“Astagfirullah, Astaghfirullah, berilah hamba kekuatan ya Allah—” ujar Dina setelah keluar dari ruang CEO.
Wajah gadis itu terlihat lelah, kantung mata menghitam di sekitar mata, hidung memerah dan bibir kering. Kondisi Dina saat ini bisa dikatakan sangat mengenaskan.
Sebagai teman yang baik Kalila bergegas memberikan air putih agar sahabatnya tidak jatuh pingsan. Kemudian memijat pundaknya yang tegang supaya kembali rileks.
“Gimana hasilnya?” tanya Kalila.
“Pak Elard percaya dengan semua bukti yang aku berikan. Tapi, beliau belum memutuskan siapa yang salah. Soalnya Bu Alya juga punya bukti-bukti yang menyatakan jika aku bersalah.”
“Bukti apa?” Kalila yakin jika bukti yang dimiliki oleh Bu Alya adalah palsu. Karena dia tidak pernah menitipkan kenalan pada HRD Kalelard.
“Bukti bahwa kita sering bertemu sebelum aku bekerja di sini,” jawab Dina.
“Lah, kok bisa? Kita saja baru kenal saat kamu sudah beberapa bulan bekerja di Kalelard. Ada-ada saja kelakuan Bu Alya biar tidak dipecat.”
“Maka dari itu, La. Kayaknya aku yang harus mengundurkan diri deh. Hidup dalam tekanan seperti ini rasanya sangat tidak nyaman. Setiap hari aku disindir-sindir sama staff HRD karena menjadi karyawan titipan.”
“Gak boleh! Kamu harus melanjutkan perjuangan. Lagian sebentar lagi selesai masalahnya. Kamu harus yakin jika kebenaran akan selalu menang. Misal kamu menyerah sekarang terus mau cari kerja dimana? Bukannya Ibu masih harus menjalani operasi. Kalau kamu resign sekarang belum tentu langsung dapat kerjaan.”
Dina menghela nafas lelah, kedua tangannya memeluk pinggang sahabatnya, kepalanya terasa berat karena bermasalah dengan Manajer HRD yang sangat licik dan arogan.
Beberapa saat kemudian, lift terbuka, muncul Keysya dengan wajah cemas dan membawa tumpukan dokumen dalam pelukannya.
Dibelakangnya ada Daniel dengan wajah yang tak kalah cemas dari Keysya. Bedanya dia tidak membawa banyak dokumen. Hanya membawa tubuh gempal penuh lemak.
“Kondisi di dalam gimana?” tanya keysya sebelum mengetuk pintu.
“Lebih parah dari kemarin,” jawab Dina.
Keysya menghembuskan nafas kasar, mengangkat tangannya ke atas dan berdoa, lalu mengetuk pintu ruang CEO.
Ceklek ... suara kunci otomatis terbuka. Pertanda si empunya ruangan mengijinkannya masuk. Gadis itu menoleh kebelakang sejenak untuk meminta semangat pada para sahabatnya.
“Semangat!”
“Kamu pasti bisa!”
“Semangat pokoknya harus semangat!”
Kalila, Dina dan Daniel menyemangati Keysya yang sebentar lagi menghadapi Angel Devil berwajah tampan dan rupawan.
Ketiga langsung menahan nafas saat suara bariton terdengar, Elard meminta salah satu staf keuangannya duduk, tapi perintahnya bagaikan menyuruh karyawannya terjun ke dasar jurang.
“Hembuskan nafas, Gaesss—” ujar Daniel. “Jangan sampai kita mati karena kekurangan oksigen!”
“Hah— rasanya keadaan kantor Kalelard semakin tak terkendali,” keluh Kalila.
“Kamu enggak dapat jatah investigasi. Kita-kita ini yang tiap hari adu manuver dengan para petinggi perusahaan. Mereka yang culas kita yang dapat getahnya,” sahut Daniel.
