1. Tuduhan
Nala
Bunuh diri? Dua kata itu terus mengiang di telingaku. Masa bodoh dengan pandangan orang-orang yang melihatku berlari terseok-seok seperti orang mabuk. Maklum, aku belum pernah melakukan sprint di koridor rumah sakit memakai stiletto heels. Aku hanya ingin lebih cepat mencapai ruang IGD di mana para dokter sedang berjuang menyelamatkan nyawa Iva, adik iparku yang sangat kusayangi.
Napasku seakan-akan hanya tersisa di tenggorokan ketika aku tiba di depan ruang IGD. Rasanya sesak sekali. Kucoba sebisaku menarik oksigen lebih banyak untuk menormalkan kembali kerja paru-paruku. Kulihat Mas Ray, suamiku tercinta, tengah mondar-mandir di depan pintu. Tatapannya semendung langit di pertengahan Desember saat menyambut kedatanganku.
"Mas, bagaimana keadaan Iva?" tanyaku dengan tersengal-sengal. "Maafkan Nala. Waktu Mas menelepon tadi, Nala sedang berada di official store tas favorit Nala. Ponsel Nala ada di tas, jadi—"
Mas Ray meraih kedua tanganku, lalu memeluk erat. Di telingaku, dia berkata dengan suara yang dalam dan nada penuh kecemasan. "Entahlah, Na. Dokter masih melakukan tindakan di dalam."
"Kenapa Iva sampai nekad begini, Mas? Iva itu gadis yang kuat. Aku tidak percaya Iva bisa melakukan hal ini."
Mas Ray lalu mengurai pelukan. Dia memegang kedua lengan atasku. Iris cokelat keemasan yang sewarna dengan kemeja yang dikenakannya saat ini mengunci tatapanku. "Aku tidak tahu, Na. Kakak macam apa aku ini sampai tidak mengetahui masalah adiknya."
"Apa yang terjadi pada Iva bukan salah Mas. Mas sudah menjadi kakak yang baik selama ini. Kita berdua akan membantu Iva melewati masa sulitnya dan kita pasti bisa." Tumben, aku bisa melontarkan kalimat bijak selancar ini. Biasanya, Mas Ray yang selalu melontarkan quote bijak peredam emosi jiwa ketika sepatu atau tas bermerek limited edition yang menjadi incaranku kehabisan stok.
"Aku takut Iva kenapa-napa." Wajah Mas Ray begitu muram. Dia lalu meremas rambutnya dan membuyarkan efek pomade hingga rambut cokelatnya menjadi sedikit acak-acakan. Meskipun begitu, Mas Ray tetap terlihat ganteng. Pria keturunan Jawa-Belanda itu selalu tampak sempurna di mataku.
Ya, ampun! Kutepuk dahiku pelan-pelan. Bisa-bisanya aku masih kepikiran soal ketampanan tak terbantahkan Mas Ray di saat genting seperti ini. Aku mengembus napas berusaha mengembalikan empati pada Iva. Saat ini Iva yang paling penting.
Kuraih tangan Mas Ray dan kuajak dia duduk di deretan kursi stainless yang berada di ruang tunggu di samping ruang IGD. "Bukan hanya Mas yang takut Iva kenapa-napa, aku juga sama, Mas."
Suara entakan hak sepatu mengusik pendengaranku. Aku percaya orang yang memecah kesunyian di sepanjang koridor itu sebentar lagi akan segera menginterupsi kebersamaanku dengan Mas Ray. Satu ... dua ... tiga. There she is!
"Selamat siang." Suara Ollin, asisten pribadi Mas Ray, terdengar merdu saat menginterupsi. Wanita bersetelan blazer hijau dan celana panjang merah muda itu lalu menyapaku dengan anggukan dan senyuman.
"Bagaimana, beres?" Pertanyaan yang terlontar dari mulut Mas Ray memicu reaksi spontanku untuk memperhatikan diskusinya dengan Ollin.
"Semuanya terkendali, Pak. Akses untuk wartawan dan orang tidak berkepentingan sudah ditutup sampai Iva dipindahkan ke kamar rawat inap," jawab Ollin dengan nada mirip prajurit yang sedang ditanyai komandannya.
Aku menelan ludah. Ingin tertawa tapi tidak etis. Bisa-bisanya asisten pribadi seorang CEO perusahaan multi nasional melucu seperti ini. Kulihat Ollin menjadi yang tersibuk. Dia mengatur segala t***k bengek urusan rumah sakit sekaligus keamanan untuk adik iparku. Kurasa wajar jika Mas Ray ingin melindungi Iva dari orang-orang yang berusaha mengusik privasinya mengingat Iva bukan hanya sekadar adik dari Raymond Bratadhikara. Iva juga berstatus mahasiswa dan sedang merambah karir di dunia modeling mengikuti jejakku.
Kukatupkan bibirku rapat-rapat. Sesaat kemudian seorang dokter masuk ke ruang tunggu. Mas Ray segera bangkit dari duduknya. Ia terlihat tidak sabar mendengar kabar dari dokter yang masih mengenakan masker dan hair cap itu. Aku pun mengikuti langkah Mas Ray menghampiri si dokter.
"Bagaimana keadaan adik saya, Dok?" Pertanyaan Mas Ray terdengar menekan, tapi penuh kecemasan. Aku bisa merasakannya.
"Keadaan fisik adik Bapak secara keseluruhan baik. Luka sayatan di pergelangan tangannya tidak terlalu dalam, jadi tidak ada yang perlu di khawatirkan. Sekarang dia masih tidur karena efek obat bius. Sebentar lagi adik Bapak akan dipindahkan ke kamarnya," jelas dokter itu.
"Baiklah. Terima kasih, Dok."
"Sama-sama."
Derak suara roda brankar beberapa dektik kemudian mengalihkan pandangan Mas Ray menembus pintu ruang tunggu yang terbuka. Ia kemudian mengusap lembut lenganku. "Iva akan dipindahkan ke kamar rawat inapnya. Ayo, Sayang!"
Aku mengangguk. "Iya, Mas."
Aku dan Mas Ray mengikuti para perawat yang mendorong brankar Iva sampai tiba di kamar rawat inapnya. Di dalam kamar yang luasnya hampir sama dengan luas apartemen bertipe studio dan berfasilitas lengkap, Iva dipindahkan ke ranjang. Dia masih tidur. Jarum infus menancap di punggung tangan kanannya sementara balutan luka bekas sayatan berada di pergelangan tangan kirinya. Ngeri-ngeri sedap melihatnya.
Setelah para perawat pergi, aku berdiri di samping ranjang Iva sambil mengamati wajah pucat gadis itu sementara Mas Ray berdiri di lain ranjang. Dari pengamatan sekilasku, Mas Ray juga sedang melakukan hal yang sama denganku. Memperhatikan adiknya. Beberapa saat kemudian, aku melihat Iva bereaksi. Matanya pelan-pelan mulai terbuka. Dadaku mengembang lega. Terima kasih, Tuhan. Iva-ku sudah bangun. Namun, kelegaanku hanya berlangsung sesaat. Iva melebarkan matanya, menatapku tajam. Dia memelototiku sambil berusaha keras untuk duduk. Aku terhenyak oleh ekspresi Iva yang seakan-akan memusuhi.
Iva kemudian meraih tangan Mas Ray dan memeganginya erat seperti sedang meminta perlindungan. Dia minta dilindungi dari siapa? Dari aku? Yang benar saja. Apa salahku sampai Iva bereaksi seekstrem itu? Mas Ray pun tampak panik. Tatapan kami berserobok dan saling bertanya, "Ada apa?"
Jantungku berdenyut kencang menyaksikan tranformasi Iva. Iva yang kukenal sangat bersahabat, baik, dan sedikit lucu. Ia seperti adik yang tidak pernah kumiliki, tetapi Iva yang kulihat sekarang sangat berbeda. Reaksi Iva seperti Emily Rose dalam film The Exorcism of Emily Rose. Mengerikan.
"Mau apa perempuan itu ada di sini, Mas?" Pertanyaan Iva menghujam dadaku. Aku tidak menyangka Iva bisa berucap sekasar itu kepadaku. Mataku otomatis melotot karena kaget.
"Iva, kamu kenapa?" Mas Ray berusaha menenangkan Iva. Ia meletakkan satu tangannya di samping wajah Iva yang kini sudah basah oleh air mata. "Bilang sama Mas, ada apa?"
"Dia!" Iva menunjukku. Tubuhku mendadak tersentak ke belakang dan aku tidak bisa berkata-kata saking terkejutnya. "Mbak Nala jahat! Dia jahat kepadaku. Dia juga jahat kepada Mas," lanjut Iva.
Mas Ray duduk di tepi ranjang. Ia menangkup wajah Iva sementara aku hanya memperhatikan dari sisi lain ranjang seperti orang yang terbuang. "Iva, dengar. Kamu tenang dulu. Katakan ada apa? Kenapa kamu bicara seperti itu pada Mbak Nala?"
Iva terisak-isak, tapi kemudian ia kembali berbicara. "Mbak Nala tahu aku suka sama Bang Eros, tapi Mbak Nala justru selingkuh sama Bang Eros."
Aku tercengang. Tuduhan Iva langsung menusuk-nusuk hatiku. "Itu tidak benar, Iva."
Iris Mas Ray yang menggelap dan teralih kepadaku seakan turut menuduhku. Bibir penuhnya memang mengatup rapat, tapi kilat matanya menuntut penjelasan. Aku sangat mengenal tatapan Mas Ray yang seperti itu.
"Itu tidak benar, Mas. Mana mungkin aku selingkuh dengan Eros. Eros itu sahabat kamu. Aku masih bisa berpikir rasional." Mati-matian aku berusaha membela harga diriku karena memang aku tidak melakukannya.
"Bohong!" sergah Iva, "Mbak Nala pembohong. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri saat Mbak dan Bang Eros bermesraan di dalam kamar."
Tuduhan Iva sekali lagi menikam dadaku dan membuatku terpaku. Aku syok. Gadis ini pandai mengarang cerita.
“Kamu jangan berbohong, Iva. Kamu jangan mengarang cerita. Aku dan Eros tidak pernah melakukan apa-apa,” sangkalku dengan tegas. Namun, baik Iva maupun Mas Ray tidak memedulikan penjelasanku.
Aku melihat Iva terisak-isak. Ia mulai meracau lagi. "Mas tahu, kamar Mas dan Mbak Nala yang dijadikan tempat b******u mereka, Mas. Aku tidak bohong. Aku berani sumpah aku melihatnya sendiri."
Dan aku berani sumpah aku ingin membekap mulutmu, Iva. Itu tidak benar!
Semburat merah mewarnai wajah Mas Ray. Rahangnya yang mengetat dan tatapannya yang kelam membuat napasku sesak. Mas Ray marah. Dia sepertinya memercayai semua ucapan Iva. Ucapan Iva memang tidak salah, tapi itu hanya kesalahpahaman. Faktanya tidak seperti yang dituduhkan Iva.
"Nala, pergilah." Mas Ray memerintah sambil menahan amarah. Aku memahami sikap suamiku. Saat dia marah, bahagia, menahan emosi, bahkan saat dia sedang sedih. Pernikahanku dengannya sudah berjalan dua tahun dan kami sudah melalui masa pacaran lebih dari tiga tahun.
"Mas, itu hanya salah paham." Aku berusaha menjelaskan meskipun aku tahu penjelasanku saat ini tidak akan mengubah kemarahan Mas Ray.
"Pergi!"
Jantungku nyaris copot mendengar bentakan Mas Ray. Dentaman rasa takut sekaligus terhina menggema di d**a hingga ke telingaku. Ini pertama kalinya Mas Ray membentakku selama dua tahun masa pernikahan dan tiga tahun masa pacaran kami. Aku tidak bisa lagi menahan air mata untuk tidak menetes. Jadi, kubiarkan saja butir-butir bening yang meluncur bebas ke pipi melunturkan riasan wajahku. Aku berbalik lalu pergi meninggalkan kakak-beradik yang tidak punya hati itu. Sialnya, aku mendapati Ollin sedang duduk di ruang tamu. Wajahnya menegang ketika melihatku. Aku yakin dia mendengar semua pembicaraanku dengan Mas Ray dan Iva tadi. Ambyar sudah hidupku. Harga diriku hancur berkeping-keping, bahkan nyaris menjadi pecahan paling kecil seperti atom di hadapan asisten cupu suamiku.