Ardan menitikkan air mata, mengingat pertemuan pertama dan terakhirnya dengan istri kedua dari kakak laki-lakinya. Dia hanya pernah melihatnya sekali, dan hanya pernah menyalaminya sekali saat mereka berdua menikah, itu saja. Dadanya terasa sakit, terbersit penyesalan di hatinya. Seandainya saja saat itu, dia bisa meluangkan waktu lebih banyak dan berbicara lebih banyak pada kakak iparnya.
''Ibu Aisyah, istri Pak Arga meninggal di tempat kejadian perkara, tapi anak dalam kandungannya berhasil di selamatkan'' ujar dokter memberitahu sesuatu yang membuat Ardan terkejut.
''Anak?!'' seru Ardan terpekik kaget.
''Benar pak, Ibu Aisyah sedang mengandung. Anak kembar, usia kandungannya sudah cukup bulan'' dokter menjawab dengan wajah semringah.
''Di mana anak-anak itu sekarang Dok?'' tanya Ardan dengan sangat bersemangat.
''Ada di ruang NICU'' jawab dokter itu dengan wajah sedikit memelas.
''Bagaimana keadaan mereka dok?'' tanya Ardan cemas.
''Masih dalam pantauan. Pak Arga juga harus segera di pindahkan ke ruang ICU'' jawab dokter itu menjelaskan.
''Kalau begitu pindahkan saja, jangan khawatirkan biaya!'' seru Ardan, ''Saya bisa menanggung semua biayanya'' lanjutnya dengan penuh percaya diri.
''Baiklah Pak Ardan. Tapi, sebelumnya ada yang harus Pak Ardan ketahui dan pahami terlebih dahulu'' ujar dokter itu dengan wajah sangat serius dan berhati-hati dalam berbicara.
''Apa itu dokter?'' tanya Ardan dengan wajah semakin pucat.
''Kondisi Pak Arga'' jawab dokter itu singkat.
Ardan diam, dia menatap dokter yang bicara dengannya dengan seksama. Dari apa yang di lihatnya tadi dan juga ekspresi dokter sekarang. Ardan dengan sangat berat hati, akhirnya pasrah dan menyiapkan hatinya. Firasatnya sudah bisa merasakan adanya hal buruk yang terjadi pada kakak laki-lakinya.
Walau begitu dia tetap saja manusia biasa yang selalu ingin menepis hal buruk yang ada di pikirannya. Dia masih sangat berharap kalau kakaknya bisa selamat dan melewati ini semua.
''Maafkan saya Pak Ardan... Kami para dokter hanya manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Tanpa bermaksud melewati kuasa Tuhan, maaf, kalau saya harus mengatakan ini'' ujar Dokter itu dengan wajah serius, ''Pada penilaian kami, tim dokter yang menangani kondisi Pak Arga. Pak Arga akan sangat sulit untuk melewatinya... Kemungkinan besar, Pak Arga akan sangat sangat sulit untuk bisa melewati malam ini'' lanjut dokter itu sangat berhati-hati dengan kata-katanya. ''Jadi saran kami, dengarkan apa pun yang jadi permintaan Pak Arga... Karena bisa jadi itu adalah permintaan terakhirnya... Hanya itu yang bisa kami katakan, maafkan kami. Kami telah memberikan usaha terbaik yang bisa kami lakukan semaksimal mungkin'' tambah dokter itu dengan wajah teduh, sambil melihat reaksi Ardan.
Terasa kering darah di dalam tubuh Ardan, wajahnya pucat pasi, kakinya serasa tidak mampu berdiri tegak. Ardan kecewa sekaligus menyesal, mendengar ucapan Dokter yang mengatakan sudah tidak ada lagi harapan hidup untuk kakak lelakinya. Berbagai kenakalan yang pernah dibuatnya semasa kecil hingga dia dewasa, semua tumpang tindih terbersit di pikirannya. Kakak lelaki yang telah membesarkannya sendirian, tanpa orang tua semenjak Ardan berusia delapan tahun akan segera pergi meninggalkannya.
**
TOK TOK TOK
Terdengar bunyi ketukan pintu di rumah sederhana tradisional bergaya Banten yang berbalut dengan sentuhan modern.
''Assalamu alaikum...''