“Kalian tidak boleh kalah dengan para petinggi yang sudah melakukan fraud. Harus menang meski emosi dan pikiran terkuras habis!” seru Kalila dengan mengepalkan tangan ke atas.
Menunggu cukup lama, akhirnya Keysya keluar dengan wajah penuh air mata, isakan tangisnya bahkan masih tersisa ketika dia duduk di kursi kerja sahabatnya.
Giliran Daniel yang masuk untuk memberikan laporan pada Elard. Dia tidak terlihat membawa apapun karena sengaja untuk mengelabui para musuh. Padahal manajer marketing telah menyiapkan bukti-bukti kecurangan yang telah dilakukan manajer keuangan dan manajer operasional.
“Bismillah ya, Chan—” slogan Daniel saat akan melakukan sesuatu yang penting.
Selepas punggung Daniel menghilang dibalik pintu, Kalila langsung melakukan interogasi pada Keysya, penasaran kenapa sahabatnya itu sampai menangis sesenggukan.
“Pak Elard tidak memberikan pernyataan apapun atas bukti yang aku berikan. Beliau hanya memintaku agar menunggu hasil investigasi tim yang ditunjuknya,” jelas Keysya.
“Sama seperti aku berarti, Sya,” ujar Dina.
Kalila justru berpikir jika para sahabatnya akan selamat dari fitnah. CEO mereka tidak akan gegabah mengambil keputusan. Dan, sejak awal kasus ini muncul yang menjadi terdakwa adalah para petinggi perusahaan.
‘Pasti Elard telah memiliki rencana untuk membasmi para tikus perusahaan,’ kata Kalila dalam hati.
Seperti saat masuk tadi, Daniel keluar pun dengan wajah santai, tak seperti kedua sahabatnya.
Namun wajah tenang dan datar tak bertahan lama. Ketika dia sampai di dekat meja kerja Kalila langsung menangis histeris. membuat ketiga sahabatnya kebingungan untuk menenangkannya.
“Cup ... cup, Dedek Anil gak boyeh angis lagi,” ujar Kalila dengan menirukan suara anak kecil.
Dina dan Keysya menepuk-nepuk punggung Daniel yang berisi lemak. Meminta sahabatnya agar tidak mengeraskan tangisnya. Bisa gawat jika CEO mereka mendengar kegaduhan di depan ruang kerjanya.
Ketika Kalila sibuk menenangkan sahabatnya, panggilan dari Elard membuatnya terlonjak kaget, dia pun bergegas masuk ke dalam ruangan sebelum si paling berkuasa mengeluarkan tanduknya.
“Apa proposal kerjasama yang aku minta sudah siap?”
“Sudah, Pak.”
“Bagus. Siapkan proposalnya sekarang. Lima menit lagi kita berangkat ke tempat meeting.”
“Iya, Pak.”
Sebelum Kalila keluar dari ruangan Elard, kedua matanya tak sengaja melihat kotak makan yang ada diatas meja, kotak itu masih tersusun rapi, pertanda Bos-nya belum menyentuh makan siangnya.
Gadis itu tak berniat mengingatkan karena Elard sudah besar. Jika, perutnya lapar pasti dia akan makan sendiri. Kalaupun tidak bukan dirinya yang rugi.
***
“Saya mau berinvestasi pada Kalelard jika Pak Elard yang memimpin.”
“Terima kasih, Pak. Saya berjanji akan bekerja lebih keras lagi untuk mengembalikan masa kejayaan Kalelard.”
“Sebenarnya Pak Eithan juga berkompeten memimpin perusahaan. Hanya saja kurang tegas. Banyak tikus perusahaan yang dipelihara hingga mampu mendirikan perusahaan sendiri. Ya meskipun belum sebesar Kalelard.”
Pak Handi, pemilik Rumah Mode sepertinya tahu banyak tentang Kalelard. Bahkan bisa tahu di perusahaan tempat Kalila bekerja terjadi korupsi besar-besaran. Dan, pelakunya telah mendirikan perusahaan dari uang hasil melakukan kecurangan.
