Bab 5

977 Words
Bab 5 “Mbak gak tahu apa-apa, Ra. Tadi Mbak cuma kaget saja, kenapa bisa ada Mas Laksa di sini. Kita orang gak punya, sekalinya ada orang kaya yang mampir, Mbak ngerasa heran aja.” Dia menjawab sambil terkekeh. “Yakin gak ada yang Mbak tutup-tutupin?” Aku menyipit. “Ya ampuuun, Humaira. Harus gimana lagi cara Mbak jelasinnya supaya kamu percaya?” Mbak Rahma menatapku frustrasi. “Lagian, sudah dua setengah tahun lalu, gak usah diungkit lagi. Kamu harus melupakan semuanya, Ra.” Seperti biasa, itulah yang akan Mbak Rahma katakan setiap kali aku menanyakan kejadian itu. Dia akan menepuk pundakku dan berjalan pergi. Bahkan, Mbak Rahma bahkan langsung pulang dan tak menemuiku lagi. Aku masih terdiam sendiri di dapur ketika suara deru motor terdengar menjauh. Aku pun lekas berwudu dan menunaikan salat isya. Setelah itu, aku melangitkan doa. Tak meminta banyak, aku hanya mengharapkan kebahagiaan dan kebaikan untuk kehidupanku. *** Keesokan harinya, hidup berjalan seperti biasa. Aku bangun subuh dan lantas menggelar sajadah untuk salat. Kaki yang kemarin terkilir masih bengkak dan sakit. Namun, masih bisa kukondisikan meski harus berjalan terpincang-pincang. Aku pun beranjak ke dapur. Sudah ada Ibu yang baru selesai mencuci piring. Beliau tengah mengiris bawang. “Sarapannya mau buat apa, Bu?” tanyaku. Aku sudah rapi dengan kemeja dan celana bahan. Pakaian yang sehari-hari aku gunakan untuk bekerja di toko. “Nasi goreng saja, ya, Ra? Ibu beli telur agak banyak kemarin. Biar tambah enak, nasi gorengnya tambahin kecap.” Aku tersenyum, lantas mengambil telur dan mengambil satu kecap kemasan. Kami tak pernah belanja berlebih. Maklum, gajiku sebagai pegawai toko grosiran tidaklah seberapa. Ibu meletakkan wajan di atas kompor dan segera menuang minyak sayur. Sementara itu, aku mengangkat nasi dari penanak yang stekernya sudah dicabut sejak semalam. Segera kubawa ke dekat Ibu yang tengah menggoreng bawang sebagai bumbunya. “Masukkan telurnya, Ra.” Aku segera memecahkan telur ke atas wajan. Dengan gesit Ibu mengaduknya. Lantas, kumasukkan juga penyedap rasa, garam dan nasinya. Setelah itu, kumasukkan merica dan kecap. Sesederhana itu menu sarapan kami di sini. “Hari ini ibu nyetrika lagi?” tanyaku seraya mengambil dua piring. Ibu mematikan kompor dan menuang nasi goreng ke atasnya. Pas untuk kami berdua. “Iya, Ra. Sekarang giliran di rumah Bu Yayah.” Beliau menarik kursi kayu buatan almarhum Bapak. Duduk menghadap meja kayu dengan taplak warna biru yang sudah usang. Aku pun melakukan hal yang sama, mengambil tempat berhadapan dengannya. Aku menatap wajahnya yang selalu terlihat sehat meski sudah berumur. “Kalau Ibu sudah capek kerja, istirahat saja di rumah, Bu. Gaji Rara cukup buat makan berdua kok.” “Ibu bosan kalau diam di rumah, Ra. Ibu kerja juga bukan buat ngoyo cari uang, buat ngebunuh waktu saja. Lagian, Ibu gak mau bergantung sama kamu, Ra. Suatu saat nanti kamu ákan nikah dan punya suami. Ibu gak mau repotin.” Aku berhenti mengunyah, lalu mendongak dan menatap wajah Ibu yang selalu menjadi alasan untukku bertahan. “Rara sudah gak mau mikirin