Salam terdengar setelah bunyi ketukan pintu.
''Wa alaikum salam wr wb''
Terdengar suara perempuan menjawab salam dari dalam rumah, dia dengan segera berlari menuju pintu ruang tamu menyambut tamu yang datang.
''Iya...'' ujar Aruna ramah sambil membuka pintu.
Wajah Ardan sendu menatap wajah gadis belia yang sekarang telah jadi yatim piatu. Aruna memandang wajah pria asing yang datang dengan penuh selidik dan tanya karena dia tidak mengenalinya. Aruna tidak membuka pintu dengan lebar dan menahannya sedikit, dia bersikap waspada karena tidak mengenali pria yang datang di sore hari itu menjelang Maghrib.
''Kenapa enggak dibuka?'' tanya pria itu mengernyitkan dahi, ''Lu ngalangin... 'Kan gue jadi enggak bisa masuk'' keluh pria itu kemudian.
''Maaf... Bapak siapa ya?'' tanya Aruna sambil mengerutkan dahi, berusaha sesopan mungkin. Padahal dia kesal dengan tingkah tidak sopan tamu di depan pintu rumahnya, begitu pikir Aruna.
''Gue Ardan'' jawab Ardan singkat.
''Maaf... Cari siapa?'' tanya Aruna lagi, masih berusaha mempertahankan sikap sopannya pada orang yang lebih tua.
''Cari Gavin'' jawabnya lagi singkat.
''Gavin enggak ada, lagi keluar'' sahut Aruna menanggapi.
''Ini!... Kenapa ngomong di luar sih?! '' seru pria itu bertanya dengan nada sedikit tinggi, ''Biarin gue masuk dulu!'' ujarnya lagi memerintah.
''Maaf... Enggak bisa pak'' tolak Aruna tegas, ''Saya enggak kenal bapak'' ujarnya lagi menambahkan.
Aruna tidak mau mengatakan kalau dia sedang sendirian di rumah. Dia takut kalau orang asing ini bertindak nekat kalau tahu dia sedang sendirian.
''Gue Ardan! Masa' lu enggak inget sih...'' seru pria itu meyakinkan, ''Coba... Biarin gue masuk dulu, gue ada perlu penting juga sama elu'' lanjutnya lagi, terdengar dia mulai kesal karena tidak di ijin kan masuk.
''Enggak bisa!'' seru Aruna lagi dengan sangat tegas kali ini, ''Bapak enggak boleh masuk. Bapak itu 'kan tamu, harus bersikap sopan!'' seru Aruna lagi, dengan tegas dia menghardik Ardan.
''Ampun ini anak!'' seru Ardan tepuk jidat di dalam hatinya, ''Gue Ardan...'' ujar Ardan sedikit menekan suaranya tapi berusaha ramah, ''Kita 'kan udah pernah ketemu waktu abang gue ngawinin emak lu'' jelas Ardan kemudian.
Ardan mulai kesal dengan sikap Aruna karena dia bukan hanya sudah sangat lelah karena dia sendiri belum tidur beberapa hari ini. Di tambah lagi dia juga sedang terburu-buru untuk urusan kakak lelakinya. Tapi, anak perempuan yang memasang rambu siaga satu di hadapannya ini, keras kepala dan tidak mau mengalah.
Aruna tahu kalau pria di hadapannya mulai geram tapi dia tetap tidak gentar. Dia tidak akan takut karena merasa dia tidak salah, apa lagi yang dia hadapi adalah pria yang menurutnya adalah orang asing.
''Yang bener?!'' seru Aruna tegas menyelidik, ''Lihat KTP!'' serunya lagi memerintah.
''Busset dah!'' seru Ardan kesal dengan mata melotot.
Terkejut Aruna melihat mata Ardan melotot menatapnya, apa lagi tubuh Ardan tinggi besar dan berotot. Belum lagi tampilannya yang acak-acakan berambut gondrong dan wajahnya tertutup kumis dan janggut yang cukup tebal.
Ardan geram tapi dia langsung bisa memahami kalau anak gadis di hadapannya saat ini sedang sendirian, dan Ardan di anggap orang asing olehnya, Ardan angkat jempol dengan kewaspadaannya sebagai seorang perempuan. Tapi, anak perempuan ini terlalu berani pikirnya, akan berbahaya, jika benar dia adalah orang asing yang berniat jahat.
