Agha sesungguhnya khawatir. Apalagi Maira tampak masih menghindar. Ya wajar bukan? Pasti ada rasa malu meski ia juga tak bisa melakukan itu terlalu lama. Nyatanya kini ketika ia baru saja keluar dari ruang BEM dan malah berpapasan dengan Agha. Gadis itu menarik nafas dalam.
"Lo udah mau balik?"
Agha mengangguk. "Mau gue anterin?"
Maira menggeleng. Wajahnya tampak kuyu seperti mayat hidup. Ia benar-benar tak bersemangat.
"Gue mau ngomong bentar."
Agha mengangguk. "Tunggu dekat mobil aja. Gue ambil tas dulu."
Maira mengangguk. Gadis itu berjalan lebih dulu menuju parkiran mobil. Agha mengambil tasnya tapi saat hendak keluar, Prisa memanggilnya. Gadis itu memang selalu menganggunya. Ah bukan ia ingin menyebutnya begitu. Tapi Prisa selalu hadir di mana pun sekalipun ia tak datang ke ruang BEM.
"Aku sejujurnya tertarik sama perusahaan ayahnya kak Agha. Kira-kira bisa gak sih, aku magang di sana?"
Apa pertanyaan semacam ini harus ia yang menjawab?
"Tanya aja HRD-nya. Bisa kirim email."
"O-oh oke, kak."
Agha mengangguk. Lelaki itu berdeham. Ia ingin cepat-cepat pergi. Saat Prisa hendak memanggilnya lagi, Amanda memegang lengan gadis itu. Sengaja menahannya.
"Lo harus tahu kondisi orang kalo mau tanya-tanya," ingatnya. Tak bermaksud kasar. Tapi ia melihat wajah Agha agak dingin. Itu artinya, ia sedang tak ingin diganggu.
Agha tiba di parkiran. Maira sudah menunggunya. Gadis itu menarik nafas dalam. Tampak bingung bagaimana harus memulainya.
"Kalo yang waktu itu, gak usah dipikirin. Gue gak pernah memikirkan hal-hal kayak gitu tentang lo."
Maira menundukkan wajahnya. Ya tentu saja ia malu. Perasaannya juga bercampur aduk. Belum lagi memikirkan soal masnya.
"Mau nyoba ketemu bang Rangga?" tawarnya. Ia tak ingin Maira terlalu memikirkan hal itu. Gadis itu langsung mengangguk cepat. Agha mengambil kunci mobilnya. "Duduk di belakang aja gak apa-apa?"
Gadis itu mengangguk. Agha hanya khawatir dengan hatinya kalau terlalu sering duduk bersebelahan. Maira duduk di belakang sementara Agha menyalakan mesin mobilnya. Di perjalanan, ia mencoba mengirim pesan pada pengacara Rangga. Berharap dapat menenui Rangga hari ini. Ya setidaknya hanya itu yang bisa ia lakukan untuk Maira. Ya kan?
Namun tak ada balasan hingga akhirnya mereka tiba di depan gedung. Mereka tertahan di sana. Gadis itu hanya bisa menahan tangisnya. Mau mengamuk pun percuma. Ia dan Agha tidak akan diizinkan masuk. Lobi Agha tak membantu sama sekali kali ini. Ia mencoba menelepon abang sepupunya tapi tak diangkat. Yang lain tentu saja tak bisa menolong. Ia menghela nafas. Terpaksa mengajak Maira pulang kalau begini. Karena percuma juga. Tak akak bisa masuk.
"Mai, lebih baik kita pulang aja ya?"
Mau berjam-jam di sini juga percuma.
"Udah malem juga. Lo harus magang lagi besok kan."
Agha mencoba mengajaknya pulang saja hari ini. Mata Maira sudah bengkak karena terus menangis. Wajah Maira benar-benar kuyu. Maira yang ceria sudah hilang. Agha berjanji akan membawanya datang lagi dihari senin. Maka keduanya datang lagi. Ah tidak berdua. Ada ayahnya juga. Maira sampai izin setengah hari di tempatnya magang hanya untuk bisa ke sini. Ia benar-benar ingin menemui masnya. Lalu apakah bisa bertemu?