lagi masalah jodoh, Bu. Rara hanya ingin menghabiskan hidup berdua saja dengan Ibu. Bukankah hidup itu hanya untuk mencari kebahagiaan dan mengumpulkan bekal pulang? Jadi, mulai sekarang, aku mau fokus ibadah dan berbakti sama ibu aja.” Aku tersenyum, berusaha menyembunyikan pedih di hati. Mungkin, aku ditakdirkan sendirian sampai tua. Tak apa jika memang harus begitu. Aku masih punya Ibu. Bukannya menikah itu hanya sunnah? Diriku juga sudah telanjur dicap buruk juga oleh oleh masyarakat, pasti akan sulit untuk mendapatkan pasangan. Karena kakikku masih sakit, aku berangkat kerja naik ojek. Sepeda motor tua peninggalan Bapak hari ini biar istirahat saja. “Bu, Rara berangkat, ya. Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam.” Aku gegas menuju toko grosiran yang biasanya buka setiap pukul delapan pagi. Lokasinya berada di lingkungan pasar, jadi pasti ramai setiap hari. Ada enam pekerja di sana. Tiga perempuan dan tiga lelaki. Aku dan Lila bertugas menimbang, membungkus dan menata barang-barang di rak. Meida yang jadi kasir. Dia pasti duduk di balik meja seharian. Untuk lelaki, lebih pada mengurus para pembeli dan mengepak barang. Sebagai kepala toko, Mas Irwan memiliki ruangan terpisah. Kadang, dia ikut membantu jika kasir keteteran. “Mbak Rara, kakinya kenapa?” Lila, yang tengah menyimpan bekal makan siang di dapur kecil kami, menoleh. Ya, di sini memang disediakan nasi oleh pemilik toko. Hanya saja, untuk lauk, kami harus beli sendiri. “Keserempet motor, La.” Aku tersenyum seraya menyimpan jaket yang kupakai tadi. “Oalah. Nyoba ilmu, ya?” kekeh Lila yang memang pembawaannya ceria. Usianya baru 18 tahun. Dia sudah kerja di sini sejak lulus SMP dan tak sekolah lagi. “Bisa saja. Ayo, kerja. Tuh, sudah jam delapan.” Aku menunjukkan jam di dinding yang terlihat jelas. Kami pun langsung duduk di tempat yang biasa. Sudah ada puluhan liter minyak sayur yang harus kami bungkus menjadi perempatan dan setengah kilogram. Belum lagi kacang, tepung terigu, dan gula merah. Sekali duduk, kadang baru sempat berdiri lagi ketika menjelang siang dan para pembeli yang membludak sudah keluar. *** Jam makan siang pun tiba. Sarmin, Idan, dan Lila sudah mulai makan. Mereka membawa bekal lauk dari rumah. Sementara itu, aku dan Meida keluar. Hari ini kami mau membeli soto ceker. Rahmat yang bagian jaga. Meski tulisan tutup di pasang, biasanya ada saja pembeli dilayani. “Sotonya dua, ya, Bang. Kuah bening.” Meida yang memesan. Aku duduk di kursi plastik yang tersedia. Aku pun menimpali, “Punyaku jangan dikasih micin, ya, Bang.” “Beres, Neng!” Si Abang tukang soto tersenyum dan mengacungkan jempolnya di tengah serbuan pelanggan. “Mbak, hush! Mbak!” Meida melirik ke arahku dan mengarahkan pandangannya ke sebelah kanan dengan sudut matanya. Aku mengikutinya dan berakhir pada sosok jangkung dengan tubuh sedikit kurus yang berjalan mendekat. “Ra, bisa kita bicara? Sebentar, saja.” Mas Rustam menatapku dengan pandangan memmohon. Toko grosiran tempatku kerja memang bersebelahan dengan salah satu toko elektronik milik orang tuanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD