bc

formula

book_age0+
1
FOLLOW
1K
READ
like
intro-logo
Blurb

Fisika adalah hal terbaik yang pernah ia temukan di dunia untuk menyembuhkan dirinya, semua hal yang menyebabkan dirinya pasrah dan berhenti menjadi sirna sebab fisika siap menemaninya kapan saja. Semua pemikiran itu akan terus ada dan mengganggunya setiap waktu, namun suatu hari seseorang mengubah itu semua.

Walaupun seseorang itu telah mengubah prespektifnya tentang fisika, sampai kapanpun ia tak akan lupa bahwa dengan fisika lah ia memulai semuanya. Sebuah kehidupan yang tampak nyata dan lebih sesuai untuk disebut kehidupan, dibandingkan dengan kehidupannya sebelumnya.

2020, autumngrlxx.

chap-preview
Free preview
Sebelum Bab - Seleksi
"Kalau pun akhirnya lo milih jalan yang sama, gue bisa apa. I said it doesn't mean I stop loving you, because if you think I've changed. I haven't, gue masih orang yang sama."         ••••   "Jadi, siapa aja?" "Udah gue duga, pasti mereka."   "Siapa sih?"   "Lo nunduk dikit kek, gue nggak bisa lihat."   "Hah? Gue nggak masuk?"   "Emang siapa aja sih yang masuk?"   Pagi itu sangat ricuh. Puluhan siswa tengah berdiri di depan papan pengumuman, saling berebut untuk dapat membaca kertas putih dengan tinta yang ditempel di sana. Ada yang berjinjit, membuat ruang, atau bahkan saling mendorong.   "Kekanak-kanakan," celetuk seorang gadis yang tak jauh dari area kericuhan itu.   Sebenarnya ia hanya heran saja, sejak kapan teman-temannya itu menjadi sangat ceroboh dan tidak sabaran. Merusak nama anak akselerasi saja. Padahal pengumuman itu bisa di lihat sambil lewat, bergantian dan tidak akan ada yang terluka.   Anehnya mereka malah memilih satu waktu untuk menyusahkan diri mereka sendiri.   "Udah lihat?" Sebuah suara terdengar dari balik punggungnya bersamaan dengan pundaknya yang ditepuk. Ia menoleh sesaat, lalu menggeleng. "Kenapa nggak kesana?"   "Masih pagi, gue nggak mau lecet."   Mendengar jawaban temannya itu, seseorang itu terkekeh. "Gue piket hari ini, jadi gue berangkat pagi." Gadis itu memicingkan mata menunggu apa sebenernya yang ingin orang ini katakan. "Gue lihat nama 'Natalia Frada Haru' di sana," lanjutnya sembari mengulas senyum.   Nama itu adalah namanya, walaupun sedikit asing karena orang-orang mengenalnya dengan sebutan Lea atau Malaikat maut kelas fisika. Ia mendapat julukan itu karena dirinya akan menjadi lebih menakutkan dari malaikat maut, jika sudah masuk waktu pelajaran fisika.   "Gue?" tanyanya sambil menunjuk dirinya sendiri, namun masih dengan ekspresi kelewat santai.   "Emang siapa lagi?"   Matanya melebar, tidak tau kenapa ia terkejut. Padahal sejak semalam ia sudah memprediksi bahwa dirinya akan menjadi salah satu yang terpilih, hanya saja kenyataan memang selalu lebih mendebarkan.   Seketika ia memeluk temannya kelewat erat, lalu bergumam. "Nanti gue traktir di kantin."   Setelah ia melepas pelukan, padangannya mengedar. Tampak seperti mencari sosok seseorang, "Ay, Gina sama Ana kemana?"   Ayu---nama gadis yang menemui Lea pagi itu---mengangkat bahu, "Belum datang kayaknya."   ••••   Sebuah mobil jersey hitam baru saja terparkir tepat di depan gerbang, lalu beberapa menit kemudian munculah seorang lelaki tinggi berseragam dengan jaket ditangannya. Beberapa saat ia berdiri di samping mobil, tampak sedang berbincang dengan seseorang.   "Terima kasih. Tapi lebih baik, Bunda nggak perlu anterin aku."   Seorang wanita paruh baya, dengan setelan kantornya dan dandanan yang membuat dirinya tampak muda bersuara. "Kamu masih marah banget sama Bunda?"   Pemuda itu berdecak sesaat, lalu tanpa membalas pertanyaan ibunya ia melenggang pergi. Muncul sekelumit rasa kecewa di hati sang ibu, melihat anak laki-lakinya tumbuh menjadi remaja dingin semacam itu karena dirinya sendiri.   Berbeda dengan yang pemuda itu rasakan, ia sudah muak setiap hari diperlakukan seperti itu. Ia muak dengan orang-orang bertopeng di sekelilingnya, ia muak dengan semua sandiwara. Namun, itu hanya bisa ia simpan sendiri. Karena sekalipun ia bicara, tak akan pernah di dengar.   Kecuali dengan mereka.   "Angga, selamat ya ... Kamu masuk lo."   "Angga selamat."             "Jangan lupa traktir kita di kantin!"             "Angga, kamu senang nggak?"   "Aku yakin kamu pasti yang akan terpilih."             "Sainganmu nggak berat, aku yakin kamu bisa."   Tak ada satupun dari mereka yang mendapat jawaban, karena mendengar mereka bicara saja ia sudah pusing. Bagaimana bisa ia dengarkan seluruhnya, bisa-bisa kepalanya pecah.   Ia hanya mengulas senyum tipis untuk menanggapi, hitung-hitung agar dianggap bisa menghargai. Sebagian dari anak perempuan itu menjerit sambil menutup mulutnya, sebagian yang lain menyembunyikan semburat merah yang ada di pipinya.   Sedang pemuda itu acuh saja, melihat tingkah semacam itu sudah biasa. Atau lebih tepatnya ia lelah, atau terganggu? Yang jelas, ia ingin mereka jauh-jauh darinya.   ••••         "Gue---gue minta ma'af."

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Shanin’s Diary

read
10.1K
bc

Tentang Kean [END]

read
10.7K
bc

Me and My Freezer Boy

read
43.9K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
151.8K
bc

Papa, Tolong Bawa Mama Pulang ke Rumah!

read
4.2K
bc

Tentang Cinta Kita

read
212.2K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
167.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook