Penolakan Keras

1464 Words
Pak Ihsan sedang berada di teras balkon, kedua tangannya memegang secangkir kopi yang masih mengepul asapnya, sementara matanya menatap tajam ke arah mobil yang baru saja berhenti di halaman rumahnya. Pengemudi mobil itu belum turun tapi beliau tahu orang yang ada di dalamnya. Beliau pun sengaja tidak beranjak dari tempatnya berdiri karena enggan bertemu tamunya. Beberapa saat kemudian suara sang istri memanggil. Memintanya agar segera turun ke ruang tamu untuk menemui Elard. Ya tamunya pagi ini adalah Elard. Pria yang telah menyakiti putri bungsunya dan mempermalukan keluarga besarnya. Karena pria itu juga beliau harus terpisah dengan putrinya selama bertahun-tahun hingga harus ikut pindah ke Jogja. “Papa kenapa, hm?” tanya Bu Indira. Kedua tangannya memeluk pinggang sang suami dari belakang, meski tak ada jawaban beliau dapat merasakan jika tubuh suaminya menegang, pertanda sedang menahan amarah. Pak Ihsan belum bisa memaafkan kesalahan yang diperbuat Elard. Meski hubungannya dengan keluarga Al-Fathan sudah membaik. “Suruh saja pria itu pergi. Papa sibuk—” “Pa, temui saja sebentar. Nggak sopan membiarkan tamu menunggu lama.” “Adek masih di kamarnya?” “Iya, dia sedang menonton drakor sambil ngemil.” “Jangan beri tahu jika Elard datang!” Bu Indira menganggukkan kepala yang menyandar pada punggung tegap sang suami. “Asalkan Papa mau menemui Elard sebentar.” Pak Ihsan meniup kopi yang masih panas, menyesap perlahan, lalu memejamkan kedua matanya. Merasakan sejenak kopi pahit tanpa gula yang diteguknya. Kemudian Pak Ihsan mengajak istrinya untuk turun. Menemui mantan calon menantunya. Sejak awal beliau kurang suka dengan Elard, namun ada hal yang membuatnya berubah pikiran, hingga memberi restu putri bungsunya menikah dengan pria itu. “Selamat pagi, Om—” Elard berdiri dari tempat duduknya untuk menjabat tangan si empunya rumah. Bu Indira yang mengulurkan tangan karena suaminya enggan melakukannya. Malah mendaratkan bokongnya pada sofa. “Selamat pagi, Nak. Silahkan duduk,” ujarnya dengan sopan. Elard berusaha tersenyum meski sudut hatinya terasa nyeri. Dia memang pantas menerimanya namun perasaannya tak bisa dibohongi. Diperlakukan seperti sampah oleh keluarga Kalila membuatnya sakit hati. Apa boleh buat? Elard harus membuang jauh-jauh egonya. Tujuannya ke Jogja untuk memperbaiki hubungan dengan Kalila. Jika, baru selangkah dia menyerah mungkin selamanya gadis itu akan menghilang dari kehidupannya. “Saya boleh bertemu dengan Lila, Om Tante?” “Tidak boleh!” “Maaf ya, Nak Elard. Saat ini Lila sedang istirahat.” Jawaban Pak Ihsan dan Bu Indira berbeda jauh. Satu kasar dan satunya lagi lembut. Sementara Elard hanya bisa menghela nafas pasrah. “Ada pekerjaan yang harus saya tanyakan padanya. Saya mohon beri waktu sebentar untuk bertemu. Hanya sepuluh menit tidak akan lebih.” “Kamu paham artinya ‘Tidak boleh’ itu apa?” “Iya, Om.” “Lalu kenapa masih berniat mengganggu putri saya? Apa selama empat tahun ini kamu belum puas membuatnya menderita?” Tiba-tiba Bu Indira menundukkan kepalanya. Matanya terasa panas ketika teringat penderitaan yang ditanggung oleh putrinya. Gadis kecil yang selalu ceria itu berubah menjadi pendiam. Takut bertemu keluarga besar dan memilih mengasingkan dirinya ke luar kota. Empat tahun bukan waktu yang sebentar. Hari-harinya dipenuhi dengan ketakutan, kecemasan dan ketidakpercayaan diri. Orang tua dan saudaranya pun tak mampu membuatnya menjadi Kalila seperti semula. “Pulanglah! Jangan temui Kalila! Susah payah dia menata hidupnya kembali. Tolong jangan dibuat hancur berantakan lagi,” putus Pak Ihsan tak mau didebat. Bu Indira hanya bisa mengangguk-anggukan kepala. Air matanya telah mengalir deras pada kedua pipinya. Beliau memutuskan pindah ke Jogja takut putrinya berhubungan lagi dengan Elard. “Maafkan saya, Om Tan. Niat saya kembali menemui Lila bukan untuk menyakitinya. Saya hanya ingin memperbaiki kesalahan empat tahun yang lalu.” “Nyatanya kamu membuatnya terluka. Sudahlah, jauhi putri saya. Tidak perlu memperbaiki sesuatu yang sudah hancur lebur. Hubungan kalian sudah berakhir setelah kamu menikahi wanita itu.” Tanpa ketiganya tahu Kalila tengah menguping dibalik penyekat ruangan. Gadis itu terdiam ketika tahu tujuan Elard datang ke Jogja. Ternyata bukan murni ingin membantu perusahaan Kalelard yang ada diujung tanduk kebangkrutan melainkan untuk mendekatinya. Dadanya terasa sesak saat mendengar isakan sang mama. Salah satu alasan Kalila pindah ke Jogja yaitu tak kuat melihat Mamanya menangis. Dan, Elard kembali membuat wanita yang teramat dicintainya itu mengeluarkan air matanya. Kedua tangannya mengepal kuat. Kemudian Lila keluar dengan memasang wajah ceria agar semua orang tak mengkhawatirkan keadaannya. “Selamat pagi, Pak Bos— ada apa sepagi ini berkunjung ke rumah sekretarisnya?” “Adek,” tegur Pak Ihsan. Tidak suka melihat kedatangan putrinya. “Kembalilah ke kamarmu!” titahnya tak mau dibantah. Kalila duduk diantara Papa dan Mamanya, kemudian memeluk lengan cinta pertamanya, bergelayut manja karena tengah merayu Papanya agar tidak marah. Sedangkan Bu Indira bergegas menghapus air matanya menggunakan tisu. Takut putrinya melihatnya menangis. Padahal Lila pura-pura tidak tahu supaya Mamanya puas mengeluarkan rasa yang mengganjal dalam hati. “Biarkan Lila menyelesaikan tanggung jawab. Selain menjadi sekretaris Pak Elard, aku juga masih menjabat sebagai Tim Legal perusahaan, jika tiba-tiba resign gak enak sama Eithan,” terangnya dengan suara lembut. “Adek sedang sakit. Alangkah baiknya tetap berada di rumah dan jangan keluyuran dengan pria tak jelas,” jawab Pak Ihsan. Kalila tidak akan menyerah. Tujuannya memaksa ikut dengan Elard selain ingin menyelesaikan pekerjaan juga ingin membalas perbuatan Viona. Jidatnya yang mulus harus dijahit, setiap hari harus makan makanan sehat dan terkurung dalam rumah besar nan mewah milik orang tuanya. Semua itu karena ulah siluman ular putih. “Papa taku ‘kan Lila tidak bodoh,” bisiknya di sebelah telinga Pak Ihsan. “Rencana yang Papa buat semalam akan Lila lakukan hari ini.” Pak Ihsan melirik putrinya, setelah itu menganggukkan kepala tanda setuju. “Pergilah. Tapi ada syaratnya—” “Siap laksanakan semua syarat yang Papa Love ajukan,” jawab cepat gadis itu. Akhirnya, Elard berhasil membawa pergi Kalila. Namun mereka harus