul di ambang pintu dan masih berseragam lengkap. Wajahnya tampak kusam dan kelelahan. Ia bukan lagi anak laki-laki yang berteriak saat aku menjahilinya. Ia adalah laki-laki bertubuh besar yang tingginya bahkan melebihiku. Ketika Nick berjalan melewatiku di ambang pintu, aku merasa begitu kecil dan rapuh jika dibandingkan dengannya. Dia bergerak ke arah sofa di ruang tengah dan mengedarkan pandangannya ke sekitar.
Aku menutup pintu di belakangku, tiba-tiba merasa gelisah saat dia menatapku.
"Siapa itu?" tanyanya. Aku menggigit bibirku dan menyaksikan ketika Nick memutar kunci mobil di tangannya.
"Sara?!"
"Bukan siapapun."
"Tidak, aku mendengarmu bicara dengan seseorang.." Nick tampak bersikeras. "Kau selalu melakukan itu."
"Bukan siapapun. Kau salah dengar."
Nick hendak mengelak kemudian ia mengangkat kedua tangannya sebagai tanda menyerah. Laki-laki itu bergerak ke arah dapur dan memeriksa sejumlah pesan telepon yang masuk. Nick mengeluarkan s**u kotak dari dalam lemari pendingin dan seketika pergerakannya terhenti begitu ia melihat sisa anggur yang kuletakkan di sana. Nick mengangkat botol itu di depan wajahku.
"Apa ini?"
"Aku bisa menjelaskannya.. itu.. itu milik Nate. Dia datang dan menginap semalam."
Setidaknya aku tidak berbohong untuk yang satu itu. Nate memang menginap semalam karena pagi tadi aku melihatnya tertidur di atas sofaku. Dia tampak kelelahan sehingga aku harus membangunkannya.
"Jangan berpikir aku bodoh, Sara. Aku tahu ini milikmu."
Aku membisu, Nick berdecak kemudian mendekatiku. Ia baru berjalan beberapa langkah ketika ponselnya kembali berdering. Aku bisa merasakan oksigen kembali mengisi paru-paruku. Selama sesaat aku merasa lega ketika Nick bergerak menjauh untuk menerima panggilan telepon.
Laki-laki itu hanya menetap selama lima belas menit untuk mengganti beberapa resep obat terbaru dari dokter Lou. Nick menjelaskan padaku jenis obat yang harus kuminum dan agar aku tidak melupakannya, ia menulis catatan kecil di atas botol obat bermerek Saphris itu.
Setelahnya, Nick pergi untuk memenuhi panggilan tugas. Aku merasa sedikit lega setelah Nick pergi. Aku menutup rapat pintu kamarku dan berjalan ke arah kaca jendela yang terbuka. Aku mengeluarkan alat perekam itu dari dalam laci, mendekapnya erat sembari mendengar suara yang keluar dari sana. Rekamanku hanya berdurasi sekitar tiga menit, rekaman suara Kate lebih pendek dari itu, tapi aku suka mendengarnya. Aku memutarnya berkali-kali hingga aku tertidur.
--
Beritahu saya tanggapan kalian..