Ya. Bahkan Agha baru hendak enelepon pengacara Rangga tapi tiba-tiba pihak kepolisian memperbolehkan Maira dan ayahnya untuk menemui Rangga. Jadi keduanya masuk sementara Agha menunggu di luar. Itu bukan keluarganya. Jadi tidak ada alasan baginya untuk ikut masuk.
Maira langsung menghambur ke pelukannya. Masnya tampak semakin kurus. Padahal belum genap sebulan mereka bertemu. Hingga akhirnya Rangga malah terperangkap di dalam sana.
"Ayah gak tahu apapun soal perkembangan kasusmu. Bahkan di media massa pun gak dibahas. Mereka hanya sibuk membuat jelek namamu."
Ya Rangga tahu kalau ia sednag disudutkan habis-habisan. Ia tak mempermasalahkan itu selama tak mengenai keluarganya. Ia justru lebih khawatir dengan ayah dan adiknya ini.
"Semua berkas Rangga sudah masuk ke kejaksaan dan mungkin satu minggu lagi akan ada persidangan pertama."
Maira makin sedih mendengarnya. Ia jelas takut. Apa yang akan terjadi pada masnya ini? Ia sama sekali tak bisa membayangkannya. Ia benar-benar takut kehilangan Rangga. Ia bahkan tak bisa berkonsentrasi untuk magang dan menyelesaikan penelitiannya juga skripsinya. Padahal tinggal sedikit lagi bukan? Bagaimana mungkin ia bisa mengerjakan itu dengan semua perasaan kalut seperti ini? Teman-temannya bahkan tak bisa menghiburnya sama sekali. Agha juga tak bisa berbuat apa-apa. Rasanya konyol juga untuk menghibur. Maira pasti tak akan tertawa. Tak bisa tertawa lagi.
"Mas gak akan kenapa-napa, Mai."
Ia mengatakan itu dan berharap Maira akan percaya. Gadis itu menarik nafas dalam. Bagaimana ia bisa percaya dengan semua ketidakadilan ini? Kenapa harus masnya? Kenapa pula ada manusia yang begitu sadis?
"Percaya deh sama Mas. Kan Mai yang bilang sendiri kalau ada Allah kan? Ada Allah yang pasti bantu mas kan?"
Gadis itu semakin tergugu. Itu memang penguatnya. Tapi terasa tak cukup menghiburnya sekarang. Ia memang butuh kata-kata semangat untuk menjalani hidup ini. Ia memikirkan banyak hal. Agak egois rasanya kalau ia berbicara tentang hidupnya. Tapi ia juga tak mau membebani Rangga maupun ayahnya dalam kondisi seperti ini. Setidaknya uang kuliahnya sudah dibayar pada semester ini. Yaa semoga ini yang terakhir. Ia akan fokus kembali menyelesaikan tugas-tugasnya. Ia janji akan hal itu.
Walau ayahnya lebih mengkhawatirkan hal lain. Ya dengan tipikal Maira yang begini, mana mungkin tak khawatir? Ia tahu kalau anak gadisnya ini tak pernah ingin menyusahkannya. Jadi kebjh cenderung menyimpannya sendirian. Padahal ia lebih suka jika beban itu dibagi bersama.
Dan memang benar. Maira sedang memikirkan rencana cadangan kalau masnya ini benar-benar masuk penjara atau bahkan dihukum mati. Maka segala tanggung jawab akan menjadi beban baginya. Apalagi ia harus mengambil alih untuk bertanggung jawab akan hidupnya sendiri dan ayahnya bukan?
"Om, Agha minta maaf gak bisa nganter. Tapi Agha udah pesenin taksi," tukasnya. Ia terpaksa pamit dengan terburu-buru.
"Sudah diantar ke sini saja, sudah sangat berterima kasih, nak. Hati-hati kamu."
Agha pamit. Ia juga berpamitan pada Maira. Lelaki itu masuk ke dalam mobil lalu terburu-buru menyetir mobil menuju ke markas. Sementara Maira dan ayahnya sempat berjalan menuju warung mie ayam. Taksi yang dipesan Agha tadi hendak disuruh pergi saja. Mereka bisa memesan taksi lagi. Tapi sang supir tidak mau karena sudah dibayar.
"Gak apa-apa, pak. Pergi saja. Kami tidak buru-buru. Ambil saja uangnya. Anggap saja sedekah," tukas ayahnya.