terpisah karena Pak Ihsan memberi syarat putrinya diantar supir dan dijaga seorang bodyguard. Mantan Sialan “Kita sarapan dulu ya. Perutku lapar, kemarin lupa makan.” Kalila berdecak kesal. Elard sering telat makan padahal bekerja terlalu keras. “Mana ada sih manusia normal lupa makan selama sehari? Paling nggak ngemil keripik pisang kek, donat kek, tokek kek— eh kok malah ngelantur,” omelnya. Bukannya membalas pesan Kalila malah mencak-mencak di dalam mobil. Melihat Nonanya kembali bawel seperti dulu membuat supir dan bodyguardnya tersenyum. Keduanya menjaga Kalila sejak gadis itu diangkat anak oleh Pak Ihsan dan Bu Indira. (Kisah mereka berjudul ‘Ibu Tanpa Rahim’) “Cari sarapan ya Pak,” ujar Kalila. “Non Lila mau sarapan dimana?” tanya Pak supir, bernama Pak Hendi. Damar tahu betul jika Nonanya masih mengkhawatirkan keadaan mantan tunangannya. Hal itu membuat dia mengdengkus tak suka. Sebagai tangan kanan Pak Ihsan, dia selalu melakukan apapun yang menjadi tugasnya, termasuk menjauhkan Nonanya dengan pria itu. “Umurnya sudah 34 tahun seharusnya bisa mencari sarapan sendiri. Apalagi uangnya banyak. Tinggal pilih restoran paling mewah yang ada di Jogja,” sindir Damar. “Om Damar kok gitu sih,” jawab Kalila. “Pria itu pura-pura tidak makan hanya untuk menarik simpati Non Lila. Buat apa dikasihani?” Kalila tidak bisa membantah Damar, meski ucapannya pedas dan wajahnya jutek, dia adalah kesayangan gadis itu. Saat Kalila berniat meninggalkan Jakarta Damar yang membantu. Karena Papanya menentang keras keputusannya. Namun, Kalila nekat pergi atas bantuan bodyguard-nya. Hingga, Damar dihajar sampai masuk rumah sakit akibat patah tulang oleh Ihsan Dirgantara dan kedua menantunya. “Yaudah deh. Gak jadi cari sarapan. Langsung ke tempat tujuan saja Pak Hendi.” “Siap, Non.” Elard : “Lila, kepalaku pusing lagi—” Kalila : “Berhentilah di minimarket. Belilah roti dan air putih. Makan selama dalam perjalanan!” Elard : “Aku belum makan nasi.” Kalila : “Kamu pikir aku warteg? Laper kok ngeluhnya sama aku sih. Aneh!” Elard : “Iya, Lila. Kamu langsung ke Kantor Trisula Textile. Aku akan mampir sebentar ke minimarket untuk membeli roti dan air putih.” Kalila membaca pesan terakhir yang dikirim Elard. Desahan nafasnya terdengar sampai ke telinga Damar. Kemudian dia menoleh ke belakang. “Menyesal menolaknya?” “Dih, kayak enggak ada perjaka di dunia ini,” jawab Kalila dengan berdecak kesal. Damar pun tersenyum. “Bagus. Lebih baik memilih salah satu perjaka yang ditawarkan oleh Bapak.” “Ogah! Memangnya aku ini perawan tua apa? Enak aja main dijodohkan. Tahun depan aku akan menikah dengan pria pilihanku sendiri.” Pak Hendi geleng-geleng kepala. Lalu berkata, “Tahun depan tinggal dua minggu, Non. Memangnya sudah ada incaran?” “Ya belum sih. Tapi aku yakin bakal dapat yang lebih baik dari yang dulu,” jawab Kalila. Keyakinan Kalila sebesar 0,25% soal pernikahan. Hanya Eithan yang selama ini menemaninya. Tak ada pria selain sahabatnya itu. Lalu dengan siapa dia akan menikah tahun depan? Sesumbar sekali gadis itu. Dan, ucapannya barusan telah sampai di telinga Pak Ihsan Dirgantara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD