Bab 1
“Perempuan ini sudah tak perawan, Tam. Apa yang kamu harapkan dari wanita yang pernah gila dan ternoda seperti dia, hah? Sejauh langit dan bumi kedudukan kita dengannya. Ibarat kata, dia itu lumpur dan kita ini berlian. Sampai kapan pun, gak akan sepadan. Pokoknya, jangan mimpi dapetin restu mama. Titik!”
Deg!
Aku baru saja berdiri dan hendak menyapa perempuan yang akan menjadi mertuaku, ketika kalimat yang menghujam ke dalam d**a itu terlontar begitu saja.
“Aku mohon, Ma. Rara gadis baik-baik. Aku mencintainya.” Mas Rustam meraih jemariku, seolah takut kehilangan.
“Mama tetap gak akan restuin kamu, Tam. Sekarang, semua pilihan ada di tangan kamu. Kamu pilih dia atau mama? Andai kamu pilih dia, jangan mimpi dapat hak waris lagi. Semua toko yang Mama miliki akan jadi hak adik kamu semuanya!” Ibu Windari bersedekap dengan angkuhnya.
Genggaman tangan Mas Rustam memudar. Seiring dengan itu, sakit yang menghujam kembali kurasakan. Menusuk begitu dalam.
“Maaf kalau kehadiran saya membuat suasana menjadi tidak nyaman. Yang ibu Mas katakan benar. Saya tak pantas masuk ke keluarga terhormat kalian. Assalamualaikum.”
Aku langsung melepas genggaman Mas Rustam. Lantas memutar tubuh dan berlari kecil seraya menyeka air mata yang berjatuhan. Untuk ke sekian kalinya, hinaan dari calon mertua kudapatkan. Aku tak bisa menyalahkan mereka. Semua orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya.
“Rara, tunggu!” Kudengar suara Mas Rustam memekik.
“Selangkah saja kamu pergi dari rumah ini. Berarti kamu akan kehilangan semuanya!” Suara Bu Windari terdengar lebih kencang.
Aku terus berlari dan tak mau mendengar lagi apa yang mereka perdebatkan. Kuberlari menyusuri jalanan yang mulai gelap dengan air mata bercucuran. Sebentar lagi azan isya akan berkumandang.
Aku tak peduli pada suara klakson angkot yang sesekali menawari tumpangan. Aku tak peduli pada deru sepeda motor yang saling bersahutan. Aku fokus pada duniaku sendiri dan sakit hati yang kuterima berulang kali.
Benar kata orang, jika perempuan itu ibarat kaca. Sekalinya terjatuh, maka sudah tak ada nilainya lagi. Apalagi di masyarakat pinggiran kota yang masih menjunjung tinggi nilai keperawanan. Aku hanya tak lebih dari seonggok sampah. Hidup, tetapi seperti tak bernyawa.
Bukan inginku seperti ini. Semua yang terjadi juga bukan salahku. Apa mau dikata ketika takdir berbicara? Tiga tahun berlalu, tetapi sakitnya masih membekas hingga sekarang. Trauma itu terasa begitu dalam.
Bagaimana tidak, pada saat itu duniaku seolah dijungkirbalikkan. Bayangkan saja, hati yang sedang berbunga-bunga menunggu hari akad, tiba-tiba aku harus kehilangan segalanya. Kehormatan yang selama ini kujaga, calon suami yang awalnya mengucap janji setia, juga Bapak.
Malam kelam itu menjadi titik mula segalanya berubah. Bapak meninggal karena serangan jantung. Ibu menangis sejadi-jadinya. Mas Iwan—calon suamiku—meninggalkanku. Semua terasa begitu berat dan aku tak sanggup melewatinya. Aku mengalami depresi hebat dan hampir gila.
Aku hanya sampah. Tempat sumpah serapah. Tempat ejekan dan hinaan semua orang bermuara. Apakah memang tak ada lagi seseorang yang mau menerima aku apa adanya? Sepahit inikah takdir yang tertulis dan harus kuterima?
Suara klakson terdengar, membuat memoriku yang dipenuhi kepahitan buyar.