Akhirnya sang supit taksi pergi. Maira dan ayahnya baru saja masuk ke dalam warung mie ayam. Maira tak bisa berhenti berpikir soal nasib masnya di dalam sana. Ia tak yakin masnya akan mendapatkan keringanan. Mengingat yaaah pembunuhan berencana. Pasal itu yang mereka tuduhkan. Masih syukur kalau tidak dihukum mati.
Rangga sudah pasrah. Ia justru lebih ingin dihukum mati dari pada membuang waktunya di dalam penjara. Tapi memikirkan ayahnya dan Maira membuatnya tak ingin mendapatkan hukuman itu. Ini benar-benar sebuah dilema.
"Gak usah terlalu dipikirin."
"Ayah juga mikirin."
Ya anaknya benar. Lelaki itu menarik nafas dalam. Mereka makan mie ayam dengan tidak bersemangat. Lalu kembali memesan taksi. Kalau sedang bersemangat, ia mungkin bisa mengajak anaknya pulang dengan commuterline. Maira pasti tak mempermasalahkan. Namun sayangnya, ia juga tak ingin terlalu banyak berhenti dab menunggu. Rasanya ingin cepat-cepat pulang.
Tak lama, keduanya naik ke dalam taksi. Tak sadae kalau sejak dari kepolisian, mereka sudah dikuntit. Bahkan oleh beberapa orang yang bekerja di sana. Mobil hitam itu terus menggiring. Sang supir taksi benar-benar tak sadar. Hingga akhirnya, tiba-tiba dari arah belakang, ada mobil yang melaju dengan kecepatan yang sangat kencang. Kemudian?
DUAAAAAAAARRRRRRRR!
Mobil itu sengaja menabrakan mobilnya tepat dari belakang mobil yang ditumpangi oleh Maira dan ayahnya hingga mobil itu ikut terdorong ke depan. Si supir jelas panik. Ia memang sednag menaikkan kecepatan dan kini malah tak bisa mengendalikan laju mobilnya. Hingga akhirnya mobil taksi itu menabrak truk besar yang membunyikan klaksonnya karena kaget.
BUUUAAAAAAAAR!
Suaranya jauh lebih besar kali ini. Ayah Maira yang duduk di kursi depan penumpang terjepit diantara bagian depan mobil taksi yang telah ringsek dengan truk.
Warga yang berada di sekitar tentu saja kaget dengan dua dentuman yang terdengar sangat keras itu. Banyak yang berhamburan ke jalan. Sementara mobil yang paling awal menabrak mobil taksi dari belakang sudah pura-pura berbelok dan menabrak pohon.
"Yang penting, segala bukti dari CCTV harus dihapus dalam satu detik!"
Terdengar suara perintah dari dalam sana. Salah satu orang mematikan sambungannya. Lalu tak lama, suara sirine ambulans menggema. Cepat sekali datangnya. Proses evakuasi Maira terasa mudah. Karena gadis itu duduk di belakang supir. Yang terjepit adalah sang supir dan ayahnya. Ia masih aman meski kepalanya menancap ke pecahan kaca. Ia bahkan sudah tak ingat apa-apa. Ayahnya?
Malaikat mau baru saja membawanya. Tak sendiri. Bersama sang supir taksi juga.
@@@
Dan kabar kecelakaan hingga ayah Maira meninggal tentu saja bergulir. Agha baru tahu beberapa jam kemudian. Lelaki itu berlari kenuju rumah sakit untuk melihat kondisi Maira. Tapi Ferril menariknya untuk pergi ke rumah gadis itu.
"Bokapnya meninggal, keluarganya yang dari Bandung sudah dalam perjalanan."
Ia jelas terpukul. Agha bahkan meneteskan air mata. Ia tampak ingin melihat Maira. Ia hanya bisa melihat depan kamarnya tanpa bisa masuk. Ferril terus menahan tubuhnya yang sangat ingin masuk ke dalam sana.
"Ada yang menjaga. Lo tenang aja. Lo bantu keluarganya dulu," tutur Ferril. Lelaki itu belum lama sampai di Indonesia dan langsung sibuk dengan berbagai hal.
Agha menarik nafas dalam. Begitu tenang, ia ikut berlari bersama Ferril menuju mobil. Mereka segera menuju rumah ayahnya Maira. Di perjalanan, ia menelepon umminya.
"Mi, bisa temani Maira di rumah sakit?"
Ia meminta. Ia hanya berpikir kalau Maira akan butuh seseorang di sampingnya. Umminya langsung mengiyakan tanpa bertanya. Karena ia mendengar suara anaknya yang begitu gemetar. Agha tak pernah begini sebelumnya. Itu artinya, segala sesuatu tampaknya terjadi begitu buruk.
Tiba di rumah Maira, tenru saja sudah ramai. Para tetangga sudah mendengar. Tak lama dari Agha sampai, ambulans yang membawa jenazah ayahnya Maira juga muncul. Agha menunggu keluarga Maira yang dari Bandung. Rangga juga sudah diberitahu. Sembari menunggu, Andros muncul dengan bingung. Cowok itu membawa martabak kesukaan Maira. Tapi yang ia temui malah keramaian. Begitu masuk ke dalam rumah, kakinya lemas. Ia benar-benar kaget.
"Mai mana?"
Ia langsung mencari gadis itu. Tapi Agha bahkan tak bisa didekati. Cowok itu bahkan tampak lebih terpukul darinya. Lalu kini menyambut keluarga Maira yang datang jauh dari Bandung. Mereka tentu saja menangis. Satu jam kemudian, saat jenazah usai disolatkan dan hendak dimakamkan, keluarga dari Jogja datang. Ada mantan istri dan para keluarga ayahnya Maira. Sempat terjadi perseteruan. Yeah soal pemakaman. Akhirnya dibawa ke Jogja. Langsumg diterbangkan di hari yang sama. Agha tak bisa berbuat apa-apa. Ia bahkan tak sempat mengabadikan apapun untuk diberikan pada Maira.
"Di mana Maira?"
Dan cowok ini masih terus bertanya Maira. Oke, Agha bahkan tak mengatakan apapun selain apda keluarga Maira yang dari Bandung. Salah satu bibinya sudah berangkat ke rumah sakit sejak beberapa jam yang lalu. Bahkan kini mereka semua hendak ke rumah sakit.
"Ikut aja, kita mau ke sana sekarang."
Andros mengangguk. Cowok itu ikut pergi dengan motornya. Mengikuti Agha yang tampak kalut menyetir mobil. Ia memimpin jalan bagi keluarga Maira yang datang jauh-jauh dari Bandung.
Tiba di rumah sakit, semua orang semakin terpukul. Termasuk Agha yang memang belum tahu bagaimana keadaan Maira. Gadis itu koma. Ya tak sadarkan diri. Bahkan disarankan untuk dipindahkan ke rumah sakit lain. Agha mencoba menelepon omnya untuk bertanya kemungkinan besar agar Maira dirawat di rumah sakit milik om-nya.
"Kirim saja ke KL, Gha. Banyak teknologi baru di sana. Kalau di sini masih terkendala dengan lisensinya. Akan lebih aman di sana. Tapi bicarakan dulu dengan keluarganya."
Agha mengiyakan. Tapi rasanya belum tepat kalau harus berbicara sekarang. Jadi akhirnya ia menyingkir dulu kemudian menghubungi Bani. Ya satu-satunya sahabat Maira kan Saras. Jalan untuk menghubungi Saras hanya melalui Bani. Cowok itu benar-benar terkejut.
"Lo datang besok aja. Bawa Saras."
Bani mengiyakan. Ini memang sudah larut. Hampir jam sepuluh malam. Mana jauh pula. Agha menghela nafas panjang. Begitu membalik badan, ia malah berhadapan dengan Andros. Cowok itu jelas meminta kejelasan. Dan Agha juga bingung. Ia tidak tahu bagaimana kejadiannya. Terakhir ketika ia tinggalkan di kantor kepolisian, mereka masih baik-baik saja. Bahkan saat dalam perjalanan menuju kantor itu pun, ayahnya Maira masih sempat bercanda. Ingatan itu jelas masih terasa. Karena baru terjadi beberapa jam yang lalu. Bagaimana mungkin Agha bisa lupa?
@@@
"Anak itu benar-benar bawa sial."
Dan perempuan ini tak tahu harus menyalahkan siapa lagi. Mantan suami yang masih dicintainya meninggal begitu cepat. Pasahal ia masih ingin kembali. Walau ia tak akan pernah bisa menerima Maira sampai kapan pun.