“Saya sudah mulai membersihkan para tikus itu Pak,” ujar Elard.
“Jika, Pak Elard butuh bantuan saya siap membantu. Saya sudah pernah menawarkan pada Pak Eithan namun beliau menolak.”
“Adik saya memang berhati lembut. Tidak tega melihat kerabatnya menderita.”
Pak Handi mengangguk cepat. Beliau salah satu investor Kalelard yang menarik dananya. Bukan tidak suka dengan Eithan tapi justru menyelamatkannya dari kebangkrutan.
“Hati-hati dengan Bu Alya. Meski beliau seorang wanita dan hanya menjadi Manajer HRD namun otaknya sangat licik. Saya pernah diiming-imingi karyawan terbaik Kalelard jika mau berinvestasi pada usahanya.”
‘Benar dugaanku. Elard telah membuat rencana. Dia pun telah mengantongi nama-nama pengkhianat perusahaan. Kinerjanya tidak perlu diragukan lagi,” gumam Kalila dalam hati.
Elard memijat pangkal hidungnya setelah kepergian Pak Handi. Kepalanya tiba-tiba berdenyut dan penglihatannya kabur sehingga tak mampu melihat ke sekeliling dengan baik.
Melihat keanehan dari Bos-nya, Kalila langsung berpindah duduk di sebelahnya. “Pak Elard kenapa?”
“Tidak apa-apa. Hanya sedikit pusing,” jawab Elard.
“Aku pesankan air hangat ya Pak.”
“Jangan—” Elard menarik lengan Kalila saat gadis itu akan beranjak dari kursi. “Sebentar lagi pusing yang aku rasakan akan segera mereda,” ujarnya kemudian.
Kalila mengambil dua buah donat salju dari dalam tasnya. Kemudian memberikan pada Elard. Meminta Bos-nya supaya memakan roti itu sebagai pengganjal perut.
“Terima kasih,” ucap Elard.
Bibir tipis Kalila ingin mengeluarkan omelan tapi dia masih bisa menahannya. Yang dia hadapi sekarang bukan Eithan melainkan sang kakak.
Jika sahabatnya sudah habis diberi ceramah panjang karena membiarkan perut dalam keadaan kosong. Padahal sudah dikirim makanan oleh Bunda. Apa susahnya tinggal makan? Paling membuang waktu tak lebih dari 20 menit.
“Jangan menggerutu dalam hati Lila!”
Kalila mendengkus kesal, kemudian kembali ke tempat duduknya semula setelah memberikan roti kesukaannya pada Elard. “Kita langsung pulang atau balik ke kantor Pak?”
“Kamu boleh pulang lebih awal.”
“Terus Bapak?”
“Aku akan kembali ke kantor. Ada beberapa laporan yang harus aku periksa secepatnya.”
“Pulang saja sih. Lagipula kondisi lagi nggak baik gitu. Bapak itu manusia bukan robot.”
Akhirnya yang ditahan-tahan oleh Kalila keluar juga. Kesal dengan sikap keras kepala Elard.
Sedangkan yang diberi omelan malah senyum-senyum tidak jelas. “Aku sudah terbiasa bekerja seperti ini Lila. Menurutku mengambil alih Kalelard terlalu santai kerjaannya. Lebih sulit mengurus perusahaan pusat,” jelas Elard.
“Baiklah kalau begitu aku yang akan mengantar Bapak kembali ke kantor.”
Kalila meninggalkan Elard lebih dulu karena akan membayar semua minuman dan makanan ringan yang dipesan. Setelahnya, meninggalkan cafe dan menuju ke arah mobil yang berada di parkiran.
Gadis itu telah duduk di balik kemudi. Sedang menunggu kedatangan Elard yang baru selesai memakan donat salju dan meminum jus alpukat pesanan sang sekretaris.
Brak ... Brak ... suara tendangan dari bagian belakang mobil terdengar cukup keras. Kalila langsung menoleh ke belakang. “Dih, dia lagi,” gumamnya kesal.