#Almeira
Sudah tiga hari ini, baik Ayah maupun Ibu nggak ada yang bisa menjemputku di sekolah. Senang banget lah, bisa nebeng mobilnya Daka. Hitung-hitung memperdalam teknik menyetirku. Dengan senang hati Daka mengizinkanku untuk mengemudikan mobilnya. Dia bisa duduk manis sambil memainkan ponsel seri terbaru di tangannya. Dapat juga akhirnya tanpa perlu melengserkan seri lamanya kepadaku.
"Ai, jangan tekan tombol itu," tegur Daka sambil menepis jariku yang hendak menekan tombol dekat roda kemudi.
"Lo tekan tombol itu sinyal GPS-nya langsung nge-link ke laptop bokap. Gue tadi bilangnya mau ekskul dulu, bisa dipenggal ini kepala kalo ketahuan ngelayap bukannya ekskul."
Aku terbahak. "Ada takutnya juga lo," cibirku. Daka tak perduli.
"Thanks ya, Ai," Daka menyerahkan sekantong plastik cokelat permintaanku waktu itu kalau mau mengerjakan tugasnya.
"Unch...unchh....baek banget Kaka." Aku menerima dengan senang hati lalu membuka satu bungkus cokelat. Daka hanya tersenyum menatapku.
"Gue sering banget mgerepotin elo ya, Ai." Tiba-tiba Daka seperti menyadari satu hal.
"Lo boleh minta gue ngerjain tugas apa aja, asal lo jangan suruh gue ngerjain tugas muatan lokal yang sarat akan gambar menggambar," Aku memajukan kedua bibirku. Daka tertawa.
"Otak kanan lo kan nggak berkembang, jadi anti seni banget hidup lo!"
Aku semakin manyun. Memang benar kata Daka. Mungkin karena itulah Ibu agak sebal padaku, karena aku sama sekali tidak mewarisi bakat seni menggambar seperti Ibu. Jangankan menggambar bagus, bikin garis lurus aja aku nggak bisa. Huft...
Hari ini aku malas langsung pulang ke rumah. Ibu sudah tiga hari ini juga ada acara peragaan busana di luar kota. Akhirnya aku mengajak Daka mengunjungi yayasan milik Mamanya. Nama yayasannya Anandara Foundation. Diambil dari nama adiknya Daka yang meninggal di kandungan.
Anandara foundation selalu ramai, banyak anak-anak kecil di sana. Meski mereka berkebutuhan khusus dan berbeda dari anak normal pada umumnya, tapi mereka anak-anak istimewa. Dulu aku sering menghabiskan waktu di tempat itu. Tante Kiara dengan senang hati merawatku sekaligus Ganesha dan Daka. Aku merasa Anandara Foundation rumah kedua. Bahkan aku lebih nyaman berada di samping tante Kiara daripada Ibuku yang selalu menghabiskan waktunya untuk dunia fashion. Mungkin bagi ibu, aku hanya benang-benang sisa di setiap hasil karya ibuku yang seorang desainer terkemuka itu. Nggak ada penting-pentingnya sama sekali.
Di antara kami bertiga, Ganesha yang banyak menghabiskan waktunya, bermain sekaligus belajar di yayasan itu. Saat aku dan Daka masuk sekolah umum, Ganesha tetap melanjutkan pendidikannya di tempat itu. Ganesha salah satu anak istimewa yang dimiliki oleh Anandara Foundation. Fyi, aku dan Ganesha itu beda empat tahun lebih, tapi kami bisa bersahabat layaknya anak seumuran. Sekarang Ganesha melanjutkan pengabdiannya dengan membantu Tante Kiara mengelola yayasan juga mengasuh anak didik yang ada di yayasan ini.
"Assalamualaikum," salamku saat memasuki ruang kerja Tante Kiara.
"Walaikumsalam. Hei, ayo masuk. Apa kabar, nduk?" sapa tante Kiara seraya mencium kedua pipiku.