“Awas!”
Bersama teriakan beberapa orang yang ada di pinggir jalan, kulihat seorang anak kecil—mungkin berusia tiga tahun—tiba-tiba berlari ke jalan raya.
“Adek, awas!”
Aku, yang jaraknya tak jauh lagi darinya berlari secepat yang kubisa. Aku tak peduli kalau aku harus mati. Lagipula, di dunia ini pun sudah tak ada yang menginginkan. Namun, berbeda dengan anak itu. Dia masih suci, masih memiliki masa depan yang panjang.
Bruk!
Tubuh mungilnya terdorong ke tepi jalan dan membentur trotoar. Tangisnya pecah. Semantara itu, rasa nyeri menyelimuti sekujur tubuhku. Sebelah kakikku terserempet motor yang ugal-ugalan itu. Namun, setidaknya, aku bisa tersenyum lega ketika melihat dia selamat.
“Aidan!”
Suara seorang lelaki yang baru keluar dari minimarket memekik cemas. Dia gegas berlari dan meraih tubuh mungil yang menangis itu. Dia menggendongnya dan lantas menghampiriku.
“Humaira?”
Dia menyebut namaku. Tampak sekali terkejut ketika melihatku.
Bab 2
“Mas Laksa?”
Mataku sudah berkaca-kaca. Bukan karena bertemu dengan dia yang dulu pernah begitu berarti dalam hidupku, lalu pergi, melainkan karena rasa sakit di kakiku yang semakin menjadi.
“Mbak Tini! Tolong jaga Aidan.”
Aidan, anak lelaki itu langsung berpindah pada gendongan perempuan berpakaian suster yang datang menghampiri dengan wajah pucat pasi.
“Maaf, Tuan. Saya tadi ke toilet. Ja-jangan pecat saya, Tuan!” Suaranya bergetar.
Mas Laksa berdiri kembali dan menatap wajah perempuan yang meraih Aidan. Tatapannya dingin. Wajahnya sama sekali tak ada senyuman. Perlahan, dia menghela napas panjang.
“Mbak Tini gak akan saya pecat, hanya akan saya pindah tugaskan!” tegasnya seraya kembali beralih padaku. “Ayo, bangun.”
Meski ragu, aku meraih tangan kekarnya. Angin berembus makin kencang dan gerimis mulai berjatuhan. Seperti hatiku, yang sedang gerimis juga.
“Aw!” Aku meringis. Kakiku sakit sekali dan tak bisa digerakkan.
“Sebentar. Maaf, ya?”
Tanpa kusangka, dia membopong tubuhku. Lantas berlari kecil menuju mobil yang terparkir di depan minimarket, Alphard warna putih. Dia meminta Mbak Tini—suster tadi—membuka pintu belakang setelah suara remote terdengar dia pijit. Tanpa sadar, aku berpegangan erat pada kedua bahu lebarnya.
“Duduknya sambil sandaran, ya?”
Dia bukan bertanya, tetapi memberikan arahan. Karena setelah itu, dia mencondongkan kursi penumpang ke belakang. Aku sampai menahan napas ketika aroma maskulin menguar menusuk hidung. Aku sampai salah tingkah dibuatnya. Beruntungnya, detik-detik itu cepat berlalu. Dia pun segera berlari ke arah depan dan duduk di balik kemudi, lantas melajukan mobilnya membelah jalanan.
Aidan yang berada di pangkuan Mbak Tini, tampak tenang. Wanita berpakaian suster itu juga memilih diam.
“Maira, makasih banyak, ya?”
Kudengar suara bariton itu berbicara. Dia menyebut Maira. Namaku Humaira Al Husna, hanya saja sering dipanggil Rara.
“Iya, Mas, sama-sama. Tapi panggil aja Rara.” Aku menjelaskan.
“Baik. Aku gak terlalu paham, maaf.” Dia tampak sungkan.
“Gak apa.” Hanya itu jawabanku, setelahnya kembali diam.