''Nih lihat!'' seru Ardan menyodorkan KTPnya, ''Muhammad Ardan Wiryawan, gimana?... Udah bisa masuk dong...'' ujarnya lagi sambil menunujuk nama di KTPnya.
''Eh!.. Tunggu! Entar dulu... Enak aja...'' seru Aruna langsung menyahut ucapan Ardan.
''Apaan lagi sih?!'' seru Ardan bertanya dengan ketus, ''Cepetan dong! Buru-buru nih'' serunya lagi dengan nada kasar kali ini.
''Masih enggak meyakinkan!'' seru Aruna menjawab Ardan dengan tegas.
''Kenapa lagi?!'' seru Ardan bertanya dengan wajah heran yang memelas kali ini. Dia kesal tapi tidak bisa marah, pada gadis belia yang telah kehilangan ibunya.
''Mukanya enggak sama'' ujar Aruna lantang sambil menunjuk KTP dan melihat wajah Ardan.
''Itu foto gue...'' ujar Ardan ngotot meyakinkan Aruna, ''Wajar aja kalau beda mah... Pan itu foto lama, gue dah berumur sekarang, itu KTP seumur hidup neng. Dari bikin gue kagak ganti-ganti lagi... Di mananya yang enggak sama?!'' seru Ardan mengeluh dengan wajah geram.
''Yang di KTP lumayan cakep, tapi muka bapak serem...'' ujar Aruna, terkejut dengan ucapannya sendiri. Dia refleks menutup mulutnya seketika itu juga.
''Aduh! Keceplosan gue...'' seru Aruna dalam hati sambil menatap pria di hadapannya, masih dengan tangannya yang menutup mulut. ''Bodo' ah... Lagian dia juga sih, bertamu tapi nyolot... Gak sopan ah!'' lanjut Aruna dalam hati membenarkan tindakannya dan tidak mau meminta maaf.
''Ampun...'' ujar Ardan sambil mendesah kasar, ''Mimpi apa gua semalem?... Udah gue di panggil pak, sekarang gue malah di katain muka gue serem'' keluh Ardan menjawab Aruna yang masih terkejut dengan tindakannya sendiri.
''Maaf pak, enggak sengaja'' ujar Aruna reflek meminta maaf mendengar keluhan Ardan, ''Itu jujur ungkapan hati, tapi enggak bermaksud ngatain bapak kok'' lanjutnya lagi polos.
''Elo mau minta maaf apa mau nambahin ngeledek?!'' seru Ardan bertanya dengan kasar menegaskannya pada Aruna.
''Enggak pak!'' seru Aruna langsung menggelengkan kepala, ''Enggak beneran... Enggak ada niatan ngeledek sama sekali...'' ujar Aruna meyakinkan dengan wajah polosnya, ''Sumpah deh!'' seru Aruna lagi, menampik dengan wajah gugup tapi dia tetap tegas menjawab.
''Ya udah deh... Stop aja yang itu!'' seru Ardan menyudahi perdebatan anehnya dengan Aruna, ''Sekarang gue ada urusan yang lebih penting. Ama elu, ama Gavin juga, tapi Gavin enggak ada... Ya udah ama elu aja'' ujar Ardan menjelaskan.
''Iya... Tapi, pak, 'kan saya belum yakin itu bapak atau bukan?'' tanya Anindira kembali berwajah tegas, ''Foto di KTP beda banget pak'' ujar Aruna menjelaskan dengan hati-hati kali ini.
''Ampun dah...'' ujar pemuda itu kesal, ''Curigaan banget sih lu jadi orang?!'' seru Ardan menyahut dengan nada geram.
''Harus pak!'' seru Aruna menyahut balik, ''Yang penting saya enggak menuduh. Tapi, waspada itu wajib... Saya 'kan perempuan pak'' tambahnya lagi menjelaskan tentang apa yang di lakukannya itu sudah benar.
''Iya udah...'' ujar Ardan setelah mendesah menurunkan emosinya yang sempat naik tadi, ''Terus, gue harus gimana? Supaya elo bisa yakin... Enggak mungkin 'kan gue cukur jenggot gue dulu?! '' ujar Ardan menantang Aruna.