'Nduk' itu kependekan dari kata 'genduk', sebutan untuk anak perempuan dalam bahasa Jawa. Tante Kiara memang selalu memanggilku dengan sebutan itu. Dan aku suka dipanggil seperti itu. Daripada ibuku yang cuma panggil Ai-Aira. Nggak ada sayang-sayangnya.
"Gimana sekolahnya? Lancar aja, nduk?"
"Lancar, Tan."
"Daka masih sering nyogok kamu buat ngerjain tugas-tugas dia?"
Aku cuma nyengir.
"Sekali-kali kamu harus bisa tegas nolak dia. Daka itu udah ketergantungan banget loh sama kamu dan Ganes."
"Iya, Tan. Tapi kasian aja ngeliatnya kalo udah melas-melas gitu."
Tante Kiara tersenyum lembut mendengar jawabanku. Setelah ngobrol sebentar aku pamit untuk menemui anak asuh Tante Kiara.
"Ganes belum datang ya, Tan?" tanyaku sebelum meninggalkan ruangan tante Kiara.
"Belum. Kemarin chat katanya besok berangkat dari Bali."
Aku mengangguk paham lalu melanjutkan langkahku. Kulihat Daka sedang sibuk memainkan ponselnya di sebuah bangku taman. Daka ya gitu, cuek banget sama Mamanya. Padahal aku tuh mengidolakan Tante Kiara. Berharap Ibuku bisa punya banyak waktu untuk anaknya seperti tante Kiara tiap kali ke tempat ini, Daka pasti cuma sibuk dengan ponselnya. Entah main game ataupun sibuk sama sosmednya. Daka itu penggila media sosial, aktiv di semua media sosialnya, dia juga suka bikin vlog, merekam keseharian dan kegiatannya sehari-hari trus di posting di media sosial.
"Lo jadi ikut ekskul pecinta alam, Ai?" tanya Daka saat aku sudah mendaratkan b****g di bangku taman.
"Iya dong jadi. Lo janji harus bantu gue!"
"Ah...elah, males banget Ai." Pundak Daka turun, menandakan kalau dia memang malas.
Daka lalu menyodorkan ponselnya kepadaku. Ada foto cewek berambut pendek sedang tersenyum manja di layar ponselnya. Aku menatap malas lalu mendorong ponsel dari hadapanku.
"Cuma bilang iya doang, kalau lo ditanya ortu gue apa ikut PA juga."
Daka nggak menggubrisku. Dia terus saja asyik dengan ponselnya.
"Dakaaa...dengerin gue...ich!" Aku merajuk lalu duduk bersendekap.
"Iya...iya. Trus kalo elo kenapa-kenapa pas acara di hutan belantara, ternyata guenya nggak ikut gimana?" tanya Daka lalu menyimpan ponsel di saku kemeja seragamnya. Daka duduk bersila menghadap padaku.
"Emmhh... Gimana kalo elo ikutan PA juga? Seru loh, Ka."
"Males. Nggak ada cewek cakepnya gitu yang ikut PA. Udah gue seleksi kemarin."
"Modus aja terus!"
Aku serta merta menoyor kepala Daka. Cowok itu cuma nyengir kuda.
"Namanya juga usaha," jawabnya sambil tertawa.
"Sherine noh tanpa usaha."
"Jijik. Mending gue jomlo seumur hidup dah."
Aku terbahak mendengar jawaban Daka. Kedua tanganku lalu mengacak rambut Daka. Dia ngga marah digituin. Malah kesenengan.
"Jijik, jijik entar lo suka beneran loh!" godaku, tapi Daka nggak menggubris. Dia kembali meraih ponsel tadi. Daka dan ponselnya, sama kayak cewek dan cermin ajaibnya.