"Kita bicarakan itu nanti," tukas mantan adik iparnya. Mereka masih syok dengan segala hal ini. Tak akan mau perduli urusan lain. Ia menarik nafas dalam. Mengiyakan.
Tiba di Jogja, mantan suaminya langsung dikuburkan. Malamnya? Disaat di runah digelar tahlilan. Ia sibuk menelepon sang pengacaranya.
"Tarik Rangga ke dalam KK bersamaku dan buang gadis itu."
Ia akan mengambil semuanya. Bahkan besok ia berencana untuk pergi lagi ke Jakarta. Ia akan mengurus rumah itu dan barang-barang di dalamnya. Ia tak perduli bagaimana gadis itu akan hidup. Yang jelas, sekarang tak akan ad ayang bisa menolongnya. Anaknya juga sedang butuh bantuan. Anaknya bahkan tak bisa hadir dalam pemakaman. Banyak hal yang dikorbankan hanya untuk seorang gadis semacam itu. Gadis pembawa sial.
Besoknya, ia benar-benar terbang ke Jakarta lagi. Ia kembali ke rumah itu dan mengusir keluarga Maira yang menginap di sana. Agha yang baru tiba dan hendak menjemput mereka untuk sama-sama ke rumah sakit justru dikejutkan dengan teriakan. Ya teriakan ibunya Rangga yang mengusir bahkan kini mengeluarkan barang-barang Maira.
"DIA BUKAN ANAK SAYA. DAN INI ADALAH RUMAH ANAK SAYA. DENGAR KALIAN?"
Ya percuma berdebat. Para paman Maira jelas dongkol. Namun memilih bersabar. Agha mengajak salah satu dari mereka untum ikut dengannya saja. Urusan tempat tinggal bisa diurus. Ia segera menelepon om-nya bertanya paviliun di runah sakit. Om-nya mengiyakan.
Maira akan dipindahkan ke rumah sakit om-nya yang di Depok untuk sementara. Mereka masih menunggu berbagai berkas. Agha juga hendak membicarakan ini dengan keluarga Maira. Bagaimana pun, mereka yabg berhak menentukan.
Wali Maira jatuh pada pamannya. Berhubung tak diakui oleh kerabat dari ayahnya. Bahkan diusir telak-telak oleh ibu tirinya disaat Maira bahkan masih tak sadarkan diri.
"Keterlaluan. Gak ada nurani sedikit pun."
Para om jengkel. Usai memberesi barang-barang Maira yang dihambur-hamburkan, mereka pergi. Agha memnawanya langsubg menuju rumah sakit yamg di Depok. Karena Bani baru saja mengabarkan kalau Maira sudah dibawa dnegan ambulans menuju rumah sakit itu.
Saras jelas syok. Ia jarang bertemu Maira sejak sibuk magang. Lalu sengaja menyempatkan diri hari ini bersama Bani. Sama-sama meliburkan diri dari magang untuk mengetahui kabar dari Maira. Bahkan Saras baru tahu tadi pagi. Ya saat Bani sengaja datang pagi-pagi dan mengajaknya untik membolos saja. Awalnya ia menolak. Tapi saat tahu kalau Maira masuk rumah sakit dan belum sadarkan diri maka buyar sudah semuanya. Tak heran kalau akhirnya ia bertemu dengan Agha di rumah sakit. Lelaki itu benar-benar sibuk mengurus segalanya untuk Maira. Saras tak tahu harus mengatakan apa lagi. Yang jelas, ia sangat berterima kasih.
"Tapi ada harapan kan, Gha?"
"Ya semoga."
Ia sudah jauh lebih tenang sekarang. Saras hanya bisa terduduk. Agah dipanggil oleh para om Maira. Yaa ia tentu sangat dikenali karena telah membantu Maira.
"Ya kalau om dan tante tidak keberatan. Soal pengobatan gak perlu dipikirin. Yang penting Maira sembuh."
"Tapi tetap saja kami tak enak, nak. Biayanya pasti sangat mahal."
"Saya kenal bang Rangga dan Maira cukup lama, om. Gak perlu dipikirkan," ujarnya. Ia benar-benar ingin menolong. Bahkan ummi dan abijya baru saja datang untuk menjenguk sekaligus membantu. Mereka bahkan sampai meluangkan waktu. Keluarga Maira tentu semakin tak enak hati kakau harus menolak.
Maka selanjutnya, terjadilah rapat keluarga di mana keputusan Maira akan dibawa ke Malaysia akan tergantung dengan keluarganya Maira.
Saras menyenggol lengan Bani. Bani tadi menyebut kalau itu adalah kedua orangtua Agha. Maka sudah sejauh apa hubungan Agha dan Maira? Ia bahkan tak tahu kakau orangtua sampai turun tangan begini.
@@@
Sidang pertama berlalu. Putusan masih belum keluar. Pekerjaan Agha akhir-akhir ini yaa ke kampus, rumah sakit, dan rumah tahanan. Yaa Rangga tentu saja sudah dipindahkan ke sini. Kebetulan tak begitu jauh dari kampus Agha. Agha menghela nafas saat melihat wajah pias milik Rangga. Lelaki itu tampak semakin kuyu dan kurus. Ya jelas terbebani atas apa yang terjadi. Apalagi ia terkurung di sini tanpa bisa berbuat apa-apa.
"Bagaimana keadaan Maira, Gha?"
Agha menghela nafas panjang. Lelaki itu membawa sebuah surat persetujuan agar Maira bisa dibawa ke Singapura untuk mendapatkan penanganan yang lebih baik. Ya mereka akan ke sana lebih dulu. Kalau oke, tampaknya dibawa ke Malaysia bisa menjadi pilihan. Karena Agha kebih herpikir tentang suasana kehidupan di sana yang lebih nyaman untuk keluarga Maira yang akan menemani.
"Kalau sekarang ada Saras yang menjaga, bang. Keadaan Mai masih sama seperti kemarin."
"Mas hanya bisa kengucapkan kata terima kasih, Gha."
Agha mengangguk. Ia paham.
"Ini apa?"
"Om Kinan ingin meminta persetujuan juga dari abang. Bagaimana pun, abang kan kakaknya Mai."
Rangga mengangguk. Ia paham. Mereka juga datang kemarin menjenguknya di sini. Rasanya pilu sekali. Ia juga terpukul hebat dengan kematian ayahnya dan Maira yang tak kunjung sadarkan diri.
"Nanti Mai ditemani siapa di sana?"
"Ada Tante Mina, bang."
Ia menghela nafas lega. "Titip Mai ya, Gha."
Agha mengangguk.
"Lo akan pergi juga?"
"Ya. Nanti ada nyokap juga. Gue paling cuma beberapa hari."
Rangga mengangguk-angguk. Ia menatap Agha dnegan begitu dalam. Hanya Agha yang bisa menjaga Maira disaat ia malah terperangkap di dalam sini.
"Sorry, gue ngerepotin lo terus."
"Gak apa-apa lah, bang. Selama bisa bantu."
Rangga mengangguk-angguk. Ia tentu tahu bagaimana perasaan Agha pada Maira. Sayangnya adiknya justru tak menaruh hati dan ini membuatnya takut.
"Gue tahu kalo lo pasti tulus untuk membantu."
Agha mengangguk. Ia tahu apa maksud Rangga. "Bang, apapun yang terjadi di depan. Ini gak bakal mengubah apapun. Gue bantu Mai karena Mai kan temen."
Rangga mengangguk-angguk. Ia tahu kalau Agha juga tahu posisi. Rangga bukannya ingin menyakitinya. Tapi hanya ingin mengingatkan agar Agha tak berbuat terlalu jauh. Ia hanya takut kalau akhirnya Agha terluka. Tapi Agha tulus kok. Sekalipun posisi ya seperti ini, ia mengenyampingkan urusan perasaan.
"Waktu kunjungan habis!"
Ia diingatkan. Agha beranjak. Ia segera pamit. Lelaki itu berpesan pada Agha untuk berhati-hati. Karena segala hal yang berhubungan dengan Rangga tentu tak mudah. Agha kembali ke rumah sakit. Ia juga perlu mengurus pekerjaan di sana sebagai penerus om-nya bukan?
"Lo di mana?"
Ada telepon masuk dan itu dari Andros. Ya cowok itu tentu saja sudah mengantongi nomornya.
"Ada apa?"
"Gue mau ngomong sama lo."
@@@