Mobil berhenti di sebuah klinik. Lelaki itu—yang pernah bertemu dua kali saja denganku—lekas turun. Dia meminta Mbak Tini menggendong Aidan juga, karena tadi ada luka kecil di kakinya. Sementara itu, aku mau tak mau pada hanya pasrah ketika dia menggendongku lagi. Jangankan berjalan, mengangkat kaki saja sulit.
“Maaf, merepotkan.” Aku tersipu. Wajah ini mungkin sudah memerah dibuatnya.
“Gak apa, Ra. Saya yang berhutang nyawa padamu.”
Berbicara dalam jarak sedekat ini, justru semakin membuatku gugup. Bagaimana tidak, bahkan aku bisa mencium aroma mentol ketika dia berbicara.
Setibanya di dalam klinik, aku duduk di kursi tunggu. Sementara itu, dia beranjak menemui seorang suster. Tak berapa lama, sebuah kursi roda datang.
Dia menoleh padaku. “Ra, duduk di sini saja, ya?”
Tanpa sadar, aku malah menggigit bibir. Karena merasa tidak enak hati jika harus digendong dolehnya, aku berusaha bangkit sendiri. Namun, dengan sigap, Mas Laksa kembali membantuku.
“Maaf ya, Mas.” Aku menunduk dalam. Malu dan gak enak juga.
“Gak masalah. Sudah saya bilang, saya yang berhutang budi sama kamu, Ra.” Tanpa kukira, dia malah berjongkok lantas memandang kakikku yang terasa sakit. “Maaf, boleh pegang?”
Aku, yang tengah memandanginya, mengerjap ketika sepasang mata kecokelatan itu menatap ke arahku. “Emangnya ... mau ngapain, Mas?” tanyaku gugup.
“Ini harus dipijit dulu. Baru dikasih obat dokter. Bentar, ya?”
Tanpa menunggu persetujuanku lagi, dia memijit pergelangan kakikku perlahan. Rasanya sakit sekali ketika dia sedikit menariknya. Namun, benar, kakiku tersasa lebih baik dan bisa digerakkan.
“Nah, sudah!” Dia tersenyum puas. Dia berdiri dan saja pergi begitu saja, duduk di samping Mbak Tini yang menggendong Aidan. “Kakinya saja yang lecet ya, Mbak?” tanyanya seraya mengambil alih anak kecil yang tengah minum s**u itu.
“Iya, Tuan. Maaf karena saya sudah lalai.” Lagi-lagi, kudengar rasa penyesalan dari wanita itu.
“Hmm.”
Tidak ada jawaban lebih dari itu. Sikap ramahnya yang tadi diperlihatkan padaku, ternyata tak berlaku pada Mbak Tini. Mungkin Mas Laksa marah karena kelalaian Mbak Tini dalam menjaga Aidan.
Namaku yang sudah didaftarkan pun dipanggil. Mas Laksa menuntun Aidan dan mendorong kursi rodaku ke ruangan dokter, menyisakkan Mbak Tini di luar sendirian. Sepertinya, Mas Laksa masih terkejut dengan kehadian tadi, hingga dia tak lagi menitipkan putranya untuk dijaga sendirian oleh pengasuhnya.
“Selamat malam, Pak, Bu. Eh, ada adek ganteng juga. Malam, Adek!” Dokter perempuan itu terlihat ramah. Dia mempersilakan kami duduk dan menyapa dengan senyuman manisnya.
“Malam, Dok. Minta tolong periksa kakinya, Dok. Sepertinya terkilir.”
“Istrinya kenapa bias sampai terkilir, Pak?” Dokter itu bangkit dan mendekat.
“Dia bukan istri saya, Dok. Istri saya sudah meninggal, Dok.” Mas Laksa menjawab dengan senyum kecut.
Aku menoleh terkejut. Mbak Kesya sudah meninggal? Rasanya, waktu terakhir ketemu, masih sehat-sehat saja.
Pertanyaan itu hanya mampu kuucap dalam hati. Karena setelah itu pun fokusku teralihkan untuk menjawab pertanyaan dokter yang memeriksa kakikku. Selain terkilir, ada juga luka goresan.