Daka benar-benar nggak suka kalau sudah digoda soal Sherine. Aku sendiri nggak pernah tahu sampai sekarang, ada masalah apa dia sama Sherine, sampai bikin Daka seolah takut ketularan virus penyakit menular kalau dekat-dekat dengan cewek itu.
>
>
>
#Ganesha
Hari ini adalah hari terakhir saya di tempat ini. Bagi saya, tempat ini bukan sekadar tempat kelahiran, tapi pulau ini jiwa dan jati diri saya. Rasanya ada sebagian nyawa yang hilang setiap kali akan berpisah dengan pulau ini. Ketika telapak kaki berpijak pada pasir pantainya, rasanya enggan untuk beranjak. Momen seperti ini yang akan saya rindu, karena tidak saya temukan di Jakarta dan Bandung.
Sebenarnya saya sangat ingin menetap lebih lama lagi di Bali. Meneruskan sanggar seni milik Bapak--kakek dari pihak Mama. Tapi Tante Kiara sudah menunggu kedatangan saya untuk mengurusi yayasan miliknya. Banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan. Anak didik saya juga sudah tidak sabar menunggu kedatangan gurunya. Rumah kreatif juga sudah menanti karya-karya saya. Saya sudah berkomitmen untuk itu semua.
Alasan saya kali ini pulang ke Bali karena Bapak sakit keras. Beliau menginginkan saya untuk ada di sampingnya di akhir hayatnya. Saya pun dengan setia menemani beliau sampai akhir hayatnya. Papa, Mama dan Bathari--adik perempuan saya--sampai di Bali saat Bapak sudah mengembuskan napas terakhirnya.
Kehilangan Bapak seperti ada ruang kosong di hati ini. Saya menyayangi sosoknya. Beliau yang selalu membimbing dan mengajarkan banyak hal tentang Agama kepada saya.
Almeira: jadi blk hari ini?
Me: kalau besok aja gimana?
Almeira: ke laut aja lo!!!
Me:
Almeira: besok gue latihan trus jemput elo di bandara. Daka gue setrap. Rese abis dia. Kmaren udh bkin gue telat.
Me: kasian banget.
Almeira: udh takdirnya begitu
Me:
Almeira: ketawa mulu lo!
Me: drpd cengeng. Kayak kamu.
Almeira: yeah suka2 elo deh bro.
Me:
Saya mengakhiri chat dengan Aira. Karena harus segera menyiapkan segala keperluan untuk ke Jakarta.
Mama: dari bali langsung ke rumah ya sayang.
Chat dari Mama membuat saya harus menghentikan aktifitas mengepak pakaian ke dalam koper. Ujung tempat tidur saya jadikan pilihan untuk duduk dan memikirkan jawaban apa yang harus saya sampaikan.
Me: ke yayasan dulu. Bnyk kerjaan
Sebenarnya saya rindu pada perempuan paling cantik dalam hidup saya itu. Tapi semua tak lagi sama saat Opa--kakek dari pihak Papa--menghardik lalu memaki saya karena mengajarkan isi kitab Weda pada Bathari. Bukan saya yang berinisiatif, tapi Bathari yang memaksa. Mama bukannya membela malah ikut memojokkan tanpa mendengarkan penjelasan saya terlebih dahulu. Saya paham, Mama memang selalu berusaha menjadi yang terbaik di depan Opa, kalau bisa tanpa salah, tapi tidak dengan mengorbankan saya jugalah.
Kata Bapak, itulah resiko jika dalam keluarga terdapat keberagaman keyakinan. Namun hal itu tetap indah kok menurut saya. Saya selalu ikut senang ketika melihat Bathari dengan semangat menghias pohon natal di rumah, kadang saya menggendongnya saat dia ingin meletakkan hiasan pada puncak pohon natal, tapi tangannya tidak sampai. Ah, sudahlah. Mungkin waktu yang akan mendamaikan perasaan saya. Setelah itu baru memutuskan kapan akan pulang ke rumah orang tua saya.
---
^vee^